11 - THE CONVERSATION

2055 Words
Menyilangkan kaki, Jacques sengaja melepas jas yang sejak pagi menempel di tubuhnya karena keringat mulai membasahi punggung dan kemejanya. Hari ini Paris memang luar biasa terik sekalipun musim panas seharusnya telah usai. Duduk di salah satu bangku hijau di La Coulée verte, Jacques sengaja tidak pulang ke apartemen terlebih dulu meski dia ingin berganti pakaian. Dia ingin segera menuntaskan pertemuannya dengan Kinan karena keberangkatannya ke Indonesia semakin dekat. Pesan yang dia kirimkan kepada Kinan tidak mendapat tanggapan hingga Jacques menyimpulkan bahwa Kinan tidak ingin lagi berhubungan dengannya. Yang mengganggu Jacques bukanlah jawaban yang tidak pernah mengisi kotak masuknya, tetapi karena dia tidak mau meninggalkan Paris dengan membawa permasalahan yang tidak selesai. Maka dia sekali lagi mencoba menghubungi Kinan dan kali ini, dia mendapat balasan. Kinan mengajaknya bertemu di La Coulée verte selepas jam kerja. Tanpa menuliskan balasan panjang, Jacques menyanggupinya. Apa pun keputusan yang akan mereka ambil setelah sore ini, Jacques akan menerimanya dengan lapang d**a. Jujur dia masih peduli dengan Kinan, tetapi jika wanita yang sekarang duduk di sampingnya dalam diam ini menginginkan hubungan mereka berakhir, Jacques akan memahaminya. Yang dibutuhkan Jacques adalah kepastian agar dia tidak lagi bertanya-tanya tentang status hubungan mereka. Tidak ada kecanggungan saat mereka bertemu meski ada yang belum selesai. Bahkan Kinan masih bersikap seperti wanita yang selama ini mampu mencerahkan hari-harinya jika pekerjaan sedang menuntut seluruh konsentrasinya. Mereka belum sampai pada tujuan utama berada di tempat ini, tetapi Jacques memilih untuk menunggu. Dia tidak ingin memaksa Kinan untuk membahas sesuatu sekalipun keduanya sama-sama tahu, tidak ada hal lain yang perlu dijadikan bahan diskusi selain hubungan mereka. “Kapan kamu berangkat ke Indonesia?” Jacques jelas tidak menyangka justru pertanyaan itu yang akan dilontarkan Kinan. Jacques memikirkan kalimat yang tidak akan menimbulkan kesalahpahaman dalam diri Kinan. Saat ini, tidak boleh ada miskomunikasi di antara mereka. “Mungkin dua bulan lagi kalau visa kerjaku sudah selesai. Aku enggak menyangka kamu justru bertanya tentang itu.” Kinan mengeluarkan tawa kecil sebelum mengembuskan napas. “Aku tidak bisa melarang kamu pergi, Jacques, dan aku,” Kinan mengalihkan tatapannya ke Jacques sebelum melanjutkan, “minta maaf karena sudah bersikap begitu kekanak-kanakan. Aku sadar kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang lagi nanti. Aku cuma … takut kehilangan kamu. Kita belum lama kembali bersama, dan sekarang aku harus berpisah lagi dengan kamu.” Ucapan maaf dari Kinan adalah satu hal yang tidak disangka Jacques karena dia yang seharusnya mengutarakan kalimat tersebut. Namun Jacques lega bahwa Kinan akhirnya melihat bahwa alasan Jacques menerima tawaran itu adalah demi karir—Jacques tentu saja tidak akan mulai membuka pembicaraan tentang Amara. “Aku yang seharusnya minta maaf ke kamu, Kinan, karena aku enggak bilang ke kamu lebih dulu sebelum mengiyakan tawaran itu. Je suis désolé, Kinan. Aku minta maaf, Kinan. Aku enggak bermaksud membuat kamu marah. Berada di Indonesia memang akan punya pengaruh terhadap hubungan kita, dan aku seharusnya sadar soal itu.” Jacques hanya diam saat Kinan mengulurkan lengan untuk menggenggam tangan Jacques yang tertumpu pada lutut. Dia tersenyum simpul dan tahu bahwa hubungannya dengan Kinan akan baik-baik saja setelah itu meski ada jarak yang memisahkan mereka. Jacques tidak ingin memikirkan perasaan bersalah yang sedikit menyusup karena berada di Indonesia akan mendekatkannya kepada Amara. “Akan berat buat melepas kamu, Jacques, tapi aku tahu kita bisa menjalaninya. Kamu sesekali akan pulang ke Paris, kan?” Jacques mengangguk karena dia pasti akan merindukan Paris, tapi dia pun tidak ingin melewatkan kesempatan ini untuk melontarkan gurauan kepada Kinan. “Atau kamu bisa mengunjungiku di Bali. Kamu sudah lama kan enggak berkunjung ke Indonesia? Maybe it’s time to see your father.” Kebetulan memang menjadi bagian tidak terpisahkan dari hubungan mereka. Jacques tidak pernah menyangka bahwa dia akan menjalin hubungan dengan wanita berdarah campuran sepertinya—meskipun ibu Kinan berasal dari Swiss sedangkan ayahnya orang Indonesia. Saat dikenalkan oleh teman kerjanya, dia tidak menyangka Kinan punya darah Indonesia karena mereka langsung mengobrol dalam bahasa Prancis. Namun saat mendengar Kinan bicara dalam bahasa Indonesia di telepon—yang diketahui Jacques berasal dari ayah Kinan—ketertarikan Jacques kepada Kinan menjadi berlipat. Mereka memang sering memilih menggunakan bahasa Indonesia jika sedang berdua meski level kefasihan mereka belum sempurna. Kinan beralasan bicara dalam bahasa ibu sang ayah membuatnya merasa tidak sendirian di belantara Paris. Mereka menyelipkan bahasa Prancis dan Inggris jika tidak mengetahui suatu kata dalam bahasa Indonesia. “Kamu benar, Jacques. Mungkin sudah saatnya aku pergi ke Indonesia untuk menjenguk Papa. Sudah terlalu lama.” “Papa kamu masih di Jakarta?” Orang tua Kinan sudah bercerai ketika dia masih berumur tujuh tahun, tapi bukan berarti hubungan Kinan dan ayahnya menjadi renggang. Ayah Kinan baru memutuskan kembali ke Indonesia setelah Kinan masuk universitas dan sejak saat itu pun, Kinan beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Namun sudah dua tahun ini dia tidak pergi ke Jakarta karena kesibukannya bekerja. Dua kali ayah Kinan mengunjungi Paris dan terakhir kalinya, Jacques menyempatkan waktu untuk bertemu. Dia langsung menyukai ayah Kinan karena menghabiskan tiga jam bersamanya membuat Jacques teringat akan ibunya sendiri. Kinan mengangguk. “Sepertinya iya. Papa pasti kasih tahu kalau pindah.” Jacques mengelus lembut pergelangan tangan Kinan sebelum berujar, “Sekarang kamu semakin punya alasan untuk mengunjungi Indonesia. Spend some time with your father and then you can visit me afterwards.” “Sounds like a plan,” balas Kinan tanpa lupa memberikan senyum. “Kamu ada rencana apa malam ini?” Jacques tampak berpikir karena dia senang membuat Kinan mengantisipasi jawabannya. “Enggak ada. Kenapa? Do you have something in mind?” Kinan mengedikkan bahu. “Sudah lama kita tidak makan malam berdua. I miss it.” “Kamu bisa bilang kalau kangen aku, kok. Enggak perlu pakai alasan makan malam segala untuk bilang kangen.” Dengan cekatan, Kinan mencubit perut pria di sebelahnya hingga kemudian Jacques mengerang pelan. “Aku tidak akan kangen godaan kamu yang seperti itu.” Balasan itu membuat Jacques tergelak sebelum membiarkan Kinan menggamit lengannya. “Kamu mau makan di mana?” “Au Bon Coin?” Jacques sudah lama tidak menikmati makanan di restoran yang terletak di Rue des Cloys tersebut. Terlebih duduk di teras dengan cat berwarna merah tua yang memang menjadi ciri khas Au Bon Coin. Tanpa menunggu lama, Jacques segera bangkit dari bangku yang lantas diikuti Kinan. “Let’s go there, then!” “Kamu naik apa tadi ke sini?” “Naik skuter. Kenapa?” “Kita ke apartemen kamu dulu, ya? Aku bawa mobil, biar tidak susah untuk cari parkir nanti. Aku yakin kamu pasti gerah dan ingin mandi.” Jacques menunjukkan senyum tidak bersalahnya. “Aku enggak mau mengusulkan itu karena takut kamu enggak setuju. Kalau begitu … kita ke apartemen dulu baru ke Au Bon Coin.” “Tapi tidak perlu dekat-dekat, karena kamu bau sekali,” tukas Kinan. Mereka lantas berjalan dengan jarak yang cukup jauh sebelum Kinan mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Jacques. Ucapan tentang bau badan Jacques pun terlupakan begitu saja.   ***   Bertemu Michael di Au Bourguignon di kawasan Marais adalah satu-satunya hal yang dinanti Jacques sepanjang minggu. Meski tawaran untuk mengisi jabatan sebagai Director of Marketing di The Ocean disampaikan Michael melalui video call, mereka belum sempat bertatap muka langsung. Jacques sempat gugup karena sudah lama dia tidak bertemu Michael, terlebih untuk membicarakan tentang urusan pekerjaan di sebuah negeri yang jauh dari Prancis. Pertemuan ini hanyalah sebuah formalitas karena semua dokumen—termasuk kontrak kerja—sudah diserahkan Jacques kepada bagian Human Resources Diamante Group tidak lama setelah tawaran dari Michael datang. Mendapatkan referensi dari pria yang akan menjadi General Manager The Ocean memang memuluskan jalan Jacques untuk mendapatkan posisi ini. Sekalipun berat baginya meninggalkan Atlas Group—bahkan farewell dinner yang diselenggarakan oleh teman-teman sekantornya sempat membuat Jacques terharu—tapi Jacques ingin mencoba tantangan baru di tempat yang sepenuhnya asing. Dia bahkan sampai di Au Bourguignon lebih dulu dibanding Michael karena tidak ingin terlambat. Meski Michael sudah memberitahunya bahwa makan siang kali ini bukanlah pertemuan formal, Jacques tidak ingin tampil seadanya. Mengenakan kemeja biru muda dengan blazer berwarna navy serta celana jin hitam, Jacques merasa tampilannya tidak terlalu formal dan tidak terlalu santai. Melengkapinya dengan sepatu brogues kulit berwarna cokelat, Jacques memutuskan untuk menaiki skuternya karena tidak ingin terjebak kemacetan siang. Dia sedang membalas pesan Kinan yang ingin tahu tentang pertemuannya dengan Michael saat pria yang mereka bicarakan memasuki Au Bourguignon. Jacques segara bangkit sebelum Michael mencapai meja yang telah dia duduki selama lima belas menit. Mereka saling berjabat tangan dengan erat layaknya teman lama sebelum keduanya duduk saling berhadapan. “Apa kabar, Jacques?” buka Michael setelah menerima menu drai pramusaji dan membukanya. “Kabar baik, Michael. Thank you for asking me to see you.” Michael tergelak sebelum mengangguk. “Aku hanya ingin bertemu Director of Marketing The Ocean di Paris. Kapan lagi aku bisa melakukannya?” balas Michael jenaka. “Aku berterima kasih karena sudah mempertimbangkan aku untuk posisi ini, Michael. Aku enggak peduli alasan kamu apa, tapi aku sungguh bahagia bisa belajar mengenai kepemimpinan melalui kamu lagi. I’ve always admired you when you were a General Manager at Paris Atlas.” Lagi-lagi, tawa Michael terdengar. “Aku juga tidak keberatan punya staf seperti kamu. Karena begitu tahu posisi itu belum diisi, aku tidak punya calon selain kamu. And thank God you said yes!” Obrolan mereka terpotong karena pramusaji yang tadi memberikan menu, menghampiri meja mereka. Jacques memesan butcher beef piece with pepper sauce and green beans sementara Michael memilih menu spesial dari Au Bourguignon yaitu boeuf bourguignon, diced bacon, mushrooms, yang dilengkapi dengan kentang. Sementara mereka memesan satu botol red wine sebagai pelengkap makan siang. Begitu semua pesanan itu tercatat dengan benar, mereka kembali melanjutkan percakapan yang sempat terputus. “Aku sungguh enggak sabar buat tiba di Bali. Sudah lama aku enggak ke sana.” “Ah, aku ingat ibu kamu berasal dari Indonesia.” Jacques mengangguk. “Tapi setiap kali ke Bali hanya untuk liburan, kali ini aku akan bekerja di sana. Rasanya pasti berbeda.” “Aku paham sekali dengan apa yang kamu maksud.” Jacques menyandarkan punggung sementara riuh percakapan dalam bahasa Prancis terdengar hingga ke meja yang mereka tempati. Jam makan siang memang terkenal sebagai salah satu jam tersibuk karena sebagian besar orang yang bekerja di kantor menggunakannya untuk keluar dari kungkungan pekerjaan. “Kamu sendiri kapan terbang ke Indonesia?” “Rencananya minggu depan. Aku harus bertemu dengan Eugene—karena posisinya sebagai General Manager of Diamante Asia Pacific—di Bangkok sebelum ke Bali. Tapi aku di Bali pun rasanya tidak akan banyak membantu karena perekrutan beberapa bagian masih berlangsung. Namun ada satu nama yang menarik perhatianku.” Jacques mengerutkan kening sebelum bertanya, “Siapa?” “Amara Prasojo—aku bahkan tidak yakin menyebut nama belakangnya dengan benar—dia merupakan senior marketing staff di Blue Diamond, hotel Diamante yang ada di Jakarta. Dia sudah bekerja di sana selama tiga tahun lebih sedikit. Aku ingin sekali dia menjadi bawahan kamu di The Ocean karena track record-nya yang sangat baik. Dia bahkan berhasil membaut salah satu perusahaan minyak yang terkenal susah ditembus untuk mengadakan rapat tahunan di Blue Diamond Jakarta, prestasi yang menurutku patut diapresiasi. Tapi berdasarkan info yang aku dapat, dia memang pekerja keras. Banyak orang meragukan kemampuannya karena dia datang dari keluarga salah satu pebisnis handal Indonesia. Nanti aku kirim resume dia supaya kamu juga bisa menentukan apakah dia cocok untuk berada di tim kamu atau tidak.” Jika saja tidak ada gelas berisi air putih yang sedang dipegangnya, Jacques pasti sudah tersenyum lebar—yang tentunya akan menimbulkan pertanyaan dalam diri Michael. Dia menandaskan air putih dengan sekali teguk sebelum menatap Michael. “Aku yakin rekomendasi kamu enggak akan pernah keliru, Michael. Tapi kirimkan saja profil,” Jacques membasahi tenggorokan sebelum melanjutkan, “Amara biar aku bisa membaca sendiri pencapaian seperti apa yang sudah dia raih.” “Akan segera aku kirimkan begitu nanti sampai di hotel.” Percakapan mereka harus kembali tertunda karena makan siang yang mereka pesan telah disajikan di atas meja. Tanpa banyak bicara, kedua pria tersebut segera menikmati pesanan masing-masing tanpa sekali pun menyinggung The Ocean atau pun Bali. Jacques sendiri ingin segera mengakhiri pertemuan dengan Michael karena setelah mengetahui bahwa pria yang sedang menikmati boeuf bourguignon di depannya ini menginginkan Amara untuk masuk ke tim marketing, sulit bagi Jacques untuk bersikap biasa saja. Dalam hati, Jacques benar-benar bersorak penuh bahagia mengetahui bahwa pertemuannya dengan Amara hanya tinggal menunggu waktu. Dia jelas tidak punya niat untuk menantang semua ucapan Michael tentang kemampuan Amara karena dia percaya dengan penilaian Michael. Dia hanya ingin mengetahui lebih banyak mengenai sepak terjang Amara di dunia marketing karena perkenalan mereka jelas hanya menyinggung sedikit mengenai pekerjaan masing-masing. Tidak lagi mampu menahan riang yang membuncah di dalam hati, Jacques tersenyum kecil setelah memastikan perhatian Michael tidak tertuju kepadanya. Jacques pun merasa bahwa keputusannya untuk pergi ke Indonesia akan menjadi salah satu keputusan paling penting yang pernah dia ambil dalam hidup. Sembari menikmati potongan daging sapi yang memanjakan lidah, pikiran Jacques dengan cepat mengembara ke Bali. Ada rasa tidak sabar yang mengganggunya karena dia begitu merindukan Amara dan bertemu kembali dengan wanita itu jelas akan memuaskan dahaganya. Dia hanya berharap Amara pun akan merasakan hal yang sama saat melihatnya nanti. J'ai hâte de te voir, Amara. Aku enggak sabar bertemu dengan kamu, Amara, batin Jacques.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD