Pagi yang sial

1438 Words
Revita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Kedua matanya menerawang jauh menatap langit kamar yang bercat putih. Tiba-tiba saja pikirannya terarah pada kejadian di parkiran sekolah tadi. Revita menarik napas dan mengembuskannya berulang kali. Dia menatap kedua tangannya dengan penuh tanya. Mengapa dirinya hingga kini masih setakut itu bertemu dengan laki-laki? Bahkan tubuhnya masih bergetar dan berkeringat hingga rumah. Sepasang matanya pun terasa panas dan nyaris menangis. Revita meraih ponselnya yang tak jauh dari sana. Jemarinya bergerak di atas layar untuk mencari deretan musik yang dapat mengalihkan semua pikirannya. Ia menekan tombol play dan ponselnya mulai mengalunkan sebuah lagu kesukaannya. Sepasang mata Revita mulai terpejam, terbawa alunan lagu yang membuat dirinya sedikit lebih tenang. Dan tanpa Revita sadari, ia akhirnya terlelap dengan sendirinya. ••• Pagi harinya, Revita telah siap berangkat ke sekolah. Gadis itu melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata. Semilir angin pagi membelai wajahnya yang tak tertutupi kaca helm. Di sepanjang perjalanan, anak itu terus bersenandung, menyanyikan lagu apa saja yang berada di dalam kepalanya. Namun pada pertengahan jalan, motor Revita tiba-tiba oleng, nyaris membuat dirinya jatuh mencium aspal. Untung saja kedua kakinya dengan sigap menahan motornya. Revita pun terpaksa turun untuk melihat apa yang terjadi pada motor itu. "Astaga! kenapa harus sekarang?" Revita berdecak kesal kala melihat ban belakangnya bocor dan ada satu paku berkarat yang menancap di sana. Jarak tempatnya ke sekolah pun masih sangat jauh. Revita langsung melepaskan helm di kepalanya, dan ia kaitkan di kaca spion. Mau tidak mau, pagi ini Revita harus menuntun motornya untuk mencari tempat tambal ban terdekat. Namun nyatanya, sudah lebih dari sepuluh menit Revita berjalan, ia sama sekali tidak menemukan tempat tambal ban. Revita berkali-kali menyeka keringatnya yang mulai membanjir pada area wajahnya yang memerah. Napas Revita pun mulai sedikit tersenggal karena beban mendorong motornya yang lumayan berat. Anak itu sedikit beruntung karena cuaca pagi belum begitu panas. Namun tenggorokannya sudah terasa sangat kering. Gadis itu mulai mengeluh di setiap langkahnya. "Perlu bantuan?" Revita tersentak bukan main mendengar suara berat yang tiba-tiba berada di dekatnya. Revita pun tanpa sadar melepaskan cengkeraman tangannya pada stang motor. Sehingga motornya kini ambruk begitu saja. "Astaga!" Orang yang menawari bantuan itu terkejut bukan main. Melepas helmnya, lantas berlari cepat menolong motor Revita. Setelah mengambil alih motor Revita, Orang itu menatap Revita dengan kening yang mengerut dalam. Sepertinya sedang mengingat-ingat sesuatu. "Lo ... cewek yang ketemu gue di parkiran kemarin, kan?" tanyanya pada Revita untuk meyakinkan ingatannya. Revita sedikit mendongak, lalu kembali menunduk setelah mengetahui rupa orang di hadapannya. "Iy-iya, Kak!" jawab Revita takut. Orang itu menaikkan satu alis tebalnya lalu berkata, "Lo kenapa takut gitu sih lihat gua? Gua cowok ganteng dan baik hati loh," lanjutnya penuh percaya diri. Di bawah kepala yang tertunduk dalam, wajah Revita kini seperti seorang mayat hidup. Lebih tepatnya pucat pasi. Kedua tangannya terus meremas sisi rok seragamnya hingga lecek. "Woy!" Cowok itu menjentikkan jarinya di depan kepala Revita. Revita kembali terperanjat. Dengan seribu keberanian, Revita akhirnya mendongak untuk menatap cowok yang menjulang di hadapannya. Sepoian angin kecil membuat rambut serta ujung pakaian Revita menari terbawa gerakan angin. "Wajah gue kayak setan, ya? Kok lo takut amat liat gue?" Revita menelan salivanya dengan susah payah. Kemudian kepalanya menggeleng cepat sebagai jawaban. Jantung Revita mulai berdetak kencang, sampai-sampai Revita bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Mau gue bantuin, gak? Gue lihat lo tuntun motor kayak tuntun gajah. Bisa sampai besok lo ke sekolah." "Terus, motor lo gimana?" tanya Revita pada akhirnya. Walaupun Revita mati-matian memberanikan bersuara. Cowok itu lantas mengarahkan pandang pada motor hitamnya. Telinganya sedikit terasa geli mendengar suara Revita yang bergetar seperti seekor anak burung yang baru menetas. Lalu ia kembali mengarahkan pandang ke pada gadis di hadapannya yang terlihat gusar dan bergerak tak tenang. "Gampang, motor gue tinggal di sini aja. Udah gue kunci setir kok. Lagian tempat tambal ban udah deket," lanjutnya. Revita kembali terdiam. Ia sangat bingung mencari jawaban apa untuk menyahutinya. Sebenarnya ia memang sangat membutuhkan bantuan untuk membawa motornya ke tempat tambal ban. Dan cowok itu adalah keberuntungan yang luar biasa. "Gimana?" tanyanya lagi yang terdengar tidak sabaran. "Iya, boleh, Kak. Aku bantu dorong dari belakang," jawab Revita sedikit tergagap. Di sepanjang jalan, keduanya sama-sama memilih bungkam. Benar kata cowok itu, tempat tambal ban yang Revita nanti-nanti tak jauh dari sana. Sehingga Revita dapat bernapas lega. Tubuh Revita kian menegang kala dirinya harus duduk bersebelahan dengan orang yang telah membantunya. Sekujur tubuhnya mulai basah akibat keringat dingin yang terus keluar deras. Untuk beberapa waktu, mereka berdua sama-sama membisu. Hingga pada akhirnya, cowok itu membuka topik pembicaraan. "Em..., lo kelas dua belas, ya? Bet seragam lo warna merah tuh." Revita terhenyak akan pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu. Ia akhirnya menoleh, namun tidak menatap orang di sebelahnya, melainkan menatap motornya yang sedang diperbaiki. "Iya," jawab Revita seraya mengangguk. "Sama dong! Gue juga kelas dua belas. Terus, kenapa lo panggil gue, Kak?" tanyanya lagi. "Emm, biar sopan," jawab Revita lantas menggigit bibir bawahnya. "Haha, gitu ya?" Cowok itu terkekeh, kemudian ikut menatap motor Revita. Entah sudah berapa lama mereka bersama, Revita tiba-tiba saja penasaran dengan nama cowok yang sudah menolongnya dua kali. Sudut mata Revita mulai melirik nametag cowok itu dan berusaha mengeja namanya. "Tinggal tanya aja, gak usah malu." Detik itu juga Revita seperti kepergok maling. kedua matanya langsung membulat dengan mulut yang megap-megap. Rasa sesak dan malu luar biasa langsung menyerangnya, membuat Revita ingin lenyap saat itu juga. Kedua tangan Revita mengepal erat saat jantungnya berdetak sangat kencang. Cowok itu seketika terbahak melihat kepanikan dan kegugupan yang tertera jelas pada wajah Revita yang pucat pasi. Anak itu sedikit mengubah posisinya menjadi serong agar bisa melihat Revita sepenuhnya. "Kenalin, nama gue Elvano. Panggil aja Vano." Orang yang mengenalkan diri sebagai Vano itu langsung mengulurkan tangan kanannya. Revita sedikit ragu menerima uluran tangan itu. Bibir Revita mendadak kering, wajahnya basah, serta kedua tangannya gemetar hebat membuat Vano menahan tawanya. "Revita," ucap Revita mengenalkan diri dan segera menarik tangannya kembali. "Lo beneran gak tahu gue, apa pura-pura gak tahu?" Kepala Revita mendongak sebentar, melihat Vano yang menatapnya sedikit tidak percaya. "Enggak tahu." Jujur Revita dengan menggelengkan kepalanya. Sedangkan Vano langsung tercengang mendengar pengakuan itu. "Serius? Lo gak pernah liat gue di sekolah gitu?" Vano kaget mendengarnya. Dan lagi-lagi Revita hanya menggeleng sebagai jawabannya. "Dek, motornya sudah selesai," kata seseorang yang telah memperbaiki motor Revita. Revita langsung mengembuskan napas lega karena menunggu tidak terlalu lama. Revita pun bangkit untuk membayar biaya motornya. Diikuti Vano yang tengah berdiri di sebelahnya. Revita mengeluarkan kunci motornya dan menyodorkan ke arah Vano. Sementara Vano melirik kunci yang berada di tangan Revita dengan bingung. "Kita ambil motor lo, lo yang bonceng tapi," kata Revita menjawab kebingungan Vano dengan pelan dan terbata. "Ahh, iya!" Vano menepuk jidatnya. Karena sejujurnya, dirinya lupa telah meninggalkan motornya begitu saja di pinggir jalan. Setelah mengambil motor Vano, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Motor mereka berhenti mulus di depan gerbang sekolah yang telah tertutup. Vano turun dari motornya terlebih dahulu, diikuti Revita yang berjalan di belakangnya. "Maaf, Pak. Kami berdua telat. Tadi ban motor cewek ini bocor di tengah jalan, dan kebetulan ada saya, jadi saya tolongin," jelas Vano pada Pak Narko, salah satu satpam penjaga gerbang sekolahnya. Mata Pak Narko memicing ke arah Revita. Kemudian beliau mengangguk dan membiarkan mereka berdua untuk masuk. Sebelumnya Pak Narko mengarahkan mereka untuk menulis pada buku siswa yang terlambat beserta alasannya. Pak Narko dengan mudah membolehkan mereka untuk masuk, karena melihat wajah Revita yang merah dan lelah, serta keringat yang tampak jelas membasahi wajah dan rambutnya yang sedikit berantakan. "Terima kasih, Pak," ucap Revita dan Vano secara bersamaan. Vano dan Revita kini berjalan beriringan di sepanjang koridor yang sepi. Hingga pada Akhirnya Revita memberanikan diri untuk mendongak dan menatap Vano dengan sedikit tersenyum. "Makasih ya, Van. Udah nolongin gue dua kali. Kini Vano yang sedikit terkejut dibuatnya. Kepalanya menunduk untuk melihat Revita yang tingginya hanya sebatas dadanya. Vano tersenyum dan mengangkat jempol jari kanannya sejajar dengan wajah Revita. "Dan gue minta maaf udah buat lo telat hari ini," kata Revita lagi dengan sangat merasa bersalah. "Haha, santai aja kali. Gua mah bebas keluar masuk kelas." Revita sedikit mengerutkan dahinya, namun kepalanya justru menangguk dan tersenyum. "Sekali lagi makasih ya, Van. Kalau gitu gue duluan," ujar Revita dan mendapat anggukan dari Vano. Revita memisahkan diri untuk masuk ke dalam kelasnya. Sedangkan Vano berbelok pada ujung lorong. Tujuannya kini adalah Kantin. Karena perutnya mendadak terasa lapar. Vano menempatkan diri pada bangku kantin yang kosong. Entah mengapa, tiba-tiba sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, kala mengingat kepanikan dan ketakutan dari Revita saat menatapnya tadi. "Ada-ada aja," gumam Vano dengan menggelengkan kepala kecil, lantas mulai menyantap nasi soto di hadapannya. °°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD