Hari Patah Hati

1369 Words
Setelah susah payah dan cukup lama menunggu, akhirnya ada taxi yang bersedia datang di tengah derasnya hujan. Pecundang Devan pecundang! b*****h! Jahat! Tak henti-henti aku memakinya dalam hati. Lagi pula, ide bodoh dari mana untuk menyampaikan kata perpisahan dengan sok manis begini? Cafe, bunga, kado? Dasar b*****h! Kenapa tidak telepon saja dan jangan pernah munculkan wajah lagi di depanku. "Mbak, sudah sampai Mbak, jalan Mawar nomor sepuluh kan?" Suara Pak Sopir taxi membuatku terperanjat dari lamunan. Kulihat keluar. Iya benar. Sudah tepat di depan rumahku. Kuusap air mata yang sedari tadi banjir. "Ini Pak, terimakasih," ucapku memberikan ongkos. Aku turun hujan masih deras mengguyur. Perlahan aku melangkah memasuki halaman rumah lalu duduk di teras. "Heh? Astagfirullah, kok hujan-hujanan begini?" Tante Ratih kaget. Ia lalu masuk lagi dan keluar membawa handuk lalu tanpa permisi menggosok-gosok rambutku yang basah. "Ini ada apa ini Sandra, kok pulang hujan-hujanan begini?" tanyanya. Ia lalu mengangkat daguku. "Hei? Ini kenapa ini mukanya sedih begitu? Kamu habis nangis?" "Huaaaa ... Tanteeeee ...." aku seketika berdiri dan menumpahkan tangis memeluknya. "Iih, basah baju kamu basah. Enak aja peluk-peluk," ia melepaskan pelukanku. "Huaaaa biarin pokoknya aku mau nangiiiiis," aku memeluknya lagi dan menangis sekerasnya seperti anak TK. "Malu San, malu sama tetangga kamu nangis kenceng begini. Masuk dulu, masuk. Nangisnya di dalam aja," Tante Ratih menarik tanganku. Kami masuk ke dalam rumah. "Sudah jangan cerita dulu, cepat mandi sebelum kamu sakit gara-gara hujan-hujanan." Tante ini benar-benar cerewet dan gak ngerti perasaan aku. Tapi baiklah, aku mandi saja. Kutenangkan diri bersama guyuran air hangat dari shower. b*****h! b*****h Devan! Aku masih merasa ini mimpi. Iya, ini mimpi kan? Sayangnya bukan . Aroma sop bakso dan ayam goreng tercium ketika pintu kamar terbuka. Tante Ratih menungguku di ruang makan. Ini belum jam makan siang dan terlambat jika disebut sarapan. Ah, sudahlah. Memang perutku masih kosong karena di cafe tadi aku belum sempat makan apapun. Hanya satu teguk hot chocolate yang mendadak pahit rasanya bila kuingat. "Udah, sekarang cerita. Kenapa? Gimana? Kok kamu tiba-tiba pulang sendirian. Mana hujan-hujanan lagi." Tante Ratih langsung nerocos begitu melihatku duduk di kursi makan sembari mengeringkan rambut dengan handuk. "Kalian marahan?" "Bukan marahan lagi. Tapi udah putus!" "Hah?!" Ia ternganga sama kagetnya waktu aku mendengar kalimat dari si b*****h tadi. "Tante gak ngerti deh, Dev datang baik-baik, jemput kamu, terus kamu girang banget. Kok pulangnya malah putus?" Ia mengerutkan kening. "Gak-gak bisa. Tante gak percaya. Kalian itu sama-sama udah lama banget. Mana mungkin putus begini aja?" Aku meneguk segelas air putih yang ada di depanku sampai tandas. "Devan dipaksa menikahi gadis pilihan orang tuanya." Jelasku. "Dia bilang dia gak punya pilihan kecuali menerima." Tante Ratih tak berkata-kata. Ia melongo. Sama seperti ekspresiku waktu di cafe tadi. "Udah gak ada yang perlu diomongin lagi tentang dia lah Tan," Tante Ratih menghela napas panjang. "Tante bingung mau ngomong apa kalau sudah seperti ini." "Gak usah dipikirin Tan," aku menyunggingkan senyum. Kubuang jauh-jauh raungan tangis seperti tadi saat baru tiba. "Ya mungkin sudah takdir cerita aku sama Dev cuma sampai di sini." Tante Ratih langsung beranjak dari kursinya lalu berlari memelukku. "Aku jadi ambil tawaran atasanku untuk pindah ke kantor pusat." Kataku. "Lho? Apaan tadi? Gimana? Maksud kamu tawaran pindah ke kantor pusat di Jakarta?" tanyanya coba megingat. Aku mengangguk. "Wah, tega kamu San, kamu mau tinggalin Tante sendirian?" Tante Ratih memang satu-satunya keluarga yang aku miliki. Ayah telah berpulang saat aku baru lulus kuliah. Ibu menyusul Ayah beberapa bulan setelahnya tanpa sakit apa-apa. Alhamdulillah, masih ada Tante Ratih adik satu-satunya Ayah. Dulu, Tante Ratih tinggal di rumah sewa tak jauh dari sini. Semenjak orang tuaku tiada, dia adalah pengganti orang tuaku. Meski usianya hanya selisih lima belas tahun denganku. "Ya gimana Tan, emang Tante tega aku di sini terus. Terus aku susah move on." Kataku. Tante Ratih hanya melirik. "Tante kan tau, aku udah lama banget sama Dev, kerja aja setiap hari diantar jemput kecuali sebulan kemarin. Semua jalanan di kota ini bikin aku ingat sama Dev," bibir ini mendadak manyun lima centi waktu menyebut nama itu. "Aku pengen punya kehidupan baru. Di kota baru." "Hmm," Tante Ratih mengangkat bahu. "Boleh ya Tan, lagian Tante gak bakalan kesepian kok, tiap hari kan Tante sibuk ngajar di sekolah. Belum lagi ngajar les," "Iya deh, iya," ucap Tante Ratih terpaksa. "Tapi bukannya kamu gak suka ya sama kota Jakarta?" "Hehe," aku nyengir. "Terpaksa gak ada pilihan lain dari pada susah move on." Tante Ratih kembali duduk menyendok nasi dan sop yang sudah ia masak. "Ceritanya sambil makan. Tadi pasti yang abis diputusin dan mo ditinggal nikah belum sempat makan kan di cafe," Hah? Menyebalkan sekali Tante Ratih ini. Padahal sendirinya sama. Susah move on. Gagal move on malah. "Iya aku laper nih gara-gara mau ditinggal nikah." Kataku sambil mencebik. Tante Ratih terkekeh. Dasar jomblo. Tapi kalau dipikir-pikir, kasihan Tante Ratih. Umurnya sekarang sudah genap 38 tahun, belum ada tanda-tanda dia jatuh cinta lagi. Semenjak dulu batal menikah karena tunanganya yang seorang dokter itu meninggal tertembak saat ikut menjadi relawan di negara konflik. Tante belum pernah kelihatan dekat dengan cowok lagi. Duh, aku gak boleh gagal move on kayak Tante Ratih. "Tapi Tante gak bisa ngelepas kamu ke Jakarta begitu aja San. Kamu kan gak tau apa-apa tentang Jakarta. Gak tau jalan, gak tau tempat, gak kenal siapa-siapa ." cerocosnya. "Tenang Tante," kataku. Tante seketika terdiam. "Jalan mah tinggal cari di internet, buka aplikasi beres. Terus kan aku bukan mau cari kerja. Tapi cuma pindah kerja. Artinya aku tinggal masuk kantor, kenalan sana-sini banyak teman deh." "Sandra, Jakarta itu keras. Gak segampang itu." Matanya melotot seperti emak-emak yang melarang anaknya main layangan. "Pokoknya Tante ngijinin kamu kalau ada orang yang benar-benar kamu kenal dan bisa dipercaya buat nemenin kamu di sana." Lah, kenapa jadi ribet begini? Iya sih, Tante memang perhatiannya super sama seperti almarhumah Ibu. Tapi ini mendesak. Besok batas waktu aku memberi jawaban ke HRD. "Tan, pliss. Aku gak ada waktu lagi, besok aku harus kasih keputusan mau terima tawaran ini atau gak. Kalau suruh cari teman dulu, kelamaan dan bisa hilang kesempatan." Tante Ratih mengedikan bahunya. "Terserah. Itu syarat mutlak dari Tante. Kalau mau diijinin pindah, minimal kasih satu kontak teman kamu yang bisa dipercaya di sana." Haduh, bagaimana ini? bisa buyar kesempatan. Aku memutar otak mencari daftar nama teman, saudara atau siapa saja yang bisa kuhubungi di Jakarta. "Nah, aku ingat!" Aku memekik girang saat tiba-tiba teringat nama seseorang. Tante Ratih terperanjat sampai tersedak. "Ngagetin aja ih," "Tante inget Rachel?" "Rachel yang mana?" "Tunggu sini ya," Aku berlari ke kamar mengambil ponsel. Ku cari nomor Rachellia. Terpampang fotonya di profil WA. "Ini Tan," kataku sembari menunjukkan wajah Rachel di layar ponsel. Tante Ratih mengerutkan kening. "Ini teman dari mana? Teman kuliah?" "No, ini sahabatku dari SMA, ya emang udah lama sih gak kontak, tapi terakhir dia telepon beberapa bulan yang lalu dia bilang kerja di Jakarta." Tante Ratih membereskan piring bekas kami makan. "Ya sudah, pastikan dulu," katanya sambil berlalu menuju dapur. Tuuuut ... tuuuut ... tuuut .... Nada telepon tersambung. Tanpa menunggu kucoba telepon nomor Rachel. "Hallo," jawab suara di ujung sana setelah sekian detik. "Rachel, ini gue Sandra," "Oh, apa kabar San?" "Baik. Lu, masih kerja di Jakarta kan Chel?" tanyaku penuh harap. "Masih lah, kapan nih main ke sini? Nanti gue ajak keliling Jakarta ." Yess! Aku melompat dari kursi dan berjoget kegirangan. "Chel, kalau gue dapet kerja di Jakarta, lu mau nolongin gue kan?" Aku langsung saja to the point pada tujuanku. "Ya, cari tempat kos, belajar tau jalan, pokoknya biar gue gak nyasar dan bingung di Jakarta deh." "Serius? Emang lu dapet kerjaan di sini? LDR dong nanti sama Devan?" Deg. Duh, jantung ini masih saja tak karuan mendengar nama itu di sebut. "Hehe, nanti gue ceritain lah, yang penting, lu mau kan bantuin gue?" "Oh ya pasti lah. Gue tunggu ya," "Oke thank." Panggilan telepon berakhir. Aku berlari ke dapur. "Yeeayyy! jadi pindah ke Jakarta!" teriakku girang sambil melompat-lompat. Tante Ratih yang sedang mencuci piring geleng-geleng melihat tingkahku. Well, sebenarnya hatiku masih hancur bagai piring pecah. Kalau bukan demi melupakan Devan, aku sama sekali tidak ingin pindah ke kota Jakarta ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD