TIGA

1363 Words
Sebenarnya sahabatku tidak hanya Minka saja, ada lagi kedua sahabatku yang belum sempat aku sebutkan dari awal. yaitu, Fizka dan Fahmi. Kami berempat memang sudah bersahabat sejak SMP. Mungkin aku paling kalem tapi kadang juga cerewet dan ceroboh di antara mereka, Fahmi yang tentunya paling ganteng diantara aku, Minka dan Fizka. Minka yang selalu semangat dan paling tepat waktu kalau sedang ada acara, dan Fizka yang paling cantik di antara kami sekaligus paling pintar, dan dialah orang yang paling dewasa. "Ta, Minka dimana sih? Panas banget nih." Ucap Fahmi yang sepertinya sudah mulai kesal, karena sejak tadi. aku, Fahmi dan Fizka mencari keberadaan Minka di area lapangan. Ketika baru saja sampai di lapangan Minka memang langsung menghilang entah kemana, padahal dia datang bersamaku. "Sabar Fahmi, nanti juga ketemu, gak usah heboh." Ucap Fizka berusaha menenangkan Fahmi. "Iya nih, nanti tu anak juga muncul." Tambahku. Suasana di area lapangan memang sangat ramai daripada yang aku bayangkan, sering sekali para suporter berteriak untuk menyemangati jagoannya, tak jarang ada saja yang berteriak kesal dan mencaci maki karena jagoannya gagal memasukan bola ke gawang. Aku sendiri malah memperhatikan Kak Beni, yang sekarang sedang duduk di jajaran kursi kedua bersama teman-teman sekelasnya. Ketika tadi baru saja sampai lapangan, aku dan Minka memang berpisah dengan Kak Beni, dia bergabung dengan teman -temannya di barisan kursi kedua sedangkan aku dan Minka ke barisan paling belakang untuk bergabung dengan Fizka dan Fahmi. Jika seandainya aku memiliki keberanian lebih, mungkin saat ini aku sudah berjalan untuk menghampiri Kak Beni, tapi karena keberanianku tidak ada lebihnya. Jadi. Aku lebih memilih diam di tempat dan hanya memperhatikannya dari jauh. Lagipula tadi saat perjalanan menunu lapangan aku sudah bertemu dengannya, itu sudah lebih dari cukup untukku. "Lagi liatin apa Ta?" Tanya Fizka kemudian memecah lamunanku. Aku segera mengumpulkan kesadaranku dan menoleh ke arah Fizka "Enggak kok." Jawabku sambil tersenyum Fahmi berdiri di sampingku "Lagi liatin kak Beni." Tambahnya sambil tersenyum jahil menatapku, seolah Fahmi tahu betul kalau saat ini aku sedang menatap Kak Beni. Fizka yang berada di sampingku ikut-ikut-tan tersenyum jahil "Gak salah Ditta suka sama kak Beni, orang kak Beni itu beda sama yang lain." Ucap Fizka. Aku tersenyum sambil masih menatap Kak Beni dari kejauhan "Ya gitu deh." "Maksud lo, Kak Beni kayak batman, beda sama yang lain?" Ucap Fahmi pada Fizka. "Ih Fahmi, nggak peka." Ucap Fizka sambil menatap sinis ke Arah Fahmi. "Harus di ajarin nih Fiz, biar si Fahmi peka." Ucapku sambil terkekeh. "Hei, kalian dari mana aja?" Tiba-tiba yang dicari-cari akhirnya datang juga, siapa lagi kalau bukan Minka. Kami bertiga bersamaan menoleh ke arah Minka. "Dari tadi kita nyariin kamu." Ucap Fizka. "Iya, susah banget dicarinya." Tambah Fahmi. "Dari mana aja sih Minka? Tiba-tiba ngilang gitu aja" Tanyaku. "Gue dari toilet, soalnya kebelet banget." "Huh, pantesan." Tambah Fizka. Kemudian kami berempat kembali fokus melihat pertandingan, namun aku tidak sedang melihat pertandingan sebenarnya, tetapi melihat Kak Beni yang jauh lebih menarik daripada pertandingan bola di lapangan, menatap punggungnya saja sudah membuat dadaku berdebar dan sesekali tersenyum seperti orang stress, tapi sebenarnya lebih ke kondisi seseorang yang sedang di mabuk cinta. "Guys, gimana kalo kita ke kantin aja, perut aku sudah minta diisi nih." Ucapku sejurus kemudian, memberi saran setelah sekian lama duduk di kursi penonton melihat setiap tim yang bertanding, lagipula. Ku lihat Kak Beni sudah pergi dari 5 menit yang lalu dan tidak ada yang menarik lagi bagiku setelah Kak Beni pergi. Fizka mengangguk setuju, Fahmi pun ikut-ikutan mengangguk setuju. "Lets go!" Ucap Minka. Akhirnya kami berempat bertolak menuju Kantin. *** Arloji di tanganku sudah menunjukan pukul 3 lewat 14 menit, Saat ini aku sedang berada di dalam pos satpam untuk berteduh dan menunggu hujan reda, akhir-akhir ini memang sering sekali turun hujan. Sekalipun tidak turun hujan, langit selalu mendung. Aku semakin merapatkan jaket di tubuhku, rasanya dingin sekali, sepatuku sudah terlanjur basah sebagian karena berlari dari gedung sekolah menuju pos satpam. Sampai tiba-tiba aku mendengar seseorang berlari dan tak lama mendapati sosok Kak Beni yang juga ikut berteduh di pos satpam. Aku mundur beberapa langkah ke belakang kemudian Kak Beni menoleh dan mendapatiku sedang menatapnya "Ditta?" Aku tersenyum kikuk "Kakak belum pulang ternyata." Ucapku sejurus kemudian. "Saya tadi rapat osis dulu dan sekarang mau pulang. Eh, malah hujan." Melihatnya disini, aku teringat sesuatu, kemejanya. Aku melepaskan tas dan mengambil sesuatu di dalam, yaitu kemeja nya Kak Beni yang sudah aku cuci dan dibungkus rapi dengan paper bag berwarna biru muda. "Ini, Kak. Makasih kemejanya." Ucapku seraya menyerahkan bungkusan paper bag itu ke arah Kak Beni. "Oh iya, sama-sama, Ta." Kak Beni mengambil bungkusan itu dari tanganku seraya tersenyum. Kali ini, senyumannya lebih lebar dan tidak setipis kemarin. Aku tidak tahu apakah semesta sedang baik padaku atau ini hanya sebuah kebetulan. Kemarin aku bertemu dengan Kak Beni, dan hari ini aku terus dipertemukan dengannya. Tidak usah tanya apakah aku senang atau tidak. Karena rasa senangnya lebih dari apapun. "Kakak emang nggak bawa motor?" Tanyaku sejurus kemudian. "Bawa, tapi sekarang ada di parkiran." "Oh iya." Setelahnya, kami saling diam. Memperhatikan hujan yang turun semakin deras, udara juga semakin dingin. Berdua dengan Kak Beni seperti saat ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa, rasanya senang, tapi tidak mampu membuka topik pembicaraan. Lalu, setelah cukup lama saling diam, suara Kak Beni memecah keheningan yang sejak tadi mengendap di udara "Kamu pulang pake apa, Ta?" "Palingan naik bis, Kak." "Rumah kita searah, kan?" Aku mengangguk "Pulang bareng saya aja sekalian, saya bawa mantel dua kok." Debaran jantungku kembali menjadi-jadi, ini beneran? Kak Beni mengajakku pulang bareng? Serius? Aku mencubit tanganku dan rasanya sakit. Itu artinya, aku tidak sedang berada di dalam mimpi, ini nyata. "Gimana? Kalau mau, kita pulang sekarang aja soalnya hujan kaya gini tuh awet." Lamunanku langsung buyar tak tersisa "Hah? Iya, Kak. Mau." Ucapku gugup. "Oke." Saat Kak Beni hendak melangkah pergi, tanganku refleks saja menahan tas nya dan membuat Kak Beni berhenti mendadak dan menoleh ke arahku "Kenapa, Ta?" Aku membuka jaket yang aku kenakan dan memberikannya kepada Kak Beni "Ini Kak, buat jadi payung dadakan supaya bajunya nggak terlalu basah kuyup." Sebenarnya kalimat yang baru saja aku katakan itu spontan dan tidak aku rencanakan sebelumnya. Kak Beni saat itu tersenyum "Nggak papa, Ta. Aku nggak perlu, kamu pake aja, lagipula parkirannya nggak terlalu jauh kok." Aku menurunkan kembali tanganku "Oh iya, Kak." Sepeninggal Kak Beni, dadaku semakin berdebar saja, aku menggigit bibir bawahku. Kenapa harus so perhatian gitu sih Ditta? Nanti yang ada cowok cuek kayak Kak Beni ilfeel sama lo lagi, aku menggerutu dalam hati. Aku menyesali kalimat yang aku ucapkan tadi, yang ada Kak Beni bisa menebak kalau aku naksir dia. Ah, ya ampun. Aku mengambil ponsel dan berkaca di layarnya. Oh tuhan! Ini seperti bukan aku. Rambut yang acak-acakkan dan wajah berminyak. Aku menghembuskan nafas berat, "Kak Beni ilfeel nggak ya sama muka gue?" Aku bergumam sendiri sesekali merutuki diri sendiri. Sejurus kemudian, Kak Beni kembali dengan motornya, tubuhnya sudah dibalut mantel tebal dan helm yang terpasang di kepalanya. Lalu Kak Beni memberikanku mantel berwarna pink. Bagaimana Kak Beni bisa bawa mantel pink ini, apa ini khusus dia siapkan buat pacarnya? Aku bertanya dalam hati seraya memakai mantelnya. Pikiranku sudah berkelana kemana-mana dan menciptakan persepsi tak terbukti, membuatku takut saja jika Kak Beni ternyata memiliki pacar. "Itu mantel adik saya, tadi pagi kebetulan berangkat sekolah bareng." Ujar Kak Beni tiba-tiba, seolah sengaja mematahkan persepsi yang aku pikirkan tadi. Aku mendongak menatap Kak Beni. Dan aku patut bernafas lega, ternyata sangkaanku salah, syukurlah. "Adik Kakak? Dia SMA juga?" Tanyaku, "Bukan, masih SMP kelas 2." "Oh." Ketika sudah naik dan siap untuk melaju "Ta, pegangan aja ya kalau takut, soalnya hujannya lumayan deras." Ucap Kak Beni. Sebagai jawabannya akupun menganggukan kepala. Tanganku bergerak sedikit ragu-ragu, tapi pada akhirnya berhasil berpegangan ke pinggang Kak Beni. Tentu saja rasanya campur aduk, ditambah dadaku berdebar hebat lagi. Melihat sikapnya padaku tadi, aku rasa Kak Beni tidak secuek dan sedingin biasanya, dia juga beberapa kali tersenyum padaku dan bahkan dia mengajakku untuk pulang bareng, aku tidak tahu, apakah Kak Beni cuma bersimpati saja padaku atau aku yang terlalu geer dan menyangka kalau sikapnya itu menggambarkan bahwa dia juga menyukaiku, entahlah. Tetapi kejadian hari ini tidak akan pernah aku lupakan, selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD