III

2034 Words
Davina menarik napas panjang sembari berdiri di depan pintu ruangan yang biasanya digunakan untuk acara-acara tertentu di Randall Agency. Sejak semalam dia memikirkan hari ini tanpa henti karena ada banyak yang dipertaruhkan pagi ini. Dia bahkan tidak bisa tidur nyenyak karena pikirannya terus tertuju kepada ibunya dan Putra yang harus ditinggalkannya untuk berapa lama. Ini juga akan menjadi pertama kalinya Davina pergi jauh tanpa adanya kepastian tentang apa pun. Ada begitu banyak ketakutan yang tidak mungkin Davina ungkapkan kepada siapa pun. Bahkan dia pun tidak berani menatap ibunya pagi ini sebelum berangkat ke agency. Sepanjang perjalanan menuju kantor, rasa takut Davina menjadi semakin besar. Sebagian hatinya membujuknya agar melepaskan kesempatan ini supaya dia tidak perlu pergi ke Milan. Namun sebagian dari dirinya ingin sekali membuktikan kepada semua orang yang dulu pernah merendahkannya atau menertawakan impiannya. Davina hanya ingin membanggakan mamanya dan juga Putra sekalipun dia tahu bahwa keluarganya tersebut sudah bangga kepadanya, tanpa harus dirinya pergi ke Milan. Lengan Davina terangkat. Dia kemudian mengetuk pintu ruangan tersebut dengan pelan. "Masuk!" Dengan jari yang gemetar, Davina membuka pintu ruangan itu sementara jantungnya berdegup tidak beraturan. Mata Davina langsung menangkap Howard duduk di kursi yang ditempatinya kemarin. Pria itu mengangkat wajah sebelum menyambut Davina dengan senyum. Sementara Jenny menatap Davina dengan sumringah di kursi yang kemarin diduduki Randall. Davina pun menyunggingkan senyum kepada mereka berdua sebelum tangannya menutup pintu di belakangnya. Dia dengan segera menghampiri kedua orang yang punya andil besar dalam karirnya tersebut dan mengambil kursi yang ada di seberang Howard. "Tidurnya gimana semalem?" Jawaban yang diberikan Davina hanyalah sebuah senyum simpul karena dia yakin, Jenny mampu menangkap kalimat yang tidak terucapkan olehnya. Mereka cukup lama saling mengenal hingga tidak setiap hal harus diucapkan oleh Davina. "Are you ready, Davina?" Pertanyaan dari Howard tersebut membuat perhatian Davina teralih. Dengan satu gerakan, perempuan muda itu menatap Howard yang sudah mengeluarkan tumpukan kertas yang pasti merupakan kontrak untuk Davina. "Sebelum kamu membaca semua kontrak ini, satu hal yang perlu saya katakan—sekalipun pasal itu ada di dalam kontrak—yaitu semua yang terjadi di Milan nanti bersifat confidential, terutama mengenai eliminasi atau pun pemenangnya karena akan ada jeda beberapa bulan sebelum episode The Pose tayang. Setiap kontestan tidak diperkenankan untuk membocorkan hasilnya kepada siapa pun, termasuk anggota keluarga dan orang-orang terdekat. Saya tahu ini mungkin hal yang sulit, tapi ada konsekuensi jika pasal ini dilanggar." Davina hanya mampu menelan ludah mendengar penjelasan Howard tersebut. Pandangan Davina pun sesaat beralih ke Jenny. Davina tahu bahwa menyetujui untuk ikut The Pose berarti harus siap dengan segala macam konsekuensinya. Namun karena dia juga tidak memiliki banyak teman maka Davina pun tidak terlalu khawatir dengan kemungkinan dia melanggar kontrak. Davina mengangguk."Akan saya ingat itu." Howard kemudian menyodorkan beberapa berkas ke arah Davina sembari memberikan sebuah senyum. "This is your contract. Please read it carefully." Devina pun kemudian menerima beberapa lembar kertas dari Howard sebelum mulai membaca kalimat pertama. "Jika ada yang ingin kamu tanyakan, jangan ragu untuk bertanya kepada saya. Keluarkan semua pertanyaan yang kamu punya agar ketika kamu berangkat ke Milan, tidak ada lagi pertanyaan yang mengganggu kamu." Davina pun hanya mampu mengangguk. "Kalau perlu bantuan, aku di sini," ucap Jenny sembari menyunggingkan senyum. "Take your time, Davina. I'm here to help you understanding everything." Davina kembali mengangguk. Dengan penuh kehati-hatian, Davina mulai membaca kontrak tersebut. Dia memperhatikan setiap kalimat dan mengulangnya agar dia benar-benar memahami isinya. Jika melihat dari banyaknya kertas yang disodorkan oleh Howard, Davina yakin akan banyak pertanyaan yang muncul dalam pikirannya. Namun karena Jenny dan juga Howard ada di sini, dia merasa tidak perlu terburu-buru. Sebagian besar isi dari kontrak tersebut bukanlah sesuatu yang baru bagi Davina. Meski menggunakan bahasa Inggris dan dengan istilah yang berbeda, inti dari kontrak yang sedang dipegangnya saat ini ini serupa dengan kontrak-kontrak lain yang pernah dia tandatangani. Beberapa kali Davina mengajukan pertanyaan kepada Howard dan pria tersebut dengan sabar menjelaskan kepada Davina tentang poin-poin yang tidak Davina pahami. Ada satu poin dari kontrak tersebut yang menyebutkan bahwa jika Davina mundur dari kompetisi dengan sukarela dan bukan karena tereliminasi, maka Davina harus mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak The Pose termasuk biaya persiapan sebelum Davina berangkat ke Milan dan semua yang diberikan oleh pihak The Pose selama Davina ada di Milan. Membaca poin tersebut membuat Devina hanya mampu menelan ludah karena dia tahu berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan untuk setiap kontestan karena jumlah nominalnya tertera pada kontrak di tangannya. Dengan itu, Davina pun mengubur dalam-dalam niat yang sempat terlintas dalam pikirannya. Alasannya sudah jelas karena Davina tidak memiliki uang sebanyak itu kita bunganya. Maka tidak ada pilihan lain bagi Davina kecuali menyetujui semua poin yang terdapat dalam kontrak dan menyerahkan nasibnya pada pihak The Pose. Begitu Davina melontarkan semua pertanyaan yang ada dalam pikirannya, dia pun kemudian memandang Howard dan Jenny secara bergantian. "Apakah kamu siap untuk menandatangani kontrak ini, Davina?" tanya Howard tanpa mampu menyembunyikan senyum simpulnya. "Pastikan kamu bertanya semuanya, Davina. Bahkan hal-hal terkecil pun, jangan ragu untuk bertanya," tambah Jenny. Davina pun mengangguk. "Sementara ini hanya itu yang ingin saya tahu." Dia kemudian memusatkan perhatiannya pada Howard. "Jika saya masih punya pertanyaan lain terkait dengan kontrak, apakah nanti ada perwakilan yang bisa saya tanyai selama di Milan?" Pertanyaan itu diajukan oleh Davina karena dia sangat yakin bahwa kondisi di Milan nanti akan sangat berbeda. Dia hanya ingin mengetahui bahwa setibanya di Milan nanti, akan ada orang yang yang mampu menjawab semua pertanyaan yang muncul kelak. Howard mengangguk mantap. "Tentu saja ada," jawabnya mantap. "Akan selalu ada ada pihak yang stand by di sana. Begitu kamu sampai di Milan nanti, kamu akan diberi semua contact person yang mungkin diperlukan para kontestan selama mereka ada dalam kompetisi. Bahkan bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun, kamu bisa bicara dengan mereka. Tapi sebelum kamu berangkat ke sana, saya yakin kamu punya pertanyaan, dan untuk itulah saya di sini." Mengetahui itu, Davina mengembuskan napas lega. "Thank you, Howard. That's a relief." "Jangan khawatir, Davina. Semua kebutuhan dan keperluan kamu akan ditanggung dan dan kami akan menjaga kamu dengan baik." "Apakah kamu siap untuk menandatangani kontraknya Davina?" tanya Jenny. Davina mengangguk. Howard pun kemudian menyodorkan pulpen ke arah Davina. Tanpa ragu, Devina meraih pulpen tersebut dan dengan satu embusan napas, dia menatap bagian kosong yang sebentar lagi akan diisi oleh tanda tangannya. Menelan ludah, Davina kemudian membubuhkan tanda tangannya ke beberapa lembar kontrak dan dan sebelum menyerahkannya kepada Howard, Davina memastikan kembali bahwa dia sudah menandatangani semua yang harus ditandatanganinya. Setelah yakin, Davina kemudian menyerahkan kontrak tersebut ke Howard. Pria di hadapannya ini mengecek kembali, memastikan bahwa semua bagian yang harus ditandatangani Davina sudah terisi dengan lengkap. Dengan senyum di wajahnya, Howard kemudian memasukkan berkas-berkas itu ke sebuah amplop sebelum dia kembali memandang Davina. "You will not regret this decision, Davina. I know for sure your life is going to change forever." Davina hanya mengamini ucapan tersebut dengan sebuah anggukan kecil. "Karena tugas utama saya sudah selesai, maka ...," Howard kemudian bangkit dari duduknya hingga tidak memberi pilihan bagi Jenny atau Davina selain melakukan hal yang sama. Pria tersebut menatap Davina dan Jenny secara bergantian. "Sudah saatnya saya kembali berkelana," candanya yang diikuti sebuah gelak. Howard lantas mengulurkan tangannya ke arah Davina. "Welcome to The Pose, Davina." Davina pun dengan segera membalas uluran tangan tersebut. Genggaman tangan Howard dirasa Davina begitu kuat. "Thank you for giving me this opportunity." Setelah sedikit berbasa-basi, Howard pun kemudian keluar dari ruangan, meninggalkan Davina dan Jenny yang masih terpaku di tempat masing-masing. Dengan segera, Jenny mencengkeram kedua lengan Davina dengan lembut dan meluapkan kegembiraannya yang sepertinya ditahan karena kehadiran Howard. "I'm so excited for you, Davina!" seru Jenny dengan wajah sumringah. "Aku masih nggak nyangka, Mbak." "Well, kamu baru saja tanda tangan kontrak. Itu berarti kamu resmi menjadi kontestan The Pose!" Aneh bagi Davina melihat perempuan yang selama ini dikenalnya begitu tegas, tampak seperti anak lima tahun yang baru saja dibelikan balon oleh orang tuanya. Davina jelas belum pernah melihat jennie seperti ini. Mengetahui bahwa alasan kegembiraan perempuan di hadapannya sekarang adalah dirinya, Davina masih merasa dia berada di alam mimpi. "Lalu, kontrak-kontrak aku yang masih ada gimana, Mbak?" "Semuanya udah aku urusin, kamu nggak perlu khawatir. Yang terpenting sekarang adalah kamu nyiapin mental karena tim The Pose akan segera kirim detail keberangkatan kamu ke Milan. Randall juga udah kasih aku ini," ucap Jenny seraya menunjukkan kartu kredit di tangannya. "Supaya kamu bisa belanja buat beberapa keperluan dan baju yang nggak akan di-cover oleh beberapa desainer." Mendengar itu, mata Davina melebar. "Serius, Mbak? Kok tumben Randall begitu? Apa nggak akan bikin model yang lain iri kalau tahu?" Jenny pun hanya berdecak menanggapi kalimat Davina tersebut. "Davina, kamu ini masih belum ngerti juga, ya? Dengan kamu resmi jadi kontestan The Pose, maka itu sudah menjadi sebuah kemenangan buat Randall. Dia berinvestasi ke kamu. Terlepas apakah nanti kamu menang atau nggak, itu urusan lain. Yang terpenting bagi Randall adalah kamu menjadi satu-satunya wakil Indonesia dan model pertama dari Randall Agency yang berhasil masuk The Pose. It's such a big achievement not only for him personally, but also for this agency. Kesempatan ini akan ngebuka banyak jalan bagi Randall ke depannya. Jadi wajar aja kalau dia pengen kamu mewakili Randall Agency dengan baik." Davina pun hanya bisa diam mendengar kalimat yang diucapkan oleh Jenny tersebut. Dia tidak menyangka bahwa lolosnya dia menjadi salah satu kontestan The Pose punya dampak dan efek begitu besar bagi agensi yang selama ini menaunginya. Meskipun apa yang didengarnya terasa seperti sebuah beban, Davina tahu bahwa dia tidak lagu hanya membawa namanya secara pribadi, tetapi juga membawa nama agensi, nama keluarganya dan yang paling utama, nama negaranya. "Aku takut ngecewain nanti, Mbak." "Davina, ada satu hal yang perlu kamu ingat. Saat ini, kamu udah bikin siapa pun yang ada di agensi ini bangga luar biasa. Apa pun yang terjadi nanti, aku bisa ngeyakinin kamu bahwa kecewa itu nggak akan pernah ada." Jenny pun kemudian mengelus kedua lengan Davina dengan lembut. "Yang yang perlu kamu lakukan dan adalah berangkat ke Milan dan dan nikmati setiap prosesnya. Always do your best and let the judges do the rest." Davina pun mengangguk. "Akan aku usahain, Mbak." "Gimana reaksi Mama dan adik kamu?" "Mama sih bahagia dan sangat ngedukung aku buat nerima tawaran ini. Sementara Putra ... aku belum ngasih tahu dia." "Apakah ada yang kamu tunggu?" Davina menggeleng. "Begitu aku pulang nanti, aku akan langsung bilang ke Putra." "Aku yakin adik kamu juga pasti akan bangga dengar cerita dan pencapaian kamu, Davina. " "Semoga, Mbak." "Ya udah, sekarang kamu pulang, dan cerita ke Putra. Kita bisa belanja besok kalau kamu mau. Kamu harus ngabisin waktu yang tersisa dengan keluarga kamu." Davina mengangguk setuju. "Kalau begitu, aku pulang dulu, Mbak. Sekali lagi makasih buat semuanya." Jenny hanya berdecak. "Lama-lama, nanti aku pakai kaus dengan tulisan, 'Davina harus stop bilang terima kasih,' kalau kamu terus-terusan bilang begitu." Mau tidak mau, ucapan itu membuat Davina tertawa. "Ya nggak gitu juga sih, Mbak." "Aku cuma daftarin kamu, Davina, dan pencapaian ini murni karena penampilan kamu saat audisi. Jadi, jangan beranggapan bahwa kamu bisa jadi kontestan The Pose karena aku atau karena Randall. Ini semua kerja keras kamu, dan kamu jelas sangat layak untuk berada di Milan. Aku yakin, menang atau kalah, kesempatan untuk menembus pasar internasional udah terbuka lebar." "Akan aku inget, Mbak." Setelah sedikit berbasa-basi, Davina pun keluar dari ruangan yang pagi ini menyaksikan dirinya menyerahkan sebagian besar mimpinya kepada Howard. Tidak ada jalan kembali. Davina tidak bisa mundur. Yang yang harus dihadapinya sekarang adalah kesiapan mental, dan keberanian untuk akhirnya meninggalkan mama dan Putra demi impiannya sendiri. Mengembuskan napas lega, Davina memanggil salah satu taksi yang melewati gedung agensi tempatnya bernaung selama enam tahun terakhir. Sembari memikirkan bagaimana harus memberitahu Putra tentang Milan dan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan adiknya tersebut, Davina masuk ke dalam taksi dan meminta sopir taksi tersebut untuk menuju ke salah satu pusat perbelanjaan. Dia ingin membelikan Putra sesuatu supaya adiknya tersebut bisa memaafkannya jika memang nanti reaksi yang diberikan Putra tidak seperti yang diharapkannya. Sekalipun apa yang dilakukannya tidak jauh berbeda dengan sebuah suap, Davina tidak melihat cara lain supaya adiknya bisa memahami alasan dirinya menerima tawaran ini. Meskipun yakin mamanya akan membantu, Davina merasa bahwa dia sendiri yang harus bicara kepada Putra, bukan mamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD