V

2011 Words
Hari-hari Davina kemudian diisi oleh banyak sekali hal hingga dia selalu pulang terlambat dan waktu tidurnya berkurang. Di luar dugaannya, Randall ternyata memutuskan untuk tetap di Jakarta hingga hari keberangkatan Davina tiba. Dia yang memang tidak sering melihat Randall di kantor Jakarta untuk jangka waktu yang lama, sedikit banyak belajar dari pemilik Randall Agency tersebut. Dari waktu yang mereka habiskan, Davina pun mengetahui sedikit tentang sejarah Randall Agency dan apa yang membuat pria itu akhirnya memutuskan untuk membuka kantor di Jakarta. Selain bersama Randall, persiapan lainnya pun dilakukan Davina bersama Jenny. Selain berbelanja, Davina pun sering mondar-mandir di beberapa butik para desainer yang sudah dihubungi Randall untuk melakukan fitting beberapa potong pakaian yang akan dibawanya ke Milan. Seolah hal itu belum cukup untuk menguras tenaganya, Davina pun harus menjalani beberapa photoshoot yang hasilnya akan ditampilkan di semua sosial media milik Randall Agency untuk mengiringi perjalanan Davina nanti di Milan. Davina pun berdiskusi dengan Jenny dan Randall tentang beberapa hal yang selama ini menjadi kelemahannya. Randall bahkan mendatangkan langsung Simone Kurstcher, seorang supermodel dari Jerman yang sudah bersama Randall Agency sejak awal karirnya dan sekarang tinggal di New York, untuk mengajari beberapa pose dan catwalk serta memberi bekal tentang dunia model internasional, terutama mengenai beberapa brand besar serta apa yang mereka cari untuk dijadikan brand ambassador atau pun model bagi produk-produk mereka. Seluruh informasi yang didapat Davina sempat membuatnya kewalahan. Jika tidak ada Jenny, dia yakin akan sudah jatuh sakit karena kelelahan dan tumpukan pikiran. Namun Davina menganggap semua ini adalah bekal yang memang dibutuhkannya untuk bersaing dengan kontestan-kontestan lain yang dia yakin, melakukan persiapan yang tidak jauh beda. Davina juga harus melakukan syuting yang akan digunakan sebagai introduction video di episode pertama The Pose nanti. Untuk keperluan ini, Randall menerbangkan Davina ke Bali dan menghabiskan tiga hari untuk mengambil beberapa footage. Ada kalanya Davina ingin mengeluh karena dirinya tetaplah manusia, bukan robot yang tiak mengenal lelah. Namun Davina selalu diingatkan tentang impiannya untuk memberikan pendidikan terbaik bagi Putra, dan rasa lelahnya pun kemudian mereda. Terlebih lagi, dari cerita Simone, dunia mode internasional jauh lebih kompetitif dan keras. Mau tidak mau, Davina harus menyiapkan dirinya sebaik mungkin karena hal seperti inilah yang akan dihadapinya nanti. Seperti sudah diduganya, fokus Randall Agency untuk menyiapkan dirinya pun mendapatkan bisikan-bisikan tidak sedap yang sampai di telinganya. Awalnya, hal-hal seperti itu sangat mengganggu konsentrasinya, hingga kemudian dia memutuskan untuk bercerita kepada Jenny dan perempuan itu menegaskan bahwa mereka meyebar kabar burung tersebut karena iri, bukan karena hal lain. Meskipun tidak langsung memercayainya, seiring dengan bertambahnya kesibukan, Davina pun tidak lagi punya waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Setelah hampir dua minggu menunggu, visanya pun akhirnya keluar. Dia, Jenny, dan juga Randall pun kemudian memutuskan bahwa Davina akan berangkat minggu depan, satu minggu lebih awal dibandingkan dengan permintaan Howard. Randall sempat berdiskusi mengenai itu dengan Howard, dan Howard memastikan, satu minggu lebih awal ada di Milan akan memberikan Davina waktu untuk beradaptasi, baik dengan cuaca, makanan, dan terutama, dengan perbedaan waktu antara Jakarta-Milan. Bukan hanya di agensi, di rumah pun Davina merasa mamanya dan Putra berusaha memberinya sebanyak mungkin waktu untuk beristirahat. Meski ingin sekali rasanya Davina menghabiskan lebih banyak waktu bersama adik dan mamanya, semua persiapan yang dilakukannya membuatnya mustahil untuk menuruti keinginannya tersebut. Davina pun merasa bersyukur karena mamanya dan Putra begitu memahami kesibukannya. Tidak sekali pun mereka mengeluhkan betapa jarangnya Davina ada di rumah ketika dia akan meninggalkan mereka dalam hitungan bulan. Untuk itu, Davina sangat berterima kasih. Ketika tanggal keberangkatannya tinggal dalam hitungan hari dan seluruh persiapan sudah selesai, termasuk koper-koper yang akan dibawanya, Davina bisa sedikit bersantai. Randall pun memberi Davina waktu untuk beristirahat dan satu-satunya hal yang ingin dilakukan Davina adalah diam di rumah. Dia tidak ingin bepergian ke mana pun karena dia sudah menghabiskan begitu banyak waktu di jalan. Jika memungkinkan, Davina bahkan ingin punya lebih dari 24 jam dalam sehari agar dia bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama dengan mama dan adik laki-lakinya. Davina tidak pernah dihinggapi perasaan seperti ini sebelumnya. Jika biasanya dia pergi untuk urusan pekerjaan, Davina selalu tahu dengan pasti kapan akan pulang. Dia tidak perlu menunggu berbulan-bulan untuk kembali. Sekalipun kali ini rencana kepergiannya terjadwal dengan pasti, dia tahu sepulangnya dari Italia nanti, tidak peduli dengan hasil akhirnya, akan ada yang berubah darinya. Bukan kepribadian atau sifatnya, tetapi banyak hal dalam hidupnya tidak akan lagi sama. Davina terlalu takut dengan perubahan yang akan dialaminya. Bahkan ketika masuk ke kamarnya dan tubuhnya terasa begitu lelah hingga ingin rasanya dia tertidur pulas, Davina selalu tidur larut karena matanya sulit terpejam. Pikirannya terlalu sibuk dengan berbagai macam kemungkinan hingga dia baru bisa menutup mata lewat pukul dua dini hari. Meskipun Jenny selalu berpesan agar dirinya tidak terlalu banyak memikirkan hal-hal yang belum terjadi, mustahil bagi Davina untuk benar-benar mengabaikan pikirannya sendiri. Tidak peduli pukul berapa pun Davina tertidur, dia tidak pernah bisa bangun siang. Kebiasaan bangun paginya sejak kecil ternyata sangat berguna bagi profesinya sebagai model yang memang harus sampai di tempat syuting atau lokasi peragaan busana lebih awal. Davina pun hanya mengonsumsi alkohol jika dia tidak lagi punya pilihan. Selain dia ingin menjaga dirinya untuk tetap sadar, dia tahu alkohol akan punya efek negatif untuk kesehatan. Namun sesekali, dan jika situasi memungkinkan, dia akan menyesap setengah gelas red wine. Mungkin karena alasan tersebut dan juga keengganannya untuk pergi clubbing, dia tidak terlalu punya banyak teman sesama model. Dan Davina jelas tidak keberatan. Pun ketika dirinya bangun, Davina tidak lagi punya waktu untuk bermalas-malasan di atas tempat tidur sembari mengumpulkan nyawa dan energi. Jadwalnya sungguh padat hingga dia terkadang ingin segera sampai di Milan. Meskipun dia yakin kegiatan di sana akan semakin padat dan menyita energinya, Davina tahu bahwa berada di sana akan memberinya atmosfer yang berbeda. Setidaknya ketika berada di sana, Davina tidak akan punya pilihan selain menjalani kompetisi karena mustahil baginya untuk mundur dan mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak The Pose. Sementara saat ini, ada begitu banyak bujukan dan rayuan dari dirinya sendiri untuk mangkir. Mungkin berpura-pura hilang, pergi ke suatu tempat di mana tidak ada seorang pun yang akan mengenalnya, dan mengganti identitasnya. Namun tentu saja, dia tidak bisa melakukan itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, kenyataan hidupnya tidak berada di tempat lain, tapi di sini. Di Jakarta, dan juga di Milan, dalam beberapa hari lagi. *** Davina memandang bayangannya di cermin. Karena perjalanannya akan sangat panjang, dia memilih untuk mengenakan celana jin dan t-shirt, yang dia kemudian dia padukan dengan jaket kulit dan sepatu bot dengan warna seperti celana jinnya, hitam. Dia ingin merasa senyaman mungkin di dalam pesawat dan akan mengganti pakaiannya ketika di sampai di Amsterdam nanti, ketika pesawat yang ditumpanginya akan transit sebelum melanjutkan penerbangan ke Milan. Jenny dan Randall benar-benar berpesan kepada Davina untuk tidak tampil berlebihan, tetapi tetap elegan. Randall bahkan bekerja sama dengan salah satu desainer terkemuka Indonesia untuk membuatkannya look book yang berisi seluruh pakaian yang dibawanya ke Milan, terutama yang harus Davina kenakan pada acara-acara formal yang diselenggarakan oleh The Pose. Hal ini dilakukan Randall agar Davina tidak perlu kebingungan memadu-padankan pakaian dan supaya dia bisa lebih fokus ke kompetisi. Selain itu, Davina juga membawa satu setel kebaya meski dia tidak tahu apakah akan ada waktu yang pas untuk mengenakannya atau tidak, tetapi dia ingin berjaga-jaga. Semua koper yang akan dibawanya sudah dikirim lebih dulu ke Milan atas permintaan Randall untuk menghindari koper yang tersesat di bandara nanti. Hal ini membuat Davina hanya perlu membawa satu koper ukuran sedang berisi pakaian dan keperluan sehari-harinya serta satu koper kecil yang akan dibawanya ke kabin. Dia sempat menganggap bahwa permintaan Randall tersebut terlalu berlebihan, tetapi ketika dirinya akan berangkat sekarang, dia bersyukur karena tidak harus membawa begitu banyak koper, belum lagi jika nanti ada masalah kopernya tersesat. Menarik napas panjang, Davina berusaha menenangkan degupan jantungnya yang tidak beraturan. Begitu dia melangkah keluar dari toilet bandara, maka perjalananannya akan segera dimulai. Dia memang sengaja meminta Jenny agar mama dan adiknya bisa ikut mengantarnya ke bandara. Jenny tentu saja menyetujui permintaan itu. Perempuan itu bahkan menawarkan diri untuk menjemput Davina dan mengantarnya ke bandara meskipun Davina tidak keberatan naik taksi. Namun Jenny melarang keras. Intinya, Davina tidak punya pilihan selain dijemput oleh Jenny untuk pergi ke bandara. Merapikan rambutnya, Davina menelan ludah sebelum membalikkan badannya untuk menemui keluarganya dan Jenny yang sudah menunggunya. Dia tidak ingin menangis karena ini bukanlah perpisahan yang sesungguhnya. Dia hanya akan meninggalkan Indonesia untuk waktu yang sedikit lebih lama dibanding biasanya. Davina tahu, jika dia menangis, maka perjalanan ini akan terasa lebih berat. Dengan langkah mantap, Davina menghampiri keluarganya dan Jenny yang sedang berbincang entah tentang apa. Begitu dia mendekat, mereka semua menatapnya dan Davina melemparkan senyum. “Siap?” tanya Jenny. Davina mengangguk. “Karena kalau aku tunda-tunda, bisa-bisa aku nggak akan bisa pergi,” balasnya seringan mungkin. Dia kemudian menghampiri mamanya dan dalam hitungan detik, sudah merengkuh tubuh perempuan itu dalam pelukannya. Davina merasakan elusan lembut mamanya di punggung dan hal itu membuat Davina sekuat mungkin untuk tidak membiarkan air matanya keluar. “Aku pergi ya, Ma? Minta doanya. Semoga pas aku pulang nanti, aku bisa banggain Mama dan Putra.” “Tanpa kamu minta, Mama pasti doain yang terbaik untuk kamu. Apa pun yang terjadi nanti, kamu udah bikin bangga Mama dan adik kamu. Ingat itu, ya? Kamu nggak perlu mikir macem-macem di sana. Lakukan aja yang terbaik.” Davina mengangguk. Menarik napas, dia menelan kembali air mata yang sudah sampai di tenggorokannya. Begitu dia melepas pelukan, pandangannya langsung beralih ke adik laki-lakinya. Dia pun memeluk Putra meski selisih tinggi mereka begitu tampak jelas. “Aku minta kamu jaga Mama, ya?” ucap Davina sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh mamanya. “Tetep rajin belajar dan juga doain Mbak supaya bisa betah di sana.” Davina merasakan anggukan adiknya sebelum pandangan mereka akhirnya bertemu. “Nggak usah khawatir, Mbak. Just do your best!” Mendengar itu, Davina tidak mampu menahan tawanya. Dia mengelus rambut adiknya tersebut sebelum berjalan mendekati Jenny. Kedua lengan perempuan itu sudah terbuka untuk menyambut pelukan dari Davina. Dengan sebuah senyum, Davina meraih tubuh Jenny dalam pelukannya. “Makasih buat semuanya, Mbak. Semoga aku bisa bawa kabar baik dari Milan.” Terdengar sebuah decakan sebelum tangan Jenny menepuk punggungnya pelan. “Aku tahu kamu bisa, Davina. Inget pesenku buat nggak mikirin apa pun nanti celaan atau ucapan nggak enak yang kamu denger dari kontestan lain. Mereka pengen menang, dan mereka bakal ngelakuin apa aja buat bikin kamu down, terlepas kamu akan jadi frontrunner atau nggak. You can do it, and just do the best and enjoy it. Nggak usah kepikiran harus menang atau apa, aku bakal tetep bangga sama kamu, begitu juga Randall, apa pun pencapaian kamu nanti.” Davina hanya bisa mengangguk mendengar pesan dari Jenny, yang sudah didengarnya cukup sering. Namun dia memang harus mendengarnya lebih dari satu kali untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dan tidak ada yang lebih membuatnya yakin selain saat ini ketika ragu mulai perlahan menggerogotinya. “Akan aku inget, Mbak.” Begitu dia melepaskan pelukan, Davina meraih koper di tangannya dan memandang tiga orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Dia sudah menganggap Jenny lebih dari sekadar orang yang menemukannya dulu dan memulai perjalanannya sebagai model. Davina menganggap Jenny sebagai kakak perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Dari sorot mata ketiga orang itu, Davina pun berjanji bahwa dia akan melakukan yang terbaik. Dengan sebuah anggukan, Davina pun mantap untuk memulai perjalanannya. “Aku pergi dulu, ya?” Davina melangkah pelan menuju security sementara matanya tidak lepas dari Jenny, mamanya, dan Putra. Dia membalas lambaian tangan mereka dan menyunggingkan senyum lebar sekalipun saat ini, ingin sekali rasanya dia menangis. Namun dia punya belasan jam untuk menangis di pesawat nanti. Sekarang bukan saatnya dia menangis di depan mamanya dan Putra. Dengan satu tarikan napas, Davina membalikkan badan dan menunjukkan tiket pesawat yang akan membawanya meninggalkan Indonesia. Begitu melewati security dan sebelum memasukkan kopernya untuk diperiksa, Davina membalikkan badan dan meliha Putra serta mamanya masih melambaikan tangan. Davina mengangkat tangan setinggi mungkin dan membalas lambaian itu. “See you soon,” ucapnya lirih. Dan langkah pertama dari perjalanan Davina pun dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD