Bagian 3

1028 Words
Berbekal informasi yang Windy berikan, jadi disinilah aku. Duduk di kursi kemudi di parkiran salah satu kampus terkenal di jakarta –yang dulunya juga merupakan kampusku. Sudah 30 menit aku duduk di mobil. Masih dilema antara keluar dan duduk di kantin –seperti perjanjian kami- atau segera pergi dari sini sekarang juga.             Sebenarnya hari ini aku bukan ingin bertemu Windy. Aku ingin bertemu Alya. Permintaan bunda saat pertunangan Karen waktu itu membuatku ingin segera membicarakan hal ini pada Alya. Bunda bahkan sudah membicarakan hal ini kepada seluruh keluarga besar kemarin yang langsung di sambut meriah oleh mereka –tentu saja.             Sejujurnya aku bingung bagaimana memulai pembicaraan ini dengan Alya. Ya Tuhan bahkan aku tidak memiliki nomer telefon nya dan minggu ini –hari sabtu nanti- keluarga ku benar-benar akan datang ke rumah Alya.             Dengan keberanian seadaanya, akhirnya aku mematikan mesin mobil dan melangkah keluar dari mobil. Aku hanya memakai kaus polo berwarna putih dan celana jeans berwarna hitam. Aku tidak bekerja hari ini karena aku benar-benar tidak bisa fokus hingga masalah ini selesai. Beberapa kali aku bertemu dosen yang pernah mengajar ku. syukurlah, mereka belum lupa padaku.             Aku sudah mengirim pesan pada Windy bahwa aku sudah berada di kantin. Tidak berapa lama kemudian aku melihat Windy bersama Alya datang menghampiri mejaku. Aku reflek tersenyum pada mereka yang malah di balas tawa cekikian dari Windy dan Alya yang memandang heran pada Windy.             “al, gue tinggal ya. Revan udah jemput nih.” Good move, Win.             “loh, gue kira lo mau ketemu ka Davin, win” ujar Alya bingung yang melihat Windy bangkit dari duduknya.             “ngga. Mas Davin itu mau ketemu lo, bukan gue” jelas Windy yang entah kenapa membuatku malu.             Aku bukan lelaki cupu atau apapun itu yang tidak bisa mengobrol dengan wanita. Tapi entah kenapa bersama Alya semuanya menjadi beda. Aku jujur bingung bagaimana harus memulai begitu melihat Windy sudah menghilang dari kantin.             “jadi, ka Davin mau ngomong apa?” suara Alya membuat kesadaran ku kembali.             Aku berdeham dengan pelan. “sejujurnya saya bingung mau ngomong kaya gimana, al. Karena ini juga mendadak banget.”             Alya mengerutkan keningnya. “maksudnya gimana kak? Langsung aja cerita. Gak apa-apa kok” desak Alya karena ku yakin dia sangat penasaran.             “waktu kemarin kamu datang ke acara tunangan adik saya, keluarga saya mengira kamu pacar saya.”             Alya menganggukan kepalanya. “oh gak apa-apa kok, kak. Salah paham biasa. Aku kira kenapa” kata Alya sambil tertawa kecil.             Aduh dia gagal ngerti.             “iya memang mereka ngiranya kamu pacar saya. Tapi bukan itu inti masalahnya. Jadi, karena mereka anggep kamu pacar saya, akhirnya bunda saya malah ngambil keputusan buat lamar kamu hari sabtu ini” ucapku mencoba menjelaskan semuanya.             Alya menatapku seakan-akan aku memiliki dua kepala. Dia tercengang luar biasa. Ya aku tentu saja tidak heran.             “bercanda ya, ka?” tanya Alya yang ku jawab dengan gelengan kepala.             Yang bisa ku lihat selanjutnya adalah sinar matanya meredup, dan dia memandangku sedih membuatku merasa bersalah. “terus aku harus gimana?”               Baru kali ini aku bertemu perempuan yang langsung terlihat sedih karena mau dilamar. Apalagi ini aku yang akan melamar. Bukannya sombong atau apa, tapi aku kira pasti semua perempuan akan senang di lamar oleh ku. si Alya ini, sukses bikin harga diriku jatuh di titik terendah. Kalau sampai teman-teman ku tahu, habis sudah aku di tertawakan.             “jujur aja ya, al. Kayaknya susah buat menghentikan keinginan bunda. Jadi aku mohon ikutin aja alurnya. Aku sengaja kasih tau kamu sekarang, biar nanti kamu dan keluarga kamu ngga kaget” jelasku mencoba membuatnya mengerti.             Alya terlihat berfikir. Membuatku ketar-ketir menunggu jawabannya. Benar-benar seperti aku melamar dia dan menunggu jawabannya.             “jadi, ka Davin hari sabtu ke rumahku? Berarti minggu ini aku harus pulang ya?” tanyanya lebih kepada diri sendiri membuatku sedikit bingung.             Memang setiap hari dia gak pulang ke rumah?             “aku gak ngerti maksud kamu, al” kataku.             Alya tertawa kecil. “rumah yang waktu itu ka davin dan Windy anter aku itu bukan rumah aku. Itu rumah nenek aku” penjelasan Alya membuatku sedikit kaget.             “jadi rumah kamu dimana?”             “rumah ku di tangerang. Karena aku banyak kegiatan di kampus trus capek banget kalo harus pulang ka tangerang jadi aku tinggal sama nenek deh” ujarnya cuek.             Aku manggut-manggut mengerti. “jadi hari sabtu nanti aku harus ke mana?  Kerumah nenek kamu atau ke rumah asli kamu?”             Lagi-lagi Alya tertawa. “kalo kamu mau ketemu orangtua aku buat lamar aku, ya ke rumah asli aku. Tapi kalau mau lamar nenek, ya ke rumah nenek aja, kak” katanya kemudian tertawa lagi.             “so, kamu gak keberatan kan ikutin ini semua?” tanyaku lagi kembali ke pokok pembicaraan.             Alya menganggukan kepalanya dengan pelan. “tapi kak buat mengurangi kecurigaan orang tua aku tentang kamu, aku harus gimana?”             Ah, ya itu. pasti orang tua Alya akan bertanya-tanya mengenai aku kepada Alya. Dan jika menjawab dengan jujur, aku yakin akan keluar dari rumah Alya dengan kekecewaan karena sudah pasti lamaran keluarga ku ditolak.             Siapa orang tua yang merelakan anaknya untuk menikah dengan orang yang baru dikenalnya kurang dari 24 jam?             Tunggu. Kenapa sekarang aku jadi ingin sekali melamar Alya ya?             “gimana kalau hari ini kita pergi? Kamu kasih tau aku tenang diri kamu dan sebaliknya juga dengan aku. Terus kita fikirin gimana flow dari kita ketemu sampai aku akhirnya ngelamar kamu?” tiba-tiba pemikiran itu melintas saja di benak ku.             Aku memang jenius.             “ah, ide bagus” seru Alya senang. “tapi kamu harus siap mental ya, kak. Soalnya keluarga ku paling anti sama nikah muda dan dari SMA ini aku udah di peringatin supaya ngga nikah muda. jadi, kalau misalnya lamaran kamu di tolak, kamu udah tau alasannya.”             Jujur saja, semangatku untuk hari sabtu nanti mendadak melemah setelah mendengar penuturan Alya. Ini sih namanya kalah sebelum perang. Tapi aku tidak boleh menyerah. Orang tua Alya tentu belum tau kalau aku sudah mapan. Sudah bisa membiayai anaknya berserta calon cucu nya nanti. Bahkan bisa membiayai mereka saat tua nanti.             Semangat Davin! Kamu mungkin memiliki apa yang tidak di miliki pria lain yang ingin melamar Alya, baik itu saat ini atau nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD