3. Patah sebelum terinjak.

1768 Words
"Bu, saya les nya lanjut sampai menjelang Ujian Nasional ya." Merlyna menegakkan kepalanya yang sedang tertunduk. Sejenak kegiatannya dalam mengoreksi hasil tugas yang telah selesai dikerjakan oleh Alfath, itupun terhenti, sempat merasa bingung dengan ucapan siswanya itu. Alfath adalah salah satu dari siswanya yang meminta Merlyna memberikan les tambahan di rumahnya. "Kenapa Al? Perjanjian dengan Mama kamu, hanya sampai bulan depan kan? " tanya Merlyna, setelah itu Merlyna kembali mengoreksi tugas Alfath. Nampak sesekali dahinya berkerut tanda berpikir. "Saya maunya sampai ujian Bu," tawar Alfath pantang menyerah. "Ada yang masih belum kamu mengerti pelajaran yang ibu les kan?" tanya Merlyna tetapi masih sambil fokus di lembaran kertas yang ada di depannya. "Ada sih Bu," sahut Alfath sambil menyandarkan tubuhnya di sofa yang ia duduki, sedangkan tangan kirinya menopang sebelah kiri kepalanya dan lengan kanannya ia jatuhkan ke sandaran sofa sebelah kanannya. "Kamu kan lumayan pintar Al. Apa yang belum kamu mengerti?" "Hm ... Banyak sih pokoknya Bu, mau ya Bu?" rayu Alfath lengkap dengan senyum kucingnya. Wajah imut plus tampannya tampak menggemaskan, membuat Merlyna menghela napas sejenak. "Ibu sudah terima les anak anak SD di rumah Al, jadwalnya pasti bentrok sama kamu nanti." "Kan les mereka nggak tiap hari Bu?" "Sayangnya tiap hari Al, sorenya. Les buat persiapan anak SD ujian akhir juga." "Di mana?" "Di rumah Ibu." Merlyna merapikan buku-buku tebal itu, lalu memasukkan ke dalam tas jinjingnya, kemudian mengangsurkan lembaran-lembaran tugas yang sudah selesai dia nilai ke arah Alfath. "Lumayan hasil nilai dari tugas yang kamu kerjakan Al. Hampir benar semua. Otak kamu kalau masalah hitung jago juga ya?" puji Merlyna dengan senyum tulusnya. Alfath tersenyum senang sambil menerima lembaran tugasnya. Ada kebahagiaan tersendiri di hatinya, saat guru cantiknya itu memuji hasil yang telah dia capai. "Sudah takdir saya pintar mungkin Bu," jawab Alfath sambil mengerling usil ke arah Merlyna. "Begitu ya? Gimana? Les sampai bulan depan aja ya Al? " "Saya tetap lanjut les, Bu," "Nggak bisa Al. Ibu udah janji soalnya sama wali muridnya." "Bisa." "Kok gitu?" "Saya yang ke rumah Ibu, jadi saat Ibu kasih tugas anak SD_nya. Baru habis itu giliran saya yang diajarin. " Merlyna cuma bisa melongo, mendengar Alfath mengajukan banding padanya. Ia heran, kebanyakan anak siswanya lebih suka malas ikut les tambahan. Namun lain dengan Alfath, dari awal Merlyna mendapat tugas mengajar di kelasnya Alfath, siswanya ini sangat antusias menerima pelajaran mata pelajaran yang ia berikan. Bahkan sering terlihat perhatian dan care padanya. Bukan untuk percaya diri, tetapi Merlyna cukup paham akan hal itu, Alfath memang selalu suka mendekat ke arahnya jika ada kesempatan. "Gimana Bu?" Merlyna menghela nafas sejenak. Alfath dengan keras kepalanya dan susah untuk dihalangi. Hampir tiga tahun mengenal Alfath selama di Sekolah Menengah Atas itu, cukup membuatnya hafal akan tabiat dari seorang Alfath. "Ibu keberatan?" wajah Alfath mulai nampak sedikit kecewa, melihat guru cantiknya belum mau meloloskan permintaannya. "Emang Mama kamu ngijinin Al?" "Pasti lah. Apa yang saya mau, Mama Papa pasti penuhi. Ini kan juga hal positif, mereka pasti dukung." "Baiklah. Boleh lanjut les ke rumah Ibu. Tapi dengan satu syarat." Seketika wajah Alfath nampak ceria senyumnya kembali merekah, "dengan senang hati." "Kamu harus diantar sopir atau orang rumah kamu. Tidak boleh bawa motor sendiri, biar pun kamu sudah kelas tiga SMA tetap saja, Ibu nggak mau ada apa-apa sama kamu. " "Siap Bu. Terimakasih atas perhatiannya," jawab Alfath bahagia. Seketika ia tegakkan badan dan kepalanya, tanda dia puas dengan jawaban Ibu Guru cantiknya. Tak mengapa jika ia harus bersama sopir, demi izin yang telah ia dapatkan. Padahal, selama sekolah menengah atas, Alfath selalu membawa motor sendiri. Merlyna cuma menggelengkan kepalanya, namun senyum itu juga hadir di bibirnya. Dengan gemas dia acak-acak pucuk kepala Alfath. "Itu nasehat Al. Lucu kamu ini." sambung Merlyna masih terkekeh gemas. Alfath yang mendapat perlakuan seperti itu dari guru Cantiknya itu pun spontan tertegun sejenak. Rona pada wajahnya nampak bersemburat. Jujur, hatinya sempat berdetak kencang. Ada apa dengan jantung dan hatinya? "Hei. Melamun Al!" "Eh. Sedikit Bu." Dengan salah tingkahnya Alfath cuma bisa meringis malu. Lelaki yang baru akan meninggalkan masa remajanya itu, nampak merona di sekitar wajahnya. "Oke, ibu pamit ya Al. Pamitkan ke Mama kamu ya nanti. Sekalian jelasin permintaan kamu tadi ke beliau." "Siap Bu." Alfath ikut berdiri, ketika Merlyna berdiri dari duduknya. Lalu mengikuti langkah guru cantiknya itu keluar dari rumahnya. Merlyna segera memakai helm b**o_nya dan mengunci pengaitnya, memutar motor metic_nya ke arah pintu gerbang. "Masuk sana Al. Ibu udah mau pulang ini," "Iya Bu, bentar saya lihat Ibu dulu," sahut Alfath masih setia dengan senyuman bahagia. Merlyna kembali mengacak rambut muridnya itu dengan gemas, "ya udah, suka-suka kamu aja lah Al. Ibu pulang ya ...." Suara motor sudah distarter. Merlyna merapikan tasnya di pundaknya. Lalu menarik gas motornya ke arah jalan raya. "Hati-hati Bu!" seru Alfath, walau Ibu guru cantiknya tak melihat aksinya, Alfath tetap melambaikan tangannya pada gurunya tersebut. Merlyna menepikan motor meticnya di area parkir toko kue langganannya. Setelah menaruh helm dan mencabut kunci motor, ia segera melangkahkan kaki ke dalam toko. Sesekali tangan kanannya mengetikkan sesuatu di ponsel pintarnya. "Bu Merly?" Deg. Seketika Merlyna menghentikan langkahnya, beberapa langkah dari tempat dia berdiri tampak Ihsan sedang melangkah ke arahnya sambil menenteng bungkusan kue yang baru saja ia beli. "Eh, Bapak. Beli kue juga Pak?" sahut Merlyna setengah basa basi. Selama satu minggu sejak pernyataan lamaran dadakan yang diucapkan Ihsan, Merlyna juga mencoba untuk menjaga jarak dengan Ihsan. "Iya. Pesanan Adek saya." "Oh. Saya ke mbaknya dulu ya pak. Mau pesan kue." "O iya Bu. " Setelah menjawab Merlyna, Ihsan berlalu ke arah keluar tempat parkir toko tersebut. Sejenak Merlyna menghembuskan napas lega. Karena tidak perlu lama-lama menanggapi pertanyaan dari Ihsan. Tidak perlu waktu bermenit-menit, Merlyna memilih kue-kue yang biasa ia beli, setelah membayar di kasir dan mendapatkan kuenya, Merlyna segera keluar dari toko itu, sambil melihat ke arah jam tangannya. Sudah sore, batin Merlyna. Ketika akan mengenakan helmnya, "Bu Merlyna!" Deg! Sekali lagi, suara itu terdengar di rungunya. Ternyata kekhawatiran Merlyna belum hilang, Ihsan nyatanya masih menunggunya. Reflek Merlyna membalikkan badan dan kepalanya, ke arah suara yang telah memanggilnya itu. Dengan canggung Merlyna berusaha memberikan senyum hormatnya. "Pak Ihsan masih di sini?" "Iya. Sengaja menunggu kamu." Merlyna terpana, sebutan kata 'ibu' yang biasa ia dengar sudah berganti dengan kata 'kamu '. "Saya?" "Iya." "Ohhh ...." Merlyna kehilangan banyak kata, bingung bagaimana ia menanggapi maksud dari pernyataan Ihsan itu. "Saya tahu ini lancang. Saya cuma mau bicara dengan kamu secara pribadi. Bisa?" "Eh. Tentang apa ya?" "Pernyataan saya kemarin ke kamu." Ucap Ihsan dengan pasti dan pandangan matanya yang tidak lepas ke arah mata Merlyna. Merlyna berpikir cepat, jawaban apa yang pas untuk rekan gurunya itu. "Yang mana ya Pak?" sengaja mengulur untuk menjawab, Merlyna pun balik bertanya pada Ihsan. "Tentang lowongan calon suami untuk kamu. Maaf, kalau saya sangat lancang menanyakannya." "Bukankah kemarin Bapak bilang ya, bahwa saya tidak perlu memikirkannya. Dan satu lagi, bukannya Bapak tahu, saya sudah punya pasangan?" "Baru kekasih kan?" "Secepatnya akan berubah jadi Suami, Pak." "Sudah dilamar?" "Belum. Tapi sudah direncanakan." jawab Merlyna pasti. Ia berusaha mematahkan usaha Ihsan untuk segera berhenti mendekatinya. Jujur, Merlyna tidak mau dinilai sebagai wanita pemberi harapan palsu. "Jika seseorang wanita belum ada yang melamar, pihak lelaki lain masih dihalalkan untuk mengajukan lamaran. Itu yang saya tahu, jadi tidak adil kalau belum apa-apa saya sudah ditolak." "Tapi Pak. Saya nggak mau PHPin Bapak ya. Saya udah punya kekasih, saya nggak bisa nerima pernyataan Bapak dong. Itu namanya saya selingkuh," pungkas Merlyna mulai kesal karena Ihsan memaksakan kehendaknya. "Jodoh nggak ada yang tahu. Mungkin benar, sekarang kamu berpacaran dengannya. Tak ada yang tahu juga kan, suami masa depan kamu siapa?" "Bapak jangan maksa dong." Jawab Merlyna ketus. "Saya___" "Tidak etis Bapak memaksakan kehendak ke calon istri saya." Tanpa mereka berdua sadari, sosok Ibram sudah ada di dekat mereka dan memotong ucapan Ihsan. Wajah Ibram tampak memendam amarah dan cemburu. Sejenak Ihsan tampak kaget, namun secepat mungkin dia sudah bisa menetralkan kekagetan di wajahnya. "Apa Pak Ibram sudah melamar Bu Merlyna?" "Secepatnya," "Kalau begitu saya masih berhak dong, meminang langsung ke orang tua Bu Merlyna," "Bapak punya tata krama nggak?" sahut Ibram setengah menahan emosi. Sedangkan Merlyna kembali meletakkan badannya di jok motornya, kedua tangannya bersedakep di depan dadanya, menonton perdebatan antara kekasih dan rekan mengajarnya itu. Rasa lelah pada otak dan tubuhnya sudah terasa, namun gara-gara hal tersebut acara mengistirahatkan anggota badannya batal sudah. "Tata krama apa yang Bapak maksud? Saya melamar perempuan single. Apa salah?" "Saya kekasihnya!" "Baru kekasih kan? Bukan pasangan halal. Bapak pasti tahu bukan? Dalam agama kita adat pacaran itu tidak ada, bahkan tidak dianjurkan alias dilarang." "Saya akan segera melamar dan menghalalkan hubungan kami. Jadi, saya minta Bapak tidak merecoki hubungan kami lagi." "Kita masih punya hak sama untuk berjuang Pak. Saya memperjuangkan Bu Merlyna dengan cara saya sendiri. Bapak tidak perlu khawatir, untuk hasil hanya yang Kuasa yang tahu. Bapak juga tidak berhak menghalangi akan usaha saya," "Kalian masih mau berdebat?" Seketika kedua lelaki itu menengokkan kepala mereka ke arah suara Merlyna. Tampak gurat lelah pada wajah cantiknya. "Sayang, aku sedang membela kamu loh ini," "Aku ngerti Aa. Tapi aku juga lagi capek. Bisa aku undur diri dulu. Please, aku butuh istirahat." Ibram melangkahkan kakinya ke arah Merlyna, setelah di hadapannya, Ibram nampak mengelus mesra rambut kekasihnya. "Iya. Kamu bisa pulang dulu Cantik. Hati-hati ya, nanti aku nyusul," Merlyna segera memakai helmnya kembali, melirik sebentar ke rekan kerjanya. Karena hatinya masih dongkol, Merlyna nampak malas untuk berpamitan kepada Ihsan. "Aku pulang A. " Tanpa basa basi Merlyna langsung menarik gas motornya, dan berlalu dari hadapan kedua lelaki yang sedang memperebutkannya itu. Setelah itu, "Saya tidak bercanda dengan niat dan tujuan saya Pak. Selama ijab qobul belum Bapak ucapkan di hadapan bapaknya Bu Merlyna, saya masih punya hak sama dengan Bapak." Ibram nampak speechless mendengar pernyataan dari saingannya itu, belum sempat menjawabnya, Ihsan sudah mengambil langkah ke arah mobilnya, meninggalkan Ibram sendirian. Ihsan, membawa mobilnya dengan perasaan gamang. Penolakan Merlyna sangat menyakiti hatinya. Berkali-kali ia mengepalkan telapak tangan kanannya, dan memukulkan ke arah kemudi mobil. Ihsan sangat yakin, setelah ini Merlyna pasti semakin menjauh darinya, tanpa mau lagi menoleh ke arah dirinya bahkan cintanya. "Aku harus apa Mer? Aku juga tak pernah berharap mencintai milik orang lain. Tapi siapa yang tahu dengan hati ini? Semua terjadi begitu saja." Berkali-kali Ihsan mengusap wajahnya dengan kasar. Perjuangan awalnya sudah kalah sebelum berperang. Patah tanpa terinjak. "Kok sakit ya rasanya?" Ihsan meraba dadanya, ada rasa nyeri, ada rasa sakit. Namun, cinta yang ia miliki masih utuh. Seakan memintanya untuk tidak berhenti berjuang. . Bersambung... Halo, kasih love dan komentar yaaa... Makasih...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD