1. Hai, Cantik!

1540 Words
“Ayo, Sean. Kenapa kamu belum siap? Mama sudah minta tolong buat antar ke panti, kan?” Sean menghela napas berat. Dia melirik kakak dan kakak iparnya yang tengah menatap Mama dengan kening berkerut. Nah, kan, kedua orang di sampingnya saja merasa aneh. Ini adalah kali pertama Mama mengajak anak laki-lakinya ke panti. Ada apa, sih? Perlahan, Sean meletakkan koran yang baru saja dibuka. Dia berdeham dan tersenyum lebar pada sang mama. Namun, Mama tidak membalas. Sepertinya Mama mulai kesal dengan sikap Sean yang tidak serius. “Kamu tidak mau?” “Bukan begitu, Ma. Sean pikir Mama hanya bercanda. Biasanya Mama kan pergi dengan Kak Nasha atau ....” “Kamu mau antar Mama atau tidak?” potong Mama tidak sabar. Dari sudut matanya, Sean bisa melihat sang kakak, Axel, mengedipkan mata. Sean tahu tidak ada gunanya membantah Mama. Bukan ingin menjadi anak durhaka, tetapi terkadang permintaan Mama tidak masuk akal. Tetap saja, Mama adalah pimpinan di rumah. Dia tidak berniat untuk mengabaikan perintah Mama. “Oke, Ma. Sean ganti baju dulu, ya.” Sean beranjak. “Enggak usah dandan ganteng. Kamu cuma mau ke panti,” teriak Mama begitu Sean sudah melangkah agak jauh. Mendengar perkataan itu, Sean hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Semua orang di rumah tahu kalau Sean memang paling lama saat bersiap-siap. Dia sangat menjunjung tinggi kualitas segala hal yang dipakai. Mulai dari baju sampai aksesori. Tidak ada yang boleh terlewat dari perhatian. Tidak heran jika banyak orang yang menyukai penampilan Sean. Wajar, bukan? Pria itu mempersiapkan diri dengan baik sebelum keluar rumah. Padahal dia tidak perlu berlebihan begitu. Tanpa persiapan apa pun, Sean tetap memesona. Bahkan jika hanya mengenakan kaos dan jeans.  “Sebenarnya ada apa ini, Ma? Mama sedikit aneh,” ucap Nasha, sang menantu. Mama menyeringai. Dia meletakkan telunjuk di bibir, lalu duduk di samping Nasha. “Kamu ingat apa yang Mama bilang kemarin?” Nasha menatap Mama untuk beberapa saat. Ketika menyadari arah pembicaraan sang mertua, dia tersenyum lebar. Jadi, memang ada udang dibalik batu? Mama memang tidak ada duanya. “Jadi, Mama tetap akan menjalankan misi itu?” “Misi apa? Apa yang sedang Mama rencanakan?” tanya Axel penasaran. Dia memperhatikan Mama dan Nasha bergantian. Mulut Nasha terbuka dan bersiap untuk menjawab, tetapi Mama sudah menyela. “Kamu tidak perlu tahu. Sebaiknya kalian keluar untuk berjalan-jalan. Cuaca sedang bagus.” Mama tersenyum lebar sebelum pergi. “Mama merencanakan apa?” Axel masih ingin tahu. Nasha mengedipkan sebelah mata dan melanjutkan kegiatannya yang tertunda, membaca majalah fashion. Membuat sang suami mendengkus, tetapi dia pura-pura tidak tahu. *** Panti Asuhan Cinta.  Papan nama di pintu masuk panti itu membuat Sean kembali menghela napas. Cinta? Kata itu sudah lama diabaikan olehnya. Sejak mendapat penolakan dan kehilangan jejak Nadia, dia tidak berminat menjalin hubungan dengan siapa pun. Tidak peduli Mama dan semua saudaranya mendesak untuk segera menikah. Umur Sean sudah hampir 32 tahun. Usia yang sangat matang untuk membina rumah tangga. Sean sendiri tidak masalah jika belum menikah sekarang. Lagi pula, Axel menyunting Nasha ketika berusia hampir 36. Siapa yang bisa memaksa ketika jodoh Allah memang belum menyapa. Sean tidak ingin terburu-buru menambatkan hati pada wanita. Dia lebih pemilih setelah dikecewakan. Tidak ada orang yang ingin mengalami rasa sakit yang sama. Begitu juga Sean. Dia tidak mau kembali terperosok dalam cinta bertepuk sebelah tangan. Cukup sekali. “Kamu bantu bawa kotak itu, ya,” kata Mama sambil menunjuk sebuah kardus berukuran sedang. “Isinya buku, jadi agak berat.” “Mama meremehkan kekuatan Sean?” protes Sean ketika melihat nada ragu pada kalimat Mama. “Bukan begitu. Mama tahu kalau kamu sangat kuat.” Mama tertawa di akhir kalimatnya. Dia memperhatikan suasana panti yang terlihat lebih lengang dari biasa. “Kamu jalan terus saja ke situ. Nanti ada perpustakaan di ujung sana. Nah, kasih ke petugasnya.” “Sendiri? Memang Mama mau ke mana?” “Kamu takut?” “Sean cuma bertanya, Ma,” ujar Sean mengelak. Sejujurnya, dia merasakan hawa aneh begitu menginjakkan kaki di panti. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Dia bukan tipe orang yang sulit berinteraksi dengan lingkungan baru. Lalu, apa ini sebuah firasat? Firasat apa? “Kamu pulang duluan saja setelah memberikan buku-buku itu. Mama mungkin agak lama.” Setelah mengangguk, Sean melangkah. Dia berjalan cepat agar bisa segera menyelesaikan perintah Mama. Hatinya mulai diselimuti perasaan aneh lagi. Pria itu bisa merasakan jantungnya berdebar dengan cepat. Mata tajam Sean akhirnya menemukan sebuah tulisan “perpustakaan”. Dengan senyum lebar, dia berniat untuk memasuki tempat itu. Namun, sesuatu menahannya. Dia malah memutar langkah dan mencari sebuah suara yang terdengar begitu lembut. “Waktu pasukan gajah mulai memasuki Kakbah, Kota Mekah menjadi gelap. Banyak sekali burung yang menutupi langit. Mereka membawa batu-batu kecil yang sangat panas. Kemudian, semua batu itu dilemparkan kepada pasukan Raja Abrahah yang sombong.” Mulut Sean terbuka lebar melihat sosok yang sedang bercerita itu. Sungguh! Dia ingin berlari dan memeluknya. Rasa rindu yang telah ditahan sekian lama membuncah. Meski penampilan si pencerita itu berbeda, dia tidak mungkin salah mengenali. Semua hal mengenai wanita itu selalu direkam baik oleh Sean. Wajahnya, matanya, bahkan suaranya. Masih sama persis seperti dulu. Bukan. Sean menyadari kalau sekarang sang gadis menjadi lebih cantik dan anggun dengan jilbab yang menutupi mahkota.  “Terus, pasukan gajahnya kalah, dong?” Pertanyaan dari salah seorang anak mengalihkan perhatian si gadis. Sean mengikuti seluruh gerakan wanita itu.  “Iya, dong. Begitulah Allah menjaga tempat suci kita dari orang-orang yang iri. Jadi, semua yang ada di sini tidak boleh iri. Setuju?” “Setuju!” “Kak Izza, kalau kita haji perginya ke Kakbah, kan?” Izza? Kenapa anak kecil itu memanggil Nadia dengan sebutan “Izza”? Apa Nadia mengganti namanya? Tidak ada kata “Izza” dalam nama Nadia. Apa Nadia sungguh berniat menyembunyikan identitas setelah menghilang. Tunggu dulu. Atau jangan-jangan Nadia hanya nama samaran. Nadia yang dulu dikenal Sean memang sedikit misterius. Dia menyembunyikan banyak hal dari Sean. Bisa saja, namanya juga palsu. Kepala Sean mulai berputar karena memikirkan banyak kemungkinan. Apa benar Nadia tega melakukan hal itu padanya? Mereka sudah lama saling mengenal. Atau hanya Sean yang merasa dekat, sementara Nadia tidak? “Maaf, Mas. Permisi.” Sean mendongak dan mendapati seorang pria tengah menatapnya dengan kening berkerut. Dia yakin mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Namun, mengapa dia merasa kalau pria itu menatapnya dengan ... dengan apa, ya? Sean tidak begitu yakin. “Mas kenal Izza?” tanya si pria pada Sean. “Izza?” ulang Sean linglung. “Itu. Yang lagi cerita sama anak-anak. Dari tadi saya perhatikan Mas lihatin Izza.” “Oh, itu. Sebenarnya ... dia mirip dengan seseorang yang saya kenal. Tapi ternyata bukan.” Penampilan pria di hadapan Sean sangat rapi. Mengenakan kemeja hitam yang dimasukkan ke dalam celana kain senada. Rambut cepaknya juga tampak alami. Tingginya hampir sama dengan Sean.  Tiba-tiba Sean merasa perlu menanyakan sesuatu. “Izza itu ....” “Dia adik saya,” potong si pria cepat. Sean menggumamkan kata “oh” seraya tersenyum, tapi hanya sekilas. Begitu menyadari tatapan menyelidik dari orang yang masih berada di depannya, dia mengangguk sopan. Aneh sekali. Mengapa Sean sangat lega saat mengetahui pria itu adalah saudara Izza. Memangnya apa hubungan Sean dengan wanita itu?  “Oh, maaf. Saya harus mengantar ini ke perpustakaan.”  Pria yang mengaku sebagai kakak Izza mengangguk. Sean kembali melempar senyum sebelum pergi. Benaknya tidak bisa berhenti memikirkan gadis berjilbab. Dia benar-benar dibuat penasaran. Apakah Izza adalah Nadia atau dua orang yang kebetulan memiliki rupa sama? Untuk mendapatkan jawaban paling tepat, hanya satu solusinya.  Bibir Sean terangkat begitu memikirkan ide briliannya. Dia tidak sabar untuk melihat ekspresi si gadis saat mereka bertatap muka.  *** Hampir tiga jam Sean menunggu kemunculan Izza. Wah! Dia tidak menyangka akan seantusias ini untuk menemui seorang wanita. Mengingat hal itu, dia jadi ingin tertawa. Mengapa Izza bisa membuatnya begitu? Benarkah karena wajah semata? Atau ada hal lain yang menarik perhatiannya?  Sean sendiri tidak yakin. Dia hanya menuruti keinginan hati untuk menemui Izza. Setelah mengantar pesanan Mama dengan selamat, dia kembali memperhatikan sosok wanita itu. Beruntung sang kakak tidak terlihat di sekitarnya, jadi Sean bisa melihat Izza dengan leluasa. Meskipun dia tidak berani mendekat, itu tak jadi masalah. Mana mungkin Sean mendadak muncul di hadapan Izza yang sedang bercerita dengan seru bersama anak-anak panti. Kemudian bertanya apakah dia mengenal Sean. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu sebentar. Tiga jam itu tidak lama, bukan? Melihat semua anak sudah mulai meninggalkan Izza, Sean langsung bangkit. Dia tidak mau terlambat dan malah kehilangan jejak wanita itu. Dengan sedikit tergesa, dia menghampiri Izza yang sibuk menumpuk beberapa buku. “Assalamualaikum,” sapa Sean tenang.  “Waalaikumsalam.” Izza menoleh dan melihat siapa yang menyapanya. Cuma satu detik. Karena Izza langsung menunduk kembali. “Mas ada perlu?”  Ada kehangatan yang menyelimuti hati Sean ketika Izza memanggilnya “Mas”. Gadis itu melanjutkan aktivitasnya menyusun buku. Sean berdeham. Dia bingung harus mengatakan apa pada wanita di hadapannya. “Mas ada perlu?” ulang Izza. Dia kembali berdiri di depan Sean, tetapi tidak bermaksud menatap langsung pria itu. “Hai ....” Ucapan Sean terhenti. Sejenak, dia seperti tersihir oleh Izza. “Hai, Cantik,” lanjutnya, lalu memberikan senyuman. Dia bisa melihat Izza melebarkan mata, meski wanita itu tidak sedang menatapnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD