7 - TIME TO SAY GOODBYE

2109 Words
“Gimana perasaan kamu, Mara?” Pertanyaan itu hanya disambut Mara dengan sebuah senyum yang terpaksa dia tunjukkan. Sejak mengetahui bahwa keinginan serta harapannya tidak berbanding lurus dengan kenyataan, Amara mulai menyesali keputusannya meninggalkan Jakarta. Yang membuat segalanya menjadi lebih berat adalah dia tidak mampu membaginya kegundahan hatinya dengan siapa pun. Amara hanya bisa menangis di kamar mandi atau di atas kasur jika Ryan kebetulan tidak menginap karena hanya mengeluarkan air mata yang mampu membuat dadanya lega. Setelah obrolan singkat dengan Dila tempo hari, Amara sengaja mencari tahu keesokan harinya tentang Director of Marketing yang akan menangani The Ocean. Rasa penasarannya tentu sangat beralasan mengingat dia akan berhadapan langsung dalam kegiatan sehari-hari. Bu Novi pun menganggap pertanyaan Amara sangat wajar meski keputusan untuk memutasi Amara ke Bali tidak lagi bisa ditarik. Amara perlu berkali-kali membaca nama dan profil Jacques Romaine untuk memastikan bahwa pria yang akan ditemuinya di Bali nanti adalah sosok yang sama dengan yang menemaninya selama di Paris. Kalimat pujian yang dilontarkan Bu Novi hanya lewat di telinga Amara karena pikirannya telah lumpuh mengetahui dia dan Jacques justru akan dipertemukan kembali lewat pekerjaan. Tidak banyak yang bisa Amara katakan saat Bu Novi menanyai pendapatnya. Dia hanya mampu berdeham dan menelan ludah sembari mengutarakan harapan agar Jacques sebaik Bu Novi. Amara sengaja memilih jawaban paling aman yang tidak akan menyakiti hatinya. Setibanya di apartemen, Amara mengunci diri di kamar dan mengeluarkan semua emosi yang dipendamnya sepanjang hari, bahkan dengan tegas dia melarang Ryan berkunjung dengan alasan sedang tidak enak badan. Ingin rasanya Amara memaki-maki Jacques karena dia sepenuhnya sadar, pria itu dengan sengaja datang kembali ke hidupnya. Apa namanya kalau bukan sebuah kesengajaan? Amara menolak percaya bahwa Jacques menerima tawaran untuk menangani The Ocean hanya karena ingin tinggal di tanah kelahiran sang ibu. Tidak ada kebetulan yang sehebat ini. Semenjak itu, Amara mulai bersandiwara. Bukan hanya di hadapan Ryan yang terus-terusan ingin menghabiskan sebanyak waktu dengannya, tetapi juga di depan rekan-rekan Blue Diamond. Amara jelas tidak mungkin menarik keputusannya untuk pindah ke Bali, jadi yang bisa dilakukannya hanyalah berusaha terlihat baik-baik saja di depana semua orang. Bahkan ketika farewell dinner diselenggarakan untuk melepas kepergiannya—sekalipun Amara masih sesekali akan mampir di Blue Diamond—Amara tidak ingin tinggal hingga acara selesai karena hatinya begitu lelah harus berpura-pura. Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang wajib dia selesaikan sebelum pergi ke Bali dan memilah barang-barang yang bisa dibawanya langsung dengan yang harus dikirimnya melalui ekspedisi. Amara pun sebisa mungkin mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Ryan karena sekalipun perasaan bersalah itu tidak mungkin terhapus, hanya Ryan yang mampu mengalihkan perhatiannya dari Jacques. Menjelang keberangkatannya, Amara semakin resah membayangkan pertemuannya dengan Jacques. Mustahil pria itu lupa dengan dirinya. Amara selalu berhasil menjaga emosi agar tidak lepas pada waktu dan saat yang tidak tepat, tetapi Amara tidak yakin dia mampu bertahan lama jika harus bertemu dengan Jacques setiap hari. Kepergiannya ke Bali adalah untuk mengubur rasa bersalah dan meyakinkan hatinya tentang Ryan, tetapi bagaimana mungkin Amara melakukannya jika pria yang menimbulkan perasaan tersebut justru harus ditemuinya setiap hari? Godaan untuk menghubungi Jacques begitu kuat—Amara tahu aku ** pria tersebut—tetapi dia menahan diri agar tidak menimbulkan kepanikan yang tidak perlu. Amara berkeyakinan bahwa bertemu langsung kemudian bicara akan lebih membuatnya tenang dibandingkan melalui **. Amara mengembuskan napas sebelum mengedikkan bahu. “Ke mana pun aku pergi, Jakarta selalu jadi rumah buatku. Bakal kangen sama macetnya, tapi aku yakin Bali bakal bisa bikin aku betah.” Ryan tersenyum. “Aku nggak bisa janji apa-apa, Mara, tapi aku akan cari cara supaya bisa pindah ke sana. Nggak tahu bagaimana atau apa, rasanya memang susah jauh dari kamu. Aku yakin komunikasi kita pasti nggak akan putus tiap hari, tapi ketemu langsung dan liat kamu melalui layar ponsel itu rasanya beda.” Ucapan Ryan jelas mengejutkan Amara karena bahasan tentang Ryan yang ingin ikut pindah ke Bali tidak pernah ada. Namun tidak ada yang mengisi hati Amara selain kebahagiaan jika memang itu terjadi. Dengan adanya Ryan di Bali, berarti pesona Jacques akan bisa dia tangkis dengan lebih mudah. “Kalaupun aku akhirnya nggak ketemu cara buat pindah ke Bali, kita harus tetep gantian buat saling jenguk. Seenggaknya dua kali sebulan.” Amara mengangguk. Sejujurnya dia tidak keberatan jika harus pulang ke Jakarta setiap akhir pekan. Harga tiket pesawat tidak menjadi sesuatu yang dia pikirkan. Amara bahkan sempat mendesak Ryan agar mereka bertemu seminggu sekali, tetapi Ryan menolak. Amara ingin pria yang sedang menyetir di sampingnya ini menjadi penawar setelah menghabiskan lima hari di kantor dan berinteraksi dengan Jacques. Amara yakin, Jacques tidak akan diam mengetahui Amara sekarang menjadi bawahannya. Alasan yang diajukan kekasihnya itu pun sangat masuk akal. Dia tidak ingin Amara merasa kangen dengan Jakarta hingga lantas menyesali keputusannya untuk pindah ke Bali. Ryan ingin Amara menikmati Bali supaya pikirannya tidak dipenuhi oleh Jakarta. Maka dari itu, Amara lantas setuju untuk setidaknya bertemu Ryan dua minggu sekali. “Aku sengaja minta tolong temenku supaya nyariin kamu tempat yang nggak begitu jauh dari hotel supaya kamu nggak kejebak macet. Bali kan bisa macet juga meski nggak separah Jakarta. Dan supaya kamu nggak kecapekan nyetir.” Orang tua Amara sangat mendukung keputusannya untuk mencari pengalaman di Bali. Meski bisa mengiyakan tawaran papanya untuk menempati salah satu properti yang mereka miliki, Amara memberikan Ryan kewenangan untuk mencarikannya tempat tinggal. Terlebih vila milik keluarga mereka letaknya di Ubud sementara The Ocean ada di daerah Canggu. Amara jelas enggan jika harus menempuh perjalanan panjang setiap hari demi menghemat uang. Teman Ryan akhirnya menunjukkan satu tempat yang letaknya tidak begitu jauh dari Canggu. Melalui peta, hanya setengah jam yang dibutuhkan Amara untuk pergi dari vila di kawasan Berawa. Belum lagi jarak ke pantai yang tidak terlalu jauh membuat Amara langsung mengiyakan tempat yang akan ditujunya setiap hari sepulang dari hotel. Selain hanya terdiri dari dua kamar tidur, vila yang disewa Amara juga tidak terlalu besar untuk ditempatinya seorang diri. Sempat terpikir untuk mencari housemate, tetapi Amara menyisihkan pikiran itu karena dia tidak membutuhkan uang tambahan dan khawatir jika teman serumahnya justru membuatnya merasa tidak aman. Amara pun tidak banyak membawa pakaian yang biasanya dia kenakan di Blue Diamond karena akan sangat tidak pas untuk konsep dan letak The Ocean yang berada persis di tepi pantai. Amara harus membeli beberapa jenis pakaian kerja baru yang mengesankan dia tidak salah kostum. “Kalau udah begini, aku nggak sabar nyampe Bali biar bisa cepet tidur.” “Yakin bakal langsung molor? Mantai dululah, liat sunset, terus biar aku iri.” Amara hanya tertawa menanggapi balasan dari Ryan. “Jangan bikin aku sedih, dong!” rajuk Amara. “I wish this was for business trip.” Ryan segera mengelus kepala Amara tanpa lupa berkata, “Jangan bilang begitu, sayang. Kamu cuma gugup karena ini sesuatu yang baru. Aku sih percaya kamu bakal baik-baik aja nanti kalau udah sampai Bali dan ketemu staf The Ocean yang lain. Aku nunggu banget cerita kamu soal mereka.” Justru itulah, Ryan, aku sama sekali nggak pengen ketemu Jacques. Ryan memang benar bahwa ini sekadar gugup yang berlebihan. Amara harusnya tahu bahwa dia tidak akan jauh dari hal-hal yang dikenalnya. Lagipula The Ocean masih di bawah naungan Diamante Group dan Amara sudah tahu seluk-beluk perusahaan tersebut. Amara meyakinkan diri rasa gugupnya ini hanya disebabkan oleh pria bernama Jacques Romaine. Tidak ada yang lain. Degup jantung Amara semakin tidak beraturan begitu mobil yang ditumpanginya memasuki kawasan bandara. Amara hanya mampu menelan ludah tanpa bisa mengatakan apa pun. Amara tahu tidak ada jalan kembali yang bisa diambilnya. Menarik napas panjang, Amara mengembuskannya perlahan sebelum Ryan menepuk pundaknya pelan. “Shall we?”   ***   Amara tidak pernah sebenci ini duduk di ruang tunggu. Besar di keluarga yang menganggap bepergian adalah sebuah kebiasaan, Amara selalu menyukai bandara dan kesibukannya. Namun kali ini, dia ingin berada di mana pun selain di ruang tunggu sebelum naik pesawat yang akan membawanya ke Bali. Keramaian yang mengelilinginya tidak punya cukup kekuatan untuk menghalau pikiran tentang Jacques. Tangannya gatal ingin menghubungi Ryan, tetapi dia tidak ingin membahayakan keselamatan pria itu yang pasti sedang dalam perjalanan pulang saat ini. Menyusuri ponselnya demi membunuh waktu, Amara akhirnya memutuskan untuk menghubungi Amy. Dia tidak lagi mampu menahan gundah yang telah menggerogotinya hingga beban yang dibawanya dari Jakarta terasa lebih berat. Ketika bertanya apakah dia bisa menelepon Amy melalui pesan singkat dan sahabatnya itu mengiyakannya, Amara tidak menunggu lama sebelum mendengar suara Amy. “Mara! Kangen gue!” Amara hanya tertawa. “Lo lagi siap-siap mau kerja? Atau malah udah di kantor?” “Belum, gue meliburkan diri hari ini karena cuaca di Paris minta gue buat tinggal di apartemen aja.” “Dasar!” “Berisik banget suara lo, emangnya lagi di mana?” “Gue lagi di bandara, mau ke Bali.” “Liburan? Sama Ryan? Oh wait! Jelas lo ke Bali sendirian karena kalau sama Ryan, lo nggak bakal telepon gue.” “Gue bukan liburan ke Bali, tapi kerja. Gue udah resmi bakal tinggal di sana dan kerja di salah satu hotel Diamante yang bakal dibuka.” “Wah, lo beneran bikin gue iri, Mara.” “You’re welcome anytime, Amy.” “Ryan gimana? Ikut lo ke Bali atau tetep di Jakarta?” “Dia tetep di Jakarta, sih, meski tadi sempet nyinggung kalau dia bakal berusaha buat dipindah ke Bali. Cuma dia nggak janji. Kami bakal saling ketemu dua minggu sekali, either gue yang ke Jakarta atau Ryan yang ke Bali. Kami resmi jadi pejuang LDR.” Amara mendengar suara tawanya dan Amy saling bersahutan. Dia melirik jam tangannya dan masih ada waktu sejam lagi sebelum dia harus masuk pesawat. “Kalian ini beneran pasangan yang bikin iri banyak orang. You’re one lucky lady, Mara.” “Amy … gue telepon lo karena gue nggak bisa lagi nahan ini. Gue tahu udah janji sama lo buat nggak ngungkit ini lagi, tapi gue nggak bisa. I’m sorry.” “Soal siapa, sih? Jacques?” “Lo tahu kan rasa bersalah ke Ryan nggak ilang-ilang juga meski gue udah balik ke Jakarta. Nerima tawaran di Bali adalah salah satu cara gue buat ngurangin rasa bersalah itu dan ngeyakinin diri kalau Ryan adalah the one buat gue. Cuma takdir kayaknya lagi becandain gue karena justru Jacques bakal jadi Director of Marketing di The Ocean, which means, gue bakal ketemu dia tiap hari.” Amara mendesah lega karena telah meluapkan beban yang ditanggungnya. “Yang awalnya gue excited banget buat pindah ke Bali, jadi ngerasa itu keputusan paling bodoh yang pernah gue ambil. Gimana gue bisa ngeyakinin diri soal Ryan kalau gue bakal berhadapan sama cowok yang berusaha gue lupain? Tell me what I have to do, Amy, because right now, I really have no clue.” Sunyi mengisi percakapan mereka sebelum akhirnya Amy berdeham. “Satu yang perlu lo inget, jangan pernah nyalahin diri soal keputusan yang lo ambil. Lo kan memang nggak tahu kalau Jacques bakal jadi atasan lo, jadi itu bukan salah lo.” Amara mengangguk, bahagia karena ada orang lain yang mengamini alasan yang selama ini berusaha dia yakini. “Yang kedua, lo jangan terlalu berpikiran jauh dulu karena udah berbulan-bulan lo nggak ketemu atau komunikasi sama dia. Apalagi dia sempet cerita kalau dia lagi break sama ceweknya. Siapa tahu pas kalian ketemu lagi nanti, dia udah baikan sama pacarnya. So, there’s nothing to worry about. Pesen gue sih cuma satu, lo harus bersikap tegas ke dia kalau dia mulai deketin lo lagi. Lo musti bisa ngasih alasan yang jelas bahwa lo ada Ryan dan yang terjadi di Paris dulu nggak lebih dari summer fling. Gue yakin lo udah tahu sikap kayak apa yang bakal lo kasih ke Jacques, jadi gue nggak perlu ngasih tahu.” “Gue mungkin bakal benci sama dia, bisa aja, kan? Siapa tahu dia jadi orang yang nyebelin di kantor. Kan gue nggak tahu.” Tawa Amy berderai. “Yang pasti lo harus cerita ke gue gimana dia di kantor. Gue yakin lo bakal mampu buat misahin mana yang bisa lo anggep profesional dan mana yang personal. Asal jangan main api aja, Mara. Once is enough, okay?” “Thanks, Amy. Gue nggak tahu lagi harus kasih tahu siapa soal Jacques ini karena cuma lo yang tahu dan nggak pernah nge-judge gue. Seenggaknya gue ngerasa lebih lega sekarang.” “Lo kayak sama orang lain aja, sih? Ini gue, orang yang udah tahu busuk-busuknya lo dari dulu. Kalau lo mau cerita, apa aja, gue di sini. Nggak usah mikir macem-macem gue bakal ngehakimin lo atau apa.” “Ya udah, lo lanjutin deh males-malesannya, gue mau siap-siap boarding.” Setelah saling berjanji untuk lebih rutin mengabari satu sama lain, Amara memutuskan sambungan sebelum dia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Amara mengamati lalu-lalang manusia yang ada di bandara dan membayangkan malam ini dia akan tidur di tempat yang begitu asing. Besok pagi, dia harus mulai membongkar koper dan menata baju-bajunya dan lusa, dia akan berada di The Ocean, dan bertemu Jacques. Memejamkan mata, Amara membayangkan akan seperti apa bertemu kembali dengan pria yang dalam waktu singkat mampu memporakporandakan hatinya. Dia jelas tidak siap, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menghadapi Jacques dan berharap pria itu tahu bahwa situasi mereka tidak lagi sama saat Amara masih berada di Paris. Amara mengembuskan napas dan segera bangkit dari bangku yang telah didudukinya hampir satu jam untuk sedikit melemaskan kaki sebelum terjebak di dalam pesawat. Di lubuk hatinya yang paling dalam, dia ingin segera melewati seminggu pertamanya di Bali agar dia bisa tidur nyenyak.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD