5 - BACK TO REALITY

2302 Words
Tidak ada yang membuat Amara bahagia selain berada di apartemen, dikelilingi oleh sudut-sudut yang telah dikenalnya selama hampir enam tahun. Amara tidak menyangka orang tuanya akan menghadiahkan apartemen ini saat dia lulus kuliah. Dia awalnya menolak karena unit tiga kamar ini terlalu besar untuk ditinggali sendiri dan sempat protes karena menganggap mereka sungguh berlebihan. Namun ketika dia mulai menghasilkan uang lewat hasil keringat sendiri, Amara mulai menikmati tempat ini. Terlebih koleksi sepatu, tas, serta baju yang mulai dikumpulkannya tidak akan muat jika ditempatkan di kamar utama yang dia tempati. Ayahnya mengusulkan agar mengubah satu kamar tidur menjadi walk-in cabinet, dan keputusan itu menjadikan Amara leluasa menambah koleksinya. Kamarnya tidak hanya menjadi lebih lapang, tetapi juga rapi karena dia enggan meletakkan barang-barang tidak penting di kamar. Lokasi yang dipilih ayah Amara pun berada di jantung Jakarta hingga memberinya akses yang mudah untuk menjangkau kantor, pusat perbelanjaan, dan restoran tanpa harus terjebak macet berjam-jam. Dia enggan untuk mencari apartemen lain karena tempat ini telah memenuhi semua kriteria yang diinginkan Amara dari sebuah hunian. Ryan menepati janji untuk menjemputnya di bandara. Lelah yang dirasakannya setelah menempuh penerbangan jarak jauh sedikit terobati saat melihat Ryan. Amara menyingkirkan bayangan Jacques begitu langkahnya mendekat dan Ryan menyodorinya satu buket mawar putih. Amara mendekap Ryan erat, mengingatkan kembali indera penciumannya tentang aroma pria yang sudah tiga minggu tidak dijumpainya. Ryan sampai harus melepaskan diri karena pelukan Amara terasa semakin kencang. Tidak pernah Amara merasa selega ini melihat Ryan. Pria itu sudah meminta izin untuk tidak masuk kantor agar bisa menghabiskan waktu bersamanya. Amara sebenarnya tidak setuju Ryan harus mengorbankan pekerjaan demi dirinya, tetapi setelah kejadian di Paris dengan Jacques, Amara benar-benar bahagia dia tidak harus menghabiskan hari pertamanya di Jakarta seorang diri dan tenggelam dalam kesedihan. Meski tidur cukup nyenyak hingga pesawat mendekati Singapura, rasa lelah Amara sulit diabaikan. Sesampainya di apartemen, dia berendam cukup lama sembari menyetel alarm ponselnya untuk berjaga-jaga jika dia terlelap. Dia menolak dikalahkan jetlag karena tidak ada yang lebih buruk daripada mengalami disorientasi waktu karena jam tubuhnya masih mengikuti waktu Paris. Amara ingin cepat beradaptasi lagi dengan Jakarta agar jetlag-nya tidak berlarut-larut. Setelah merasa segar, Amara langsung membongkar kopernya sebelum Ryan memintanya untuk beristirahat. Amara akhirnya menurut karena dia memang hanya mencari alasan untuk menunda perasaan bersalah yang membebaninya sejak tiba di Jakarta. Akhirnya dia hanya merebahkan kepalanya di paha Ryan sementara pria itu menikmati Netflix. Mereka makan siang di apartemen karena Amara menolak berpanas-panasan di Jakarta. Setelah perutnya terisi, Amara kembali membongkar isi kopernya demi mencari barang-barang yang dibelinya untuk Ryan. Pria itu sedang mencuci piring saat Amara menghampirinya dan menyodorkan satu tas Hermès ke arah Ryan. “Buat kamu.” Ryan menatapnya penuh cinta. “Kamu nggak perlu jauh-jauh bawa Hermès ke sini, Mara.” Balasan itu justru membuat Mara menutup jarak di antara mereka dan menempelkan tas kertas berwarna oranye cerah itu ke d**a Ryan yang siang ini memakai kaus polo abu-abu. Amara mendaratkan kecupan singkat di bibir Ryan sebelum membalas ucapan kekasihnya. “Nggak berat, kok. Dan bukan sesuatu yang mahal. Ini bisa kamu pakai setiap hari.” Amara pernah membelikan Ryan cufflinks, tapi Ryan hanya mengenakannya pada acara-acara tertentu. Meski tidak pernah meminta atau keberatan dengan hadiah-hadiah kecil yang diberikannya, Amara tahu pria itu lebih senang menerima sesuatu yang praktis dan bisa menunjang aktivitas harian. Dasi, pocket square, dan parfum dari Nose yang diletakkan Amara di dalam tas Hermès jelas akan bisa digunakan Ryan setiap hari, yang  berarti Amara tidak perlu menunggu acara khusus untuk melihat Ryan mengenakan hadiah darinya. Ryan menerima tas itu dan langsung menilik isinya sementara Amara hanya menyaksikan pria yang dicintainya itu dengan senyum lebar. “Aku pilih parfum itu karena cocok dengan kepribadian kamu. I know you’re going to smell great,” ujar Amara saat Ryan mengeluarkan parfum dari Nose satu per satu. “Dan aku yakin, nggak banyak temen cowok kamu yang pake itu. You’ll smell different than the rest of the boys!” Ryan tertawa kecil sebelum dia mulai membaui satu per satu botol dalam berbagai bentuk tersebut. Tebakan Amara memang tidak salah karena setelah mengetahui aromanya, bibir Ryan membentuk sebuah senyum. “How do you know me so well, Mara?” balasnya sebelum mencium Mara dan membisikkan ucapan terima kasih. “Kamu nggak pernah kasih hadiah yang mengecewakan.” “That’s why I’m your girlfriend, not some other chicks.” Ryan kembali tergelak. “Kalau kamu udah nggak capek, mau aku ajak makan malam di mana? Bistecca yang deket?” Jika sedang malas terjebak kemacetan, Amara dan Ryan menjadikan Bistecca tujuan mereka untuk makan malam. Selain tidak jauh dari apartemen Amara, mereka pun sudah cukup dikenal oleh staf-staf Bistecca karena bisa lima kali dalam sebulan mereka pergi ke sana. Namun Amara harus menjauh dari tempat seperti Bistecca jika ingin benar-benar menyisihkan Jacques dari pikiran. Masih terlalu segar ingatannya akan pria itu dan tempat seperti Bistecca hanya akan menyeretnya kembali ke dalam pusaran memori di Paris bersama Jacques. “Aku kenyang makan di tempat seperti itu di Paris. Kita makan yang Indonesia banget aja, ya?” Ryan mengerutkan kening, seperti tidak menyangka akan mendapatkan balasan itu dari Amara. “Tempat yang Indonesia banget itu seperti apa?” “Apa aja. Sate ayam, gado-gado, karedok … apa aja, yang penting sangat Indonesia.” “Kamu yakin?” tanya Ryan jenaka. Amara mengangguk. “Seratus persen yakin!” “Kenapa kamu nggak pernah minta aku buat ngajak kamu ke sana sebelumnya?” Amara memukul pelan lengan pria di hadapannya yang memberinya cengiran lebar. “Nanti derajat kamu turun lagi kalau aku ajak makan di sana.” Ryan berdecak. “Derajat siapa sih yang bakal lebih turun kalau makan di sana?” Amara membalas pertanyaan itu dengan mencubit perut Ryan yang tidak berlemak sebelum membalikkan badan dan lari ke kamar. Tidak butuh waktu lama sebelum Ryan menyusulnya. Kebiasaannya pergi ke fitness center memang tidak bisa dipungkiri karena dengan cepat, lengan Ryan meraih pinggang Amara dan mengangkat tubuh wanita itu sebelum menjatuhkannya dengan lembut di atas tempat tidur. Ryan lantas mendekap tubuh Amara dari belakang dan mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pundak wanita itu yang terekspos. “Aku kangen kamu banget, Mara. Tiga minggu kamu tinggal bikin aku semakin yakin kalau aku nggak bisa hidup tanpa kamu,” ucap Ryan yang kemudian mengecup pipi Amara yang tidak mengenakan makeup sama sekali. “I love you so damn much, woman!” Wanita mana pun akan bahagia mendengar pria yang mereka cintai memuja mereka layaknya Ryan. Bukan pertama kali Ryan mengucapkan kalimat seperti itu, dan reaksi yang diberikan Amara biasanya memberikan ciuman yang dalam untuk meyakinkan pria berambut cepak tersebut bahwa cintanya pun tidak kalah besar. Namun Jacques muncul dan menyisipkan lagi perasaan yang ingin segera disingkirkannya.  Amara memutar tubuhnya hingga dia bisa menatap Ryan. Bagi Amara yang sering kali mendapatkan pria yang pada ujungnya hanya mengincar harta orang tuanya, Ryan muncul dengan segala kerendahan hati dan kesahajaannya. Kesopanan pria itu benar-benar tidak terbatas. Wajah dan warna kulitnya memang menunjukkan ke-Indonesia-annya. Bersanding dengan Ryan membuat Amara risih dengan pandangan orang-orang yang seolah menghakimi keberadaan Ryan di samping seorang Amara Tedjaatmaja. Namun bagi Amara, hati pria itu jauh lebih tulus dibanding pria-pria berpenampilan menarik yang menjadi pasangannya dulu. Amara beruntung mendapatkan Ryan karena selain posisi yang dia capai adalah hasil kerja kerasnya—bukan atas koneksi atau nama keluarga seperti Amara—dan Ryan benar-benar serius menata masa depannya. Apa lagi yang diinginkan wanita seumuran Amara jika bukan pria seperti Ryan?  “Kamu mau nggak tidur di sini malam ini?” Itu bukan pertanyaan asing bagi Amara. Pria itu bahkan meninggalkan beberapa potong pakaian di lemari kamar tamu karena enggan meninggalkan Amara jika kebetulan dia sedang tidak enak badan. Amara sadar dia tidak ingin sendirian malam ini karena bayangan Jacques pasti akan menghampirinya. Dia ingin melihat fisik Ryan di sini, merasakan lengan pria itu memeluknya, dan sebagai pengingat bahwa pria yang sedang mengelus lengannya inilah yang harus dipikirkannya. “Atau kita bisa ke apartemen kamu dan aku nginep di sana. Whatever works for you, I don’t mind. Aku pengen ditemenin sama kamu, besok juga.” Ryan membelai pipi Amara dan mengangguk. “Do you still need an answer? Because you know, the only person I can’t say no to is you. Kita di sini aja, aku nggak mau kamu kecapekan kalau harus ke apartemenku.” Amara dengan segera menempelkan bibirnya ke Ryan. “Thank you.” “Aku ada meeting besok dan kayaknya nggak ninggal baju yang pantas di sini. Nggak keberatan aku pulang buat ambil baju, kan? Bisa aku tinggal beberapa jam?” Amara mengangguk. “Sori aku minta ini mendadak.” “Nggak perlu minta maaf. Aku nyadar kok pacarku ini manjanya nggak ketulungan.” Dan kalimat itu pun menjadi awal perang bantal di antara mereka. Satu yang tidak mengganggu pikiran Amara saat ini adalah pria berkewarganegaraan Prancis yang selama dua hari pantang membiarkannya tenang.   ***   Masuk ke lobi Blue Diamond setelah tiga minggu tidak melangkahkan kaki di sana, Amara langsung dibanjiri sapaan dari staf Concierge dan Front Desk. Menuju lift, Amara dengan senyum sumringah menenteng tas Antigona yang dibelinya dari butik Givenchy. Selain itu, dia juga membawa oleh-oleh untuk staf marketing yang lain yang masih dia simpan di mobil. Amara percaya dirinya beruntung karena tanpa memeras keringat pun, dia sebenarnya bisa hidup nyaman. Namun dia ingin menghasilkan uang dari jerih payahnya sendiri tanpa harus menjadi anak perempuan yang manja, predikat yang sempat disematkan kepadanya tidak lama setelah dia lulus SMP dari adik mamanya. Amara bertekad bahwa dia tidak ingin menyandang gelar itu seumur hidup hingga dia benar-benar memanfaatkan semua kelebihan yang dimiliki orang tuanya untuk mendapatkan ilmu dengan baik. Posisi yang dia raih di Blue Diamond pun bukan atas koneksi yang dimiliki sang ayah—yang merupakan salah satu pebisnis properti paling disegani di Jakarta—tapi atas kerja kerasnya sendiri. Amara bahkan enggan menerima tawaran untuk mengisi posisi yang lebih tinggi hanya karena dia merupakan putri semata wayang Prasojo Purba. Terlebih Amara tahu bahwa menjadi Director of Marketing punya lebih banyak tanggung jawab dan Amara masih belum siap jika harus memikulnya ketika dia masih ingin menikmati hidup. Memasuki ruangan yang masih belum terisi oleh staf marketing yang lain, Amara segera meletakkan tasnya di atas meja dan mulai menghidupkan komputernya. Sembari menunggu, Amara meraih tumpukan kertas yang tersusun rapi di ujung meja dan mulai membaca laporan yang tertulis di sana. Selama Amara berada di Paris, dia memang sengaja meminta Dila—staf junior marketing—untuk merangkum dan mencetak laporan harian agar dia bisa membacanya setelah liburannya di Paris berakhir. Meski bisa saja mengikuti alur laporan dari surel, Amara lebih nyaman membacanya secara fisik. Keningnya mengerut saat menemukan bahwa The Ocean—properti Blue Diamond yang baru—akan dibuka pada bulan Desember. Meski tidak secara langsung bertanggung jawab atas hotel yang didirikan di pesisir pantai selatan Bali tersebut, Amara tidak menyangka bahwa manajemen begitu cepat memutuskan tanggal grand opening tanpa memikirkan tentang strategi marketing yang secara tidak langsung harus dikebut. Pintu ruangannya diketuk saat Amara masih sibuk mempelajari laporan hingga tanpa menunggu lama, dia langsung mendongak. “Yang baru balik dari Paris bawa apa nih?” Amara tidak mampu menahan senyum saat Novi—atasan dan salah satu orang yang sangat dia segani—berdiri di pintu sambil melongok ke ruangannya. “Bu Novi!” Amara dengan segera bangkit dari kursinya dan menghampiri wanita di awal 40-an tersebut dan memberikan pelukan. Ibu Novi adalah orang yang melihat kemampuan Amara dibanding nama belakang yang menempel padanya. Bahkan tidak segan-segan, Ibu Novi akan menceramahi Amara dan memarahinya jika Amara melakukan kesalahan. Sikap profesional yang ditunjukkan Ibu Novi membuat Amara menghormati dan menghargai setiap pendapat yang diberikan wanita yang terkenal dengan rambut cepaknya itu. “Kamu keliatan fresh banget habis liburan. Nggak operasi plastikan kan di sana?” Amara spontan tergelak menanggapi lelucon tersebut. Dia menggelang. “Tunggu seminggu lagi, Bu, pasti muka saya nanti balik kusut karena ngadepin macet di sini.” “Gimana Paris?” “Masih sama aja, Bu. Untung saya ada teman di sana yang ngasih banyak tips dan nunjukkin tempat-tempat yang nggak biasa. Bisa dibilang, kunjungan ke Paris kali ini jauh lebih menyenangkan karena itu.” Bu Novi melongok meja kerja Amara dan ketika menyaksikan tumpukan laporan yang sedang terbuka, dia menatap Amara. “Kamu lagi baca laporan yang mana?” “Soal The Ocean, Bu. Saya nggak tahu kalau manajemen udah nentuin tanggal grand opening sementara dari yang saya tahu, The Ocean sendiri belum sepenuhnya siap untuk dibuka. Apakah masalah dengan INTI sudah selesai?” tanya Amara merujuk nama perusahaan yang bertanggung jawab mengenai interior dan tampilan The Ocean. “Sudah hampir selesai, makanya mereka berani untuk nentuin tanggal. Omong-omong soal The Ocean, siang nanti abis makan siang, kamu ke kantor saya, ya? Ada yang mau saya omongin.” Amara menelengkan kepala, membayangkan obrolan seperti apa yang yang dipunyainya bersama Bu Novi. “Soal apa, Bu?” Jawaban yang diberikan Bu Novi hanyalah sebuah senyum tipis sebelum dia mengelus pundak Amara. “I think you’re going to like it, but I will tell you everything later.” Meski ingin tahu lebih banyak, Amara hanya memberi anggukan tanda dia mengerti. Setelah berbasa-basi sedikit, Bu Novi keluar dari ruangan Amara dan meminta Amara untuk menyingkirkan laporan marketing yang lain dan fokus pada The Ocean. Menyadari itu bukanlah permintaan yang aneh, Amara menurutinya. Sebuah bunyi notifikasi masuk ke ponselnya, hingga memecah konsentrasi Amara. Dia bersiap untuk mengabaikan pesan apa pun yang masuk, tetapi saat melihat nama Ryan, senyum Amara langsung mengembang. Dia membuka pesan yang dikirimkan pria itu melalui w******p dan Amara hanya bisa melebarkan senyum saat melihat foto Ryan yang mengenakan dasi yang dibelikannya di butik Hermès sembari menuliskan: Have an important meeting today. I hope this tie will be my lucky charm. Makan malam nanti masih jadi, kan? Amara dengan cekatan mengetik balasan: Look super handsome! I am a lucky lady! Yes! Can’t wait! xoxo Setelah meletakkan kembali ponselnya, Amara justru tertegun. Usaha Amara untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan Ryan masih belum cukup menghapus nama Jacques dari pikirannya. Amara bahkan sempat menangis begitu Ryan meninggalkan apartemen karena ada rindu yang tidak disangka Amara akan mendatanginya. Amara meraih ponselnya dan membuka beberapa foto yang sempat dia abadikan saat bersama Jacques. Menghianati ucapannya sendiri, Amara memang belum menghapus sebagian besar foto yang masih tersimpan karena dia belum siap. Mengamati satu foto yang diambil saat mereka duduk di Septime, d**a Amara terasa sesak karena rasa ingin tahu tentang kabar pria itu sekarang. Membasahi tenggorokan, Amara lantas meletakkan ponselnya dan memutuskan bahwa saat ini, dia tidak memiliki pilihan selain fokus pada laporan tentang The Ocean. Dia tidak ingin lagi tenggelam dalam ingatan yang tidak akan memberinya apa pun kecuali rasa bersalah yang semakin kuat terhadap Ryan. “Gue harus bisa nahan diri dan konsentrasi,” ucapnya untuk menyemangati diri sendiri. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD