10 - THE ARGUMENT

2101 Words
Dua bulan sebelumnya …. Jacques memandang Rue du Bac di bawah apartemen yang cukup ramai ketika gelap mulai merayap. Bagian luar Le Gevaudan bahkan penuh oleh pengunjung hingga beberapa orang hanya berdiri di luar, mungkin menimbang untuk menunggu atau memilih tempat lain. Jacques tersenyum saat menyaksikan bocah perempuan yang sedang mengelus anjing Pomeranian tidak jauh dari Le Gevaudan. Mengembuskan napas, Jacques seperti dimanjakan oleh pemandangan yang setiap hari dilihatnya tetapi tidak pernah diperhatikannya tersebut. Dia seolah lupa bahwa Kinan Bercy sedang berdiri tidak jauh di belakangnya, napasnya memburu, air mata mulai membasahi kulitnya yang putih bersih. Matanya memerah sedangkan dia sedari tadi menyilangkan lengan di d**a, menunggu respon dari Jacques. “Aku enggak tahu kenapa kamu berpikir ini hal yang besar, Kinan,” ujar Jacques sembari membalikkan badan. Dia menatap wanita yang sudah mengisi hidupnya selama dua tahun. Bagi Jacques, sikap Kinan yang ditunjukkan kepadanya saat ini tidak lagi mengejutkannya. Mereka sudah sangat saling mengenal emosi masing-masing hingga Jacques menanti saat yang pas untuk memberitahu Kinan tentang rencananya ke Indonesia. Bukan untuk berlibur, tetapi bekerja di sana dan tinggal dalam waktu yang cukup lama. Saat tawaran itu datang dari Michael—seorang kenalan lama yang tahu persis perjalanan profesionalnya, terutama di Atlas Group—sulit bagi Jacques untuk menolak. Dia telah lama menantikan kesempatan seperti ini, terlebih dia tidak perlu susah payah mencari dan mengejaranya. Meski meminta waktu untuk berpikir saat Michael mengungkapkannya, Jacques telah memutuskan jawaban seperti apa yang akan diberikannya. Dia hanya perlu menyelami kemungkinan untuk bertemu Amara. Ya, Amara. Sejak wanita itu meninggalkan apartemennya pagi itu setelah mereka b******a malam sebelumnya, Jacques mati-matian menahan keinginan untuk menghubungi Amara. Tidak ada niat untuk menghapus nomor telepon Amara meski wanita itu dengan jelas menginginkan Jacques melakukannya. Dengan seiring berjalannya waktu, Jacques berharap bayangan Amara akan memudar, terlebih setelah Kinan dengan jujur menginginkan Jacques kembali, tetapi pesona wanita itu begitu sulit untuk dihapus. Bayangan Amara yang terlihat pasrah di depan Moulin Rouge saat tasnya dijambret akan terus melekat dalam ingatan Jacques. Setelah mengenal Amara lebih jauh, semakin sulit bagi Jacques untuk tidak terpikat dengan kejujuran wanita itu. Amara tidak pernah bicara dengan bahasa yang membuat Jacques menerka-nerka, dia selalu mengutarakan dengan jelas hingga mudah bagi Jacques untuk memahaminya. Fakta bahwa Amara telah memiliki kekasih tidak membuat perasaan dalam diri Jacques menyusut. Meski kalimat yang diucapkan Amara sebelum mereka berpisah adalah sebuah kebenaran yang sulit dibantah, Jacques tidak berhenti berharap bahwa suatu saat mereka akan dipertemukan kembali. Sekalipun tidak ada jaminan bahwa dengan berangkat ke Indonesia dia akan bertemu Amara, tetapi kesempatan untuk berjumpa lagi dengan wanita itu semakin besar. Saat Kinan meminta agar mereka memperbaiki hubungan, Jacques tidak menolak. Sejujurnya, dia pun merindukan kehadiran Kinan. Namun Jacques tahu alasan utama dia mengabulkan keinginan Kinan adalah tidak ingin menyakiti perempuan itu. Rasa cintanya masih ada, bahkan saat mereka kembali dengan rutinitas yang sebelumnya begitu Jacques nantikan, dia pun mulai dirayapi perasaan bersalah. Tidak ingin menyimpan perasaan itu semakin lama, Jacques dengan jujur mengaku kepada Kinan tentang Amara—tentu saja Jacques tidak menyebut nama serta dari mana Amara berasal—dan reaksi Kinan membuatnya terkejut. Wanita itu sama sekali tidak marah atau menghujani Jacques dengan tuduhan macam-macam. Kinan sangat paham bahwa hubungan mereka memang sempat renggang dan dialah yang mengusulkan agar mereka berpisah untuk sementara waktu, jadi dia mengerti jika Jacques sempat jatuh ke dalam pelukan wanita lain. Setelah mengungkapkannya, Jacques merasa lebih lega. Hari-hari yang dijalaninya dengan Kinan pun perlahan mulai menyisihkan Amara dari pikirannya meski tidak sepenuhnya hilang, terlebih jika dia sedang sendirian. Saat tawaran dari Michael menghampirinya, pikiran tentang Amara kembali menguasainya hingga beberapa kali Kinan harus menyadarkannya dari lamunan dan Jacques harus menggunakan pekerjaannya sebagai alasan.  Saat memutuskan untuk memberitahu Kinan bahwa dia akan ke Indonesia, Jacques tahu persis reaksi yang akan didapatnya. Kinan pasti akan menggunakan kesempatan ini untuk mengungkit lagi kesalahan-kesalahan yang diperbuat Jacques hingga hubungan mereka sempat berada di ujung tanduk. Jacques lelah harus berhadapan dengan sikap posesif Kinan yang menuduh Jacques bahwa dia menerima tawaran ini karena alasan yang sangat tidak masuk akal. “Kamu pergi ke Indonesia, Jacques! Bukan ke Swiss yang bisa ditempuh dengan naik kereta api!” Jacques sadar kemarahan Kinan semerta-merta karena dia tidak berdiskusi lebih dulu dan mengambil keputusan seorang diri. Namun Jacques pun tahu jika dirinya harus memberitahu Kinan lebih dulu, wanita itu pasti akan meminta Jacques untuk tidak menerima tawaran dari Michael. Kinan akan menggunakan berbagai macam alasan demi membatalkan keinginan Jacques pindah ke Indonesia. Untuk hal yang satu ini, Jacques mengabaikan hubungan yang dimilikinya bersama Kinan karena dia tidak ingin menyesal di kemudian hari jika menolak kesempatan yang belum tentu akan menghampirinya lagi. “Dan aku ke sana untuk kerja. Ne me rendez pas les choses difficiles, s’il vous plait, Kinan.” Aku mohon, jangan buat ini menjadi sulit buatku, Kinan. “Susah? Aku cuma minta kamu diskusi dengan aku lebih dulu, semudah itu, Jacques. Dengan kamu mengambil keputusan sepihak seperti ini, berarti kamu nggak menghargai aku. Votre décision m'affecte aussi!” Keputusan kamu juga punya pengaruh untukku! Jacques mengembuskan napas karena tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi kemarahan Kinan. Dia mengharapkan ledakan emosi dari wanita yang sekarang tampak kacau karena hanya amarah yang menguasainya, tetapi dia berharap Kinan mengerti bahwa pergi ke Bali akan membuka lebih banyak kesempatan di masa depan. Berjalan mendekati Kinan, lengan Jacques terulur untuk meraih lengan wanita itu, tetapi belum sempat kulit mereka bersentuhan, Kinan menepisnya. Mereka saling bertatapan hingga akhirnya Jacques menyerah. Dia tidak lagi punya kekuatan untuk menghadapi ketidaklogisan Kinan dalam memandang persoalan ini. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Kinan? Tell me.” Tawa mengejek Kinan membuat Jacques terkesiap. “Pertanyaan kamu aneh, Jacques. Keinginanku nggak lagi penting buat kamu karena dengan mengambil keputusan ini, kamu jelas nggak peduli dengan pendapatku. To answer your question, I want nothing because that’s exactly you want me to say, right?” “Je vous laisse du temps, Kinan.” Aku akan memberi kamu waktu, Kinan. Tidak lama kemudian, Jacques menyaksikan Kinan menyambar tas yang tadi diletakkannya di atas meja dan langsung keluar dari apartemen. Jacques hanya mampu menelan ludah saat dia mendengar bunyi pintu yang dibanting Kinan. Dia memang tidak berniat untuk mengejar Kinan karena usahanya itu akan menemui jalan buntu. Alih-alih memikirkan cara untuk meredam kemarahan kekasihnya tersebut, Jacques justru menuju dapur sebelum dia membuka kulkas dan mengambil satu bir yang langsung menyejukkan telapak tangannya. Setelah membuka bir di tangannya, Jacques melangkah menuju ruang tengah dan menyalakan televisi. Meski tidak berniat menonton acara apa pun, suara yang memenuhi ruang tengah ini mampu mengusir sunyi yang sangat dibenci Jacques. Duduk di sofa sembari meluruskan kakinya di atas meja, Jacques segera menandaskan seperempat botol bir dengan sekali teguk. Meski cairan tersebut gagal menghapus dahaga, setidaknya pikiran Jacques berhasil teralihkan.   ***   Setelah menandaskan La Chouffe yang hanya tinggal setengah botol, Jacques menatap Arnaud, satu dari sedikit manusia di Paris yang telah mengenalnya lebih dari sepuluh tahun. “She’s really stubborn!” Jacques menyaksikan Arnaud tergelak sebelum dia kembali memanggil pramusaji untuk memesan segelas lagi blond beer yang menjadi satu-satunya bir yang selalu dia pesan setiap kali berada di sini. Hanya di Troll Café yang berada di Rue de Cotte, Jacques menikmati bir yang memang diimpor dari Belgia tersebut. Setelah berhari-hari berusaha meredakan kebingungannya seorang diri—yang justru membuat suasana hatinya semakin tidak menentu—Jacques menghubungi Arnaud dan mnegajak sahabatnya tersebut untuk bertemu. Selain ingin menumpahkan semua keluh kesah tentang Kinan, sudah terlalu lama mereka tidak saling bertemu karena kesibukan masing-masing. Tanpa menyebutkan tempat bertemu, Arnaud tahu bahwa mereka hanya bertemu di Troll Café saat salah satu dari mereka perlu memuntahkan semua kerisauan hati. “Apa yang kamu harapkan, Jacques? Sikap dia sepenuhnya bisa aku pahami. Bukan berarti aku membela Kinan, tetapi kamu harusnya beritahu dia lebih dulu. Masalah dia setuju atau tidak, itu bukan lagi jadi persoalan. You know what I mean, right?” Dengan mantap Jacques mengangguk tepat ketika satu botol La Chouffe diletakkan di hadapannya. Setelah mengucapkan terima kasih, Jacques menyesap birnya sebelum membalas ucapan Arnaud. “Justru kalau aku kasih tahu lebih dulu, dia akan semakin membuat alasan yang enggak ada. And I didn’t want to deal with her nonsense. Keputusanku sudah bulat, jadi terima atau enggak, Kinan tahu bahwa aku akan tetap ke Bali.” “Kamu tidak takut hubungan kalian akan dikorbankan?” tanya Arnaud dengan penuh kekhawatiran. Jacques menggeleng. “Aku enggak bisa terus-terusan mendasarkan sebagian besar keputusanku pada Kinan. Aku enggak tahu apa yang akan terjadi, tapi jika hubunganku dengannya menjadi seperti ini, aku enggak keberatan buat melepaskannya. C’est ma vie et ma carrière, Arnaud!” Ini hidup dan karirku, Arnaud! Arnaud hanya mengangguk, seperti sadar bahwa argumen apa pun yang akan dia sampaikan, Jacques sudah mengantisipasinya. “Sekarang apa rencana kamu? Kalau memang tidak ingin menyelamatkan hubungan kalian, setidaknya kamu masih berutang maaf kepada Kinan. Et tu sais que j'ai raison.” Dan kamu tahu aku benar. Menyandarkan punggung pada kursi, Jacques memainkan jemarinya pada pinggiran gelas yang basah. Dia menyadari ucapan Arnaud memang benar. Jika memang dia ingin benar-benar mengakhiri hubungan dengan Kinan, ada maaf yang harus diucapkannya. Dia memikirkan cara paling tepat untuk meminta maaf tanpa harus memicu argumen di antara mereka. Karena bahasan tentang Indonesia sesungguhnya akan terus menjadi bahan pertengkaran sampai Jacques benar-benar meninggalkan Paris. “Apa yang menurutmu harus aku lakukan, Arnaud? Selain meminta maaf, tentunya.” “You two need to have a conversation. Aku tidak tahu bagaimana kalian bicara, tapi menurutku penting kalian menumpahkan semua ganjalan yang ada. Perkara apakah nanti kalian memutuskan untuk kembali menjalin hubungan atau mengakhirinya, aku percaya berbicara dari hati ke hati akan punya efek besar bagi kalian.” Jacques tersenyum jenaka sebelum dia berujar, “Sejak kapan kamu jadi pakar hubungan seperti ini?” Arnaud mengambil salted peanuts dari mangkuk dan menjadikannya senjata untuk dilemparkan ke Jacques. “Kurang ajar!” “Thanks, bro! Je sais que je peux compter sur vous.” Aku tahu bisa mengandalkan kamu. Arnaud pun mengangkat botol birnya tinggi-tinggi dan Jacques dengan segera melakukan hal yang sama. “Pour la liberté!” Untuk kebebasan kita “Pour la liberté!”   ***   Duduk di dekat jendela sembari memangku laptopnya, Jacques melihat kembali foto-foto serta video yang sempat dia rekam saat menelusuri Paris bersama Amara. Dia telah memindahkan semua yang tersimpan di dalam ponselnya ke folder laptop untuk menghindar dari cercaan pertanyaan jika suatu saat Kinan melihat-lihat ponselnya dan menemukan fotonya bersama Amara. Dari semua foto serta video yang diambilnya, ada satu yang selalu merambatkan hangat dalam diri Jacques. Ketika Amara dengan erat memeluk lengannya sementara senyum di wajahnya begitu lebar menghadap lensa kamera. Jacques ingat betul foto ini dia ambil tidak lama setelah mereka keluar dari La Bourse et La Vie. Jacques bahkan masih belum lupa belaian tangan Amara di lengannya setelah itu. Jacques tentu tidak menyangka malam itu berakhir dengan Amara di pelukannya. Saat mereka menyusuri Seine, tidak terlintas dalam pikiran Jacques bahwa Amara justru yang meminta dia untuk menciumnya lebih dulu. Dia memang sempat dihinggapi ragu karena tidak ingin memanfaatkan Amara yang jelas sedikit tipsy akibat wine yang mereka konsumsi saat makan malam. Pantang bagi Jacques memanfaatkan wanita ketika mereka tidak sepenuhnya sadar hanya demi memuaskan nafsu. Terlebih Amara bukanlah wanita yang baru ditemuinya di bar, melainkan mereka telah menghabiskan cukup banyak waktu bersama. Namun saat tatapannya tertumbuk pada Amara dan melihat bahwa wanita itu masih sepenuhnya bisa berpikir logis, Jacques tidak lagi mampu menahan diri. Dia tahu Amara wanita yang percaya diri, tetapi ciuman yang diminta wanita itu sempat mengejutkan Jacques. Ketika akhirnya bibir mereka bertemu, Jacques mematikan tombol logika dan menikmati ciuman mereka. Bahkan saat Amara dengan lantang meminta lebih dari sekadar ciuman, Jacques masih tidak yakin. Bukan karena Kinan, tapi dia takut akan mengecewakan Amara karena tahu kebersamaan mereka segera berakhir. Jacques hanya akan membohongi diri sendiri jika dia menolaknya. Dia sangat menginginkan Amara. Jacques belum pernah merasa sehati-hati itu dengan perempuan. Dia tidak ingin menyamakan Amara dengan wanita-wanita lain yang pernah ditidurinya sebelum dia bertemu Kinan. Amara berbeda. Maka Jacques pun menggunakan seluruh pengalaman dan instingnya untuk memuaskan Amara, satu hal yang telah lama tidak dia indahkan ketika b******a. Ketika dia membuka mata keesokan harinya, ada daftar panjang yang ingin dilakukannya bersama Amara, termasuk menemani wanita itu mencari oleh-oleh. Namun ketika akhirnya mereka bicara, Jacques tahu dia telah kehilangan Amara. Yang membuat hati Jacques senang adalah tidak adanya penyesalan yang diungkapkan Amara. Bagi Jacques, itu adalah poin paling penting. Bahkan saat Amara meminta agar mereka tidak saling berhubungan sesudahnya, Jacques tidak ingin mengubah keputusan Amara. Dia terlalu menghormati wanita itu hingga apa pun yang diminta darinya, Jacques akan menyetujuinya. Tentu saja dia berharap mereka masih bisa saling berhubungan, tetapi segala fakta yang diungkapkan Amara—terutama tentang jarak Indonesia-Prancis—tidak bisa dibantah Jacques. Meski dengan berat hati, dia menerima keputusan Amara dengan lapang d**a. Namun bukan berarti dia bisa melupakan Amara begitu saja. Dengan pergi ke Indonesia, Jacques percaya dia akan kembali bertemu dengan wanita yang telah membuat hari-harinya jauh lebih menyenangkan. Meski tidak tahu bagaimana, di mana, serta kapan mereka akan berjumpa, berada di Indonesia berarti selangkah lebih dekat dengan Amara. “J'ai hâte de te revoir, Mara.” Aku enggak sabar buat ketemu kamu lagi, Mara.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD