VII

1980 Words
Hari-hari Davina sebelum harus ke mansion dan resmi memulai karantina untuk The Pose diisi dengan mendatangi beberapa tempat wisata. Meski seorang diri, Davina justru merasa bebas untuk menjelajah beberapa sudut kota Milan dan juga menikmati berbagai makanan Italia di negaranya langsung. Dia pun meminta rekomendasi dari staf hotel tentang tempat-tempat yang jauh dari hiruk-pikuk turis, dan lebih ingin mendatangi tempat-tempat makan di mana orang yang tinggal di Milan pergi. Sekalipun tidak bisa bicara bahasa Italia, atas bantuan Leonardo dan Andrea, dia bisa mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Italia, terutama yang menurutnya penting untuk diketahui. Selain itu, Randall pun ternyata sudah merencanakan agar Davina bertemu beberapa desainer lokal Milan untuk fitting dan demi menambah koleksi baju yang akan dibawanya ke mansion. Walau merasa baju yang dibawanya sudah sangat banyak, Davina tidak berani menolak karena bagaimana pun juga, Randall jauh lebih tahu tentang industri ini dibandingkan dengannya. Lagipula, dia tidak perlu mengeluarkan sepeser uang pun untuk memiliki baju-baju tersebut. Sekalipun rasa rindunya akan rumah belum begitu menggebu-gebu, Davina memutuskan untuk mengabari mamanya setiap hari. Setidaknya hingga nanti jika dia tidak bisa lagi menghubungi mamanya begitu kompetisi dimulai. Dia bahkan sempat bicara dengan Putra dan menunjukkan kepada adiknya kamarnya di hotel dan mengiriminya video di sekitar katedral Milan yang tersohor itu. Antusiasme Putra tidak pernah gagal menerbitkan senyum di wajah Davina. Berada di Milan selama beberapa hari pun menimbulkan sebuah perasaan baru yang sebelumnya tidak pernah menghinggapi Davina. Ada kebebasan yang tidak didapatkannya ketika masih di Jakarta. Sekalipun tahu dia ada di sini untuk sesuatu yang jauh lebih penting dari apa pun yang pernah dilakukannya, tetapi tidak adanya tempat permanen di kota ini dan tidak adanya orang yang dia kenal, membuat Davina merasa tidak terikat oleh apa atau siapa pun. Karena Milan adalah kota Italia pertama yang dia kunjungi, Davina tidak tahu seperti apa kota-kota Italia lainnya. Dia merasa Milan hampir sesibuk Jakarta. Perbedaan mencolok selain dari arsitektur dan fasilitas umum, adalah atmosfernya, dan tidak sesaknya jalanan oleh kendaraan pribadi. Davina masih bisa berjalan kaki dengan santai karena trotoar untuk pejalan kaki memang jauh lebih nyaman dibanding di Jakarta. Selain itu, mata Davina pun setiap hari disuguhi pemandangan pria-pria berwajah rupawan. Dia semakin yakin bahwa ketika Italia diciptakan beserta penghuninya, Tuhan sedang bermurah hati. Dia sempat tidak percaya ketika model-model lain bercerita bahwa sopir bus atau penjaga toko pun bisa jadi model atau artis di Indonesia. Karena saat itu dia belum melihat dengan mata kepalanya sendiri, Davina hanya menanggapinya dengan anggukan. Namun setelah berada di sini dan melihatnya langsung, ungkapan itu memang benar adanya. Bahkan hampir setiap malam ketika dirinya makan malam di salah satu restoran, dipastikan hampir semua pramusaji laki-lakinya pasti menarik. Seperti mereka baru saja selesai melakukan pemotretan dengan majalah pria. Selain itu, telinga Davina juga dimanjakan dengan bahasa Italia yang terdengar begitu merdu di telinganya. Sekalipun bukan pertama kali dia mendengar langsung bahasa itu digunakan, berada di negara tempat bahasa itu menjadi bahasa ibu tetaplah berbeda. Ada sesuatu yang membius mendengar pria-pria bicara bahasa Italia. Jika bukan karena sudah berkarir di dunia model selama beberapa tahun, Davina yakin bahwa dia pasti akan dengan mudah jatuh ke dalam rayuan pria Italia yang ditemuinya. Namun karena dia sudah terlalu sering berhadapan dengan pria-pria yang hanya menginginkan tubuhnya, Davina pun sudah sangat terlatih untuk menilai mana pria yang tulus dan mana yang hanya menginginkan satu hal darinya. Pagi ini begitu dia terbangun, Davina langsung ingat bahwa jadwal utamanya hari ini adalah bertemu dengan perwakilan dari The Pose. Pertemuan nanti akan membahas teknis penjemputan Davina dari hotel menuju mansion karena mereka juga akan merekamnya untuk digunakan sebagai footage episode pertama. Mereka juga akan meminta Davina bercerita secara singkat tentang dirinya dan suaranya akan digunakan sebagai pengantar ketika video tentang dirinya diputar. Beruntung bagi Davina karena dia sudah mempersiapkan naskah tidak lama setelah menandatangani kontrak. Dibantu Randall dan juga Jenny, mereka berhasil menyusun profil singkat Davina tanpa harus mengungkapkan hal-hal yang tidak penting. Mereka pun kemudian menyiapkan satu pakaian khusus ketika pihak The Pose menjemput Davina ke hotel. Menjadi model membantu Davina menyadari pentingnya sebuah statement melalui pakaian, terlebih untuk memberikan kesan pertama. Mendekati hari H, kegugupan Davina yang sebelumnya tertutup oleh pesona Milan dan sibuknya dia beradaptasi, kembali menghampirinya. Mengenakan A-Line dress selutut berwarna hijau muda dengan motif kotak-kotak berwarna hitam serta memadukannya dengan ankle boots, Davina menatap kembali bayangannya di cermin. Orang dari The Pose sudah menunggu di lobi. Membayangkan wajah Putra dan mamanya, Davina menyunggingkan senyum kecil. Dengan satu tarikan napas, Davina beranjak dari depan cermin dan melangkah keluar dari kamar. Meski hotel ini tidak akan menjadi pilihan pertama Davina jika harus memesannya sendiri karena harga per malamnya yang cukup mahal, dia merasa beruntung punya kesempatan untuk menginap di The Principe. Sering tinggal di hotel untuk keperluan pekerjaan, Davina merasa keramahan staf-staf di sini berbeda dengan yang pernah diterimanya di hotel lain. Mereka tidak memperlakukannya berbeda karena kulit cokelatnya. Davina mendengar cukup banyak cerita tentang perlakuan berbeda yang diterima teman-teman modelnya, terutama jika mereka ada di luar negeri. Sampai sekarang, Davina beruntung bahwa dia belum mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Mendekati lobi, Davina melangkah lebih pelan karena ada beberapa orang yang duduk di sana. Tidak yakin meja mana yang harus dihampirinya, Davina berjalan menuju meja resepsionis untuk bertanya. “Hi, could you please tell me which table the people from The Pose sit?” “Good morning, Signora Davina.” Pria tersebut kemudian menunjukkan kepada Davina salah satu meja yang letaknya ada di sudut. “He’s sitting there.” Setelah mengucapkan terima kasih, Davina lantas mengayunkan kakinya ke arah pria yang sedang menekuri ponselnya tersebut. Meski duduk, Davina bisa menebak bahwa pria itu pastilah punya sense of fashion yang tinggi. Hanya dengan mengenakan sneakers dan kaus polos putih yang dia padankan dengan ankle pants berwarna biru tua, pria yang didekatinya itu justru tampak sangat menarik perhatian. Belum sempat Davina menyapa, pria itu sudah lebih dulu mengangkat wajah. Selama beberapa detik, mereka saling bertatapan. Sebagai model, Davina terlalu sering melihat pria berwajah tampan dan dari pengalamannya, mereka semua tidak punya hal lain untuk ditawarkan selain fisik yang sempurna. Dia tidak mudah grogi jika harus berhadapan dengan pria seperti itu. Hanya saja, pria yang masih menatapnya sekarang ini cukup membuat kedua kaki Davina seperti lekat dengan karpet di lobi The Principe ini. Hal itu tidak lain karena sepasang mata yang memandangnya tampak seperti langit ketika cuaca sedang begitu cerah. Dan Davina tidak pernah melihat warna mata sebiru itu. “Davina Larasati?” Dan Davina juga tidak pernah mendengar namanya diucapkan dengan aksen seperti itu. Berdeham pelan, Davina kemudian melangkah maju dan mengangguk. “Davina,” ucapnya sembari mengulurkan tangan. Pria itu lantas bangkit dari duduknya dan membalas uluran tangan Davina. “Matteo,” balasnya diikuti dengan sebuah senyum. “It’s nice to meet you.” Ketika mereka berdua akhirnya duduk berseberangan, Davina berusaha untuk bersikap normal sekalipun jantungnya berdegup tidak beraturan. Dia menduga usia Matteo mungkin di awal 30-an, tetapi Davina selalu salah menebak usia orang yang baru dikenalnya. Jika saja mereka ada di sebuah kafe atau restoran, setidaknya akan ada hal lain yang bisa dilakukan Davina untuk sedikit mengalihkan pandangannya dari Matteo. “Davina, aku yakin kamu sudah mendapatkan info bahwa kamu akan dibawa ke mansion tiga hari lagi. Sebagai salah satu produser di The Pose, aku harus memastikan kamu mengetahui langkah-langkah apa saja yang akan kita lakukan nanti ketika kamu harus meninggalkan hotel.” Davina mengangguk. Sekalipun ini akan menjadi kompetisi/reality show pertama baginya, Davina sudah terbiasa dengan banyaknya pihak yang terlibat untuk menyukseskan sebuah acara. Sisi positif yang bisa diambil Davina adalah jika ada sesuatu yang salah dan tidak sesuai, dia akan bisa mengulanginya. Dia jelas tidak mungkin melakukannya jika sedang berjalan di atas runway kemudian terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Jadi kita akan meninggalkan hotel pukul sepuluh pagi dan akan mengambil beberapa take serta footage. Aku harap kamu sudah sangat siap ketika kami datang. Aku paling tidak suka menunggu. Koper-koper besar kamu akan dikirim ke mansion begitu kamu pergi, tapi kamu harus membawa setidaknya satu koper, sebagai prop. Aku hanya ingin memastikan kamu mengenakan sesuatu yang sedikit nyaman, tapi tetap stylish. Aku yakin kamu sudah menyiapkan semuanya. If you feel comfortable, then it will make my job easier and we can finish as soon as possible.” Matteo kemudian menyerahkan satu map ke arah Davina. “Di map itu, dijelaskan dengan lebih detail prosesinya akan seperti apa. Aku tidak akan mengulanginya secara lisan.” Davina pun meraih map itu meski dia tidak ingin mengecek isinya sekarang. Setelah mendengar Matteo lebih banyak bicara, Davina bisa menebak bahwa pria di hadapannya ini akan sangat mengerikan kalau sedang marah. Namun Davina justru lebih suka tipe orang yang seperti itu dibandingkan tipe pendiam, yang menurutnya jauh lebih mengintimidasi. Dari penjelasannya pun, Davina menangkap Matteo ingin hasil yang sempurna dalam waktu yang singkat. Berurusan dengan fotografer dan desainer atau staf rumah mode selama bertahun-tahun, Davina tidak lagi asing dengan sikap seperti itu. Bisa sangat dipahami karena fashion adalah industri yang sangat kejam. “Di map itu juga ada kartu nama orang yang akan menjadi chaperone kamu selama kompetisi. Kamu bisa bertanya apa saja ke Sylvia, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kontrak. You come to me for that. Understand?” Davina hanya bisa menelan ludah sebelum memberikan anggukan. Tatapannya dengan Matteo kembali bertemu. Ada sedikit rasa takut yang muncul dalam diri Davina karena betapa to-the-point-nya Matteo. Namun dia pun tahu Matteo harus bertanggung jawab kepada atasannya, jadi da berusaha memahami kenapa Matteo bersikap seperti ini. “Ada pertanyaan?” “Aku harus membaca panduan ini dulu untuk punya pertanyaan,” balas Davina. “Dan satu lagi yang aku tidak suka, diva attitude.” Davina kembali mengangguk. Kamu nggak akan ngedapetin itu dari aku, balas Davina dalam hati. Dia bahkan paling benci dengan model yang bersikap seenaknya sendiri hanya karena mereka punya nama dan merasa punya hak untuk memperlakukan siapa pun dengan semena-mena. Davina tidak pernah ingin menjadi model seperti itu. “I can assure you that I’m not one of those models.” Tawa yang dikeluarkan Matteo terdengar seperti sebuah hinaan bagi Davna. Namun lagi-lagi, dia berusaha menempatkan dirinya di posisi Matteo yang harus berurusan dengan model dari berbagai belahan dunia dengan bermacam latar belakang. Jika Davina ada di posisi Matteo, dia pun akan menegaskan dari awal apa saja yang tidak dia suka supaya semua kontestan paham. “We’ll see about that.” Mendengar itu, Davina merasa ketampanan Matteo langsung berkurang. Dia sering diremehkan sebagai model, terutama oleh fotografer dan desainer karena tanpa mereka, model tidak akan punya karir. Sebagian dari mereka bersikap seolah model hanyalah sebuah manekin berjalan yang tidak memiliki perasaan hingga mereka bisa melontarkan kalimat paling menyakitkan sekalipun tanpa pikir panjang. Sebagian lagi bersikap sangat manusiawi dan menghargai model sebagai manusia yang punya perasaan dan rasa lelah. Satu hal yang dipegang Davina adalah dia hanya akan melakukan pekerjaannya dengan baik dan tidak banyak bicara atau mengeluh. Selama ini, sikap itu mampu menghindarkannya dari blacklist atau kabar-kabar tidak menyenangkan dari berbagai sudut. Namun seiring dengan perjalanannya sebagai model, terlebih menjadi kontestan kompetisi sebesar The Pose, Davina yakin ke depan, orang akan lebih banyak memperhatikan setiap gerak-gerik dan juga kalimat yang diucapkannya. Dalam dunia modelling, silence is so often, golden. Tidak lama kemudian, Matteo berdiri. “Aku harap kamu membaca panduan itu dengan baik karena aku akan tahu siapa yang tidak membacanya dengan teliti. It will show and I won’t like that.” Matteo lantas mengulurkan lengannya begitu Davina berdiri. “Semoga aku tidak perlu membentak atau meneriaki kamu, Davina. Aku tidak mau kamu datang jauh-jauh dari Indonesia hanya untuk menjadi pelampiasan kemarahanku.” Davina pun membalas uluran tangan Matteo sembari memberi pria itu sebuah senyum. “You will see.” Dan pada saat itu, Davina pun berjanji akan membuktikan bahwa semua pendapat yang dimiliki Matteo tentang model pada umumnya, akan dipatahkan oleh Davina. Matteo akan melihat bahwa Davina tidak sama dengan model-model lainnya. Liat saja nanti, batin Davina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD