II

1244 Words
Sepulangnya dari agensi, Davina mampir ke sebuah gerai kopi yang letaknya di bawah agensi untuk sedikit berpikir tanpa pengaruh Jenny. Dia tidak mengingkari bahwa semua yang diungkapkan Jenny mengandung kebenaran. Hanya saja, Davina tetap harus memberitahu mama dan adiknya tentang ini. Dia ingin bercerita sebelum dia harus menandatangani kontrak esok hari. Davina belum pernah sekali pun naik pesawat ke luar Indonesia. Jika sedang sepi kerjaan, dia lebih memilih untuk tinggal di rumah dan membantu adiknya belajar. Pekerjaan sebagai model memang punya jadwal yang tidak pasti, maka Davina menggunakan waktu luangnya sebaik mungkin. Tidak ada keraguan dalam diri Davina bahwa mamanya akan sanggup bertahan jika dia memutuskan untuk pergi ke Milan. Mengurus Putra sendirian bukanlah perkara berat karena Davina selalu mengingatkan bocah itu untuk selalu melakukan apa saja yang diperintahkan mama mereka tanpa membangkang. Davina masih belum tahu bagaimana kondisi di Milan nanti—jika memang dia memutuskan untuk menandatangani kontrak—apakah dia bisa menghubungi mama dan adiknya setiap hari atau tidak. Namun dari reality show seperti America’s Next Top Model, para kontestan hanya akan mendapatkan kesempatan menggunakan telepon pada saat-saat tertentu saja. Membayangkan itu, Davina hanya bisa menelan ludah. Dia menyesap kopinya dan pikirannya beralih ke Milan itu sendiri dan juga kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan, budaya, serta model-model lain dari berbagai negara. Davina tidak mempermasalahkan bahasa Inggrisnya karena meskipun tidak sempurna, dia bisa berkomunikasi dengan baik—salah satu kelas yang disediakan untuknya dari agensi. Belum lagi perasaan kecil hati yang pasti dirasakannya mendapati model-model yang mengikuti kompetisi tersebut lebih dari segalanya dibanding Davina. Kalimat motivasi dan semangat yang dikumandangkan Jenny berkali-kali memang cukup ampuh mengusir perasaan tidak percaya dirinya. Namun di Milan nanti, tidak ada Jenny yang memberitahunya harus bersikap seperti apa. Dia akan seorang diri. Davina bahkan sudah membangun imajinasi tentang model pria Indonesia yang akan menemaninya ke Milan nanti. Davina membayangkan sifat dan sikap pria itu tidak jauh dari pria yang meninggalkan dia, Putra, dan mamanya tanpa punya rasa tanggung jawab. Mengetahui beberapa model pria, bagi Davina, mereka hanya mengandalkan tubuh atletis tanpa punya kepribadian yang mampu membuat Davina salut atau bersimpati. Mereka pun sangat dangkal dan suka mencari perhatian di media sosial dengan mengunggah foto-foto telanjang d**a. Davina mengerang pelan menyadari bahwa kemungkinan dia akan satu rumah dengan orang-orang yang sangat menglorifikasi dan merasa paling super akan membuatnya tidak betah. Davina pun sadar bahwa The Pose bukanlah kompetisi berkelas murahan, jadi siapa pun yang telah berhasil menjadi kontestan, akan habis-habisan menunjukkan performa terbaik mereka untuk menjadi pemenang. Dia pun sempat mencari tahu sedikit lebih banyak tentang The Face. Hadiah utama yang diberikan kepada pemenang tahun lalu membuat jantung Davina berdegup. Selain akan punya kesempatan untuk berjalan di atas runway Milan dan Paris Fashion Week dengan mengenakan rancangan desainer kelas dunia, pemenang pertama juga akan otomatis menjadi bagian dari Chrysalis Group, sebuah agensi model paling tersohor di dunia modeling, yang otomatis akan mengangkat nama Davina. Belum lagi hadiah uang tunai yang bisa dia gunakan untuk membantu mama dan adiknya serta hadiah dari sponsor-sponsor lain. Meskipun semua konsekuensi dari The Pose tidak ada yang negatif—kecuali mungkin harus sering-sering meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lebih lama—bagi Davina, ini keputusan besar dan dia tidak ingin gegabah mengambilnya. Ketakutan terbesar Davina adalah penyesalan yang akan datang saat semuanya sudah terjadi dan tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk mengubahnya. Menandaskan kopi yang sudah tidak lagi hangat, Davina meninggalkan gerai kopi tersebut dan memutuskan untuk pulang. Semakin cepat dia bicara dengan mamanya, semakin cepat pula dia akan mampu mengambil keputusan.   ***   “Itu kesempatan yang luar biasa!” Tanggapan mamanya setelah dia berhati-hati dan menimbang bermacam cara untuk mengabari berita yang diterimanya tadi, sungguh di luar dugaan Davina. Bukan hanya mamanya tampak sangat bahagia melalui kalimat, tetapi juga dari raut wajah yang menunjukkan bahwa mamanya memang benar-benar bahagia. Bahkan Davina sampai harus meminta mamanya untuk melepaskan pelukan karena dia merasa reaksi mamanya sedikit berlebihan. Setelah pria yang tidak ingin dianggapnya orang tua meninggalkan mereka, dia jarang mendapati mamanya sebahagia ini. Semua tawa dan canda yang keluar terasa sebagai sebuah kewajiban dibandingkan sesuatu yang tulus dan memang datang dari hati. “Jadi Mama setuju aku ikut kompetisi itu di Milan?” “Kenapa kamu berpikir Mama akan nentang kamu ikut?” tanya mama Davina dengan heran. “Ini kan kesempatan bagus, Mama pasti nggak akan ngelarang, apalagi cuma satu model yang dipilih dari Indonesia. Itu sebuah kebanggaan yang besar, Vina, karena kamu nggak cuma akan banggain negara, tetapi juga Mama dan Putra.” Hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan itu. Jenny dan semua staf di agensi selalu memanggilnya Davina karena menurut mereka, nama itu lebih terdengar sangat mahal dan pantas. Davina pun tidak mau memrotesnya. Davina memang mendengar kalimat serupa dari Jenny, tetapi saat mamanya mengungkapkan itu, ada haru yang menyelimuti Davina. Baginya, restu dari mamanya adalah segalanya. Davina bahkan akan melepas kesempatan ini jika mamanya tidak setuju. “Gimana kalau Davina nggak menang, Ma?” Mamanya lantas mengelus pipi dan rambut Davina sebelum berujar, “Buat Mama, kamu berani ambil kesempatan ini aja udah sangat bangga. Mama tahu gimana perasaan nggak pede kamu masih ada sampai sekarang, dan Mama yakin, kompetisi ini akan mendongkrak kepercayaan diri kamu. Perkara menang atau nggak … Mama nggak terlalu pikirin. Bener kata Mbak Jenny kalau kesempatan ini akan ngasih kamu pengalaman yang nggak kamu dapetin dari mana aja.” Davina mengembuskan napas lega sebelum dia menatap mamanya. “Aku nggak tahu apa yang akan aku temui di sana, Ma. Bisa nggak aku betah di sana? Jauh dari Mama sama Putra.” Mama Davina tampak memikirkan sesuatu, sebelum berkata, “Kamu bisa bayangin Mama sama Putra misalkan kamu kangen dan lagi nggak punya semangat. Apa pun hasilnya nanti, Mama akan bangga sama kamu, Vina, begitu juga Putra. Kamu udah ngasih contoh yang baik ke dia, jadi Mama yakin dia akan baik-baik saja kamu tinggal.” “Akan ditayangin di televisi nggak nanti?” “Harusnya iya sih, Ma, cuma aku nggak tahu kapan. Aku belum baca kontraknya.” Mamanya mengangguk paham. “Kamu udah ngasih tahu Putra?” Davina menggeleng. “Aku mau kasih tahu Mama dulu, baru kalau udah oke, aku cerita ke Putra.” “Terus kapan kamu harus tanda tangan kontrak?” “Besok aku harus ke agensi lagi buat ketemu pihak The Pose yang akan ngasih kontrak dan aku bisa tanya apa aja sama dia tentang kompetisi.” Ketika tangan mamanya meremas tangan Davina, dia meletakkan tangan satunya di atas punggun tangan mamanya. “Vina, Mama mungkin nggak bisa kasih bekal ke kamu, tapi Mama pengen kamu selalu melakukan yang terbaik di sana. Jangan setengah-setengah. Mama tahu kamu mungkin nggak pengen ada di sana karena banyak alasan, mungkin termasuk harus ninggalin Mama dan Putra, tapi itu bukan alasan buat nggak serius. Mama bisa janji bahwa kami akan baik-baik saja selama kamu pergi, jadi kamu nggak perlu khawatir. Fokus kamu harus ke sana, dan misalnya nanti kamu nggak menang atau dikirin pulang lebih dulu, Mama akan tetep bangga karena kamu udah ngelakuin yang terbaik.” Davina mengangguk sebelum dia merengkuh tubuh mamanya dalam pelukan. Tidak ada yang lebih penting dalam hidup Davina selain membahagiakan mamanya dan Putra. Mungkin ini adalah jalan yang telah dipilihkan Tuhan untuk Davina meraih keinginan itu dan tidak ada pilihan lain yang bisa diambil Davina selain menjalaninya. “Makasih banyak, Ma,” bisik Davina. Mamanya hanya mengelus punggungnya dan berkata, “Ini udah jadi kewajiban Mama sebagai orang tua, Vina.”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD