IV

2151 Words
Davina memasuki kamar Putra karena tahu bahwa adiknya tersebut pasti sedang belajar. Sejak mulai masuk SD, Davina selalu menyisihkann waktu untuk menemani adiknya belajar. Davina tidak pernah merasa dirinya tahu segalanya. Bahkan kadang dia harus mengandalkan informasi di internet untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Putra. Namun tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Davina selain menyaksikan betapa seriusnya Putra mengerjakan pekerjaan rumah dan sesekali, adiknya tersebut akan mengoceh tentang cita-citanya menjadi arsitektur. Salah satu alasan Davina menjadi model sekalipun dia tidak punya cukup kepercayaan diri adalah demi Putra. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk adiknya tersebut, terutama setelah laki-laki yang seharusnya ada di sana sebagai role model meninggalkan keluarga mereka tanpa pamit. Bertahun-tahun, Davina mencoba memahami keputusan pria tersebut, tetapi setiap pertanyaan itu muncul, yang dirasakan Davina adalah kebencian yang dengan bertambahnya tahun, semakin menggunung. Mamanya selalu meminta Davina untuk memaafkan papanya, tetapi Davina belum bisa melakukan itu. Dia bahkan tidak ingin tahu sedikit pun tentang pria tidak bertanggung jawab tersebut. "Putra," panggil Davina sembari menghampiri adiknya yang sedang duduk di meja belajar sembari menekuri bukunya. “Ya, Mbak?” balas Putra seraya mengangkat wajah untuk menatap kakak perempuan satu-satunya. “Lagi ngerjain PR?” Putra menggeleng. “Lagi ngapalin rumus, Mbak. Takut besok ada kuis dadakan.” Davina tersenyum tipis sambil mengelus rambut adik laki-lakinya sebelum duduk di tepi tempat tidur. Bagi Davina, memandang wajah adiknya yang masih begitu polos selalu berhasil menghilangkan segala lelah yang dirasakannya. Tidak peduli apakah dia menerima perlakuan yang berbeda di lokasi photoshoot atau peragaan busana, atau menghadapi klien yang sangat rewel, melihat Putra yang seolah masih belum tercemar oleh keburukan dan kerasnya hidup tidak pernah gagal menimbulkan senyum di wajah Davina. Mamanya selalu bisa menyembunyikan perasaannya dengan sempurna, hingga Davina sering kesulitan memahami emosi perempuan yang melahirkannya tersebut, tetapi sepasang mata Putra selalu bisa membuatnya merasa damai. “Mbak mau ngomong sesuatu.” Putra pun dengan segera mengalihkan perhatiannya dari buku yang ditekurinya dan mengubah posisi duduknya hingga menghadap Davina. “Soal apa, Mbak?” Davina menelan ludah. Dia sudah merancang kalimat yang harus disampaikannya kepada Putra, tetapi tetap saja, dia kesulitan untuk memulainya. Maka dia pun kemudian mengulurkan satu tas plastik berisi action figure superhero yang beberapa minggu lalu disinggung adiknya. Meski tidak pernah meminta secara langsung, Davina tahu Putra menginginkannya. “Buat kamu.” Senyum di wajah Putra langsung mengembang bersamaan dengan lengannya yang terulur untuk menerima tas itu. Begitu Putra membuka dan mengetahui isinya, senyum itu menjadi lebih lebar sebelum dia kembali menatap Davina. “Makasih, Mbak. Ini pasti mahal.” Davina menggeleng. “Nggak penting apakah itu mahal atau nggak. Yang penting kamu seneng.” Putra memang tidak terlalu ekspresif jika ingin meluapkan perasaannya. Davina sempat khawatir tentang itu, tetapi seiring bertambahnya usia Putra, dia tahu bahwa memang sifat adik laki-lakinya memang seperti itu. Di sisi lain, Davina juga tahu bahwa Putra sangat peduli dengan dirinya dan mamanya, meski usianya baru menginjak 13 tahun. Setelah meletakkan tas beserta isinya di atas meja, Putra kembali menatap Davina. “Mbak tadi mau ngomong apa?” Davina kembali membasahi tenggorokannya sebelum dia berdeham pelan. “Mbak dapet kesempatan yang nggak mungkin dateng dua kali. Tapi untuk itu, Mbak harus pergi ke Milan, dan ada di sana selama beberapa bulan.” “Milan di Italia?” Davina mengangguk sembari memberikan senyum tipis. “Iya.” Dalam waktu singkat, Putra langsung melingkarkan lengannya pada leher Davina dan memeluk kakak perempuannya itu dengan erat. “Aku seneng, Mbak!” Reaksi Putra itu jelas bukanlah seperti yang dibayangkan Davina. Dia sudah menyiapkan berbagai macam penjelasan demi membuat Putra paham. Namun menyaksikan reaksi Putra yang seperti ini, tugas Davina tentu saja menjadi lebih mudah. Dia harusnya tahu bahwa adiknya pasti mengerti, tetapi tetap saja, dia tidak menyangka akan begitu mudah menyampaikan berita ini. Davina pun kemudian mengelus rambut adik laki-lakinya sebelum Putra melepaskan pelukannya dan menatap Davina. “Jadi kapan Mbak pergi?” “Kamu nggak keberatan?” Balasan dari Davina itu justru membuat kening Putra mengerut. “Kenapa aku harus keberatan, Mbak?” “Karena Mbak akan pergi lama dan kamu harus sendirian sama Mama di rumah.” Putra menggeleng. “Aku tahu kerjaan Mbak Davina harus sering pergi-pergi, dan kalau Mbak bilang ini kesempatan yang nggak dateng dua kali, nggak ada alasan aku keberatan.” “Tapi kamu harus janji satu hal sama Mbak.” “Apa itu?” “Jangan bantah Mama dan bantuin Mama kalau bisa. Jangan bikin repot Mama.” Balasan yang diberikan Putra hanyalah sebuah acungan jempol. “Mbak jangan khawatir.” Davina pun hanya mengangguk pelan. “Belajarnya juga jangan kendor. Jangan sampai peringkat kamu turun karena nggak ada Mbak di rumah. Main nggak papa, tapi jangan sampai lupa buat belajar.” “Mbak ini omongannya udah kayak Mama. Berasa punya dua Mama daripada punya Kakak.” Mendengar itu, sulit bagi Davina untuk tidak tertawa. “Kamu jaga Mama selama Mbak pergi, ya? Jangan bikin Mbak kepikiran di sana.” “Aku nggak perlu diingetin, Mbak. Tanpa Mbak harus pergi pun, aku pasti jaga Mama.” Davina memberi anggukan pelan. “Ya udah, kamu lanjutin belajarnya.” Dia kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Langkahnya terhenti mendengar Putra mengucapkan sesuatu, mungkin mengira Davina tidak mendengarnya. Namun telinga Davina menangkap dengan jelas kalimat yang terucap dari bibir Putra. “Semoga Mbak Davina dapet jodoh di Milan.” Sekuat tenaga, Davina mencoba untuk tidak tergelak mendengarnya. Maka dia pun kemudian mempercepat langkahnya keluar dari kamar Putra supaya adiknya tersebut tidak menyadari bahwa ucapannya cukup keras. *** “Udah ngomong sama Putra?” Davina menanggapi pertanyaan mamanya tersebut dengan sebuah anggukan dan senyum. “Semalem, Ma.” Ini adalah satu-satunya waktu di mana Davina dan Mamanya bisa bicara dengan leluasa tanpa ada ketakutan Putra mendengarnya karena adiknya tersebut sudah berangkat sekolah. Sering mereka membahas sesuatu yang serius, bahkan beberapa kali argumen mereka terjadi di waktu seperti ini, biasanya jika mamanya sudah menyinggung perkara laki-laki yang tidak lagi dianggap Davina sebagai orang tua. Terlebih jika Davina ada pekerjaan, maka mereka tidak akan punya waktu lain selain di saat-saat seperti ini. “Gimana reaksi dia?” “Sangat positif. Aku nggak nyangka Putra akan semudah itu nerima. Aku udah nyiapin berbagai macem penjelasan dan jawaban untuk setiap pertanyaan yang mungkin bakal dia tanyain. Tapi Putra cuma bilang dia seneng aku dapet kesempatan ini.” “Kamu bilang bakal berapa lama pergi?” “Aku nggak ngejelasin secara detail, cuma bilang akan pergi cukup lama.” Mamanya mengangguk sebelum mengambil kursi yang berseberangan dengan Davina. Dia menatap putri satu-satunya tersebut dengan lembut. “Jadi udah tahu kapan pastinya kamu pergi?” Davina menggeleng. “Harus ngurus visa dulu, Ma, dan aku nggak tahu itu bakal lama atau nggak. Tapi begitu visa keluar, aku mungkin hanya punya satu-dua hari buat siap-siap.” “Gimana perasaan kamu? Seneng?” Sejak menandatangani kontrak untuk menjadi kontestan The Pose, belum ada satu orang pun yang bertanya kepadanya tentang perasaannya. Sebagian besar dari mereka berasumsi bahwa dirinya pasti merasa senang dan bahagia. Menyadari bahwa orang pertama yang ingin tahu tentang perasaannya adalah mamanya, membuat Davina yakin bahwa tidak ada orang lain di dunia ini yang mengenalnya dengan sangat baik seperti mamanya. Perempuan di hadapannya ini bisa membaca Davina dengan tepat tanpa harus dia menunjukkannya. “Sejujurnya, aku takut, Ma.” “Karena kamu akan ada di negara orang?” Meski belum pernah pergi ke luar negeri untuk kepentingan kerja, ketakutan Davina bukanlah karena dia harus berada di negara yang bahasanya tidak dia kuasai. Dia terlalu sering berada di tempat asing, di mana dia tidak mengenal siapa pun, jadi bukan itu yang menggelayuti hatinya beberapa hari terakhir. “Lebih karena aku harus berada satu rumah dengan orang-orang yang punya ambisi. Aku tahu mereka seperti apa, Ma, dan Mama juga tahu, aku lebih seneng ada di rumah daripada pergi ke pesta atau perayaan apa pun itu kecuali harus. Mereka bisa jadi sangat … ambisius sampai bisa ngelakuin apa aja buat meraih impian mereka, bahkan jika harus nyakitin orang lain. Gimana aku bisa betah tinggal dengan orang-orang kayak gitu?” Mamanya lantas mengulurkan lengan untuk meraih tangan Davina dan meremasnya pelan. “Meskipun kamu nggak suka berada di lingkungan seperti itu, tapi buktinya, kamu masih bertahan, dan bahkan sampai dapet kesempatan itu. Berarti kamu memang punya mental yang kuat, Davina. Mama nggak pernah tahu dunia model itu seperti apa kecuali dari cerita-cerita kamu, tapi Mama yakin, kamu akan bisa ngadepin semua tantangan di sana dengan baik.” “Gimana kalau aku nggak bisa, Ma?” Mamanya mengembuskan napas pelan. “Mama yakin, pasti kamu akan ngerasa sendirian, nggak punya temen, kangen rumah, dan nggak betah dengan situasi di sana. Dan bagi Mama, itu wajar. Mama cuma pesen supaya kamu nggak berusaha nyimpen itu semua. Seiring dengan berjalannya waktu, Mama tahu kamu akan nemuin cara buat mengatasi masalah-masalah seperti itu. Ketakutan kamu sekarang adalah karena kamu belum ada di sana, jadi kamu hanya bisa mengira-ngira. Belum tentu begitu sampai di sana, semua ketakutan kamu jadi kenyataan. Hadapi semuanya satu per satu, Davina.” Sekalipun Davina tahu bahwa ucapan mamanya benar, tetap saja ketakutannya begitu besar. Ada banyak yang tidak diketahuinya, bukan hanya tentang The Pose, tetapi juga tentang Milan, dan cobaan macam apa yang akan dihadapinya nanti. Dia tahu bahwa situasinya mungkin saja berbeda nanti, tetapi mengenal dunia model yang penuh dengan perempuan-perempuan muda yang terlalu ambisius dan sangat kompetitif, Davina ragu situasinya akan berbeda. Terlebih, ini The Pose, salah satu ajang pencarian bakat terbesar di dunia model. “Apakah kamu yakin, ketakutan kamu cuma karena itu? Bukan karena kamu takut gagal?” Davina diam mendengar pertanyaan mamanya. Di luar rasa takutnya akan banyaknya hal yang tidak dia tahu, ketakutan terbesarnya adalah kegagalan. Jika sebelumnya dia tidak terlalu peduli jika gagal mendapatkan satu project, kali ini dia begitu takut bahwa dia akan dikirim pulang pada kesempatan pertama. Meskipun Jenny dan mamanya meyakinkan dirinya bahwa berada di Milan dan jadi bagian dari The Pose merupakan sebuah kemenangan, tetapi Davina tetap tidak mampu mengusir kekhawatiran bahwa dirinya hanya akan mengecewakan banyak orang sesampainya di Milan nanti. “The Pose adalah hal terbesar yang pernah terjadi dalam karirku, Ma.” “Mama tahu,” ucap mamanya sembari mengelus tangan Davina lembut. “Tapi anggep aja semua yang ada di sana nggak memperhitungkan kamu buat menang. Kamu diremehin, entah karena kamu dari Indonesia, atau karena alasan lain. Bagi Mama, justru dengan itu, kamu harusnya nggak punya beban apa pun. Biarin aja mereka berpikiran begitu. Kamu hanya perlu berusaha semaksimal mungkin. Nggak perlu mikirin pendapat siapa pun.” Davina mengangguk. “Mama benar.” “Asal kamu tahu, Mama udah bangga sama kamu, Davina. Mau kamu menang atau nggak, atau bahkan jika kamu kemarin nggak keterima di The Pose sekalipun, Mama akan tetep bangga.” Mendengar itu, sulit bagi Davina untuk tidak merasa terharu. Sekalipun mereka punya pendapat yang berbeda tentang pria yang sesekali terlontar ketika topik tentangnya mengemuka, Davina tahu perjuangan seperti apa yang sudah dilalui mamanya untuk membesarkan dirinya dan Putra. “Makasih udah dukung semua pilihanku selama ini dan nggak jadi Mama yang otoriter.” Mama Davina tersenyum. “Mama cuma pengen kamu dan Putra bahagia dengan pilihan kalian karena Mama nggak mau maksain apa pun ke kalian. Selama kalian bertanggung jawab dengan pilihan itu dan tahu konsekuensinya, Mama akan selalu ada di belakang kalian.” “Semoga aku bisa lebih banyak bantu Mama setelah The Pose.” “Davina, kamu nggak perlu mikirin itu sekarang. Mama nggak mau itu jadi beban kamu selama di sana. Kamu udah cukup bantu Mama dan Putra selama ini, dan Mama juga nggak mau kamu ngerasa harus ngelakuin itu selamanya.” “Aku sungguh nggak keberatan, Ma.” Balasan yang didapat Davina adalah sebuah senyum tulus, yang hanya bisa diberikan oleh seorang ibu kepada anaknya. *** Memandang jalanan Jakarta dalam perjalanannya menuju agensi, Davina membiarkan dirinya untuk sedikit mengendurkan perasaan khawatir dan takut yang dirasakannya. Dia tentu saja ingin memberikan yang terbaik selama di Milan, dan memenangkan The Pose akan punya dampak yang sangat positif bagi karirnya ke depan. Dia tidak perlu lagi melakukan audisi. Namun yang terpenting, dia bisa menabung lebih banyak agar bisa menyekolahkan Putra di sekolah yang baik, bahkan bila perlu, membiayai kuliah adiknya itu hingga ke luar negeri. Tidak ada yang lebih penting bagi Davina selain mimpi agar keluarga mereka hidup sangat berkecukupan. Meski kehidupan mereka sekarang jauh dari kata kurang, tetapi Davina menginginkan lebih, karena dia ingin membuktikan kepada papanya bahwa tanpa kehadiran pria itu, mereka bisa hidup dengan layak. Davina ingin sekali Putra punya karir yang akan mampu menemani dirinya merawat mama mereka. Dia tahu, karir seorang model terbatas oleh usia, kecuali jika model itu bernama Naomi Campbell. Davina tentu saja ingin karirnya berlangsung lama, tetapi pilihan itu tidak ada pada dirinya. Pilihan itu hanya dimiliki rumah mode dan desainer. Mengembuskan napas lega, Davina menyandarkan kepalanya ke kursi taksi yang ditumpanginya dan berharap dia akan mampu mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya sesampainya dia di Milan nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD