I

1684 Words
Davina memasuki bangunan dengan tulisan RANDALL AGENCY di pintu kaca dan langsung disambut Nona di meja resepsionis. Davina menghampiri perempuan yang usianya tidak berbeda jauh dari dirinya itu dengan senyum ramah. “Ada gosip?” Nona tergelak sebelum bertanya, “Kenapa Mbak Davina disuruh ke sini?” Davina mengangguk karena sejujurnya Jenny tidak memberitahunya atas alasan apa dia harus datang ke kantor. Jika ada manusia di Randall Agency yang tahu semuanya, Nona adalah orangnya. Maka tidak salah jika Davina mendekati perempuan itu lebih dulu sebelum bertemu Jenny. “Nggak ada, Mbak. Tapi buruan, gih! Nanti diomelin lagi.” Davina tergelak sebelum dia meninggalkan meja resepsionis setelah mengucapkan terima kasih kepada Nona. Langkah Davina yang biasanya ringan, kali ini terasa lebih berat karena dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Dia mencoba mengingat hal apa yang kira-kira dilakukannya sampai harus diminta datang ke sini dan semakin Davina mengingatnya, dia semakin tidak menemukan apa pun. Dia tidak tertangkap kamera sedang melakukan hal senonoh atau telat datang ke lokasi. Davina berusaha menyingkirkan semua kemungkinan buruk ketika sampai di depan ruangan Jenny. Davina menarik napas panjang dan mengembuskannya. Meski sederhana, Davina selalu bisa meredakan kegugupannya dengan hal itu. Dia lantas mengetuk pintu dan suara Jenny yang memintanya masuk tertangkap oleh telinga Davina. Kejutan pertama yang membuat Davina terkesiap adalah hadirnya Randall Stewart, pemilik Randall Agency. Kejutan kedua adalah satu pria yang sama sekali belum pernah dilihatnya di sini. Dan ketiga adalah mereka bertiga tampak sangat serius. Jantung Davina berdegup semakin kencang. “Davinaaaa,” panggil Jenny yang langsung mendekati Davina sebelum perempuan yang mengenakan setelan jas resmi itu mengecup kedua pipi Davina dan menuntun Davina duduk. Sebelum mendaratkan pantatnya di sofa, Davina menyalami Randall dan satu pria yang mengungkapkan namanya Howard. Begitu Davina duduk, dia menjadi semakin gugup karena belum satu pun manusia yang ada di ruangan itu berkata apa pun. “Kamu pasti penasaran kenapa ada di sini sekarang.” Davina menanggapi ucapan Jenny tersebut dengan anggukan. Pandangannya sesekali beralih ke Howard dan Randall. Seingat Davina, dia jarang bertemu pemilik Randal Agency yang memang lebih sering tinggal di New York dan mengurus agensinya di sana. Namun pria lima puluh tahun tersebut memang menguarkan kesan hangat meski tatapannya selalu membuat Davina salah tingkah karena Randall seperti tahu semua tentangnya tanpa Davina harus memberitahunya. “We’ve got a good news for you.” Kali ini Davina menatap Randall yang mulai menunjukkan seulas senyum tipis. Davina menjadi semakin penasaran dengan berita bagus yang diucapkan Randall. “What kind of good news?” balas Davina, tidak lagi bisa diam dan menunggu sementara kegugupannya semakin bertambah. Dia justru mendapati Randall menatap Howard sebelum pria yang baru ditemuinya pagi ini sedikit memajukan tubuhnya dan menatap Davina lekat. Bibirnya membentuk senyum sebelum pria itu menatap Jenny dan mendapat anggukan pelan dari perempuan. “You are chosen to represent Indonesia in The Pose.” Telinga Davina seperti ingin meminta Howard mengulangi kalimat itu karena dia yakin bukan itu yang didengarnya. Tatapan Davina tertuju pada Randall yang sekarang tersenyum lebar sebelum beralih ke Jenny yang tampak seperti remaja yang mengetahui pria idamannya memberinya senyum. Davina yakin dia mendengar sesuatu yang sama sekali berbeda. “The Pose? Apakah ini lelucon, Mbak?” tanya Davina tanpa mengalihkan tatapannya dari Jenny. “You made it!” Sebelum Davina sempat membalas, Jenny sudah memeluk tubuhnya dan menggoyangnya hingga dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. “It’s not a joke, Davina. You made the cut and will be one of the contestants in The Pose. And this chance will not come around for the second time.” Davina mengarahkan kedua tangannya untuk menutupi bibirnya karena jika kalimat itu datang dari Howard, tidak mungkin semuanya hanya lelucon. Keterkejutannya masih terlalu besar hingga ketika pria itu mengucapkan sesuatu, Davina tidak lagi mampu bisa berkonsentrasi. “Howard ini perwakilan dari The Pose dan dia ke sini untuk mengajukan kontrak untuk kamu dan akan menjawab semua pertanyaan yang terkait dengan The Pose. Dan juga memberitahu kamu secara langsung,” jelas Randall dalam bahasa Inggris. Davina berusaha tidak menunjukkan perasaan bahagianya dengan tangisan, tetapi air mata itu tetap mengalir. “Selamat, Davina. Kesempatan ini akan membuka jalan yang tidak kamu duga.” “Thank you.” “Jenny akan mengurus semuanya, dan Howard akan di Jakarta sampai lusa. Dia ingin memberi kamu waktu untuk memikirkan semuanya sebelum menandatangani kontrak. Dia akan ke sini lagi besok.” Sesaat kemudian, Davina berdiri ketika melihat Randall dan Howard juga bangkit dari duduk mereka. Jantung Davina masih berdegup kencang saat dua pria itu menyalaminya. Begitu mereka keluar dari ruangan, tatapannya langsung beralih ke Jenny yang sedari tadi tidak bisa menyembunyikan senyumnya. “Ini nyata?” “Senyata kamu akan pergi ke Milan selama kompetisi berlangsung!” pekik Jenny sebelum dia mendekati Davina. “Sekarang kamu tahu alasan utama aku daftarin kamu diem-diem?” Davina mengangguk meskipun rasa tidak percaya dengan apa yang baru terjadi masih menguasainya. Dia menatap Jenny seolah ingin memastikan lagi dia sedang tidak bermimpi. Seperti bisa membaca keraguan Davina, Jenny menghampirinya dan mencubit lengan Davina. Tidak cukup kuat, tetapi berhasil membuat Davina sadar dari lamunannya. “Sekarang percaya?” Davina kembali mengangguk sembari mengelus lengannya yang tadi dicubit Jenny. “Mbak tahu nggak sainganku seperti apa pas audisi kemarin? Wajar kalau aku syok karena aku bener-bener nggak nyangka.” Jenny hanya berdecak pelan. “Siapa saingan kamu itu nggak penting sekarang. Kamu dipilih pihak The Face buat ngewakilin Indonesia, itu artinya kamu punya sesuatu yang nggak dimiliki model lainnya. The Face kan nggak pernah nyari tipe model yang sama.” Davina terdiam karena membayangkan dia akan mewakili Indonesia saja tidak berani dia jejalkan ke pikirannya. Rasa tidak percaya dirinya kembali mencuat membayangkan dia akan bersaing dengan model-model dari negara lain yang pastinya jauh lebih menarik secara fisik dan punya pengalaman lebih dari dirinya. “Davina … kamu pasti ngebayangin yang macem-macem lagi.” Balasan yang diberikan Davina hanyalah senyum tipis menyadari Jenny akan selalu tahu semua keraguan yang dimilikinya tanpa harus dia membuka mulut. Dia lantas duduk di kursi yang ada di depan meja Jenny dan memandang langit Jakarta dan ujung bangunan-bangunan tinggi yang tampak jelas dari ruangan Jenny. Ada banyak yang mengisi pikiran Davina sekarang, termasuk bagaimana dia harus memberitahu mama dan adik laki-lakinya. Yang tidak Davina ragukan adalah mereka pasti akan sangat bangga, tetapi membayangkan dia harus meninggalkan mereka dalam jangka waktu yang cukup lama, membuat Davina resah. Davina lantas disodori tablet oleh Jenny yang menampilkan profil perempuan berambut pirang dengan mata biru. Selanjutnya, tampak seorang wanita berkulit hitam dengan rambut keriting yang mengembang. Matanya lantas mendapati wanita berkulit pucat dan berambut pucat dan tampak seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya. Tablet itu lantas ditarik lagi oleh Jenny hingga membuat Davina pun mengalihkan padangannya kepada perempuan yang sedang bersandar pada meja tersebut. “Mereka adalah beberapa pemenang The Pose, dan seperti kamu lihat, mereka punya perbedaan yang sangat mencolok.” Davina mengamini ucapan Jenny karena selain warna kulit dan rambut, ketiga perempuan yang ditunjukkan Jenny baru saja memang punya keunikan masing-masing. “Mau tahu alasanku ngajuin kamu buat kompetisi ini?” Davina mengangguk karena Jenny memang menolak setiap kali Davina bertanya alasan perempuan itu memasukkan namanya ke dalam kompetisi. Ada banyak dugaan, tapi tidak ada satu pun yang mampu memuaskan keingintahuan Davina. “Karena kamu unik, Davina. Your background makes you stand out from the crowd and it shows on your face, pose, and walk. Your face is a mixture of disappointment, lost, pain, determination, strength, and your Indonesian-ness makes you different. Aku nggak akan gampang memasukkan nama model ke kompetisi sebesar The Pose kalau aku nggak punya keyakinan.” Jenny lantas melontarkan senyum ke Davina. “Aku tahu kamu pasti nggak akan mau kalau diminta, makanya aku nekat karena aku yakin ini kesempatan yang bagus buat karir kamu.” Menjajak dunia model internasional adalah impian semua model, termasuk Davina. Hanya saja dia tidak pernah menyangka kesempatan itu datang dengan cara seperti ini. Dia selalu beranggapan akan butuh bertahun-tahun sebelum dia bisa melangkah di panggung internasional. Namun ketika kesempatan ini datang, Davina justru meragukan dirinya sendiri. “Tiap negara ngirim satu model cowok dan cewek, kan? Siapa model cowoknya, Mbak?” Jenny menggeleng. “Nggak akan ada yang tahu kecuali dia sendiri, Davina, siapa pun itu. Pihak The Pose merahasiakan semua kandidat sampai mereka tiba di Milan. Tapi aku percaya mereka pun akan milih wakil yang nggak biasa.” Davina mengangguk meskipun dia punya banyak pertanyaan yang tidak akan mungkin dijawab Jenny. “Terus, kenapa Randall dan Howard ada di sini? Kan cukup kalau Mbak Jenny aja yang ngasih tahu.” “Davina … Randall nggak akan diem aja dong tahu salah satu anak didikannya berhasil masuk ke kompetisi model internasional paling bergengsi sedunia. Pertama dalam sejarah Randall Agency! Sementara Howard, dia memang harus jadi pihak yang mengabari kontestan yang lolos ke Milan dan itu nggak bisa diwakilin.” “Gimana kalau aku gagal, Mbak?” Yang didapatkan Davina adalah decakan, kali ini lebih keras. “Aku sendiri nggak peduli kamu sampai babak berapa meskipun akan jadi luar biasa kalau kamu sampai final dan menang.” Senyum Jenny tersungging saat mengucapkan itu. “Nggak ada kontestan The Face yang gagal, Davina. Mau menang atau nggak, mereka pasti jadi incaran brand dan rumah mode dunia. Kamu akan keekspos dunia internasional dan itu langkah pertama yang bagus. Apa pun hasilnya, hidup dan karir kamu akan berubah setelah The Pose. Jadi fokus kamu sekarang adalah ngabarin Mama dan adik kamu, besok ke sini pukul 10 buat ketemu Howard, dan setelah itu, siapin diri untuk berangkat ke Milan. Randall mau kamu tampil tanpa cela di sana, jadi dia udah hubungin beberapa designer untuk ngasih kamu beberapa baju yang bisa kamu pakai di luar acara The Pose. Nggak ada yang perlu kamu pikirin karena aku yang bakal ngurusin semuany.” Davina bangkit dari kursi dan memeluk Jenny dengan erat. Kali ini semua keterkejutannya sudah berkurang hingga dia bisa berpikir sedikit lebih jernih. “Makasih, Mbak. Aku nggak tahu harus bales pake apa.” Jenny menepuk punggung Davina dengan pelan. “Just do your best.” Davina pun berjanji akan melakukan seperti yang diminta Jenny.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD