4- ADIEU, PARIS!

2132 Words
Sesampainya di apartemen Amy, hal pertama yang dilakukan Amara adalah menghabiskan waktu dengan berendam di kamar mandi. Sembari menyusun rencana untuk menikmati hari terakhirnya di Paris, Amara pun menulis daftar butik serta tempat belanja yang akan dikunjunginya nanti agar tidak menghabiskan waktu berpikir di belantara Paris. Yang diinginkan Amara hari ini adalah membuat tubuhnya selelah mungkin hingga malam nanti dia bisa langsung tidur setelah mengemas kopernya. Dia tidak akan mengizinkan Jacques menyusupi pikiran dan membuatnya kehilangan waktu memikirkan keputusan yang telah mereka setujui. Amy sedang bersiap ke kantor ketika dia datang, dan sahabatnya itu tidak mencecarnya dengan berbagai pertanyaan kecuali memastikan dia bersenang-senang. Amara mengiyakan ajakan Amy untuk makan malam bersama—menghabiskan malam terakhirnya dengan sahabat yang justru ditelantarkannya sejak bertemu Jacques—tanpa berpikir panjang. Meski masih belum menentukan hadiah yang akan diberikannya ke Amy sebagai ucapan terima kasih karena telah mengizinkannya tinggal selama di Paris, Amara sudah menemukan tempat yang sempurna untuk mencari sesuatu yang akan mengingatkan Amy akan Amara. Mengenakan jelana jin dan kaus yang biasa dipakainya jika ingin merasa nyaman, Amara menuruti saran Jacques untuk mengenakan backpack. Dia pun tidak lupa meletakkan tasnya di bagian depan tubuh ketika sedang berada di tempat yang cukup ramai. Meski teman-temannya di Jakarta jelas akan menertawakan Amara jika melihatnya seperti ini, dia lebih memilih agar kejadian dia depan Moulin Rouge tidak kembali menimpanya. Dia jelas akan menyimpan cerita tentang kejadian itu dari siapa pun, termasuk Ryan. Tidak ada gunanya menyinggung sesuatu yang justru akan mengembalikan Jacques dalam ingatannya. Mara memastikan lagi rute yang akan dijelajahinya hari ini dan waktu yang harus dihabiskannya untuk mencapai satu tempat ke tempat yang lain. Dia akan memulai dari 52 Rue Sainte-Croix de la Bretonnerie, 26 Rue de Sévigné, 20 Rue Bachaumont, 24 Rue du Faubourg Saint-Honoré, 28 Rue du Faubourg Saint-Honoré, 53 Avenue Montaigne, dan berakhir di 40 Boulevard Haussmann—jika memang apa yang dicarinya tidak didapatnya dari tempat-tempat yang sudah ditandainya—kemudian pulang. Memastikan dompet serta kartu kredit yang diperlukannya lengkap, dia langsung beranjak dari apartemen Amy dan berjalan ke stasiun Metro terdekat. Tujuan pertama Amara adalah Fleux. Jika bukan karena Amy, toko ini jelas tidak akan masuk dalam radar Amara. Begitu masuk, Amara seperti memasuki rumah seseorang yang penuh dengan dekorasi dan perabot unik. Dari informasi yang dia dapat dari Amy, tempat ini adalah surga bagi mereka yang mencari pernak-pernik untuk menghias rumah. Dalam waktu setengah jam, tas belanja Amara sudah penuh dengan benda-benda kecil yang dianggapnya menarik sebagai suvenir. Dari mulai tempat lampu berbentuk tikus kecil berwarna emas yang sedang berdiri dan memegang bola lampu—Amara tentu saja tidak membeli lampunya—kemudian tas anyam untuk berbelanja, taplak meja dengan motif bohemian sekaligus tatakan gelas, empat buah figurine Audrey Hepburn, Coco Chanel, Frida Kahlo, dan Amy Winehouse—Amara tahu siapa yang akan girang dengan figurine itu—dia hanya berharap tidak akan kerepotan membawanya. Dia memastikan teman-teman dekatnya mendapatkan sesuatu dari Paris sekalipun kecil dan Fleux adalah tempat paling sempurna untuk itu. Dari sana, Amara sengaja menuju ke butik Claudie Pierlot untuk membeli beberapa koleksi mereka karena dia jatuh cinta dengan maxi dress merah yang dikenakannya semalam. Meski mengingat malam sebelumnya hanya akan membuatnya ingat pada Jacques, rancangan Claudie Pierlot yang terpampang di hadapannya ampuh untuk menyita kembali fokusnya. Amara tidak peduli dengan jumlah uang yang dihabiskannya di tempat ini karena dia enggan dihadapkan pada pilihan. Dia mengambil apa saja yang disukainya dan tentu saja, cocok di badannya. Terlebih, salah satu pramuniaga di sana ternyata masih mengenalinya. Tidak berlebihan jika Amara kemudian memasukkan Claudie Pierlot ke dalam daftar merk favoritnya.   Nose adalah tempat yang memang sudah ingin dikunjungi Amara demi memuaskan kecintaannya akan parfum beserta botol-botolnya. Tempat ini menjual merk parfum yang jarang ditemui di toko-toko biasa. Sejak mengetahuinya sebelum datang ke Paris, Amara benar-benar menjadikan Nose sebagai salah satu tujuan utama yang tidak bisa dikompromi. Mendapati nama-nama yang asing di telinga, Amara memilih Floraïku, Maison Francis Kurkdijan, dan Parfumerie Particulière untuk dirinya karena selain menyukai aroma yang belum pernah dia temui pada parfum-parfum lain, dia pun menyukai botolnya yang sangat simple. Dia tidak lupa memilih Unum serta Cire Trudon untuk Ryan karena kedua parfum itu akan sangat cocok dengan kepribadian Ryan. Alasan lainnya, dia bosan dengan pilihan Ryan yang selalu menggunakan merk-merk sejuta umat bagi kaum pria, membuatnya sama dengan pria lain. Amara ingin Ryan berbeda sekalipun itu hanya dalam bentuk wangi-wangian. Amara sudah menahan diri untuk tidak menghamburkan lebih banyak uang di butik Hermès, tetapi dia tidak bisa menahan diri ketika melihat dasi serta pocket square yang merupakan dua item wajib yang dipakai Ryan hampir setiap hari. Tujuannya ke sini memang demi Ryan karena pria itu belum memiliki satu pun produk dari rumah mode yang sudah berumur ratusan tahun itu. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil dua aksesori dengan warna abu-abu dan biru muda sebelum memilih dasi dengan warna senada. Namun mampir di Hermès rasanya kurang pas jika Amara tidak membeli syal yang merupakan salah satu khas dari rumah mode itu—selain Birkin Bag. Membeli dua buah untuk dirinya sendiri dan sang Ibu, Amara sengaja memilih warna dan motif yang tidak terlalu ramai. Mata Amara berbinar begitu melihat tas oranye yang menjadi ciri Hermès disodorkan kepadanya. Amara memang sengaja tidak melirik satu pun tas saat berada di butik Hermès karena dia sangat ingin membeli tas di butik Givenchy dan Yves Saint Laurent. Meski mengenakan salah satu tas buatan Hermès akan membuat setiap mata meliriknya, Amara bersumpah tidak akan jatuh ke jebakan dangkal seperti itu. Dia risih dijadikan perhatian banyak orang hanya karena tas yang ditentengnya. Butik Givenchy memang tidak jauh dari Hermès, jadi Amara dengan bersemangat berjalan ke sana. Tanpa menjelajah ke bagian lain, Amara langsung membeli satu tas Antigona Medium berwarna cokelat muda, dua tas Mystic berukuran kecil dan medium berwarna putih dan abu-abu serta satu tas mini Eden dengan kombinasi warna putih, abu-abu, dan hitam. Ketiga tas tersebut terlihat tidak mencolok jika dibandingkan dengan Birkin, terlebih warnanya yang netral, yang berarti bisa dipakainya ke mana saja. Memasuki bangunan bercat putih pucat dengan logo YSL berwarna emas, mata Amara langsung tertuju pada deretan tas buatan rumah mode tersebut, terutama koleksi Sac de Jour. Amara tidak keberatan menghabiskan uang puluhan juta untuk sebuah tas, tapi dia enggan jika harus merogoh kantung hingga ratusan juta demi satu buah tas Birkin yang digilai banyak wanita. Baginya, satu harga tas paling populer dari Hermès itu bisa membeli sepuluh tas dari desainer lain yang fungsinya pun tidak jauh berbeda. Ketika tahu Hedi Slimane mendesain tas yang mirip dengan Birkin pada tahun 2013 dengan harga yang tidak semahal Birkin dan dengan model yang sederhana, Amara langsung jatuh hati. Terlebih YSL dan Hedi Slimane bukanlah nama baru dalam dunia mode. Dia sudah memiliki beberapa tas dari YSL, tetapi keinginannya mengoleksi lebih banyak tas dari rumah mode itu tidak menyurut. Dari sekian banyak koleksi Sac de Jour, Amara memutuskan untuk membeli tiga ukuran: baby, small, dan large dengan tiga warna yang berbeda, hitam, burgundy, dan navy blue. Dia yakin ketiga tas tersebut akan lebih sering menemani kegiatannya. Bunyi perutnya mengingatkan Amara bahwa dia belum makan siang, tetapi saat melihat jam tangan, Amara memekik. Dia tidak punya waktu lagi untuk pergi ke Galleries Lafayette karena sudah hampir mendekati pukul lima sore. Dia harus kembali ke apartemen Amy dan bersiap untuk makan malam terakhirnya di Paris. Amara membiarkan Amy memilih tempat makan malam mereka sebagai cara untuk sedikit menebus rasa bersalahnya. Begitu duduk di taksi, Amara mendengus karena dia berhasil menuntaskan misinya untuk membuat tubuhnya lelah. Bersandar pada kursi, Amara membiarkan matanya disuguhi bangunan serta jalanan Paris yang pasti akan dirindukannya. Dia tidak tahu kapan akan bisa kembali lagi ke City of Lights ini karena setelah mengenal Jacques, kota ini bersinonim dengan pria itu. Tanpa disadari, air mata Amara menetes. Permintaannya agar Jacques tidak menghubunginya lagi perlahan mengimpitnya. Tangisan itu mewakili setiap tawa yang telah mereka bagi dan kemungkinan yang terkubur setelah dia meninggalkan Paris. Amara menggigit bibir, berusaha agar tangisnya tidak semakin menjadi-jadi. Menarik napas panjang, Amara mengusap air mata dan meraih ponsel dari dalam tas. Dia segera mencari nama Ryan dan menghubungi pria itu. Meski di Jakarta sudah hampir tengah malam, hanya suara Ryan yang mampu meredakan emosinya. Panggilannya diangkay setelah dering kedua. “Cantik, tumben telepon jam segini.” Amara tersenyum. “Kangen.” “Kan besok udah balik dari Paris. Jadwalnya nggak berubah, kan?” “Nggak ada. Kangen banget meluk kamu.” Ryan tergelak. “Nanti kalau udah sampai, silakan peluk aku selama kamu mau.” “Awas kalau nanti protes.” “Janji nggak akan.” Amara bisa membayangkan Ryan mengangkat kedua jarinya sembari mengucapkan kalimat itu. “Ada rencana apa buat malam terakhir di Paris?” “Dinner sama Amy aja. Aku belum packing sama sekali. Ini baru abis belanja.” “Please don’t tell me. I’d rather not knowing,” goda Ryan. Amara tidak mampu menyembunyikan tawa karena Ryan memang jarang berkomentar setiap kali tahu Amara habis berbelanja. “Aku bakal kangen Paris banget, sayang.” “Paris nggak akan pindah ke mana-mana, kan? We can always go there. Aku masih ngerasa nggak enak nggak bisa nemenin kamu kali ini. I promise we will go together in the future.” Amara mengangguk mesti Ryan tidak bisa melihatnya. “Besok aku telepon lagi. Udah mau sampai apartemen Amy.” “Aku juga siap-siap mau tidur. Hari ini luar biasa hectic.” “Ada apa?” “Kapan-kapan aku cerita. Nggak mau ngerusak malam terakhir kamu di Paris.” “Ya udah. Bye, sayang. Love you.” “Love you, too.” Begitu sambungan mereka terputus, Amara menghela napas lega. Semua bakal baik-baik aja, batin Amara tepat ketika taksi berhenti di depan apartemen Amy.   ***   Makan malam dengan Amy mengingatkan Amara tentang apa yang membuat mereka dekat sewaktu kuliah dulu. Amy mengajaknya makan malam di Benoît, dan seperti saat Jacques mengenalkannya dengan Septime dan La Bourse et Vie, Amara pun terkesima dengan Benoît. Dengan cat hijau yang kelihatan berbeda dari bangunan di sekitarnya ditambah dengan tembok berwarna kuning dari marmer serta kursi dan sofa berwarna merah yang menghiasi lantai pertama, kesan yang dirasakan Amara pertama kali adalah hangat. Belum lagi menu makan malam yang terdiri dari foie gras, steak salmon, dan ditutup dengan Benoît profiteroles, yang membuat malam terakhirnya di Paris menjadi tidak terlupakan. Cerita yang Amara dan Amy bagi begitu banyak hingga mereka tidak sadar telah menghabiskan tiga jam di Benoît. Amara lega sahabatnya tidak menyinggung tentang Jacques karena dia sepenuhnya yakin, semua emosi yang ditahannya sejak pagi akan tumpah di depan Amy. Mereka justru membicarakan mantan-mantan saat kuliah serta Alain—kekasih Amy yang ditemui Amara saat mereka menjemputnya di bandara. Dibantu Amy, dia mengemas kopernya yang telah bertambah jika dibandingkan saat berangkat ke Indonesia. Mereka terjaga hingga lewat tengah malam sebelum Amara bisa mengistrahatkan tubuhnya. Bangun lebih pagi, dia segera mandi dan mengecek kembali barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal. Ketika Amy mengetuk pintu, dia sudah siap. Mereka sarapan di salah satu bistro di dekat apartemen Amy sebelum berangkat ke bandara. Amara sebenarnya ingin sendiri, tapi dia tidak mungkin menolak tawaran Amy. Di perjalanan pun, mereka hanya membahas hal-hal ringan seperti apa yang akan dilakukan Amara setibanya di Jakarta nanti. Begitu mereka sampai di bandara, Amara segera menuju konter check-in sembari melepaskan tiga koper besarnya untuk dimasukkan ke bagasi. Sebelum menuju ke area tunggu, Amara tidak menduga Amy akan mengatakan sesuatu. Setelah mereka berpelukan, sahabtany itu menatap Amara. “Gue sengaja nggak nyinggung soal Jacques semalam karena nggak pengen ngerusak malam terakhir lo di sini. Karena sekarang lo bakal ninggalin Paris, boleh gue tanya status lo sama dia kayak apa sekarang?” Amara menggeleng. “Gue minta kami nggak komunikasi lagi setelah kemaren. Dia keliatan nggak rela, tapi gue rasa nggak ada cara lain. Gue bakal balik ke Jakarta, dia tetep di sini. Apa yang bisa terjadi dengan situasi kayak gitu? Nggak ada. Jadi dia paham. Di Jakarta ada Ryan, dang gue nggak mau terus kepikiran sama cowok yang bahkan nggak tinggal di Indonesia. Cuma menuh-menuhin isi kepala.” Amy tersenyum. “Seneng gue dengernya.” Setelah percakapan itu, Amara memilih diam di lounge sementara menunggu boarding. Dia tidak banyak mengambil makanan karena yang ingin segera dilakukannya adalah duduk di pesawat dan segera meninggalkan Paris. Memikirkan Jacques hanya menguatkan sesal yang seharusnya tidak dia rasakan. Namun begitu dia duduk di pesawat dan menolak semua yang ditawarkan oleh pramugari kecuali segelas sampanye, Amara menumpahkan semua emosi yang sejak kemarin dia pendam. Dia membiarkan tangisnya pecah karena ucapan Amy terbukti. Hatinya terluka. Amara tidak mampu menganalisis alasannya. Sebagai wanita yang cukup rasional, Amara sempat membuat daftar kenapa Jacques mampu membuat hatinya kebingungan seperti ini. Tidak mungkin dia secepat ini tertarik dengan pria lain. Namun melakukannya justru semakin menguatkan perasaan bersalah terhadap Ryan dan juga membuatnya rindu dengan Jacques. Dua perasaan yang saling bertentangan itulah yang membuatnya kehilangan kendali atas emosinya. Begitu pesawat take off, Amara berkali-kali meyakinkan diri bahwa sesampainya di Jakarta, Ryan akan bisa membantunya lupa dengan Jacques. Meski rasa bersalah akan terus menguntitnya, setidaknya Amara tidak perlu mengalami konflik batin seperti ini. Diambilnya napas panjang sebelum dia mampu mengontrol diri. Amara berusaha memejamkan mata demi mengistirahatkan pikiran. Jika saja dia punya kekuatan super, dia pasti akan membuat pesawat ini mendarat di Jakarta saat dia membuka mata tanpa harus menghabiskan tujuh belas jam di angkasa. Pertama sejak sampai di Paris, Amara begitu merindukan hiruk-pikuk Jakarta dengan segala kemacetannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD