8 - BALI

2098 Words
“Amara, kamu keberatan untuk menjemput Pak Jacques di bandara? Sekadar memberikan sambutan yang hangat dan lebih personal. Terlebih mengingat kalian akan berada di departemen yang sama.” Ada ribuan alasan kenapa Amara ingin sekali menolak permintaan tersebut, tetapi hanya satu alasan yang dia perlukan untuk mengiyakannya: profesionalitas. Amara enggan dianggap tidak mampu bekerja sama di hari pertamanya datang di The Ocean karena dia tidak ingin menimbulkan omongan yang selama ini mati-matian dia tekan. Sebagai putri semata wayang Prasojo Purba, Amara kerap mendengar selentingan tidak sedap mengenai karirnya. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan agar omongan-omongan tersebut berhenti adalah dengan menunjukkannya melalui etos kerja. Amara berusaha keras meruntuhkan stigma yang melekat pada dirinya hingga orang-orang yang sempat meragukannya, akan diam dengan sendirinya. Dia rela melakukan apa saja demi menyelesaikan semua tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, tanpa terkecuali menjemput pria yang tidak ingin ditemuinya di bandara. “Bisa, Bu. Jam berapa beliau sampai di Bali?” Bu Rani yang merupakan Director of Human Resources menyodorinya nomor penerbangan Jacques Romaine. Amara membacanya sekilas untuk tahu bahwa dia harus menjemput pria berkebangsaan Prancis tersebut pukul lima sore. Great! What a way to end the day, keluh Amara. “Sebenarnya Pak Michael berencana menjemput Pak Jacques langsung, tapi beliau masih ada urusan di Jakarta. Awalnya Pak Jacques juga akan mendarat di Jakarta terlebih dulu untuk kemudian terbang ke Bali bersama Pak Michael, tapi karena beliau tidak melihat perlunya ada di Jakarta, maka Pak Jacques meminta untuk langsung ke sini.” Amara hanya mengangguk, tidak lagi punya kesempatan untuk menggeleng. Hari pertamanya di The Ocean sungguh berat, hingga Amara harus menghabiskan lima belas menit di toilet hanya demi mengumpulkan kembali mental. Menjemput Jacques adalah hal kecil dibandingkan dengan bertemu Nanda, rekan kerja di Blue Diamond dulu sebelum dia dipindahkan ke Blue Diamond Kuala Lumpur. Meski tidak ada pilihan bagi mereka selain bersikap profesional, sulit untuk Amara menahan rutukan dalam hati. Selama bekerja di Blue Diamond Jakarta, Nanda seringkali mencibir dan meragukan kemampuan Amara hanya karena nama belakangnya. Berangkat ke kantor menjadi hal yang tidak lagi disukainya hingga Amara sempat terpikir untuk berhenti. Namun Ryan meyakinkannya bahwa cibiran Nanda justru harus dijadikan motivasi agar Amara mampu membuktikan dia tidak berlindung di balik nama Prasojo. Dengan bimbingan Bu Novi dan tekad yang begitu kuat, Amara berhasil menutup mulut Nanda saat dia berhasil meyakinkan satu perusahaan minyak internasional untuk mengadakan annual meeting di Blue Diamond dengan menyewa 25 kamar sekaligus ruang rapat selama dua minggu. Perusahaan tersebut sering dikeluhkan staf marketing hotel lain karena sulit ditembus, tapi dengan kegigihan Amara, dia mematahkan seluruh pandangan negatif yang diarahkan kepadanya. Bahkan dia mendapat gelar Employee of The Month karenanya. Kembali bekerja sama dengan Nanda jelas tidak akan mudah, tetapi sekarang Amara jauh lebih siap secara mental untuk menangkis setiap perkataan tidak menyenangkan yang akan didapatnya. Namun berurusan dengan wanita yang berusia lima tahun di atasnya serta menghadapi Jacques adalah hal yang Amara masih belum yakin mampu. Dia bertekad untuk mencoba, jika memang pada akhirnya berada di The Ocean membuat hari-harinya lebih sengsara, Amara bisa meminta untuk dikembalikan ke Blue Diamond Jakarta, atau sekalian dipindahkan ke properti Diamante yang lain. “Apakah akan ada sambutan khusus untuk Bapak Jacques, Bu?” Bu Rani menggeleng. “Tidak ada sambutan khusus untuk beliau mengingat Pak Michael sendiri belum ada di sini. Untuk sementara, Pak Jacques akan tinggal di The Ocean sembari melihat-lihat vila dan rumah yang telah kita siapkan untuk beliau tempati. Meski sepertinya beliau tidak terlalu rewel mengenai itu, kita hanya ingin Pak Jacques merasa senyaman mungkin dan punya pilihan. Nanti malam kamu bisa temani beliau makan malam, kan? Nanti kalau Pak Michael sudah sampai di Bali, kita bisa mengadakan welcome dinner yang jauh lebih formal dan pantas. Sekalian menunggu department head yang lain agar bisa saling berkenalan.” Kenapa sih dia musti diperlakukan sespesial ini? gerutu Amara dalam hati. “Makan malam di sini, Bu?” “Saya pribadi maunya seperti itu, tetapi karena belum sepenuhnya The Ocean jadi dan masih banyak yang harus diselesaikan, Pak Michael khawatir Pak Jacques akan terganggu dengan suara bising yang pasti akan memberi kesan tidak enak. Jadi saya tadi sudah reservasi di La Lucciola. Menurut kamu bagaimana? Tidak berlebihan kan?” Amara menggeleng. Apalagi yang bisa dia katakan? “Menurut saya sangat pas, Bu. Berarti nanti hanya saya dan Pak Jacques?” Bu Novi seperti ingin mengucapkan simpatinya sebelum mengangguk. “Kamu tidak keberatan kan? Ini usul Pak Michael setelah beliau bertemu kamu di Jakarta. Menurut beliau, kamu dan Pak Jacques punya kecocokan, terlebih kamu belum lama kembali dari Paris. Saya yakin ada banyak yang bisa kalian obrolkan.” Mungkin terlalu banyak, batin Amara. Amara mencatat informasi yang baru didapatnya ke dalam agenda. “Ada lagi yang perlu saya tahu, Bu Rani?” “Oh ya, Pak Jacques sudah diberitahu bahwa akan ada yang menjemput, tetapi beliau belum tahu siapa. Nanti biar Pak Gede yang bawa sign hotel dan berdiri di samping kamu.” Amara mengangguk, percaya bahwa Jacques akan langsung mengenalinya tidak lama setelah pria itu keluar dari pintu kedatangan internasional. “Kamu tinggal di Berawa kan?” Saat Amara mengangguk, Bu Rani melanjutkan, “Mungkin nanti kamu bisa pulang lebih dulu, ganti dengan pakaian yang jauh lebih nyaman karena akan menghabiskan waktu dengan Pak Jacques.” “Apa nanti setelah dari bandara, saya langsung mengajak Pak Jacques ke La Lucciola?” Bu Rani lagi-lagi mengangguk. “Buang waktu banget kan misal kalian harus ke sini dulu baru ke La Lucciola?” “Betul, Bu.” “Ya sudah, kamu bisa kembali ke ruangan. Pesan saya hanya satu, beri kesan terbaik untuk Pak Jacques.” “Pasti, Bu. Itu sudah menjadi tugas saya.” Setelah sedikit berbasa-basi, Amara keluar dari ruangan Bu Rani dan alih-alih menuju meja kerjanya yang masih cukup berantakan, Amara memilih untuk pergi ke toilet. This is just too much! pekik Amara dalam hati.   ***   Amara mengamati maxi dress merah yang dikenakannya pada saat makan malam bersama Jacques berbulan-bulan lalu. Dia sengaja membawanya ke Bali karena tahu dia akan mengenakannya. Namun menjemput Jacques mengenakan maxi dress tersebut hanya akan membuatnya merasa tidak nyaman, tidak peduli betapa kuat keinginan Amara untuk kembali menempelkannya di tubuh. Akhirnya dia memilih midi dress hitam berkerah V dengan floral print merah yang juga dibelinya dari butik Claudie Pierlot. Dia tidak ingin tampil terlalu resmi dan merasa kikuk di bandara karena dandan berlebihan. Midi dress ini bukan hanya memberi kesan santai, tapi juga pantas untuk dia bawa ke La Lucciola. Melengkapinya dengan kalung yang diberikan Ryan pada hari ulang tahunnya yang ke-25, Amara berkali-kali menarik dan mengembuskan napas di depan cermin demi mengatur emosinya. Dia memutuskan untuk menggerai rambutnya dan mengenakan parfum yang dibelinya di Nose. Belum satu kali pun dia menggunakan parfum ini hingga dia tidak perlu terjebak dalam memori siapa pun. Setelah meyakinkan tampilannya pas dan tidak berlebihan, Amara segera mengenakan ankle boots senada dengan warna bajunya sebelum menyambar tas berukuran kecil Sac de Jour dan melangkah keluar dari kamar. Dia meminta Pak Gede agar menunggu di hotel karena Amara ingin punya alasan agar Jacques tidak memaksa Pak Gede mengantarnya ke rumah terlebih dulu. Selain itu, Amara ingin memastikan Jacques sampai di hotel dengan selamat dan kamarnya siap ditempati. Meski tidak ingin, Amara mengingatkan diri bahwa hubungannya dengan Jacques murni karena pekerjaan. Dia harus membiasakan diri untuk tidak terbawa perasaan dan bersikap tegas jika Jacques mulai bersikap di luar batas profesional. Sesampainya di hotel, Amara menunggu Pak Gede di lobi sembari mengamati setiap sudut yang membuatnya terpana saat pertama kali melangkahkan kaki. Melihat lobi The Ocean secara langsung jelas memberikan sensasi yang berbeda ketika melihatnya melalui foto. Jika tidak bekerja di sini, Amara yakin dia akan langsung jatuh cinta dengan hotel ini. Bagian lobi sengaja didesain lebih tinggi agar pemandangan Samudra Hindia bisa terlihat tanpa cela begitu tamu memasuki lobi setelah menaiki beberapa anak tangga. Disangga empat pilar kayu dengan ukuran yang cukup besar berhiaskan ukiran Bali, bagian belakang lobi dibuat menurun yang langsung menuju The Sand, salah satu dari empat restoran yang ada di The Ocean. Selain menuju restoran, tangga menurun tersebut akan menuju ke kamar-kamar tamu yang berbentuk joglo. Tergantung jenis kamar, luas setiap kamar berbeda. Ada satu family suite yang memiliki kolam renang pribadi, langsung berhadapan dengan Samudra Hindia dan dikelilingi tumbuhan tropis hingga privasi tamu tetap terjaga. Meja resepsionis dibuat lebih rendah dan dari kayu jati, juga berhiaskan ukiran Bali sementara dinding yang menghadap tamu di resepsionis berhiaskan peta Bali, terbuat dari kain tenun. Atap di lobi ini sengaja dibuat lebih tinggi, lengkap dengan chandelier raksasa yang menggantung di tengah, tepat di atas meja bulat yang nantinya akan diisi bas besar berisi bunga dan potongan tanaman tropis yang akan diganti setiap hari. Bagian lobi ini memang didesain bukan hanya untuk menguatkan kesan Bali, tetapi juga memberi rasa lapang dan nyaman. Meski belum sepenuhnya rampung, Amara bisa membayangkan kekaguman para tamu saat mereka memasuki lobi. Selain itu, angin yang berembus dari laut pun membuat suasana lobi imi terasa lebih sejuk hingga tidak diperlukan pendingin ruangan. Amara sendiri merasa nyaman duduk di sini hingga dia tidak menyadari saat Pak Gede berjalan menghampirinya. “Bu Amara sudah siap untuk ke bandara?” Amara mengangkat wajah dan mengangguk. “Jangan panggil saya Bu, Pak Gede, panggil Mbak saja. Kesannya terlalu formal dan saya paling nggak suka dengan formalitas antara staf.” Pak Gede menunjukkan senyum lebarnya sebelum mengangguk. “Baik, Mbak. Ada tempat lain yang perlu Mbak Amara datangi sebelum ke bandara?” Amara memikirkan sejenak pertanyaan Pak Gede tersebut sebelum menggeleng. “Kita langsung ke bandara saja, Pak. Takut macet dan telat kalau harus mampir-mampir dulu.” “Berarti kita nanti langsung ke La Lucciola dari bandara?” “Betul, Pak.” “Siap, Mbak. Kita bisa pergi sekarang kalau Mbak Amara sudah siap.” Begitu Pak Gede berlalu untuk menghidupkan mobil, Amara segera bangkit dari kursi lobi. Dia memberi senyum kepada beberapa staf front office yang sedang berkumpul di depan sebelum menuruni tangga. Perasaan Amara sungguh campur aduk karena hanya dalam beberapa jam, dia akan bertemu dengan Jacques lagi. Dia pun bertanya dalam hati apakah ada perubahan berarti setelah pertemuan terakhir mereka. Namun Amara menyingkirkan semua kekhawatirannya dan meyakinkan diri semua akan berlangsung baik-baik saja.   ***   Saat mobil terjebak macet di Kuta, Amara meraih ponsel dari dalam tas untuk menghubungi Ryan. Dia hanya mengirimi pria itu pesan singkat setelah mengetahui bahwa dia harus ada di bandara sore ini dan berjanji akan meneleponnya dalam perjalanan ke bandara. Setelah memastikan melalui pesan singkat bahwa panggilannya tidak akan mengganggu kerja, Amara tersenyum saat mendengar suara Ryan. “Hi, sayang. Sibuk hari ini?” buka Amara setelah mendengar dengusan dari Ryan. Mengenal pria itu, Amara tahu bahwa Ryan lega mendapatkan telepon darinya. “Lumayan, ada beberapa hal yang bikin kepalaku pecah. Untung kamu telepon, kalau nggak, aku bakal jadiin Ratri pelampiasan.” Amara tergelak. Ratri adalah sekretaris Ryan yang telah beberapa kali Amara temui. Gadis berusia tiga tahun di bawahnya itu selalu mengadu kepadanya setiap kali Ryan melampiaskan emosi karena satu dan lain hal. Meski tidak berteman baik, Amara selalu mengingatkan Ryan agar tidak menjadikan Ratri pelampiasan jika suasana hatinya sedang buruk karena pekerjaan. “Kamu udah on the way ke bandara?” “He em. Ini lagi kena macet di Kuta, makanya aku bisa telepon kamu.” “Kenapa kamu yang disuruh jemput? Apa mereka nggak ada orang lain?” Amara tertawa getir. “Kamu bakal ketawa kalau aku kasih tahu alasannya.” “Try me.”  “Selain karena Jacques Romaine,” Amara menelan ludah setelah mengucapkan nama yang sekian bulan tidak bisa diucapkannya langsung di hadapan Ryan, “adalah Director of Marketing, yang berarti akan jadi atasanku, fakta bahwa aku beberapa bulan lalu baru pulang dari Paris bikin kantor ngerasa kami bakal punya banyak obrolan menarik.” Amara menggelengkan kepala. “Can you believe that? Kalau ini kejadian di Blue Diamond, aku pasti nolak karena alasan sekonyol itu.” Ryan tertawa dan Amara jelas rindu dengan suara itu. “Ganteng nggak dia?” Lagi-lagi Amara menelan ludah. Bagaimana dia bisa menjelaskan kepada Ryan tentang sosok Jacques yang punya darah Indonesia? Amara jelas harus berhati-hati karena jika menjawab pertanyaan itu dengan jujur, Ryan pasti akan terus mendesaknya dan berakhir dengan mereka saling beradu argumen. Maka demi kedamaian yang sangat diperlukannya, Amara menjawab, “Yah, kayak bule-bule yang lain, sayang. Aku nggak liat bedanya dia apa kecuali Jacques punya darah Indonesia dan dari info yang aku dapet, dia masih bisa ngomong Indonesia. Ya gitu deh.” “Aku perlu khawatir nggak kalau pesona dia bisa membuat kamu lupa sama aku?” tanya Ryan jenaka. Amara berdecak keras, sengaja agar Ryan mendengarnya. “Nggak perlu sama sekali karena aku udah punya yang lain. Yang lebih ganteng, lebih perhatian, lebih enak dipandang.” Ryan kembali tergelak. “Ya udah, sayang, kamu lanjutin aja nikmatin macet. Aku harus nyelesain laporan ini supaya nanti nggak lembur. Terus habis jemput dia ke bandara ngapain?” “Nganter dia makan, terus ke hotel. Welcome dinner-nya nunggu GM datang dari Jakarta,” jelas Amara. “Sayang kamu, Amara. Take care ya di sana? Kabari nanti malam kalau kamu udah sampai di rumah.” “Jangan lama-lama di kantor juga kamu. Love you.” “Love you, too.” Begitu sambungan terputus, Amara menyandarkan kepalanya ke pintu sambil menyaksikan motor-motor yang berusaha menggunakan celah sempit di samping mobil untuk sampai di tempat tujuan mereka. Amara hanya mengembuskan napas panjang sebelum dia memejamkan mata. Bisakah hari ini cepat berlalu agar gue nggak perlu berbasa-basi busuk sama Jacques?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD