9 - WE SEE EACH OTHER AGAIN

2177 Words
Amara lebih banyak diam begitu dia dan Jacques masuk mobil. Dia hanya menjawab pertanyaan jika Pak Gede yang mengajukannya, sementara untuk Jacques, semua keingintahuan pria itu hanya ditanggapinya dengan kalimat-kalimat singkat. Saat ini Amara sungguh tidak peduli jika profesionalitasnya dipertanyakan akibat sikap yang dia tunjukkan kepada Jaques. Dia bahkan dengan senang hati jika pria itu melaporkan sikap tidak bersahabatnya ke Pak Michael. Dengan begitu, Amara akan punya alasan untuk dikembalikan ke Blue Diamond Jakarta. Diam-diam bahkan Amaa berharap Jacques akan melakukannya. Sejak mobil yang mereka tumpangi meninggalkan bandara, Amara hanya menjadi pendengar setia obrolan Jacques dan Pak Gede. Fakta bahwa pria di sebelahnya ini bicara dalam bahasa Indonesia yang bisa dikategorikan tanpa cela, membuat Pak Gede semakin bersemangat untuk menjawab semua pertanyaan mengenai Bali. Amara justru heran dengan energi yang sepertinya masih dimiliki Jacques setelah penerbangan belasan jam dari Paris. Usaha Amara untuk benar-benar mengutamakan profesionalitas dibandingkan menuruti tuntutan hatinya tidak membuahkan hasil. Begitu melihat Jacques berjalan dengan mantap menuju tempatnya dan Pak Gede berdiri—yang membawa papan nama The Ocean—semakin sulit bagi Amara untuk mengendalikan hatinya. Keterkejutan pria itu saat melihatnya pun dengan sangat lihai tidak begitu kentara ditunjukkan. Ingin rasanya Amara memaki pria itu dengan sekuat hati dan menuntut penjelasan atas keputusannya ke Bali. Namun tentu saja Amara tidak bisa melakukannya. Alih-alih memastikan Jacques menangkap kekesalannya, Amara dengan ramah mengulurkan tangan untuk menyalami pria itu. Amara dengan sengaja menunjukkan sikap formal karena memang hanya itulah yang harus ada di antara mereka. Setelah sedikit berbasa-basi, Amara dan Jacques berjalan menuju tempat parkir sementara Pak Gede membantu dengan barang bawaan Jacques yang bisa dibilang tidak begitu banyak, terlebih mengingat dia akan tinggal di sini dalam waktu yang lama. Mereka tidak banyak bicara kecuali bertanya kabar masing-masing—masih sangat wajar dan dalam batas profesional—dan Amara pun menyambung obrolan mengenai kabar dengan penerbangan Jacques. Seperti menyadari Amara melakukannya karena status mereka sebagai karyawan The Ocean, Jacques memberikan jawaban yang cukup panjang, bahkan ketika mereka akhirnya sampai di parkiran dan masuk ke dalam mobil, cerita Jacques belum selesai. Baru ketika mereka mulai meninggalkan area bandara Ngurah Rai, kesunyian mengisi jarak yang ada di antara tempat duduk mereka. Kemampuan Jacques berbahasa Indonesia jelas membatasi percakapan yang bisa dilakukan Amara dengan Pak Gede karena Jacques akan memahaminya. Maka ketika pertanyaan mengenai La Lucciola mengemuka, Amara dengan cepat memberikan jawaban. “Terserah Pak Gede mau nungguin kami atau balik ke The Ocean.” “Kalau saya balik nanti biar barang-barang Pak Jacques bisa dimasukkan ke kamar lebih dulu, Mbak. Biar pas Pak Jacques pulang, semuanya udah beres.” “Boleh, Pak. Nanti biar saya yang bilang ke Ibu Rani.” “Kira-kira mau dijemput jam berapa, Mbak?” “Pak Gede bisa pulang saja nanti, enggak perlu menjemput kami di restoran. Saya dan Amara bisa pulang naik taksi. Nanti saya yang bertanggung jawab misalkan terjadi sesuatu. Pak Gede enggak perlu takut dimarahin.” Amara mengalihkan pandangan ke Jacques karena telah menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditujukan kepadanya. Namun saat melihat pria itu memandangnya dengan tatapan memohon, Amara mengurungkan niat untuk meminta Pak Gede agar menjemput mereka. Mau tidak mau atau suka tidak suka, posisi Jacques di The Ocean tetap lebih tinggi darinya, dan terlepas dari kebersamaan yang pernah mereka bagi di Paris dulu, Amara mengingatkan dirinya bahwa Jacques pun punya kuasa untuk memberi perintah sekalipun itu berseberangan dengan keinginannya. “Apa kata Pak Jacques aja, Pak Gede. Dia kan atasan saya.” Pak Gede hanya menanggapi ucapan itu dengan anggukan dibarengi sebuah senyum. “Mara, please don’t make this difficult,” ucap Jacques lirih, memastikan hanya Amara yang mendengar kalimat tersebut. “Not here, Jacques, please.”  Amara bahkan memalingkan wajah saat menanggapi kalimat Jacques, memastikan pria itu tidak melihat ekspresinya. Memandangi jalanan yang sedari tadi memperlambat laju mobil, Amara berharap bisa langsung pulang tanpa harus menghabiskan setidaknya dua jam menemani Jacques makan malam. Suasana hatinya yang seharian bisa dia kontrol, mendadak enggan untuk diajak kerjasama. Dadanya terasa begitu sesak dan Amara ingin sekali memuntahkannya, tetapi dia tidak bisa melakukannya saat ini. Lamunannya dipatahkan oleh getaran ponsel hingga Amara tidak menunggu lama sebelum meraihnya dari dalam tas. Melihat nama Ryan tampil di layar, Amara dihadapkan pada keputusan sulit. Jika dia menerimanya, besar kemungkinan Jacques tidak akan lagi mengungkit kejadian di Paris karena sadar bahwa Amara tidak berbohong saat mengungkapkan dia memiliki seseorang. Namun jika dia menolak panggilan itu, Ryan akan bertanya-tanya dan khawatir sementara Jacques akan menganggap terjadi sesuatu dengan Ryan—meski pria itu jelas tidak tahu siapa yang sedang menghubunginya. Amara menata hati sebelum menerima panggilan itu. “Hey, sayang,” Amara sengaja mengeraskan suaranya, memastikan Jacques mendengar setiap kata yang lolos dari bibirnya. “Kamu udah balik?” “Masih di jalan abis dari bandara, Ryan. Nggak nyangka Bali bisa segila ini macetnya.” “Apakah lagi ada upacara? Biasanya jalanan di Bali akan lebih macet kalau lagi ada upacara keagamaan,” jelas Ryan. “Kayaknya sih nggak ada, sayang. Anyway, kamu udah balik dari kantor?” “Ini lagi jalan ke parkiran. Laporan udah selesai, aku kebut karena beneran lagi nggak pengen lembur. Untung ada Ratri yang maksa aku juga buat pulang. Tahu nggak dia bilang apa, tadi?” “Bilang apa? Dia mulai suka nyuruh-nyuruh kamu, ya?” canda Amara. “Dia bilang, ‘Nanti saya bilangin ke Mbak Mara lo kalau Bang Ryan sampe pulang telat, biar diomelin,’ sambil dengan santainya ngatur meja kerja. Lama-lama dia mirip kamu tahu, nggak?” Amara tidak bisa menahan tawa hingga Pak Gede pun menoleh. Jacques yang duduk di sampingnya hanya menyangga dagu, seolah tidak peduli dengan percakapan yang didengarnya dengan jelas. “Makanya, nurut kalau dibilangin. Kamu mau mampir makan atau langsung pulang?” “Aku take away aja nanti. Beneran pengen langsung mandi dan rebahan. Dua hari ini beneran nggak manusiawi.” Amara mendengar suara pintu mobil dibuka sebelum Ryan melanjutkan, “Aku nggak sabar buat ke Bali. Kangen pantai dan sunset-nya.” “Oh, I see. Nggak kangen aku gitu? Oke. Nanti nggak usah aku jemput ya kalau dateng? Kan nggak dikangenin.” Tawa Ryan memenuhi pendengaran Amara. “Kamu tuh alasan yang nggak usah disebut, sayang. All I do is for you, even when I don’t mention it. Kamu tahu, kan?” “Iya tahu,” balas Amara singkat. “Ya udah, kamu nyetirnya hati-hati, besok aku telepon lagi. Sori banget kita nggak bisa video call-an hari ini. Tapi aku janji besok.” “Kangen banget, Mara.” “Kangen juga. Udah ah, nggak enak ngomong sementara ada bos di sini.” Ryan kembali tertawa sebelum dia menutup percakapan. “Miss you, Mara.” “Miss you, too. Bye!” Senyum Amara terpasang begitu percakapannya dengan Ryan berakhir. Dia tidak sadar jika tatapan Jacques terkunci kepadanya. “Apakah kamu melakukan itu dengan sengaja?” tanya Jacques dalam bahasa Inggris dengan nada yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. Setelah sikap abai yang ditunjukkan Amara, dia tidak lagi bisa membohongi diri bahwa ucapan Jacques barusan bukan hanya terdengar tidak pada tempatnya, tetapi juga mengandung tuduhan. Tidak sekali pun Jacques pernah menggunakan nada seperti itu saat mereka masih berada di Paris. Meski ada alasan yang sangat dimengerti Amara, di sisi lain dia pun tidak paham kenapa Jacques harus bersikap seperti itu. “Nggak ada maksud apa-apa. Jangan berpikiran semua tindakanku didasari oleh kamu,” tukas Amara dalam bahasa Inggris, memastikan Pak Gede tidak menangkap kalimat serta nada suaranya. “We need to talk. Really talk.” Amara tidak berniat menyanggah permintaan itu karena sejujurnya, dia pun merasa bahwa mereka perlu berbicara. Bukan hanya demi ketenangan masing-masing, tetapi juga demi hari-hari yang akan mereka lalui sebagai atasan dan bawahan. Satu hal yang paling dibenci Amara adalah ganjalan dalam bekerja, terlebih jika gangguan itu berupa persoalan pribadi yang seharusnya tidak dibawa ke kantor. Maka sembari menunggu Pak Gede keluar dari kemacetan dan membawa mereka ke La Lucciola, Amara memilih untuk mengabaikan Jacques dan menghabiskan waktu dengan ponselnya.   ***   “Aku senang kita bisa ketemu lagi.” Amara menyilangkan lengan dan memusatkan pandangan pada kegelapan yang terhampar di hadapan mereka. Sejak mereka sampai di La Lucciola dan memesan makan malam, Amara menunggu Jacques membuka obrolan tentang apa yang bisa dan tidak bisa mereka bicarakan setelah mala mini berakhir. Tapi pria itu seperti tidak acuh karena percakapan mereka justru tidak jauh-jauh dari tempat makan di Bali dan restoran favorit Amara. Dengan tidak adanya Pak Gede di antara mereka, Amara takut kecanggungan akan lebih banyak mengambil waktu mereka dibandingkan dengan percakapan yang dijanjikan Jacques di dalam mobil tadi. Amara pun membiarkan Jacques memilihkan menu untuknya, seperti yang dilakukan pria itu setiap kali mereka makan di sebuah restoran atau bistro. Dia tidak lagi peduli dengan menu yang akan didapatkannya. Yang terpenting bagi Amara saat ini adalah menegaskan aturan yang harus Jacques patuhi jika mereka ingin bekerja sama dalam satu departemen. Andai saja pesawat Jacques datang lebih cepat, mereka bisa menyaksikan matahari terbenam dari lantai dua La Lucciola. Tidak ada yang tersisa mala mini kecuali kegelapan dan angin yang berembus cukup kencang hingga Amara beberapa kali menggigil kedinginan. Dia tidak tahu kenapa harus tempat ini yang dipilih Bu Rani ketika lebih banyak tempat makan di Bali yang lebih tertutup. “Aku perlu tahu alasan kamu bisa ada di sini, Jacques. I thought I made myself clear that morning. I have someone and whatever we had in Paris, could not go on.” Jacques yang sejak tadi bersandar pada punggung kursi sembari memainkan wadah gula, hanya memandang Amara lekat. Pembicaraan yang diharapkan Amara akan mengurai benang agar tidak terjadi kekusutan ke depannya, justru lebih banyak diisi sunyi. Sekalipun jelas tidak akan mengakuinya di depan Jacques, sejak tadi Amara berusaha menangkis pesona pria yang masih punya kekuatan yang sama. Mengenakan kaus polo abu-abu muda yang dipadu dengan blazer serta celana jin berwarna biru gelap, Jacques memang tampak sederhana. Tetapi tampilan yang justru sangat effortless itu menguatkan pesona Jacques. Dengan rambut yang tersisir rapi serta dagu yang bersih dari cambang, Amara berkali-kali menahan diri agar tidak mengulurkan tangan untuk mengelus wajah pria yang tidak pernah satu kali pun hilang dari pikirannya. Singkatnya, Jacques masih tampak menawan, seperti saat pertama kali dia mengembalikan tas Amara di depan Moulin Rouge. Sekarang Amara tidak yakin bahwa dia mampu melihat pria yang duduk di depannya setiap hari tanpa harus membawa kenangan mereka di Paris. I’m screwed, batin Amara. “Aku tahu kamu kerja di Diamante Group, Mara, aku enggak akan berbohong soal itu. Tapi aku enggak menyangka kamu akan bekerja di The Ocean. Dan aku enggak menerima tawaran ini supaya bisa bertemu kamu lagi. Aku rindu Indonesia dan kesempatan ini datang pada saat yang memang pas. I couldn’t possibly say no, especially after Michael asked me personally. Aku tentu ingin bertemu kamu lagi, tapi kamu harus percaya denganku bahwa melibatkan kita dalam situasi seperti ini enggak ada dalam rencanaku.” “Aku terima tawaran ini supaya bisa lari dari rasa bersalah karena sekuat apa pun usahaku buat lepas dari bayang-bayang kamu, aku nggak bisa. I had to run away from Ryan because he didn’t deserve this. Kalau tahu kita akan menjadi rekan kerja, aku pasti nggak akan terima.” Jacques meraih gelas berisi red wine yang tinggal sedikit sebelum menandaskannya. Pandangannya sesaat beralih ke pohon kelapa yang terletak persis di depan La Lucciola sebelum kembali menatap Amara. “Sekarang apa yang kamu inginkan, Amara?” “I want us to be professional at work. Jangan pernah singgung soal kenangan di Paris lagi.” “Cuma itu?” Amara mengangguk. “Aku ingin kita bisa bekerja sama, Jacques. This is not a vacation for me.” Jacques dengan cepat memajukan tubuhnya sebelum dia mengulurkan tangan. “Aku pun berharap yang sama, Mara.” Sempat ragu, Mara akhirnya menjabat tangan Jacques dan untuk kedua kalinya, kulit mereka bersentuhan. Jika tadi di bandara mereka sudah bersalaman, maka kali ini terasa begitu berbeda karena mereka tidak dikelilingi begitu banyak orang dan riuh. Hanya suara ombak dan angin yang saling bersahutan diselingi beberapa obrolan yang tidak memekakan telinga. Tanpa bisa Amara bendung, semua sentuhan dan kecupan yang pernah mereka bagi, dengan cepat menubruknya hebat. Bahkan meski tidak ada intimasi dari jabatan tangan mereka, Amara bisa merasakan tubuhnya seperti tersengat listrik, sesuatu yang tidak pernah dirasakannya bersama Ryan. Amara segera melepas jabatan tangan mereka dan melanjautkan makanan yang sudah tidak lagi mampu menggugah selera makannya. “How are you doing? Aku harap kamu baik-baik saja.” Ketika Amara masih belum menanggapi pertanyaan itu, Jacques menambahkan, “Mara, hanya karena kita enggak bisa mengungkit soal Paris, bukan berarti kita harus menjadi orang asing, kan? Anggap saja aku teman lama yang berathun-tahun tidak kamu temui. This is what friends do, ask each other’s about how they are doing.” Menyadari kebenaran dalam ucapan Jacques, Amara mengembuskan napas sembari meletakkan garpunya. Dia benar-benar tidak ingin menghabiskan makan malamnya sekalipun lidahnya begitu dimanjakan dengan berbagai rasa yang begitu mahal. “Aku baik-baik saja. Kamu sendiri gimana?” Jacques menepuk kedua tangannya pelan saat dia meletakkan sikunya di atas meja sebelum tersenyum lebar. “Aku senang sekali bisa kembali ke Indonesia dan tinggal lebih lama di sini. It’s a dream come true. Dan agar kamu tahu, aku enggak punya niat untuk merebut kamu dari Ryan, supaya kamu enggak terus berpikiran macam-macam tentangku. Aku dan Kinan memutuskan untuk kembali menjalin hubungan. Meski kami sempat bertengkar hebat saat tahu aku akan pindah ke sini, tapi hubungan kami masih bertahan. So you can sleep peacefully knowing that I have no intention whatsoever to take you away from him. We’re both with other people.” Amara hanya mengangguk pelan, tetapi dalam hati dia begitu bahagia karena ketakutannya jelas tidak akan terjadi. Mengetahui Jacques kembali dengan kekasihnya berarti hubungannya dengan Ryan tidak akan terancam. Akan semakin mudah bagi Amara untuk mengutamakan profesionalitas di antara mereka tanpa harus khawatir ada maksud tersembunyi dalam setiap tindakan Jacques. “Thank you for letting me know.” “So, we’re good?” Amara mau tidak mau mengangguk mendengar pertanyaan itu. “We’re good, Jacques. There’s nothing to worry about.” Jacques tersenyum. “I’m glad.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD