2. Pria Aneh

1413 Words
Izza mundur beberapa langkah. Dia mengerjap berulang kali demi menyadarkan diri. Berharap kalau saat ini dia tengah bermimpi. Mengapa ada pria tak dikenal yang menyapanya dengan sebutan “Cantik”? Apa penampilannya terlalu berlebihan? Rasanya tidak begitu. Hari ini, Izza mengenakan gamis manis berwarna biru. Di pergelangan tangannya yang berkerut terdapat pita putih. Sementara mahkotanya tertutup jilbab segi empat senada. Melihat sikap Izza yang tidak sesuai harapan, Sean berdeham keras. Sepertinya wanita itu bukan Nadia. Mereka hanya kebetulan mirip. Jika memang mereka orang yang sama, tentu Nadia akan terkejut dengan kemunculan. Bukan seperti sikap Izza sekarang. Si gadis memang tampak terkejut, tetapi bukan karena kehadiran Sean. Lebih karena Sean memanggilnya dengan sebutan yang tidak lazim. Sean mengusap wajah kasar. Izza pasti berpikir kalau Sean itu pria aneh. Mereka belum saling kenal dan Sean sudah melontarkan gombalan murahan. Parah kamu, Sean. Bisa-bisanya kamu merayu orang asing dengan trik seperti itu. Apa yang ada dalam pikiranmu saat mengucapkannya? “Sorry. Aku tidak bermaksud lancang. Tadi itu hanya ....” Sean mencoba mencari alasan yang tepat dan tidak membuat Izza tersinggung. Namun, otaknya mendadak kosong. “Mas ada perlu sama saya?” tanya Izza, sengaja menekan setiap katanya agar Sean tahu dia sedikit terganggu dengan pembicaraan mereka.  Sean menekuk bibir menyadari ulahnya telah membuat Izza salah paham. Siapa yang senang digoda oleh orang baru. Apa lagi dia sedang berada di sebuah panti asuhan. Sungguh pilihan tempat yang salah. Namun, dia tidak bisa pergi sekarang. Ada sesuatu yang mencegah kakinya untuk melangkah. Tanpa memedulikan pertanyaan Izza, Sean malah duduk dan memperhatikan wanita itu. Jelas sekali kalau Izza merasa tidak nyaman, tetapi Sean terlanjur penasaran. Tidak ada yang kebetulan di muka bumi ini. Ada alasan di setiap kejadian yang kita alami. Kenapa Tuhan mempertemukan Sean dengan wanita yang memiliki wajah seperti Nadia? Kemudian, pikiran Sean menemukan titik terang. Bukankah Mama yang memaksanya untuk mengantar ke panti? Apa Mama sengaja melakukan hal ini karena tahu tentang masa lalu Sean? Apa tujuan Mama sebenarnya? “Kamu ... bekerja di sini?”  Tangan mungil Izza berhenti melakukan aktivitas. Sepertinya ide untuk mengabaikan Sean bukanlah pilihan tepat. Sekarang pria itu mulai bertanya. Izza menata hati agar tidak terbawa suasana. Dia beristigfar agar mendapat ketenangan. “Tidak. Ini pertama kalinya saya datang ke panti.” Sean manggut-manggut.  Jika Izza baru sekali ini berkunjung, berarti bukan Mama yang sengaja menjebak Sean. Mungkinkah ini sudah ketentuan Sang Pencipta? Sean ingin sekali menghabiskan banyak waktu bersama Izza, tetapi dia cukup sadar dengan sikap tak suka wanita itu. Jadi, sebaiknya dia cepat menghilang atau dia akan kehilangan kesempatan mendekati Izza. “Namaku Sean,” ujar Sean, mengulurkan tangan pada Izza yang tidak kunjung menyambut.  “Apa kita perlu berkenalan?” Pertanyaan Izza bagai pukulan untuk Sean.  Benar. Apa Sean perlu mengenal Izza? Untuk apa? Tidak semestinya dia mendekati Izza hanya karena dia memiliki wajah yang mirip dengan cinta masa lalunya. Akan tetapi, sulit mengendalikan perasaan saat melihat wanita itu. Rasa-rasanya dia tidak rela melepas Izza begitu saja. Bolehkah dia jatuh cinta lagi? Ya, ampun. Baru saja Sean mempertanyakan tentang cinta. Sekarang dia berbicara seolah tidak pernah merasa kecewa dengan satu kata penuh makna itu. Benarkah hatinya terhanyut dalam kubangan tali kasih masa lalu yang belum usai?  “Maaf. Saya harus pergi. Assalamualaikum.” Sean mematung di tempatnya berdiri. Dia bahkan mengabaikan salam Izza. Ketika tersadar Izza sudah menjauh, Sean segera mengejar. Mungkin dia masih bimbang dengan perasaannya, tetapi dia belum mau menyerah. Sedikit lagi Sean sudah bisa mengimbangi langkah Izza. Sayang, sang kakak muncul dan menghentikan langkah Sean. Dia menatap hampa pada kedua kakak beradik yang tengah asyik berbincang itu. Sejenak, dia merasa sangat kesal dengan kemunculan kakak Izza. “Sean, kamu belum pulang?” Lenyap sudah niat Sean untuk mengejar Izza. Mama pasti akan bertanya-tanya tentang wanita itu. Sebaiknya dia tidak menceritakan masalah ini pada Mama.  “Sean.” Panggilan Mama membawa Sean kembali ke alam nyata. “Iya, Ma. Sean ... Mama kenal dengan pria itu?” Sean menunjuk kakak Izza yang sudah menjauh. Sedetik kemudian, dia menyadari tindakannya itu adalah kesalahan besar.  “Mama tidak bisa melihatnya dengan jelas, Sean. Memangnya ada apa dengan pria itu?” Mata Mama jelas menampakkan kecurigaan. Sean berharap semoga Mama tidak mengaitkan pria itu dengan Izza yang berjalan di sampingnya. Namun, dia kurang beruntung. Semestinya dia paham bagaimana kepribadian Mama.  “Kamu tidak ada apa-apa dengan wanita yang bersamanya, kan?” Satu-Kosong. Ternyata insting seorang ibu tidak bisa diperdaya. Sean tidak pernah berhasil menyembunyikan apa pun dari Mama. Kali ini pun tidak. Mama memang tidak pernah memaksa Sean atau anaknya yang lain untuk bercerita. Hal itu membuat mereka lega sekaligus tidak enak hati.  “Tidak, Ma. Sean cuma penasaran pada pria itu,” elak Sean. Dia tidak berbohong. Kakak Izza memang membuatnya penasaran. “Kamu ... tidak berpindah haluan, kan?” tanya Mama pelan. “Pindah haluan bagaimana, Ma? Sean ....” Bola mata Sean nyaris keluar saat mengetahui arah pembicaraan Mama. “Mana mungkin, Ma. Sean masih suka wanita, kok.” “Alhamdulillah kalau begitu. Jangan belok, ya. Nanti kamu bisa diazab kayak kaum Nabi Luth.” “Amit-amit, Ma. Pikiran Mama jelek sekali.” “Makanya cari istri, biar Mama tenang.”  Sean memutar bola. Mengapa topiknya melenceng jauh. Selalu begitu kalau mereka membahas mengenai wanita. Tidak jauh dari kata “Cari jodoh” atau “Kapan nikah?”. Kalau menemukan jodoh bisa semudah itu, Sean juga merasa bahagia. Masalahnya, tanda-tanda kemunculan jodohnya belum terlihat. Dia bisa apa coba? “Ma, jodoh itu sudah diatur, jadi kita tidak boleh memaksakan diri. Kalau waktunya tiba, kami pasti akan bertemu.” “Tapi sebagai manusia kita wajib berusaha. Ingat! Allah menyukai hambanya yang selalu berdoa dan berusaha. Ubah sikap kamu. Tunjukkan kalau kamu pantas diberi jodoh. Bisa jadi, jodoh kamu sedang menantikan perubahan kamu ke arah yang lebih baik.” Kata-kata Mama seperti sebuah tamparan bagi Sean. Dia sadar kalau dia bukan pribadi yang baik. Banyak hal yang harus diperbaiki untuk mendapatkan gadis sebaik Izza. Lho, kenapa dia jadi menghubungkan masalah jodoh dengan Izza?  Tidak bisa dibiarkan. Sean harus segera menenangkan hati dan pikiran agar dia tidak terus memikirkan Izza. Masa lalu benar-benar memengaruhi dirinya. Ini tidak benar. Seandainya menginginkan wanita baru, dia tidak boleh membawa-bawa Nadia. *** “Kamu baik-baik saja?” “Kak Faris lihat laki-laki yang tadi mengikuti aku?” Izza bertanya balik. Faris, sang kakak, yang telah menantikan topik itu mengangguk. “Kamu kenal dia?” “Enggak. Dia itu aneh.” Izza mengingat bagaimana kelakuan Sean tadi. Muncul tak terduga, lalu menyapa dengan sebutan “Cantik”. Mengajak berkenalan dan terus menatapnya seakan Izza makhluk asing yang terdampar di dunia manusia.  “Namanya Sean,” gumam Izza. Meski sikap Sean sedikit konyol, Izza masih ingat betul namanya.  “Kamu bilang apa?”  Izza menggeleng cepat. Dia tidak ingin Faris tahu kalau hatinya berdebar saat Sean menyapa. Bukankah biasanya juga begitu? Izza tidak pernah terlalu dekat dengan pria mana pun. Selain karena dia ingin menjaga diri. Faris juga sangat protektif. Kakaknya itu selalu bertanya jika Izza terlihat dekat dengan seorang pria. Di sisi lain, sikap Faris banyak membantu Izza. Dia tidak perlu repot memberi alasan pada setiap pria yang mendekat. Faris akan mengatakan secara lantang kalau sang adik tidak mau berpacaran dan belum siap untuk menikah. Intinya, Izza belum boleh didekati. Terpaut umur empat tahun dengan Faris membuat Izza merasa memiliki kakak sekaligus pelindung yang bisa diandalkan. Dia bebas menceritakan semua hal kepada Faris dan pria itu akan memberi masukan yang bisa melegakan perasaannya. Meski ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya.... “Izza!” Izza tersentak karena merasakan tepukan di bahunya yang ringkih. “Sakit lho, Kak,” protes Izza. “Habisnya kamu malah melamun,” kata Faris sedikit keras. “Tapi, kamu sebaiknya berhati-hati kalau bertemu dia lagi.” “Kenapa?” “Kakak lihat dia terus perhatiin kamu tadi. Kayaknya dia punya sesuatu yang ... apa, ya? Ini insting seorang Kakak. Kamu turuti saja kata-kata Kakak.” “Iya. Lagi pula dia cuma orang aneh yang tiba-tiba muncul. Kemungkinan kami untuk bertemu sangat kecil.” Faris tersenyum mendengar perkataan Izza. Dia juga berharap begitu. Ada yang lain dari tatapan Sean pada Izza. Faris bisa melihat hal itu. Walaupun tidak ingin menduga-duga, dia tetap harus berjaga-jaga, bukan? Melihat cara Sean saat menatap Izza beberapa waktu lalu, Faris bisa merasakan kalau pria itu bukan tipe penjahat. Sebaliknya, Sean tampak merindukan Izza. Siapa Sean? Entah mengapa Faris takut jika Izza terpesona pada Sean. Sayang, dia tidak bisa mengatakan kekhawatirannya pada Izza. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD