DUA

1378 Words
Motor berhenti tepat di depan sebuah toko buku, Kak Beni langsung melepas helm yang dikenakannya, begitupun denganku, aku menepi di teras toko buku itu, tetapi sebelum Kak Beni benar-benar masuk ke toko buku, dia menghampiriku terlebih dahulu. "Mau ikut masuk Ta?" Ucapnya. "Umm, boleh deh, Kak." Jawabku. "Oke, takutnya kamu mau beli sesuatu." Ucap Kak Beni. Tadinya aku tak ingin masuk ke toko buku itu, tapi sepertinya menarik juga, aku bisa lebih dekat dengan Kak Beni dan melihat apa yang ingin Kak Beni beli. Jadi, aku memutuskan untuk ikut Kak Beni masuk. Saat masuk ke dalam toko buku, aku dan Kak Beni berjalan bersisian, saat itu aku merasa sangat gugup tapi juga bahagia bisa jalan berdua dengan Kak Beni, seperti mimpi tapi ini nyata. Saat berada di dalam, Kak Beni pergi ke rak khusus alat alat lukis. Seperti, kanvas, kuas, dan berbagai macam jenis cat lukis. Sedangkan aku, berjalan menuju rak khusus buku-buku novel. Alhasil, aku memilih-milih novel, dan sesekali membaca blurb-nya yang terdapat di belakang buku. Ketika sedang asyik melihat beberapa buku, aku dikejutkan dengan kehadiran Kak Beni yang tiba-tiba "Cari buku apa, Ta?" Aku menoleh kearahnya dan saat itu, tatapan mata Kak Beni sedang tertuju padaku, membuat kedua pipiku rasanya menghangat. "Hah? Nggak, Kak. Ini cuma liat-liat aja." Jawabku cepat. Kak Beni mangut-mangut dan kembali berlalu. Selanjutnya, aku memperhatikannya dari sela-sela rak buku dan kemudian kembali memilih-milih novel, sampai akhirnya pilihanku jatuh pada novel Pride and Prejudice yang ditulis oleh Jane Austen, blurb dan covernya menarik perhatianku. Aku mengambil novel itu dan membawanya ke meja kasir. Sudah jadi kebiasaanku kalau berada di toko buku, pasti membeli novel. Tapi, novel yang kali ini aku beli sangat berbeda, novel ini akan menjadi sejarah ketika akan dan Kak Beni untuk pertama kalinya jalan berdua seperti saat ini meskipun tidak direncanakan sebelumnya. "Mbak, saya ambil ini satu." Ucapku pada kasir, sambil menyerahkan sejumlah uang. Kasir Wanita itu tersenyum ramah, lalu membungkus novel yang akan kubeli, lebih tepatnya sudah kubeli sekarang. "Terima kasih." Ucapku. Kasir wanita itu mengangguk sambil tersenyum simpul "Sama-sama, terima kasih kembali." Lantas melihat Kak Beni, yang kini juga hendak membayar barang beliannya. kanvas, kuas, palet dan cat minyak. Itulah yang Kak Beni beli. "Kak, aku tunggu di luar ya." Ucapku kemudian. Kak Beni mengangguk. Hujan kembali turun, saat aku sampai di teras toko, tak lama Kak Beni keluar dan segera menghampiriku, ku lihat matanya yang kini tertuju pada rintik hujan, teduh, sendu, aku tak bisa bayangkan bagaimana mata itu bisa dengan hangat menatap rintik hujan dan aku ingin kak Beni tahu, kalau gadis yang kini berada di sampingnya, gadis yang selalu luput dari perhatiannya itu, ternyata diam-diam menyimpan perasaan padanya dan telah mengharapkan momen ini sejak dulu. "Hujan ya, Ta. nanti kalau memaksakan pergi kita akan kehujanan." Ucapnya. Aku mengangguk, "Kayaknya kita nunggu hujannya agak reda deh, Kak." Ku lihat kak Beni menggosok-gosokan kedua telapak tangannya lalu meniupnya pelan, aku menatapnya terpana, sedikit tersenyum, kemudian terpaksa ku sudahi karena Kak Beni tiba-tiba menoleh ke arahku "Dingin ya, Ta?" "Hah? Iya Kak." Tiba-tiba Kak Beni melepas kemejanya dan tanpa kusangka memberikannya padaku "Pake ini, Ta." Ucapnya singkat sambil memberikan jaket itu padaku "Nggak papa, Kak. Kakak lebij butuh kemejanya karena cuma pake kaos." Kak Beni meraih tangaku dan memberikan kemejanya "Pake aja." Mau tidak mau akhirnya aku memakai kemejanya Kak Beni, aroma parfume nya sangat khas, mungkin setelah ini aku akan mengingat aroma ini. Mataku melirik Kak Beni yang kini menyilangkan tangannya di depan d**a. Sepertinya dia juga merasa sangat kedinginan, apalagi setelah memberikan kemejanya padaku, Kak Beni cuma pakai kaos yang tidak terlalu tebal Aku memeluk tubuhku sendiri, merasakan dadaku berdegup kencang, dan pipiku yang mulai menghangat, rasanya hatiku memang sudah jatuh sejatuh jatuhnya kepada Kak Beni, tiap kali melirik wajahnya dari samping membuat debaran ini semakin hebat. *** "Ta, jangan di kelas mulu dong, di luar lagi rame." Ucap Minka. Aku cuma menoleh malas, lalu kembali membaca komik yang kini berada di tanganku, di luar memang sedang ramai, kebetulan, hari ini ada acara lomba futsal antar kelas. Aku memang satu-satunya orang yang mungkin lebih memilih berdiam diri di kelas ketimbang nonton dan bersorak ria mendukung team kelas. Dan, Sahabatku Ini, Minka. Dia tipe orang yang paling semangat kalau ada acara-acara lomba. Katanya sih, karena pada saat lomba tidak ada guru yang masuk untuk mengajar. Aku mengerti, bahwa hal itu memang selalu membuat para siswa siswi merasa terbebas dari rutinitas belajar. "Kamu aja deh, aku lagi mager dan nggak mood, lagipula berisik." Ucapku pada Minka. "Masa gue sendirian, Ta. kan malu." "Kalau lo malu, ya udah gak usah nonton, diem aja di kelas." "Ditta, nanti gue nggak bisa cuci mata dong kalo diem di kelas terus." Ucap Minka, dengan wajah yang ditekuk. Aku cuma menanggapinya dengan tersenyum "Jangan cemberut, cepat tua lho." Ejek ku sambil terkekeh. "Eh Ta, liat deh, Kak Beni." Ucap Minka, mendengar nama Kak Beni disebut, aku langsung mengikuti arah pandang Minka, dan Benar. Itu Kak Beni, dia sedang berjalan sendirian, memakai jaket jins dan cara berjalannya yang selalu tegak maksimal. "Gimana? Mau diem di kelas atau ikut gue ke lapangan?" Minka berkacak pinggang dan menyipitkan matanya ke arahku "Emang yang lain pada kemana? Fizka? Fahmi?" "Mereka udah di sana, ayo! Lo yakin nggak mau liat Kak Beni?" Kalau soal Kak Beni, aku tidak mau menyia-nyiakannya sedikitpun, termasuk hari ini. Akhir nya aku menyetujui untuk ikut Minka ke lapangan meskipun memang agak malas tapi demi melihat Kak Beni semangatku kembali membara. Jatuh cinta kadang menuntut kita untuk melakukan hal-hal diluar kendali kita, tetapi demi orang yang kita suka, kita rela melakukan apapun demi mencuri hatinya. "Tapi, gimana kalo ternyata Kak Beni nggak ke lapangan?" Sebelum benar-benar keluar dari kelas aku berhenti sejenak di depan ambang pintu, Minka juha ikut-ikutan menghentikkan langkahnya, dia berdecak "Udah, ikut kelapangan aja, gue yakin Kak Beni ada disana." Minka langsung menarik tanganku. Ketika berjalan melewati perpustakaan, aku dan Minka tak sengaja berpapasan dengan Kak Beni. Kalau saja aku berjalan sendirian saat ini, mungkin aku sudah memutuskan untuk putar balik tapi saat ini aku bersama Minka. Itu artinya dia akan sengaja menyapa Kak Beni "Halo, Kak!" Seru Minka dengan tangan yang masih menggenggam tanganku paksa, memaksaku untuk lebih dekat dengan posisi Kak Beni sampai kami berjalan sejajar sekarang. Kak Beni menoleh, dan matanya langsung tertuju padaku, karena salah tingkah aku langsung mengalihkan tatapanku ke arah lain "Kakak mau kemana?" Tanya Minka kemudian "Em, saya lagi mau ke lapangan, liat futsal." Jawabnya, sesekali tatapan matanya kembali tertuju padaku, ah. Membuat perutku rasanya di gelitik, jantungku berdebar dan membuat tanganku panas dingin rasanya. "Aduh, pas bangat ya, Ta. Kita juga mau ke lapangan liat futsal." Minka melirikku lalu menyenggol tanganku pelan, "ha? Hehe iya, Kak." Ucapku agak kaku dan gugup tentunya. "Kakak sendirian aja?" Minka bertanya lagi "Iya." Lalu Minka menatap ke arahku "Eh, Ta. Gimana kemarin? Kalian nggak kehujanan Kan? Soalnya kan hujan lagi tuh." Aku menelan ludah susah payah. s**l, kenapa Minka harus bertanya itu sekarang "Nggak, kok. Kita neduh dulu." Kak Beni menimpali, aku beralih menatapnya dan lagi-lagi matanya sedang tertuju padaku. Mengingat kemarin sore, rasanya ingin kembali mengulang waktu. Terjebak hujan dengan Kak Beni, sore itu memang hujan kembali turun dan terpaksa harus meneduh terlebih dahulu di depan toko buku. Aku ingat betul ketika Kak Beni meminjamkan kemejanya untukku, kemeja moka yang rasanya ingin aku miliki untuk di pajang di dinding kamar supaya bisa memandangnya setiap hari dan membayangkan kejadian sore itu di depan toko buku. "Um, kemejanya aku bawa, Kak. Tapi dalem tas nanti aku kasih Kakak." Ucapku sejurus kemudian, Kak Beni mengangguk "Iya, nggak papa kok." Minta menatapku dan Kak Beni secara bergantian "Kalian ngapain aja kemarin sore?" Dengan raut wajah penuh selidik, lalu aku menyenggol tangannya pelan sebelum akhirnya Kak Beni kembali bicara "Kemarin saya pinjemin Ditta kemeja karena kedinginann." Mendengar ucapan Kak Beni, Minka langsung melirikku dan tersenyum jahil lalu dia berbisik, aku kira bisikannya itu bisa terdengar Kak Beni "Ciee." "Apaan si." Bisikku sedikit kesal. Sekali lagi, aku melirik Kak Beni. Dia menatap lurus ke depan sekarang, aku sedikit tersenyum menatapnya. Andai mencuri hatinya semudah ketika aku jatuh cinta dengannya, mungkin hari ini aku tidak menjadi orang lain baginya tapi menjadi bagian dari hidupnya. Contohnya, menjadi pacarnya. Tetapi mencuri hatinya adalah prihal yang sulit, dan aku harus berusaha lebih keras lagi sekarang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD