12 - THE ROMAINE'S HOUSE

2202 Words
Saat Jacques membuka mata, perlu beberapa saat sebelum dia sadar bahwa saat ini, dia tidak sedang berada di apartemennya di Rue du Bac. Suara cicit burung yang saling bersahutan jelaslah bukan sambutan pagi yang bisa didapatnya di Paris. Menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, Jacques menyingkap selimut yang semalam menghangatkan tubuhnya dan perlahan mengumpulkan tenaga untuk bangun. Duduk di tepi tempat tidur, dia bisa menyaksikan semilir angin pagi memainkan tirai pada jendela yang semalam lupa dia tutup. Menengok birunya langit pagi dari dalam kamar, Jacques tidak ragu bahwa hari ini akan menjanjikan cerah. Ketika akhirnya dia beranjak dari tempat tidur, Jacques berjalan menghampiri jendela dan membukanya lebar. Hamparan rumput hijau serta bukit kecil yang tersaji di hadapannya membuat senyum Jacques mengembang lebar. Dia menghirup udara pagi sembari menutup mata dan membayangkan pemandangan seperti inilah yang akan menyambutnya setiap pagi. Namun dia tahu bahwa untuk mendapatkannya, satu-satunya pilihan adalah meninggalkan Paris. Dia akan memikirkannya kembali setelah merasa bahwa Indonesia cukup memberinya pengalaman. Mendengar ketukan pada pintu kamar, Jacques dengan cepat melangkah menuju pintu dan membukanya. “Maman! Mama!” sambut Jacques sebelum mengambil nampan dari kedua tangan wanita di depannya dan meletakkannya di atas meja. Jacques lantas memeluk wanita setengah baya dengan erat sembari mendaratkan kecupan bertubi-tubi pada wajah yang masih tampak segar meski telah mendekati 60 tahun. Sebaliknya, wanita yang dipanggil ibu tersebut mengelus punggung anak laki-lakinya yang telanjang dengan penuh kasih sayang. Tinggi badan yang cukup kontras membuat Jacques leluasa mendekap ibunya selama mungkin. “Anak Mama paling ganteng,” puji Indira Romaine yang disambut Jacques dengan cengiran. “Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” Jacques mengangguk layaknya anak kecil. “Capek sekali, Ma.” “Ya siapa suruh sampai sini tengah malam.” Jacques kembali memamerkan cengiran. “Kangennya enggak bisa ditahan lagi.” Sebenarnya Jacques sudah merencanakan untuk mengunjungi orang tuanya sejak tahu dia akan meninggalkan Paris. Hanya saja, dia masih menunggu saat-saat terakhir sebelum menyetir lima jam ke Obersteinbach dari Paris. Sejak Jacques memasuki lycée­—setara dengan sekolah menengah atas—Alain and Indira Romaine sudah membagi waktu mereka antara Paris dan Obersteinbach karena mereka mulai mewujudkan impian untuk membuka bed and breakfast di salah satu sudut Alsace tersebut. Meski sering ditinggal untuk mengurus Romaine’s House, tidak sekali pun Jacques menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh orang tuanya. Bahkan dia sering membantu mereka saat libur musim panas tiba hingga kemudian bukan sebuah kejutan jika saat memasuki bangku kuliah, Jacques memilih marketing sebagai jurusan. Bahkan tanpa paksaan, Jacques memilih hotel management saat menempuh S2 dan merintis karir dari bawah. Menghabiskan waktu di Obersteinbach sejak remaja membuat Jacques ingin berada di kota kecil tersebut saat usianya menua. Orang tuanya pun telah memberitahunya ketika Jacques lulus kuliah bahwa Romaine’s House akan jatuh ke tangannya setelah orang tuanya meninggal. Meski tidak ingin membayangkannya, Jacques menyiapkan diri sejak dini agar dia bisa melanjutkan bisnis kecil orang tuanya nanti. Orang tuanya tentu terkejut saat Jacques mengabari bahwa dia akan sampai di Obersteinbach mendekati tengah malam. Mereka tidak terbiasa dengan kunjungan tiba-tiba Jacques. Namun seperti layaknya orang tua, mereka menyambut kedatangan Jacques dengan bahagia. Jacques sebenarnya ingin menunggu hingga akhir pekan tiba untuk pergi ke Obersteinbach, tetapi dia begitu bosan di Paris setelah berhenti dari pekerjaannya. Dia berniat menghabiskan waktu lebih lama bersama orang tuanya sebelum meninggalkan Prancis. “Où est papa? Papa lagi di mana?” tanya Jacques setelah menyesap kopi yang dibuat sang ibu. Dia masih terlalu malas untuk sarapan hingga buah-buahan yang sudah diiris rapi dan diletakkan di atas piring di depannya tidak mampu menggugah rasa laparnya. “Il est à Strasbourg. Dia sedang ada di Strasbourg. Mungkin dia akan kembali sebelum makan siang nanti.” Jacques hanya mengangguk paham. Satu yang masih dirindukan Jacques meski dia telah lama hidup mandiri adalah duduk dengan ibunya sembari menikmati sarapan. Sebagai anak tunggal, Jacques tidak tumbuh bersama dengan adik atau kakak yang bisa membuat masa kecilnya lebih berwarna. Sekalipun begitu, masa kanak-kanak Jacques tetap menyenangkan. Dia bahkan bersyukur tidak memiliki saudara karena dengan begitu, seluruh perhatian orang tuanya murni diberikan seluruhnya untuk Jacques. Mereka pun sangat mendukung semua kegiatan Jacques asalkan ada hal positif yang bisa didapatkan Jacques. “Kapan kamu berangkat ke Indonesia?” Jacques tersenyum karena merasakan kehangatan yang menyusup dalam ucapan sang ibu. Meski kakek dan nenek dari pihak ibunya sudah lama meninggal—bahkan Jacques tidak punya memori yang jelas tentang mereka berdua—Jacques tahu rindu yang dirasakan ibunya akan Indonesia begitu besar. “Dua minggu lagi, Ma. Makanya aku mau di sini dulu lebih lama biar nanti kangennya enggak parah,” balas Jacques sebelum menambahkan, “Mama sama Papa bisa datang ke Bali. Aku pasti senang sekali.” “Pasti dong. Mama dan Papa juga sudah merencanakan itu sejak tahu kamu akan ke sana.” Jacques meraih tangan ibunya sebelum mengecupnya. “Tapi aku pasti kangen masakan Mama.” “Kan di sana kamu bisa dapetin makanan Indonesia kapan saja.” “Iya, tapi masakan Mama tetap beda dan yang paling enak.” Mereka berdua tergelak sebelum Jacques menandaskan kopinya. “Bagaimana kabar Kinan? Kamu nggak pernah cerita lagi tentang dia. Apa kalian masih bersama? Atau sudah putus?” Satu yang mungkin membedakan Jacques dengan anak laki-laki lainnya adalah sikap terbukanya kepada sang ibu. Karena tidak memiliki saudara, praktis hanya orang tua yang berada di rumah hingga sejak kecil Jacques terbiasa mengungkapkan isi hatinya. Meski ada banyak yang tidak bisa dibaginya—terutama hal-hal yang bersifat terlalu personal—Jacques jarang menyimpan hal-hal yang berhubungan dengan teman-teman wanitanya. Termasuk Kinan. Sejak mengenalkan Kinan ke kedua orang tuanya, mereka langsung menyukai Kinan, terlebih saat ibunya tahu Kinan punya darah Indonesia. Mereka terlibat percakapan dalam bahasa Indonesia hingga saat itu Jacques merasa telah menemukan wanita yang akan disetujui kedua orang tuanya. Meski mereka tidak pernah ikut campur dalam persoalan asmara, Jacques tahu dengan pasti saat orang tuanya menyukai seseorang yang dikenalkannya. Ada dorongan untuk menceritakan tentang Amara, tetapi Jacques masih menahannya. Jika Arnaud sendiri tida diberitahunya, Jacques tidak yakin mengungkapkan tentang Amara kepada ibunya adalah pilihan bijak. Sekalipun orang tuanya tidak akan menghakimi apa pun pilihan yang dia ambil, Jacques merasa perlu menyimpan tentang Amara hingga dia yakin waktunya tepat. Mungkin saat mereka mengunjunginya nanti, dia bisa mengenalkan orang tuanya kepada Amara lalu menyinggung tentang hari-hari yang dihabiskannya dengan wanita itu di Paris beberapa bulan lalu. “Kinan baik-baik saja, Ma. Kami sempat berpisah sebentar karena sama-sama enggak tahu ke mana hubungan kami mau dibawa, tetapi kami memutuskan untuk kembali bersama.” “Apa dia nggak marah kamu pergi ke Indonesia? Mama yakin dia bukan tipe perempuan yang bisa menjalani long distance relationship.” Jacques membuang napas karena pertanyaan tersebut membutuhkan penjelasan yang cukup panjang. Bahkan setelah mereka bicara dan memutuskan untuk mempertahankan hubungan, Jacques merasa Kinan mengalah demi menyelamatkan apa yang mereka miliki. Jacques tentu saja tidak bertanya tentang itu karena takut pertanyaannya justru menyeret mereka kembali ke situasi yang keruh. Dia membiarkan waktu berbicara karena yakin jarak Indonesia-Prancis akan punya kekuatan untuk menunjukkan kepadanya apakah menjalani hubungan jarak jauh tepat untuk hubungan mereka atau tidak. “Awalnya dia memang enggak terima, apalagi aku memutuskan untuk terima tawaran itu tanpa berdiskusi dengan dia lebih dulu. Aku pikir kesempatan ini bagus untuk karirku dan ini keputusan yang enggak perlu aku diskusikan. Tapi kemudian aku sadar bahwa suara Kinan juga perlu aku dengar, terlepas dia setuju atau enggak. Kami sempat tidak berkomunikasi lagi selama beberapa minggu. Elle était furieuse, Maman. Dia marah sekali, Mama. Tapi kami bicara dan dia sadar bahwa kesempatan seperti ini enggak akan datang dua kali. Jadi dia akhirnya mengerti.” “Kamu tahu Mama nggak pernah ikut campur urusan pribadi kamu. Vous êtes assez vieux pour savoir ce qui est bon pour vous et ce qui est mauvais. Kamu sudah cukup dewasa untuk tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk kamu. Tapi kamu mau janji satu hal sama Mama?” Jacques mengerutkan kening karena seingatnya, jarang sekali pertanyaan itu meluncur dari bibir ibunya. Melihat ekspresi yang sekarang terpampang jelas, Jacques jadi penasaran permintaan seperti apa yang akan dia dengar. “Janji seperti apa?” “Kalau memang nanti hubungan kalian nggak bisa dipertahankan lagi, Mama mau kamu janji untuk bisa melepasnya jika memang itu yang membuat kamu bahagia. N’ayez pas peur de la blesser, Jacques. Jangan takut kalau melakukannya akan menyakiti hatinya, Jacques. Mama justru nggak mau kalian mempertahankan hubungan hanya karena kalian takut akan menyakiti satu sama lain. Konsekuensi dari sebuah hubungan adalah sakit hati.” Jacques menelan ludah, sadar bahwa tidak ada kebohongan dalam kalimat ibunya. Meski tidak mengutarakannya, Jacques pun sudah berpikir sejauh itu. Dia memang menyayangi Kinan, tetapi jika ada satu lagi pertengkaran hebat di antara mereka, Jacques akan mengambil keputusan untuk menyudahi hubungan dengan Kinan. Dia lelah harus berulang kali mencoba untuk menyelamatkan hubungan mereka sementara kesempatan untuk saling menyakiti selalu ada di antara mereka. Dengan mantap, Jacques mengangguk. “Aku janji, Ma.” Indira Romaine lantas mengelus rambut anak semata wayangnya dengan lembut sembari memberikan senyum. “Kamu pria baik, Jacques. Mama dan Papa selalu bangga dengan kamu. Kami cuma ingin kamu bahagia, nggak peduli dengan siapa.” “Merci beaucoup, Maman. Terima kasih banyak, Ma.” “Mau bantu Mama angkut kayu untuk persediaan musim dingin?” Jacques tersenyum lebar. “Aku enggak mungkin menolak, kan?” “Mama turun dulu, Jacques.” Tidak lama kemudian, Jacques kembali sendiri setelah ibunya meninggalkan kamar. Matahari semakin meninggi hingga Jacques tidak sabar untuk melampiaskan semua beban yang dibawanya dari Paris melalui pekerjaan yang akan membuatnya berkeringat. Dia menghabiskan buah-buahan yang masih tersisa sebelum bangkit dari kursi untuk menuju kamar mandi. Tidak ada yang dinantinya selain berdiri di bawah terik matahari dan menggunakan otot-otot tubuhnya untuk bekerja.   *** Jacques sedang duduk di halaman belakang rumah orang tuanya sembari menikmati ribuan bintang yang tidak bisa disaksikannya di Paris. Setelah mengangkut kayu hampir seharian untuk persediaan musim dingin, Jacques diganjar makan malam yang luar biasa oleh ibunya. Mereka memang jarang makan malam bertiga kecuali jika Jacques mengunjungi orang tuanya atau jika mereka datang ke Paris. Sepanjang makan malam, obrolan mereka begitu ringan hingga tidak terasa hampir tiga jam mereka duduk di meja makan. Setelah menikmati makanan penutup yang membuat makan malam mereka lebih sempurna—dan membantu ibunya membereskan meja makan—Jacques membawa satu botol bir ke luar untuk sedikit merasakan udara malam yang mulai sejuk. Dehaman ayahnya membuat Jacques memalingkan wajah dan memberi pria yang begitu dia idolakan sejak kecil sebuah senyuman hangat. Jacques tidak ingat lagi saat-saat mereka duduk bersisian sembari membicarakan banyak hal yang tidak bisa dia bagi dengan sang ibu. Pria berusia 62 tahun tersebut masih begitu bugar sekalipun semua rambutnya telah memutih. Jacques memang mewarisi gen ayahnya jika menyangkut fisik. Tinggi mereka hampir sama, struktur wajah mereka pun tidak berbeda jauh. Yang tidak diwarisi Jacques hanyalah sepasang mata biru terang yang membuat penampilan ayahnya begitu memesona. “Papa belum banyak dengar cerita dari kamu. Comment va Paris? Apa kabar Paris?” Jacques membasahi tenggorokannya dengan bir yang dia pegang sebelum menjawab, “Paris masih membosankan, Pa. Karena itu aku pergi ke Bali.” Tawa mereka berdua menggema di antara kesunyian malam. “Keputusan yang bagus, Jacques. Papa yakin kamu akan mendapatkan pengalaman luar biasa di sana. Bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga hidup.” Tidak ada jawaban yang tepat selain anggukan karena Jacques setuju seratus persen dengan ucapan ayahnya. “Kinan baik-baik saja kamu tinggal ke Indonesia?” Jacques yakin ibunya pasti sedikit banyak sudah menyinggung tentang Kinan di hadapan ayahnya hingga tidak perlu bagi Jacques untuk mengulang penjelasan untuk kedua kalinya. Namun kali ini, Jacques ingin bercerita tentang Amara karena yakin ayahnya bisa menyimpan soal ini dari ibunya. “Apa pendapat Papa jika selama aku berpisah dari Kinan kemarin, aku bertemu perempuan yang membuat keputusan untuk menerima tawaran ke Indonesia jadi lebih mudah?” Pertanyaan Jacques tersebut berhasil membuat ayahnya mengubah posisi duduk hingga mereka saling berhadapan sekarang. Dalam kegelapan malam dan hanya diterangi cahaya lampu yang berasal dari teras belakang rumah, Jacques tidak sepenuhnya bisa membaca ekspresi wajah ayahnya. “Est-il arrivé quelque chose entre vous et elle? Apakah terjadi sesuatu antara kamu dan perempuan itu?” Jacques mengembuskan napas, berpikir bagaimana harus menjawab pertanyaan seperti itu dengan singkat. Karena tidak mampu merangkai kalimat yang pas, balasan yang diberikan Jacques akhirnya hanya berupa anggukan kepala. “Apakah Kinan tahu?” Lagi-lagi, Jacques mengangguk. “Dia enggak mempermasalahkannya karena situasi kami saat itu memang sedang berpisah. Tapi Kinan enggak tahu kalau perempuan itu adalah orang Indonesia. Aku baru tahu bahwa dia akan menjadi bawahanku di Bali setelah menerima tawaran dari Michael.” “Siapa namanya?” “Amara,” jawab Jacques singkat. “Apakah kamu berharap bertemu dia saat menerima tawaran itu?” Jacques mengangguk. “Tapi aku enggak menyangka kalau kami akan jadi rekan kerja. Masalahnya sebelum dia pulang ke Indonesia, dia memberitahuku kalau dia punya pacar, Papa. Aku enggak tahu apakah bisa menahan diri kalau bertemu dia lagi nanti sementara Kinan masih di sini.” Alain Romaine menanggapi kekhawatiran Jacques tersebut dengan sebuah tawa. Jacques sendiri tidak tahu bagian mana yang memubat ayahnya memberikan respon seperti ini. “Papa tidak bermaksud menertawakan kamu, Jacques, tapi Papa pikir, situasinya justru sangat sederhana dan berpihak ke kamu.” Kali ini Jacques mengerutkan kening, semakin tidak memahami ucapan sang ayah. “Kalau nanti kamu sudah sampai di Bali, kamu akan tahu hati kamu akan lebih condong ke siapa, tidak peduli jika Kinan ada di Paris dan Amara di dekat kamu. Pesan Papa hanya satu, apa pun itu, jangan berusaha menolaknya. Terima saja. Ikuti apa kata hati kamu.” Jacques tersenyum dan mengangguk pelan, paham bahwa kalimat ayahnya terucap karena pengalaman yang lebih banyak dibanding Jacques. Meski telah melewati angka 30, Jacques masih tetap mengidolakan sang ayah dan berharap dia bisa menua seperti pria yang sekarang meluruskan kaki di sampingnya. Penuh dengan kebijaksanaan dan tidak pernah sekali pun menghakimi sesuatu sekalipun dia tidak menyukainya. “Cela me manque d'être assis ici avec vous, mon père. Aku kangen duduk di sini dengan kamu, Papa.” Mereka lantas mengisi kesunyian malam itu dengan suara tawa dan juga obrolan tentang kenangan-kenangan yang membuat Jacques bersyukur memiliki orang tua seperti Indira dan Alain Romaine.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD