VIII

2047 Words
Rasa bebas yang dirasakan Davina sejak sampai di Milan perlahan menguap sejak pertemuannya dengan Matteo. Tentu saja bukan pria itu penyebabnya, melainkan karena tidak lama lagi, dia harus benar-benar fokus. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berada di sebuah rumah dan tinggal bersama dengan orang-orang yang sangat kompetitif dan menganggap orang lain dalam rumah tersebut sebagai saingan terberat. Sekalipun punya mimpi dan ambisi, Davina tidak pernah ingin menjadi model yang angkuh. Mendengar cerita dari banyak orang, kebanyakan model bersikap angkuh dan dingin karena ketatnya persaingan di dunia model dan hanya dengan cara itu mereka bisa bertahan. Namun Davina jelas punya pandangan yang berbeda. Baginya, mencapai impiannya tidak harus berbanding lurus dengan bersikap tidak sopan kepada orang lain. Demi tampil tanpa cela untuk pengambilan gambar besok, Davina sudah disibukkan dengan memilih pakaian yang akan dipakainya. Sesuai dengan ucapan Matteo, Davina ingin mengenakan sesuatu yang anggun, tetapi tetap nyaman dan mampu memberikan kesan yang tidak terlupakan ketika siapa pun melihatnya nanti, baik secara langsung maupun ketika The Pose nanti ditayangkan. Setelah berkonsultasi dengan Jenny dan menimbang banyak hal, Davina memutuskan untuk mengenakan jumpsuit dengan sentuhan Indonesia. Jumpsuit karya salah satu desainer Indonesia ini terbuat dari sutra dengan motif parang yang digambar langsung di atas kain sebelum dijahit. Motif berwarna cokelat tua di atas dasar warna krem tersebut jelas akan tampak sangat menarik dikenakan Davina. Terlebih pakaian itu akan memperlihatkan bahu dan leher jenjang Davina. Dia pun memutuskan hanya akan menguncir kuda rambutnya agar tidak tampak berlebihan. Satu yang diharapkan Davina dari teman-teman serumahnya nanti adalah ada setidaknya satu yang bisa dia percaya. Karena bagaimana pun juga, jauh dari rumah untuk jangka waktu yang lama bukanlah sesuatu yang familer untuknya, terlebih untuk kompetisi sebesar The Pose. Davina yakin, akan ada saat-saat di mana dia akan sangat merindukan mamanya dan Putra dan perlu seseorang untuk mencurahkan isi hatinya. Satu hal lagi yang ingin Davina ketahui adalah siapa model pria yang mewakili Indonesia karena sampai sekarang, dia masih menduga-duga. Meski lebih sering bertemu dengan model pria untuk pemotretan dibandingkan dengan fashion show, Davina berharap siapa pun yang akan memikul nama Indonesia bersamanya nanti tidak bersikap seperti layaknya kebanyakan model pria yang dikenalnya, yang hanya mengandalkan fisik tanpa punya hal lain untuk diandalkan. Oleh karena itu, Davina berusaha untuk tidak mencari pasangan dari dunia model dan selama ini, usahanya masih belum menemukan hasil. Bukannya dia menjadikan itu sebagai tujuan, tetapi dia membayangkan pasti akan sangat menyenangkan memiliki seseorang yang bisa dia jadikan tempat untuk berkeluh-kesah. Sekalipun malam sebelumnya dia kesusahan untuk memejamkan mata karena perasaan gugup yang enggan menghilang, Davina tidak ingin bangun terlambat. Dia tidak ingin memberi Matteo kepuasan untuk membuktikan ucapannya tempo hari. Maka dari itu Davina memutuskan untuk bangun lebih pagi, sarapan, berolahraga sebentar di gym dan sedikit melakukan perawatan ekstra untuk wajahnya agar semua kantuk yang tidak sempat dia puaskan dengan tidur, tersamarkan. Bangun pukul lima pagi bukanlah sesuatu yang luar biasa bagi Davina. Dia justru terbiasa bangun lebih awal, terutama jika ada pekerjaan yang mengharuskannya sampai di lokasi tepat ketika matahari belum mulai terik. Namun bangun pukul lima pagi di Milan adalah persoalan yang berbeda. Ketika nyawa Davina sudah terkumpul dan dia bangkit dari tempat tidur untuk membuka tirai, Milan masih gelap gulita. Jika biasanya dia bangun pada pukul yang sama, telinganya pasti sudah dimanjakan dengan suara kokok ayam. Dia bahkan tidak melihat aktivitas apa pun di luar, kecuali mobil yang sesekali lewat. Namun Davina menepis godaan untuk kembali ke tempat tidur dan meringkuk di balik selimut karena dia pasti akan tertidur dan bangun terlambat. Mengganti baju tidurnya dengan pakaian olahraga, Davina langsung menuju ke gym yang ternyata sudah buka. Meskipun tidak ada orang, dia memutuskan untuk menghabiskan setengah jam di tempat ini, sekadar membuat tubuhnya bergerak untuk menghilangkan kantuk. Meski bukan tipe model yang harus pergi ke gym setiap hari untuk menjaga tubuhnya, Davina lebih senang melakukan gerakan-gerakan ringan di rumah atau sesekali pergi ke tempat yoga. Satu alasan Davina tidak suka pergi ke gym adalah karena dia tidak nyaman berada di tempat di mana populasi laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Selain itu, Davina tidak pernah kesulitan mengatur berat badannya karena tidak peduli apa pun dan berapa banyak makanan yang masuk ke tubuhnya, berat badannya tidak akan bertambah drastis. Dia justru kesulitan mencapai berat badan idealnya. Hal ini sempat membuatnya khawatir karena takut model lain akan menganggapnya punya kelainan seperti bulimia. Meski sesekali kabar seperti itu sampai di telinganya, tetapi Davina sudah terbiasa untuk mengabaikannya. Yang terpenting dia tidak menderita bulimia atau menutupi-nutupinya. Terkadang jika sedang ingin, dia sengaja makan yang cukup banyak di depan model-model lainnya untuk mematahkan rumor tersebut supaya mereka bisa melihat bahwa dirinya tidak segera ke toilet untuk memuntahkan kembali makanan yang telah masuk ke perutnya. Dengan begitu, dia tidak perlu lagi mendengar kabar tidak benar tentangnya. Ketika timer yang dipasangnya berbunyi, Davina segera mematikan mesin treadmill dan mengusap peluh yang membasahi wajah dan lehernya. Menyaksikan masih belum ada seorang pun di gym, dia kemudian menandaskan air minum botol yang dibawanya dari kamar sebelum keluar dari tempat itu. Sesampainya di kamar, Davina langsung mandi dengan air hangat dan mengenakan jubah mandi. Karena tahu dia tidak akan sempat sarapan di restoran, dia sudah berpesan kepada resepsionis semalam untuk mengantar sarapannya ke kamar pukul enam pagi. Tepat ketika Davina menyibakkan tirai sekalipun di luar masih tampak sedikit gelap, pintu kamarnya diketuk. Dengan senyum di wajahnya, Davina langsung berjalan menuju pintu dan membukanya. Di depannya sudah berdiri salah satu pramusaji restoran yang membawa nampan berisikan sarapannya. Setelah mengucapkan terima kasih dan memberikan tip, Davina pun langsung mengisi kembali energinya yang terkuras akibat berolahraga tadi. Meski hanya buah-buahan, jus, croissant rasa cokelat dan plain, Davina merasa sarapannya cukup untuk membuatnya kenyang dan tidak pingsan ketika nanti tim The Pose mulai datang. Setelah sarapan, Davina memutuskan untuk menelepon mamanya karena tim dari The Pose tidak akan mengetuk pintu kamarnya sebelum pukul delapan. Dia pun tahu bahwa Putra sudah pulang dari sekolah. Dia perlu melihat wajah mamanya dan Putra untuk memberinya tambahan semangat yang sangat dibutuhkannya hari ini. “Siang, Ma,” sapanya begitu wajah mamanya muncul pada layar ponselnya. “Kamu udah bangun?” Davina mengangguk. “Udah olahraga, udah mandi, udah sarapan. Aku nggak mau telat bangun pas tim The Pose ke sini.” “Koper-koper kamu gimana?” “Aku cuma perlu bawa satu buat prop. Koper-koper yang gede nanti mereka akan bawa begitu aku pergi dari hotel.” “Udah berkemas?” Lagi-lagi Davina mengangguk. “Makanya aku pakai jubah mandi sekarang, Ma. Supaya begitu tim make-up dateng nanti, aku nggak perlu repot-repot ganti baju. Begitu semua selesai, aku bisa langsung pake pakaian yang aku siapin, dan pergi. Habisnya aku kesel banget sama Matteo.” Kening mamanya mengerut. “Siapa itu Matteo?” “Dia salah satu produser di The Pose. Sikapnya nyebelin banget.” “Awas lho, jangan-jangan nanti kamu suka sama dia lama-lama.” “Amit-amit,” balas Davina sembari mengelus dadanya. “Putra mana, Ma?” “Belum pulang. Tadi pagi katanya mau belajar kelompok di rumah temennya.” “Yaaaah,” ungkap Davina dengan nada kecewa yang tidak dia sembunyikan. “Padahal aku pengen ketemu.” “Memangnya kamu nggak boleh pegang hape selama kompetisi?” “Sebenernya sih nggak ada larangan, Ma. Cuma kan nanti aku punya temen sekamar dan kegiatannya pasti bakal penuh seharian. Aku juga nggak mau terlalu sering pegang hape, takut akan ngaruh ke penilaian nantinya. Sesempetnya aja.” “Yang dulu-dulu gimana?” Davina mengedikkan bahu. “Peraturan tiap season beda, Ma. Tapi kemaren aku udah dapet nomor chaperone, dan bisa tanya apa aja ke dia, jadi rasanya nggak akan kenapa-kenapa bawa hape. Aku cuma pengen ngasih tahu Mama kalau kemungkinan aku bakal jarang kasih kabar, ya nggak bisa telepon tiap hari. Biar Mama nggak kepikiran aja.” “Mama tahu, kok. Kamu nggak usah khawatir.” “Sampaiin itu ke Putra juga ya, Ma? Takutnya nanti dia nanya.” Mama Davina hanya mengangguk. “Nanti Mama sampaikan kalau dia udah pulang.” “Ya udah, gitu aja, Ma. Aku mau siap-siap dan ngecek lagi, mastiin nggak ada yang ketinggalan.” “Jaga diri ya, Davina? Mama sama Putra bangga banget sama kamu.” Davina hanya mengangguk sebelum dia tersenyum lebar. Setelah melambaikan tangan, Davina mengakhiri panggilan dan meletakkan ponselnya di atas tempat tidur. Duduk bersila, dia mengedarkan pandangan ke kamar yang akan ditinggalkannya dalam hitungan jam. Dia tidak tahu apakah bisa kembali ke sini begitu kompetisi berakhir, tetapi dia pasti akan merindukan kamar ini. Aneh rasanya mengingat dia tidak punya kenangan sentimental akan kamar ini, tetapi karena ruangan ini adalah satu-satunya tempat yang dia tuju sejak sampai di Milan, dia merasa semua kesan pertamanya tentang Milan dimulai di sini. Mengembuskan napas panjang, Davina segera bangkit dari duduknya untuk mengecek kembali barang-barangnya, memastikan semua barang dan dokumen penting sudah dimasukkannya ke dalam koper. Dia pun memutuskan untuk sedikit merapikan kamarnya agar petugas housekeeping nanti tidak perlu bekerja keras untuk membersihkan kamarnya. *** Davina menatap kembali bayangannya di cermin. Dia sudah mengganti jubah mandinya dengan jumpsuit yang mendapatkan pujian dari tim make-up The Pose begitu mereka selesai mendandaninya tadi. Ketika memberitahu apa yang akan dia kenakan nanti, Lucio langsung mengatakan kepada Davina ide yang dia miliki. Dan ternyata, keinginan Davina selaras dengan Lucio. Maka sembari pria itu memulas wajahnya, Davina menjawab semua pertanyaan Lucio tentang karirnya. Davina tidak tahu apakah ini merupakan bagian dari penjurian, tetapi dia langsung merasa cocok dengan pria yang lagi-lagi akan bisa menjadi model terkenal jika ada di Indonesia. Davina bahkan menggoda Lucio tentang kemungkinan dia menjadi model. Jawaban pria itu membuat Davina tergelak. Begitu Lucio selesai, Davina segera berganti pakaian dan ketika melihatnya, tiga orang yang datang bersama Lucio langsung menutup mulut mereka. Tidak lama kemudian, berbagai ucapan yang kemudian diketahui Davina sebagai pujian, keluar dari mulut mereka. Lucio kemudian berkata bahwa mereka belum pernah mendapatkan kontestan dari Indonesia dan Davina adalah orang Indonesia pertama yang mereka temui. Meski awalnya sulit percaya, Davina hanya mampu mengucapkan terima kasih dan memberi senyum lebar. Setelah mereka semua keluar dari kamar, Davina menatap bayangannya di cermin dan melihat kembali perjuangannya untuk sampai di sini. Tidak lupa, dia mengambil satu swafoto untuk dikirimkan ke Jenny yang memintanya untuk mengirim foto untuk setiap outfit yang dia kenakan. Dengan satu tarikan napas, dia meraih koper yang akan digunakannya sebagai prop sebelum meninggalkan kamar. Dari Lucio, Davina mendapat kabar bahwa Matteo dan timnya sedang dalam perjalanan ke sini. Ingin membuktikan kepada pria itu bahwa dia tidak sama seperti model-model lainnya, Davina memutuskan untuk menunggu Matteo di lobi sembari dirinya check-out. Seorang  bellboy sudah membawa koper-kopernya yang besar ke lobi hingga Davina hanya perlu membawa dirinya. Setelah mengembalikan kunci dan mendapat pujian dari Andrea yang bertugas pagi itu, Davina memutuskan duduk di lobi. Tidak lama kemudian, seseorang menghampirinya. Bahkan tanpa harus mengangkat kepala, Davina tahu Matteo sudah berdiri di hadapannya. “Good morning, Matteo,” sapanya. Davina kemudian mengecek arlojinya. Meski tahu Matteo terlambat lima menit, Davina tidak akan mengucapkan apa pun. “Oke, aku telat. I’m sorry.” “It’s fine,” balas Davina ringan. Tampilan Matteo pagi ini jauh lebih kasual dibandingkan ketika mereka bertemu beberapa hari lalu. Hanya dengan mengenakan kaus polos berwarna abu-abu dengan celana jin hitam dan sneakers putih, Matteo tetap tampak menawan. Terlebih dia membiarkan dagunya ditumbuhi rambut-rambut tipis. Mengenakan lanyard yang tergantung di lehernya sebagai identitas, mereka masih saling bertatapan. “Kapan kita mulai?” “Mobil yang harusnya menjemput kamu belum datang.” Davina hanya mengangguk. “Kamu sudah sarapan?” “Sudah.” “You don’t have to be so cold.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari bibir Matteo hingga membuat Davina sempat tidak percaya dia mendengarnya. Pandangan mereka kembali bertemu sebelum Davina menggeleng heran. Tidak lama kemudian, Davina memutuskan untuk mengalihkan pandangannya. “Mobil yang menjemput kamu sudah dekat. Lebih baik kita menunggu di luar sambil mengatur blocking.” “Oke,” balas Davina singkat sebelum dia bangkit dari duduknya dan berjalan keluar, meninggalkan Matteo yang masih terpaku di tempatnya. Dia pikir dia siapa berani nyebut aku dingin? Seharusnya kalimat itu dia tujukan untuk dirinya sendiri, gerutu Davina dalam hati. Begitu sampai di luar sembari menyeret kopernya, Davina pun menarik napas panjang untuk meredakan kekesalannya. Dia tidak ingin emosi itu terpancar dari wajahnya nanti. Dia harus serileks mungkin dan tidak membiarkan kalimat apa pun yang keluar dari Matteo mengganggunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD