Bagian 2

980 Words
               Aku tidak tau dapat bisikan dari setan mana hingga aku meminta Windy untuk membawa temannya –Alya- ke acara pertunangan Karen. Tapi yang pasti saat aku menyatakan permintaanku, tentu dengan senang hati Windy segera mengamininya.                Jadilah gadis itu disini. Dirumah ku. sedang duduk di depan rumah yang sudah di naungi tenda sejak kemarin pagi. Duduk bersama Windy dan juga sahabat –merangkap kekasih Windy. Mungkin aku berani meminta Windy untuk mengajak Alya karena gadis itu cukup ‘enak dilihat’ dan manis. Entahlah, namun aku yakin menggandengnya sebagai ‘teman’ disampingku tidak akan membuatku malu sama sekali.                Alya bisa menjadi gadis manis anak kuliahan dan wanita dewasa yang didamba pria manapun. Lihat saja penampilannya saat ini. Dia menggunakan terusan berbahan brokat berwarna abu-abu dengan lengan sampai siku. Rambutnya di ikat menyamping dan disampirkan di bahu kanannya. Dia terlihat... berbeda. Walaupun aku yakin dia hanya memakai riasan seadanya. Yang ku maksud seadanya adalah hanya menggunakan  bedak, lipstik, mascara, dan entah apa namanya itu hingga membuat pipinya terlihat merona.                “Bengong aja, bro” tepukan di bahu membuatku memutar badan dan mendapati teman semasa kuliah ku –Farhan- sudah berdiri manis di belakangku dengan mengenakan celana bahan hitam dan baju batik berwarna biru tua.                Segera aku melakukan tos ala pria. “apa kabar lo?”                “gue baik aja. lo sendiri gimana? Masih sendiri?” Farhan tersenyum mengejek padaku.                “begitulah” jawabku seadanya.                Farhan menepuk bahuku tanda ikut prihatin dengan keadaanku –sepertinya. “tenang aja jodoh gak kemana.”                Farhan adalah satu dari tiga teman dekatku yang paling mengerti diriku. Disaat teman-temanku yang lain menertawakan kesendirianku, Farhan dengan baik hati selalu memberiku nasihat dan penyemangat. Aku yakin istrinya pasti sangat bersyukur memiliki Farhan sebagai suaminya.                “lo gak apa-apa di langkahi Karen?” pertanyaan yang ke sekian kalinya di tanyakan dengan orang yang berbeda.                “iya gak apa-apa. kaya dunia bakal kiamat aja kalo gue dilangkahi Karen. Pada lebay lo semua” kataku setengah keki.                “yaudah santai aja, bro. Ngomong-ngomong si Windy udah punya pacar?” tanya Farhan yang kulihat matanya sudah menatap Windy yang sedang berbicara dengan Revan. Sedangkan Alya terlihat bosan. Mungkin karena dia di cuekin sama Windy dan Revan.                Belum sempat aku menjawab pertanyaan Revan, bunda tiba-tiba datang menghampiri ku bersama Karen dengan mata berbinar-binar. Membuatku menatap mereka berdua curiga.                “kamu bawa pacar kamu gak bilang-bilang, dav?, mana pacar kamu? Bunda sama Karen mau liat. katanya temen Windy, iya?” cecar Bunda padaku dengan sekali tarikan nafas.                Aku memutar bola mata dengan malas. “Windy tukang gosip, tuh. Dia bawa temennya. Sahabat pacarnya Windy juga. kebetulan mereka kenal juga sama aku, yaudah aku suruh aja Windy ajak mereka.” Jawabku.                Karen mencibir tak terima. “maksud mas Davin itu, mas Davin naksir temennya Windy mangkanya nyuruh Windy ajak temennya itu bun” ujar Karen. “cakep sih, Dav. Yang sebelah Windy itu kan? Tapi dia gak terlalu muda apa buat kamu?” tanya Windy sembari memperhatikan Alya.                “maksud kamu, aku tua gitu?”                “nah! Kan bener kataku,bun” sahut Karen setengah berteriak kemudian tertawa, membuat beberapa orang memperhatikan kami –termasuk Windy, Alya dan Revan.                Daripada terus berdebat dengan Karen, akhirnya aku mengajak Karen dan bunda bertemu Alya. Aku juga tidak tahu sih kenapa aku sebegini bersemangatnya mengenalkan Alya pada keluargaku. Padahal aku bahkan tidak pernah ngobrol berdua yang benar-benar berdua dengannya. kenal pun masih kurang dari 24 jam.                Setelah perkenalan singkat, tanpa peringatan bunda dan Karen kompakan menyeret ku masuk kedalam rumah. Mereka setengah berteriak memanggil ayah yang akhirnya kami temui di taman belakang. Selanjutnya bunda menarik ayah sedangkan Karen menarikku.                Karen segera menutup pintu ruang kerja ayah dan tersenyum penuh semangat kepada aku, bunda dan ayah.                “ini ada apa sih?” ayah mengerutkan keningnya karena aku yakin beliau pasti bingung. Sama sepertiku.                “yah, abis acara lamaran Karen, minggu depan kita giliran yang lamar anak orang ya” seru bunda sembari menarik ayah untuk duduk disofa di sampingnya. Aku dan Karen mengikuti dengan duduk di sofa tunggal.                “hah? Lamar siapa, bun? Buat siapa?” tanya ayah super bingung.                Bunda mendengus geli. “ya buat anak perjaka kita yah—“                “emang mas Davin masih perjaka?” potong Karen cepat yang langsung ku jitak kepalanya. enak saja dia asal ngomong.                “Karen, kamu yang sopan” ayah memperingati Karen membuatku tersenyum penuh kemenangan.                Tapi tunggu dulu, buat anak perjaka ? berarti itu...                “loh, Davin kamu udah punya calon?” kini ayah menatapku penasaran.                “udah yah, tapi bilangnya Windy yang bawa, padahal mah mas Davin aja yang mau bawa tapi takut di godain sama kita-kita” lagi-lagi Karen menyahuti.                “Karen, kamu tuh jangan sok tahu” semburku tidak terima.                “loh, terus? Gak mungkin banget Windy ngajak temen ceweknya kalo dia maunya bedua doang sama pacarnya. Ketauan kali mas, Windy lagi kasmaran mana mungkin dia mau bawa temen ceweknya” jelas Karen sok tahu.                Memang benar sih, aku yang meminta Windy mengajak Alya. Tapi kan aku gak ada maksud apa-apa.                Belum, sahut hatiku.                “oh jadi bunda minta ayah lamarin temennya Windy?” ayah akhirnya mulai mengerti arah pembicaraan Bunda dan Karen.                “dia masih kuliah, ya ampun” seruku jengkel.                “NAH! MAS GAK NOLAK” jerit Karen histeris.                Astaga, salah terus aku perasaan.                “Karen! Kamu tuh jangan teriak-teriak” omel Ayah.                Karen hanya  tersenyum tanpa dosa. “maaf yah.”                “ya sudah terserah Davin mau nikahin Alya kapan. Yang jelas kita harus lamar dia secepatnya sebelum di serobot orang, yah” seru bunda menggebu-gebu.                Haduh bunda, dikira Alya barang obralan kali ya takut di ambil orang.                Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. “jadi namanya Alya, Dav?” tanya ayah sambil tersenyum menggoda.                 Aku menggelengkan kepala tidak percaya sembari menghela nafas. Aku pasrah. kenapa? karena jika bunda menginginkan sesuatu, hanya alam yang bisa menghentikannya. Aku bersumpah.                Oh God, berawal dari iseng kenapa malah jadi begini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD