PROLOG

695 Words
Davina mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan yang dipenuhi oleh perempuan-perempuan muda sepertinya. Awalnya Davina tidak berminat untuk mengikuti audisi ini karena dia yakin, portfolio-nya masih belum cukup panjang dan yang akan dilakukannya hanyalah membuang waktu. Namun Jenny—perempuan yang selama ini menangani karirnya di Randall Agency—mendaftarkannya diam-diam hingga ketika hari ini tiba, dia tidak bisa mengelak. Davina selalu percaya dan mendengarkan sebagian besar kalimat yang terucap dari Jenny hingga Davina tahu perempuan 43 tahun tersebut tidak akan memintanya ikut jika tidak memiliki tujuan. Menghadiri kasting sebenarnya bukanlah hal mengkhawatirkan atau baru bagi Davina karena dia sudah cukup tahu seluk-beluk dunia model. Namun audisi untuk menjadi wakil Indonesia di kompetisi model internasional yang berkantor di Milan bukanlah hal biasa. Kesempatan seperti ini pun diyakini Davina tidak akan menghampirinya dua kali. Sekalipun yakin ada perempuan-perempuan lain yang akan menjadi satu wakil Indonesia—dan dia yakin seratus persen perempuan itu bukanlah dirinya—Davina percaya pengalaman ini pasti akan memberinya pengalaman baru yang akan berguna. Davina bahkan berpikir, atas alasan itulah Jenny memintanya berpartisipasi tanpa bertanya kepadanya lebih dulu. Rasa rendah diri Davina masih begitu kuat mengakar dalam dirinya setiap kali harus hadir dalam kompetisi atau acara seperti ini. Meski bukan posturnya yang memang cocok menjadi model, latar belakangnya yang tidak datang dari keluarga berada selalu membuat kepercayaan diri Davina muncul dengan hebat dan itu membuat keraguannya menyeruak. Jenny yang tahu persis apa yang membuat Davina mengalami krisis percaya diri, mengingatkan Davina bahwa klien tidak peduli dengan sejarah hidupnya, tapi apa yang bisa dia berikan sebagai model. Sejak ditangani Randall Agency, Davina yang sebelumnya buta soal dunia model, mulai mendapatkan bekal yang sangat banyak hingga dia mulai menemukan pose dan signature walk yang membedakannya dari model-model lain. Perlahan, dia mulai dikenal meski masih dalam lingkup kecil, dan meski tidak ingin berada di sini sekarang, Davina akan mengeluarkan seluruh kemampuannya, terlepas dari hasil yang akan didapatnya nanti. “Dari agensi mana?” Davina menoleh ke perempuan yang duduk di sampingnya. Tidak percaya bahwa ada yang mengajakany bicara. Kesan pertama yang bisa ditangkap Davina dari perempuan yang mengajukan pertanyaan tersebut adalah kecantikan yang tidak bisa dibantah, seperti versi Indonesia supermodel Christy Turlington tahun 90-an. Rok mini yang dia kenakan semakin mempertontonkan kaki jenjangnya sementara rambut hitam sepunggungnya dibiarkan tergerai membuatnya menjadi model yang sangat diimpikan banyak rumah mode. Davina tahu bahwa mereka—siapa pun yang ada di tempat ini—punya satu tujuan, dan menjalin pertemanan atau memulai sebuah obrolan bukanlah termasuk di dalamnya. “Randall,” balas Davina singkat sembari menunjukkan senyum terbaiknya. Dia tahu agensi itu cukup disegani di Jakarta. Davina sadar diri untuk tidak meneruskan pembicaraan pada situasi seperti ini kecuali jika dia kembali dilibatkan. Mengajukan pertanyaan lanjutan pun tidak ada dalam kamus Davina. Bukan dia tidak mau, tetapi Jenny terus memperingatkannya bahwa mereka tidak mencari teman di tempat seperti ini. “Sudah lama di sana?” “Enam tahun,” jawab Davina, lagi-lagi singkat dan sopan. Dia berharap namanya segera dipanggil agar bisa cepat beranjak dari sisi perempuan ini. “Udah pernah dapet job di luar?” Dengan sebuah senyum tipis, Davina menggeleng. “Belum ada kesempatan.” Jawaban itu lantas ditanggapi dengan pandangan dan seringai kecil yang membuat Davina pun hanya bisa menghapus senyumnya. Meskipun pengalamannya belum memasuki pasar internasional, tetapi perasaan tidak percaya dirinya yang tadi sempat menghampirinya, justru meningkat mendapati bahwa dia sama sekali tidak diperhitungkan di audisi ini. Dia mungkin tidak punya apa yang dimiliki perempuan yang sangat cantik ini, tapi Davina selalu tahu dia punya tekad yang kuat. “Mungkin mereka cari model yang udah pernah punya pengalaman di luar.” Davina tidak akan menanggapi ucapan itu karena sekarang dia tahu bahwa niat perempuan di sebelahnya ini hanya untuk merendahkannya dan menganggapnya bukan saingan setara. Maka Davina pun hanya diam dan menyandarkan punggungnya sembari menunggu. Tidak lama kemudian, Davina menegakkan tubuh saat namanya dipanggil. Dalam hitungan detik, semua mata yang sebelumnya tidak tertuju padanya, sekarang menjadikan Davina sebagi satu-satunya pusat perhatian, termasuk perempuan di sampingnya. Setelah menarik napas panjang, Davina segera bangkit dari duduknya dan segera melangkah menuju wanita yang tadi memanggil namanya. “Gugup?” “Sedikit,” balas Davina sebelum dia masuk ke ruang audisi. Davina pun tidak sedikit pun ragu bahwa dia akan memberikan yang terbaik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD