9. Dipaksa Menikahi CEO Tampan

1745 Words
Koleksi R&S bertajuk Bukan Cinta Biasa menerima sambutan positif di hati para pelanggan. Beberapa orang yang tidak suka dengan image Sinta yang baru, memilih couple outfit a la Ardi dan Rania. Sedangkan yang tertantang dengan penampilan baru, mencoba couple outfit a la Rama dan Sinta. Kami berempat bertaruh, manakah yang akan mencapai penjualan terbanyak bulan depan. Pemenangnya bisa meminta apa pun dari yang kalah. Ardi, Rania, dan Rama memilih outfit Rama-Sinta. Sedangkan Aku memilih Ardi-Rania. Menyebalkan sekali, mengapa aku sendirian? Bagaimana nanti kalau kalah? Tapi diri ini yakin, akulah yang akan menang. Mana mungkin kesan liar dan mengerikan akan lebih unggul dari yang anggun dan lembut? "Oke, kita lihat saja nanti." Aku berujar sedikit sinis, berpura-pura marah ke mereka bertiga. Rania tertawa hampir tanpa suara. Sedangkan Rama dan Ardi cekikikan dengan tidak sopan. Apakah memang kemarahan dan kekonyolanku tak bisa dibedakan? Entahlah. *** Aku merapikan meja rias yang entah berapa hari tidak dirapikan. Mungkin sepekan atau dua pekan karena aku tidak di rumah. Beberapa hari lalu, aku harus lembur di markas bersama Rama. Lipstik dan kuteks berserakan di mana-mana. Entah apa komentar Rama kalau sampai tahu kondisi kamarku yang hancur seperti ini. Dia pasti akan mengomel dengan daftar kalimat yang aku sudah terlalu hafal. Tiba-tiba, kudengar suara pintu kamarku diketuk. Saat kubuka pintu, kudapati papa dan mama di depan pintu sambil berkali-kali saling menatap. Seperti ingin membicarakan sesuatu denganku, tapi agak ragu-ragu. "Ada apa, nih? Kalau cuma mau iseng, Sinta tutup pintu, ya! Ngantuk," tanyaku sambil memasang mulut ikan yang mengerucut. "Sinta, papa dan mama mau bicara sebentar sama kamu," kata papa dengan suara pelan. Mereka kemudian masuk ke dalam kamar dan mendudukkanku di sofa, di antara mereka berdua. Tumben sekali, sudah lama mereka tidak memperlakukanku seperti ini. Pasti ada apa-apa, nih. "Sin, kamu dengerin baik-baik, ya. Jangan sela mama dulu," kata mama sambil memegang erat kedua tangan. Matanya berkaca-kaca menatapku. "Bisnis papa di ambang kehancuran, Sin. Papa butuh suntikan modal yang sangat besar dan ...." Mama tak sanggup meneruskan kata-katanya karena air mata beliau sudah lebih dulu mewakili penjelasan. Kalau sudah seperti ini, kelanjutannya pastilah 'begitu'. "... dan ada pengusaha kaya raya yang bersedia memberi pinjaman tanpa bunga dengan syarat Sinta harus mau menikah sama dia. Begitu, 'kan?" kataku melanjutkan perkataan mama sambil mengangkat bibir sebelah kanan. Klise. Mungkin aku terdengar durhaka, mencemooh kedua orangtua. Namun, memang begitulah mama. Papa dan mama terdiam mendengar pernyataanku, saling memandang sejenak, kemudian memandangku lagi. "Kok tau, sih?" tanya keduanya serempak. Hmm ... pada lupa kali, ya? Aku kan sudah 21 tahun jadi anak mereka. Saat ini, mereka berdua menautkan erat jari tangan mereka dengan jemariku, hampir meremas. Aku yakin dalam hati, mereka sedang berdoa setulus hati kepada Tuhan agar aku mau menerima keputusan mereka. "Ganteng apa enggak?" tanyaku ke papa sambil menipiskan bibir. Seakan dapat durian runtuh, mata papa perlahan terbelalak tak percaya karena seorang Sinta menyetujui hal ini tanpa perlawanan. Mungkin, bagi beliau, hari ini adalah hari terbaik. "Ganteng banget. Asli. Papa jamin kamu pasti suka! Masa papa pilihin laki-laki yang penampilannya nggak sebanding sama kamu?" tutur Papa dengan sangat antusias. Mendengar penuturan papa, aku tertawa terbahak-bahak. Kena, deh! Setelah puas menertawakan tingkah papa, aku memandang wajah papa dan mama bergantian. "Okay, Papa dan Mama yang atur tanggal dan tempat ketemuannya, ya! Sinta pengen ketemu dulu sama orang yang papa jodohin." *** Hari ini markas sangat sibuk mempersiapkan order dari para pelanggan. Rama dibantu para staf tambahan lain mengurus pembelian material dan bahan untuk aksesoris. Kiki dan aku melakukan fitting dengan pelanggan yang membuat janji hari ini. Setelah agak sore, pekerjaan hari ini akhirnya selesai juga. Kiki membawakan kue-kue kecil yang dipesan lewat aplikasi ke break room untuk dinikmati bersama secangkir kopi spesial buatannya. "Sin, kamu ada jadwal malam ini? Nonton film, yuk, di rumah," ajak Rama. Sepertinya dia memang butuh hiburan karena kesibukan akhir-akhir ini. "Hmm ... aku ada janji, sih, sama ...," kataku ragu-ragu meneruskan karena takut Rama bereaksi berlebihan tentang hal ini. "Muka kamu aneh. Kayak biasanya kalau pas masih kamu masih pacaran dulu sama mantan-mantan kamu," dahinya mengernyit memikirkan sesuatu, "sudah nemu gebetan baru di belakangku kamu, hah?" Aku menggigit bibir, bingung hendak berkata apa. Hal seperti inilah yang paling tak kusukai kalau harus kencan dengan seorang lelaki. Rasanya seperti menduakan Rama. Apalagi saat ini adalah sesuatu yang lebih serius dari sekedar pacaran. Bukan sekadar kencan. "Papa ...." "Om Bram kenapa, Sin?" tanyanya menyebut nama papa dengan akrab. Papa dan Rama memang sudah seperti ayah dan anak sendiri. "Papa menjodohkan aku sama orang," kataku sambil menipiskan bibir hingga membentuk garis. Lalu kuceritakan semua ke Rama tentang semua yang dikatakan mama dan papa beberapa hari lalu. "Kemudian, jawaban terakhir papa membuat aku yakin kalau semua ini bohongan. Hahahaha." Aku dan Rama tak dapat menahan tawa. Orang bilang anak zaman sekarang kurang ajar ke orang tua. Tetapi orang tua sekarang juga harus pintar-pintar dong menghadapi teknologi dan otak manusia yang sudah serba canggih. Kata-kata papa tentang 'memilihkan aku lelaki yang sebanding' jelas-jelas merupakan kesalahan fatal dalam aksi kebohongan papa dan mama. Kasihan sekali mama yang sudah berakting dengan sepenuh hati harus dirusak dengan keluguan papa yang terlalu bersemangat dalam menjawab pertanyaanku, sampai-sampai keceplosan begitu. "Terus nanti kamu mau ngapain? Menolak mentah-mentah?" tanyanya khawatir, "Aku temenin, ya? Takutnya kamu ntar diapa-apain ...." "Tenang aja! Aku sudah ada rencana, kok," kataku sambil mengedipkan mata kanan, meniru gaya Rama dan Tante Ratih. "Nanti sehabis makan malam, aku ke rumahmu, deh! Jangan lupa siapin popcornnya, ya!" *** Karena hotel tempat pertemuan dengan si CEO pilihan papa dan mama tidak jauh dari markas, aku berangkat sambil jogging, memakai kaus oblong dan training longgar yang sudah kumal. Sesuai rencana, aku akan menunjukkan penampilan yang sejelek-jeleknya agar dia sendiri yang mundur teratur. Jadi, kupastikan agar berkeringat sebanyak dan sebau mungkin sesampainya di sana. Tak lupa kukenakan topi, kacamata hitam, dan masker agar tidak ketahuan paparazi. Walaupun aku tahu imageku yang anggun sudah hancur, setidaknya aku tak mau wartawan menangkap gambar Sinta saat sedang jelek-jeleknya. Aku pun memasuki hotel, tentunya setelah melewati satpam dengan aman walaupun agak lama. Mungkin penampilanku terlalu mencurigakan bagi mereka. Restoran ada di lantai 21, harus naik lift. Kupastikan diriku satu-satunya orang di dalam lift agar tidak ada yang terganggu dengan bau keringat. Entah benar-benar busuk atau tidak. Namun, aku hanya berjaga-jaga saja. Sesampai di restoran, dengan senyuman penuh percaya diri, seorang pelayan mengantar menuju private room yang sudah dipesan atas nama papa. Namun, senyumku menghilang perlahan saat aku mengetahui siapa orang yang sudah berada di dalamnya. Wajahnya tak asing. Senyuman menggoda dan mata biru khasnya. Benar-benar mempesona mata. Diriku terpaku di pintu, tak beranjak. "Liam?" gumamku lirih, aku yakin tak ada yang dengar. Mataku masih terpana melihat Liam berada di dalam private room yang dipesan papa. Ternyata William Smith, nama CEO perusahaan elektronik yang dijodohkan denganku, adalah Liam? Aku tak percaya bule ganteng yang aku temui saat resepsi pernikahan Rania dan Ardi ternyata adalah orang yang akan menjadi suamiku. Tentunya, bila aku setuju dan mengatakan iya. Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu yang lain. Ya! Penampilanku saat ini yang sangat kacau dan penuh keringat sangat menjijikkan. Astaga ... seandainya aku tahu bahwa Liam orangnya, tentu aku tak akan berpenampilan seperti ini. Terus, bagaimana sekarang? Tunggu! Mungkin ini suatu kebetulan. Dia pastinya juga tidak tahu siapa aku. Lagi pula, dengan penampilan saat ini, pastinya dia takkan mengenali diriku. Jauh bagai bumi dan langit dengan penampilanku saat pesta pernikahan Ardi dan Rania. Yang kulakukan berikutnya adalah menyelipkan selembar uang seratus ribuan di saku waitress yang mengantarkan ke ruangan. Kubisikkan beberapa instruksi agar dia mengikuti sandiwara yang kurencanakan. "Kak, sepertinya salah ruangan, nih. Saya pesan untuk sendirian, 'kan?" kataku pura-pura protes ke waitress yang memasang tampang agak bingung karena semuanya serba tiba-tiba. Dasar mata duitan, si waitress malah menoleh ke Liam dan dengan senyuman lebar, Liam mengacungkan jari-jari kanannya yang menunjukkan angka empat. Si waitress pun tersenyum puas dan menjawab. "Betul, kok, Kak! Ini adalah ruangan yang dipesan Tuan Bramantyo," dia tersenyum ramah ke arahku tanpa merasa bersalah. Dengan kesal, kuambil kembali uang seratus ribu yang tadi kuselipkan dengan sedikit memaksa karena dia memegangnya dengan erat. Enak aja mau dapat dobel. Dasar pengkhianat! Seharusnya sesama wanita harus saling membantu. Bukan justru menjerumuskan. Dia pun segera pergi setelah melempar senyuman yang pastinya dia anggap paling manis ke arah Liam. Mungkin, dia mengharapkan bonus lebih darinya karena berhasil menjalankan instruksi Liam dengan baik. Atau bisa jadi, dia ingin menunjukkan ke Liam bahwa dirinya jauh lebih cantik dariku saat ini karena penampilanku seperti anak kos yang tidak mandi tiga hari. Huh, mimpi! Sepeninggal pelayan wanita menyebalkan itu, aku terpaku di depan pintu ruangan yang sudah tertutup. Ya, Tuhan ... apa yang harus aku lakukan sekarang? Masa aku harus menemui Liam dalam keadaan seburuk ini? Aku berpikir beberapa saat. Hanya ada satu cara. Kabur! Aku pun segera memutar knop pintu, bersiap kabur dari ruangan. Namun, sebuah tangan kekar yang hangat menahanku, menumpukkan tangannya di tanganku yang masih memegang knop. Aku yang panik hendak mundur. Namun, punggungku menabrak sosok yang bidang yang menjulang bagai dinding yang tidak dingin. Begitu hangat dan kokoh. Tidak menyakiti punggungku sama sekali. Kurasakan embusan udara panas di dekat telingaku yang mulai menghangat. Hatiku berdesir dengan kuat. Naluri wanitaku begitu kuat untuk dilawan. Ingin berbalik dan melemparkan diri ke pelukan pria yang aku yakin penampilannya akan terpahat indah seperti patung Apollo bila tak ada rajutan benang yang menutupi. Namun, ketika aku teringat kembali penampilan kumal saat ini, nyali kembali menciut. Aku pun mencoba beringsut menjauh ke kiri, tempat yang sepertinya kosong dan bisa kujadikan pelarian. Namun, dengan sigap lengan kiri Liam yang kekar menghalangi tubuh langsingku untuk bergerak lebih jauh darinya. Bahkan, saat ini kami semakin dekat. "Maaf, Baby! Kamu terkepung!" ujarnya dengan suara yang begitu serak dan dalam. Seolah ada sesuatu yang hebat yang ditahannya. "Apa kau ingin tahu apa yang sanggup kau perbuat terhadap diriku, Baby?" bisiknya dengan suara yang makin serak di telingaku. Kurasakan napasnya yang memanas, jauh lebih panas daripada beberapa detik yang lalu. Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar arah pembicaraannya. Apa pria ini tak tahu sopan santun? Bila sampai dia berani menunjukkan hal itu padaku, aku bersumpah akan menamparnya dan berteriak minta tolong. Beberapa detik berlalu. Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Keringat dingin mulai mengaliri kening dan punggung. Bulu kudukku mulai meremang. Kejadian berikutnya, sungguh di luar dugaan! *** *** Note: Hi, Pembaca! Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya! Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih! Inget, tap love biar nggak hilang. Love you all!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD