10. Kencan

1368 Words
Aku merasakan embusan panas napas Liam mengalir lembut di dekat wajah. Hatiku berdebar kencang. Naluri primalku mulai meronta. Ragaku seolah hendak serta merta hendak berbalik dan melemparkan diri ke tubuh kekar pria di belakangku. Badan yang pasti sanggup menahan semua beban dan tekanan yang hendak kuberikan padanya. Tentu saja, aku tak benar-benar melakukannya karena teringat penampilan kumalku. Menyedihkan. Aku mencoba menghindar ke mana pun asal tidak mendekati Liam. Akan sangat buruk bila aku justru mempermalukan diri dengan membuat Liam mencium bau keringatku setelah jogging cukup jauh. Namun, usahaku gagal total karena Liam begitu sigap dan kuat. Kedua lengannya mengurungku agar aku tak bisa kabur ke mana pun. Lebih buruk lagi, dia mendekatkan badannya padaku. Begitu dekat, hingga aku benar-benar tak berkutik. "Bagaimana rasanya ditawan oleh pria rupawan? Apakah kau menyukainya?" ujarnya dengan penuh kemenangan. Suaranya serak dan dalam, menahan hasrat yang dia pendam. "Kalaupun kau tak suka, aku beritahu bahwa aku sangat menyukai ini. Dekat denganmu ... jauh lebih dekat lagi bila mungkin!" Bisikan panas Liam membuat telinga dan ragaku memanas. Bisa-bisanya dia mengatakan hal ini padaku. Ok ini baru kali kedua kami bertemu, bukan? "Aku ingin menunjukkan padamu, apa yang sanggup kau perbuat pada diriku saat ini. Bila kau mau!" lanjut Liam lagi semakin tak sopan. Pria ini benar-benar kurang ajar. Ketika tangan Liam bergerak, jantungku seakan berhenti berdetak. Aku bersiap untuk melakukan perlawanan. Namun, sepertinya aku terlalu berlebihan. "Hahaha!" Liam tertawa terbahak-bahak melihat kepanikanku. Dia lalu mempersilakan duduk dengan gaya gentleman dan menarik kursi untukku. Tangannya mengisyaratkan agar aku segera duduk. Bisa-bisanya dia bercanda dengan membuatku takut seperti tadi. Menyebalkan sekali. Apakah dia pikir candaan seperti tadi itu lucu? Lucu baginya. Tapi bagiku sama sekali tidak. Aku dan Liam duduk berhadap-hadapan. Dia hanya tersenyum saja melihatku dari tadi. Tentu saja dia bisa tersenyum begitu karena tidak menyadari bahwa aku sudah mengetahui perihal konspirasinya dengan papa untuk menjebakku dalam pernikahan paksa seperti ini. Entah apa literatur yang dia baca sebagai referensi untuk merayu wanita hingga dia memutuskan untuk melakukan hal sebodoh ini padaku. "Kita bertemu lagi, ya? Mungkin ini yang disebut takdir," katanya dalam bahasa Indonesia berlogat bule. Monolog, karena aku tidak menjawab sepatah kata pun. "...." "Tak perlu canggung begitu .... Saya tahu kamu sengaja berpenampilan begitu karena ingin menimbulkan kesan buruk, 'kan?" katanya lagi. "Tapi tenang saja, Saya tidak akan mundur hanya karena ini," lanjutnya sambil tersenyum manis. Tapi entah mengapa aku merasa wajah tampannya itu sedang mengejekku. Sungguh jika orang yang berada di hadapanku bukan Liam, aku pasti akan langsung menyiramnya dengan segelas air putih yang masih utuh tersaji di hadapanku. Namun, karena dia tampan, anggap saja saat ini aku mengampuninya. Segera kuminum segelas air putih itu sampai habis, demi kebaikan Liam, agar aku tak tergoda untuk menyiramnya bila nanti dia melakukan hal yang lebih menyebalkan daripada saat ini. "Yah, ini pasti takdir. Jujur saja saya mengira tidak akan bertemu lagi dengan Anda. Saya kira Anda sudah balik ke US," kataku dalam bahasa yang lebih formal, tentunya setelah berhasil mengumpulkan sisa-sisa kepercayaan diri. Kulepas topi dan masker. Aku berhasil meyakinkan diri sendiri bahwa saat ini aku tetap terlihat cantik. Buktinya, Yoo Eun-Hye saja tetap terlihat cantik walaupun tampil tomboy di drama seri Coffee Prince, bukan? Penampilanku saat ini pasti tak terlalu berbeda dengannya. Mungkin lebih cantik. Pembicaraan kami terjeda saat waitress membawa masuk appetizer dan menanyakan pesanan kami. Aku memesan spaghetti bolognese porsi besar dan pizza karena sangat lapar setelah jogging tadi. Liam mengangkat alisnya seperti hendak mengomentari betapa tidak sehatnya pilihan makananku. "Look at yourself! You're so slim yet eating so freely. Don't you ever have a fear of getting fat?" tanyanya ingin tahu mengapa aku tak takut berat badanku naik sebagaimana umumnya para wanita. "Padahal kamu terlihat seperti seorang ... err ... model professional," komentar Liam sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. Membuatku merasa sangat risih. "Saya tahu kapasitas saya, kok. Hhmmm ... dan saya pikir itu bahasan yang tidak penting, 'kan?" jawabku tersinggung. Aku benar-benar tidak suka bila dikomentari soal makanan. Mama yang selalu mengontrol makanan saja tidak pernah melakukan hal itu padaku. Pernah dulu sekali mama melarang makan banyak karbohidrat, membuatku melakukan aksi nekat untuk tidak menyentuh makanan apa pun selama tiga hari dan berujung opname di rumah sakit. Papa sangat marah dan mama pun kelimpungan. Akhirnya, beliau meminta Rama untuk membujukku agar mau makan lagi. Selama seminggu setelahnya, aku mempunyai seorang nanny eksklusif bernama Rama yang bertugas khusus menyuapiku. Andai saat itu aku cukup bijak untuk memahami bahwa aku telah membuat sekolahnya kacau balau, tentu aku tidak akan berkelakuan semanja itu. Namun, apalah yang bisa diharapkan dari seorang anak usia dua belas tahun yang sangat manja? Tanpa kusadari, aku tersenyum-senyum sendiri mengenang kekonyolan masa lalu. "Okay, maafkan saya," kata Liam membuyarkan lamunanku. "Saya masih akan di Indonesia sampai bulan depan .... Dan akan kembali ke Chicago setelah kita resmi menikah," katanya menambahkan sambil lagi-lagi memamerkan senyuman lady killernya. Aku terhenyak mendengar kata 'menikah'. Aku akui Liam memang sangat tampan dan sesuai dengan tipeku. Ditambah lagi, dia sampai berbuat sejauh ini untuk mendapatkanku. Sikapnya yang obsesif membuatku merasa sangat diinginkan. Namun, apakah aku harus benar-benar menikah dengannya? Bila itu benar-benar terjadi, berarti aku akan terpisah dengan Rama jika harus mengikutinya ke Chicago. Membayangkan hal itu saja sudah membuatku ingin kabur dari tempat ini. "Apa setelah menikah saya harus ikut ke Chicago juga?" tanyaku. Pertanyaan bodoh memang. Buat apa dia menikahiku kalau aku di sini dan dia di sana. Pacaran atau tunangan saja cukup, bukan? Dia tertawa kecil. "Tentu saja Anda akan ikut," katanya sambil menelisik mataku. Sepertinya dia tahu alasanku keberatan bila harus pindah ke Chicago. "Kalau kamu berencana mengajak teman gay-mu itu ikut serta, aku tidak keberatan. Dia pasti akan senang tinggal di sana. Dia bisa terbuka dan berhubungan serius dengan sesamanya. Bahkan bisa membangun rumah tangga dan mengadopsi anak." Kata-kata Liam sungguh menusuk jantungku. Dalam. Sangat dalam. Tidakkah dia tahu dia berada di mana? Ini Indonesia, Bung! Hal seperti itu sangat tidak sopan bila dibahas dengan orang yang baru dikenal. Bahkan di barat sekalipun, yang terkenal sangat bebas, itu bukanlah hal yang dengan mudah diakui oleh seseorang. Mengapa dia berkata seperti itu kepada orang yang tidak terlalu dia kenal? Hal yang Liam lakukan adalah menuduh langsung. Dengan penuh kepastian dia mengatakan Rama adalah seorang homoseksual. Dia bahkan tidak repot-repot bertanya dulu padaku apakah dugaannya benar? Seperti yang dilakukan Rania. Bila saja Liam bersikap sedikit lebih sopan, aku tentu akan menghargainya dan memaafkan kesalahpahaman ini. Harusnya dia tahu diri, bahwa menjadi calon suamiku, tidak berarti dia dekat denganku dan bahkan berani menuduh orang terdekatku seperti itu? Saat ini, aku benar-benar menyesal karena telah meminum habis air putih di gelas. Seharusnya, saat ini adalah saat yang sangat tepat untuk melakukan adegan dramatis: menyiramkan segelas air ke muka CEO yang terhormat. Biarlah dia membenciku. Aku tak mau menikahi orang yang tak bisa menghargai Rama. Akhirnya, aku berdiri. Perlahan tapi penuh ketegasan, kukatakan padanya, "Siapa pun Rama dan apa pun orientasi seksualnya, setidaknya dia tidak akan pernah berbohong untuk mendapatkan orang yang dia inginkan." Kami saling menatap, sama-sama tajam dan sedalam mungkin, seolah-olah dengan tatapan itu kami bisa melukai satu sama lain. "Hal yang sungguh rendah ... seperti yang dilakukan oleh seseorang saat ini, bukan?" Aku segera berdiri dan keluar dari ruangan, meninggalkan Liam seorang diri. Bergegas aku menghampiri meja kasir dan menyerahkan kartu kredit untuk membayar semua makanan yang kami pesan tadi sambil menahan air mata. Untung saja aku sudah mengenakan topi dan masker kembali sehingga tidak ada yang akan mengenaliku atau pun melihatku sedang menangis. Saat ini Liam pasti marah. Namun, aku bahkan tidak peduli apa yang akan dia lakukan di masa depan untuk membalas dendam. Semoga saja dia cukup dewasa untuk tidak melampiaskan kemarahannya kepada orang-orang di sekitarku. Terutama kepada Rama. Bila itu sampai terjadi, aku sendiri yang akan membalasnya. Saat berjalan keluar restoran, sudut mataku tak sengaja menangkap sosok yang tidak asing yang sedang duduk santai sendirian di sudut restoran. Hidangan di piringnya tak tersentuh, seakan dia datang ke sini bukan untuk makan. Erika? Mengapa dia ada di sini? *** Note: Hi, Pembaca! Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya! Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih! Inget, tap love biar nggak hilang. Love you all!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD