IX

2197 Words
“Are you ready?” Davina hanya mengangguk. Entah sudah berapa kali kameramen The Pose mengajukan pertanyaan itu sejak dia menginjakkan kaki di luar hotel dua jam yang lalu. Efisiensi yang digembar-gemborkan Matteo ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkannya. Davina beruntung bahwa penyebabnya bukanlah dia, tetapi ada saja kendala teknis yang terjadi hingga Matteo akhirnya meminta maaf kepada Davina. Permintaan maaf itu jelas di luar dugaan Davina. Dia tahu syuting memakan waktu yang lama dan karena alasan itulah dia selalu menolak tawaran untuk bermain sinetron atau layar lebar. Murni karena dia tahu bisa berada di lokasi syuting untuk waktu yang tidak tentu. Meskipun begitu, Davina bersikap seprofesional mungkin dengan tidak sekali pun mengeluh kepanasan. Sekalipun matahari musim semi tidak begitu terik, tetapi sinarnya begitu menyilakukan hingga Davina harus beberapa kali mengenakan kacamata hitamnya. Matteo hanya meminta hal sederhana: Davina keluar dari hotel sembari menyeret kopernya, melihat ke sekelilingnya, kemudian menghampiri kamera dan memperkenalkan dirinya. Hanya dengan tiga kali take, Matteo sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Seorang fotografer pun meminta Davina berpose natural. Tidak ada yang lebih disukai Davina selain berpose di depan kamera. Kemudian setelah itu, Matteo meminta Davina berjalan menuju mobil, masuk, dan mengalihkan pandangannya ke gedung-gedung yang dilewatinya. Davina diberitahu bahwa dia harus tampak melamun, seolah membayangkan tentang keseruan yang menunggunya di mansion. Namun tentu saja Davina tidak membayangkan hal tersebut. Dia membayangkan mamanya dan Putra yang tersenyum kepadanya ketika mereka ada di bandara. Setelah itu, Matteo yang duduk di kursi sebelah sopir mengatakan mereka sudah mendapatkan footage yang bisa mereka gunakan. Tidak banyak percakapan yang terjadi, dan Davina jelas tidak akan memulainya. Telinganya mendengar Matteo dan kameramen bernama Ale berbicara dalam bahasa Italia. Sesekali Davina membasahi tenggorokannya dengan air mineral. Tatapannya dan Matteo beberapa kali bertemu melalui kaca di atas kursi pengemudi. Namun Davina selalu mengalihkan perhatiannya lebih dulu. Davina tidak tahu apa yang ada dalam tatapan Matteo tersebut, tetapi ada perasaan tidak nyaman yang menjalarinya setiap kali pandangan mereka bersirobok. Kira-kira empat puluh menit setelah meninggalkan hotel, Matteo membalikkan badan untuk memandang Davina. “Kita harus ambil beberapa footage lagi sebelum kita sampai sekitar lima belas menit lagi.” “Oke. Aku harus ngapain?” “Just tell the camera your feelings.” “Should I be honest?” “Terserah kamu,” balas Matteo sebelum kembali menatap jalanan di hadapannya. Ketika pertanyaan itu diajukan Ale, Davina membetulkan letak duduknya sembari menunggu Ale memberinya aba-aba. “Davina, in three … two … one. Action!” “I just can’t wait to see the mansion and also the others. Though I feel a bit scared, I believe it’s just nerve. It feels exactly like when I’m about to go on stage because my mind always gives me this … you know, the worst possibilities. But this time, I know everything is going to be fine.” “Cut!” seru Matteo. “That was really good, Davina.” Ingin rasanya Davina membalas ucapan itu dengan kalimat yang diutarakan Matteo ketika mereka bertemu pertama kali dulu. Setidaknya dari beberapa jam yang mereka habiskan pagi ini, Davina sudah menunjukkan kepada Matteo bahwa dia berbeda dengan model-model yang pernah ditemuinya. Ada kepuasan yang begitu besar dirasakan dalam diri Davina menyadari bahwa dia memulai kompetisi ini dengan langkah yang tepat. Jika Mbak Jenny ada di sini, aku pasti udah dipeluk, batin Davina. “We’re close!” seru Matteo. “Davina, kita akan mengambil gambar kamu begitu turun dari mobil sampai kamu masuk ke mansion.  Setelah itu, kamu akan bertemu Sylvia dan dia yang akan memberitahu kamu apa yang harus dilakukan.” “Noted.” Davina tidak punya waktu untuk mengisi pikirannya dengan kemungkinan apa pun. Saat ini, dia harus menenangkan diri agar semua berjalan lancar, setidaknya sampai dia masuk ke dalam mansion. Dari yang dia dengar, setelah kontestan memasuki mansion, biasanya akan ada jeda sejenak untuk mereka saling mengenal sebelum kamera kembali beraksi untuk merekam perkenalan mereka dan pertemuan mereka dengan para juri. Namun info yang dia dapat dari Ale, semua bisa berubah. Jantung Davina berdegup semakin kencang begitu dirasakannya mobil memelan. Tidak lama kemudian, mobil pun memasuki sebuah gerbang yang terbuka lebar dan Davina hampir tidak mempercayai apa yang ada di hadapannya. “Big house!” seru Ale. “Apakah semua edisi The Pose selalu diadakan di sini?” “Ini pertama kali. Lokasi selalu berpindah,” sahut Matteo. Besar rasanya terlalu sederhana untuk menggambarkan mansion yang akan ditempatinya bersama kontestan lain. Sekalipun tidak begitu suka menyaksikan acara reality show tentang model, Davina tahu rumah yang ditempati para kontestan jelas tidak semegah ini. Baginya, bangunan ini jauh terlihat seperti sebuah istana meski kesan modern dari desainnya tampak jelas. Dia melihat banner The Pose di samping kiri dan kanan pintu masuk. Selain itu, ada karpet merah yang digelar di tangga yang menuju pintu utama. Davina hanya mampu menelan ludah tepat ketika mobil berhenti. “Davina, you should get ready.” Davina mengerjap menyadari dirinya telah tenggelam dalam lamunan atas kekagumannya dengan rumah ini. Dia bahkan tidak merasakan pintu dibuka karena ternyata, Ale sudah berada di luar. Memandang Matteo yang masih belum mengalihkan tatapannya dari dirinya, Davina berdeham pelan sebelum mengangguk. “Kasih tahu kapan aku harus keluar dari mobil,” ucap Davina. Tidak lama kemudian, hanya dirinya yang ada di dalam mobil bersama dengan sopir. Mobil yang ditumpanginya kemudian meluncur meninggalkan halaman rumah super besar tersebut. Davina sudah di-briefing oleh Matteo bahwa begitu mereka sampai, mobil akan memutar sementara Ale merekam, hingga seolah Davina baru saja datang. Meski hanya membutuhkan dua menit untuk kembali ke jalan utama, cukup bagi Davina untuk mengatur napas. Terdengar suara Matteo dari walkie-talkie yang menggema di dalam mobil sebelum panggilan itu dibalas oleh sopir dengan bahasa Italia. Merapikan rambutnya, Davina kemudian duduk seanggun mungkin sementara kata, “Action!” mulai didengarnya. Mobil pun kembali memasuki mansion, kali ini jauh lebih pelan. Begitu mobil berhenti tepat di depan pintu masuk utama, terdengar suara Matteo yang meminta Davina untuk keluar dari mobil. Begitu pintu terbuka, Davina pun keluar dari mobil dan menengadah, menunjukkan kekaguman yang tidak dibuat-buat. Sembari menyeret kopernya menaiki tangga, Matteo meminta Davina untuk mengucapkan sesuatu. Apa saja, bahkan seara khusus, Matteo meminta Davina menggunakan bahasa Indonesia untuk memberi kesan autentik. “Akhirnya sampai juga. Deg-degan banget.” Begitu Davina sudah sampai di depan pintu, dia mendengar teriakan Matteo, “Cut!” Membuang napasnya, dia membalikkan badan dan menemukan Matteo berlari kecil ke arahnya. “Another take?” tanya Davina. Matteo menggeleng. “That was perfect.” Pria itu kemudian melingkarkan jari telunjuk dan ibu jarinya. “Kamu bisa masuk sekarang.” “Perlu aku mengetuk pintu?” “Masuk saja.” “Grazie, Matteo.” Matteo yang sudah membalikkan badan dan berniat untuk kembali mengayunkan langkahnya, berhenti dan kembali memandang Davina. Tidak ada kalimat yang terucap dari mulut pria itu, tapi untuk pertama kalinya, Matteo tersenyum. “See you soon,” ucapnya sebelum berjalan menjauhi Davina. Begitu Matteo hilang entah ke mana, pintu di depannya terbuka. Dari sana, keluar beberapa orang yang seolah tidak melihat kehadiran Davina di situ. Dari pakaian dan lanyard yang mereka kenakan, Davina yakin mereka adalah kru. Bingung dengan apa yang harus dilakukannya, Davina kemudian masuk ke dalam mansion dan di dalam ternyata situasinya jauh lebih kacau dari yang dibayangkannya. Selain kabel-kabel yang berserakan, seruan dalam bahasa Italia pun mulai didengarnya dengan sangat jelas. Meskipun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, dari nada suaranya Davina tahu ada orang-orang yang sedang berbeda pendapat dan memutuskan bahwa sekarang adalah saat yang pas untuk berargumen. Belum lagi banyaknya lampu yang cukup membuat Davina silau. Baru saja Davina berniat untuk bertanya kepada salah satu kru, seorang perempuan yang jauh lebih pendek dari dirinya, menghampiri Davina. “Davina Larasati?” Davina sudah terbiasa dengan orang di luar Indonesia yang tidak pernah bisa mengucapkan nama belakangnya dengan benar. Makanya Davina lebih suka menggunakan nama Davina, singkat, jelas, dan mudah dilafalkan. Perempuan berambut cepak tersebut kemudian tersenyum lebar ke arah Davina. “Perkenalkan, namaku Sylvia. Aku yang akan jadi chaperone kamu,” ucapnya sembari mengulurkan tangan. “Halo, Sylvia. Senang akhirnya kita bisa bertemu,” balas Davina sembari menjabat tangan Sylvia. “Kamu baru sampai? Ayo ketemu dengan yang lain. Kamu tidak akan bisa bertanya kepada siapa-siapa kalau tetap di sini. Ini seperti area perang,” jelas Sylvia sembari menggandeng lengan Davina dan membawanya menjauh. Ucapan Sylvia memang ada benarnya. Area ini tidak jauh berbeda dengan area perang. “How was your flight?” “Aku sudah sampai di Milan sejak seminggu lalu,” jawab Davina pelan. Sylvia pun mengalihkan tatapannya ke arah Davina. “Sudah tidak jetlag?” Davina menggeleng. “Aku sudah cukup istirahat.” “Senang mendengarnya.” Tidak lama kemudian, Sylvia membawanya ke sebuah ruangan yang cukup sepi, setidaknya tidak ada hiruk-pikuk di tempat ini. “Davina, sebelum kamu masuk, kamu harus ingat satu hal,” kata Sylvia dengan raut muka serius. “Begitu kamu masuk ke dalam, kompetisi dimulai. Give the best version of yourself while still being your own self. I know it’s cliche, but these people inside want to win, and I believe, you want the same thing. Okay?” Davina pun hanya mengangguk. “Setiap kamu ada pertanyaan, tanya ke aku daripada ke kontestan lain. Kamu tidak akan pernah tahu apa yang mereka rencanakan untuk menyingkirkan kamu. This is competition, and everything is fair. Aku akan membawahi empat kontestan, dan aku tidak akan memperlakukan siapa pun dengan istimewa. Semua mendapatkan perlakuan yang sama dariku. Jangan anggap aku teman, setidaknya selama kompetisi berlangsung. Jangan anggap siapa pun sebagai teman kecuali kamu benar-benar yakin mereka bisa dipercaya.” Davina kembali memberikan anggukannya. “Thank you for reminding me.” “Aku akan menemani kamu masuk, tapi aku tidak akan tinggal lama. Setelah aku pergi, kamu harus bisa membawa diri dengan baik. Ada satu orang yang sudah tidak sabar bertemu kamu.” Mendengar kalimat itu, kening Davina mengerut. “Aku belum kenal siapa pun di sini.” “Your Indonesian friend.” Perlu beberapa detik bagi Davina untuk sadar bahwa yang dimaksud Sylvia adalah model pria yang mewakili Indonesia. Begitu paham, Davina pun memberikan senyum terbaiknya. “Okay, let’s go in!” Dan begitu Davina masuk bersama Sylvia, semua yang ada di ruangan tersebut pun mengalihkan tatapan mereka ke arah Davina. Percakapan yang terjadi sebelum Davina masuk, sontak terhenti selama beberapa detik. Meski profesinya dekat dengan kamera dan pusat perhatian, Davina tidak pernah menyukai tatapan orang kepadanya, terlebih dalam situasi seperti ini. Dia merasa dihakimi untuk kesalahan yang tidak diketahuinya. Davina yakin, sebagian besar dari mereka akan mencela atau menghina Davina dalam hati, terlebih dengan pakaian atau sepatu yang dikenakannya. Dia tahu dunia model adalah dunia yang dangkal, tetapi baru kali ini Davina merasa begitu … berbeda. Pandangannya segera beredar untuk mencari model pria dari Indonesia yang terpilih bersamanya. Namun ketika mereka kembali mengobrol, seolah Davina hanyalah sebuah iklan yang lewat dan sekarang mereka bisa kembali melanjutkan pembicaraan yang tertunda, Davina menatap Sylvia. “Aku bawa kamu ke temanmu.” Davina tidak ingin mengoreksi kalimat yang diucapkan Sylvia karena percuma. Siapa pun yang akan ditemuinya, Davina yakin belum kenal dengannya. Semakin langkahnya mendekat, semakin jantung Davina berdegup dengan kencang. Dia berharap siapa pun yang mewakili Indonesia, bukanlah model pria yang pernah bekerja sama dengannya karena Davina tahu, dia tidak akan menyukai mereka, apalagi harus tinggal satu rumah. Namun begitu langkah mereka berhenti, ada kelegaan yang menghampiri Davina. Pria di hadapannya langsung mengangkat wajah, dan tatapan mereka pun bertemu untuk pertama kalinya. Davina bersyukur bahwa dia belum pernah bertemu dengan pria jangkung di hadapannya sekarang. “Pasti dari Indonesia,” ucap pria itu dalam bahasa Indonesia dibarengi sebuah senyum. Lengan pria itu langsung terulur, “David. Aku udah lama nungguin kapan kamu dateng.” Davina pun langsung menyambut uluran tangan David. “Davina. Senang akhirnya bisa ketemu dengan kamu.” “Aku tinggalkan kalian untuk saling kenal. Nanti aku kembali lagi.” Davina pun menatap Sylvia dan mengucapkan terima kasih begitu perkenalannya dengan David selesai. Tidak lama setelah Sylvia menghilang, semua kegugupan dan ketakutan Davina lenyap dengan mudah. Dia tidak ingin menilai David dari kesan pertama yang didapatnya, tetapi Davina yakin sekali, David berbeda dengan kebanyakan model pria Indonesia yang pernah dia temui atau yang pernah bekerja sama dengannya. “Udah di sini lama?” tanya Davina. “Mungkin lima belas menitan?” balas David. “Jadi kamu dari agensi mana?” “Randall,” bales Davina. “Kamu sendiri?” “Redstar.” Davina belum pernah mendengar agensi tersebut. Mungkin agensi itu tidak berada di Jakarta. Namun terlepas dari mana David berasal, Davina tidak bisa menyembunyikan kesenangannya karena bisa berbicara bahasa Indonesia secara langsung. “Udah lama jadi model?” tanya David. “Sekitar enam tahun. Kamu?” “Sejak kecil,” balasnya diiringi sebuah tawa. “Tapi aku baru serius lagi sejak lulus SMA. Aku kangen ada di depan kamera.” “Semoga kamu nggak narsis kayak model cowok lainnya. Aku punya ekspektasi tinggi ke kamu.” Lagi-lagi, David tertawa. “Nggak usah khawatir. Aku bukan model seperti itu. Pengen liat Instgramku untuk ngebuktiin ucapanku?” Sulit bagi Davina untuk tidak terkesan dengan ucapan David. “Awas ya kalau bohong.” “Aku nggak pernah bohong.” “Says no one ever.” Mereka berdua pun tergelak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD