Pindah Ke Ibu Kota

2104 Words
Pukul 09.00 WIB hari Senin, di kantorku. Semalam aku sudah berulang-ulang menceritakan detail tentang Rachel pada Tante Ratih. Memberikan bukti-bukti kalau benar Rachel ada di Jakarta dan siap membantuku. Tante Ratih akhirnya percaya. Dan sekarang, aku sedang menunggu. Bapak Manager HRD sedang meeting katanya. Aku tinggal menemuinya dan mengatakan kalau aku setuju untuk pindah tugas di kantor pusat. Telepon mejaku berdering. "Hallo," "Info Mbak Sandra, Pak HRD sudah selesai meeting, barusan sudah pada keluar ruang meeting dan balik ke ruangannya," suara resepsionis memberiku kabar. Ruang meeting dekat dengan meja resepsionis. Jadi bisa terpantau jelas. Aku sengaja pesan minta diinfokan tadi kalau meeting sudah selesai. Tanpa menunggu lama aku keluar ruangan menuju ruang HRD. Tok ... tok ... tok ... ku ketuk pintunya perlahan. "Masuk," ujar yang di dalam. "Permisi Pak," aku memberi salam. "Ya, silahkan duduk." Kubuka kursi lalu duduk agak tegang di depan Pak Manager HRD. Entah, ruangan ini selalu terasa angker dan tak bersahabat walaupun aku tak berbuat salah. "Ada perlu apa Sandra?" Tanyanya dengan suara khas yang membuat gemetar. Ditambah lagi ekspresi tanpa senyum yang semakin menambah angker ruangan ini. "Eng, mengenai ...." "Pindah tugas ke kantor pusat?" Itu sudah tahu, kenapa tadi tanya. "Iya Pak," jawabku. "Kamu bersedia kan?" "Bersedia Pak," "Yasudah, Rabu kamu mulai tugas di sana. Besok kamu tidak usah masuk. Gunakan waktu untuk berangkat dan menyiapkan diri di sana." What secepat ini? "Oh, eng ... i-iya Pak," "Ya sudah kembali ke ruangan kamu." "Baik Pak, terimakasih." Duh, aku sama sekali belum menyiapkan barang-barang. Aku pikir Senin depan aku pindah tugas. Ternyata lusa, tidak apa-apa. Lebih cepat lebih baik. Minggu Depan kan Devan menikah. Justru ini keberuntungan bagiku bisa pergi sebelum hari itu tiba. Tanpa terasa waktu berlalu. Siang ke sore hingga waktu pulang tiba. Aku mengemas barang pribadiku dalam dus dan akan kubawa pulang. Kuhampiri semua rekan di kantor ini. Aku berpamitan. Ternyata selalu ada akhir dari setiap perjumpaan ya. Kantor ini, kantor tempat pertamaku bekerja setelah lulus kuliah. Mereka sudah seperti keluarga kedua bagiku. Semoga di kantor pusat nanti orang-orangnya sebaik di kantor ini. "Assalamualaikum, Tante," "Waalaikumsalam," seperti biasa. Karena Tante mengajar di Sekolah Dasar, ia selalu pulang sebelum sore. Lebih dulu tiba di rumah sebelum aku. "udah pulang? Lho kok langsung bawa dus? Emang pindahnya sekarang banget?" Tanyanya. Kuletakkan dus di atas meja. "Besok. Rabu udah mulai kerja di sana." "Hah? Kok cepet banget sih?" "Takut ya aku tinggalin ya?" ledekku. "Dih, takut apaan? Masalahnya kamu kan belum siap-siap, tiket buat ke sana juga belum ada." "Udah kayak mau ke London aja tiketnya harus pesan. Ini cuma ke jakarta Tante, bus banyak, travel banyak," sahutku. "Iya deh, iya, udah sana buruan mandi. Tante udah beliin martabak kesukaan kamu. Nanti malam kita makan beli nasi goreng yang lewat aja," "Sipp!" Usai makan malam, Tante mulai membantu merapikan barang-barangku. Aduh, bingung apa saja yang harus kubawa. Rasanya ingin kubawa semua. "Ini apaan nih? Ini gak usah dibawa kali." Sudah kesekian kali Tante Ratih mengeluarkan barang yang sudah kumasukan ke koper. "Pokoknya kamu bawa satu koper aja. Baju yang penting. Jangan di bawa semua. Udah kayak mau ke Afrika aja bawaanya satu lemari mau di angkut semua," cerocosnya. "Iih Tante, tapi semua tuh penting." "Kamu kan kalau libur bisa pulang ke sini. Jadi gak perlu diangkut semua. Lagian kamu kan belum tau rumah kos di sana kayak apa," Benar juga sih. Terpaksa kubongkar lagi koper sampai benar-benar barang yang penting saja yang tersisa di dalamnya. Baju, make up, buku-buku bacaan dan perlengkapan lain. Ok, sudah cukup. Pukul 22.00 WIB koperku akhirnya beres. "Tante udah ngantuk San, Tante tinggal ya, kamu jangan tidur malam-malam." "Iya Tante." Lelah juga rasanya. Aku harus tidur sekarang untuk mengumpulkan tenaga. Ya walaupun besok aku berangkat sore. Rachel kan besok kerja, kalau aku berangkat pagi dan tiba di sana siang. Bisa-bisa aku tiba di sana dia masih di kantor. Kalau aku nyasar kan bisa repot. Baiklah, waktunya tidur. Selamat malam kota Bandung, besok malam aku akan mulai menghabiskan siang dan malam di kota Jakarta. *** Malam berlalu. Pagi tiba dan Tante Ratih bergegas pergi mengajar ke sekolah seperti biasa. Kupesan travel yang akan mengantarkanku ke Jakarta nanti sore. Seharian ini aku ingin bermalas-malasan menikmati waktu sebelum meninggalkan rumah ini. Kupandangi seisi kamar. Ternyata barang pemberian Devan banyak sekali. Boneka, hiasan dinding, dan aaahh ... banyak! Foto dia juga masih terpajang di dinding dan meja. Tanpa berlama-lama kucari dus besar di ruang penyimpanan. Tak boleh ada barang darinya lagi di rumah ini. Kumasukan semua dalam dus dan ku tutup rapi. Berat sekali. Kuseret dus ke depan rumah dan menaruhnya di luar biar saja nanti diambil oleh pemulung. Duh kenapa jadi deg degan begini ya mau pindah. Antara gak sabar dan ragu. ah, sudahlah. Aku harus tetap pindah. Waktu berlalu tepat pukul 15.00 WIB travel datang. Tepat sekali bersamaan dengan Tante Ratih pulang mengajar. "San, udah siap semua?" Tante yang masih berseragam membantu menyeret koperku keluar. "Udah Tante, tadi aku udah cek bolak-balik." "Ya udah, kamu tunggu sini dulu." Aku duduk di teras mengikat tali sepatu. Kudengar Tante Ratih titip pesan pada Pak Sopir supaya benar-benar mengantarku ke tujuan. Jangan sampai nyasar. Sampai aku beres memakai sepatu kulihat Tante masih nerocos ke Pak Sopir. Titip pesan untuk hati-hati lah, tolong bantu bawa kopernya lah, dan awas ya jangan sampai nyasar ... bla bla bla .... Aku rasa tanpa di pesan pun Pak Sopir sudah paham. Tapi biarlah. Tante kan memang super protektif dan cerewet. "Tante, aku berangkat dulu ya, tante hati-hati di rumah." Tante Ratih memelukku. "Kamu yang hati-hati. Ingat pesan Tante ya, jangan macam-macam di sana. Jangan keluyuran. Kalau pulang kantor langsung pulang. Kalau pergi-pergi pulangnya jangan sampai larut," ia nerocos lagi mengulangi nasihatnya. "Iya, tenang aja Tante tenang, aku inget kok semua pesan Tante." Tante melepaskan pelukannya. "Pokoknya kasih kabar dan kalau libur kamu pulang," katanya. "Iya Tante, gak usah terlalu khawatir gitu lah, Jakarta dekat Tan, Jangan terlalu dibikin melow, kayak aku tinggalin ke Arab buat jadi TKI aja." "Dih nih anak, orang lagi sedih sempatnya bercanda. Udah sana, ga enak sama penumpang lain nunggu kelamaan." Aku melangkah menuju ke mobil. "Tante, hati-hati lho kalau malam sendirian nanti ada han ...." iseng aku menakutinya sebelum melangkah masuk ke mobil dan menutup pintunya. "Dasar iseng, udah jalan Pak!" teriak Tante Ratih. Mobil mulai melaju. Kulihat penumpangnya tidak penuh. Mobil besar yang mampu mengangkut 10 orang ini hanya terisi setengahnya. Jalanan. Tampak lengang. Tentu saja karena ini weekday bukan weekend. Duh, perasaanku mendadak melow. Tidak ... tidak! Aku tidak boleh sedih lagi. Aku harus cepat menutup telinga dengan earphone dan menyalakan musik dengan volume kencang supaya tidak terdengar apa-apa lagi. Tidur Sandra, tidur. Iya, aku harus tidur supaya tidak melihat setiap jengkal jalanan kota ini kutinggalkan pergi dan hatiku terasa tersayat lagi. Lekas tutup mata, tidur dan nanti bangun saat sudah tiba di Jakarta. Sekian jam berlalu, senja sudah nampak. Lampu-lampu jalanan mulai menyala meski matahari belum sepenuhnya berganti bulan. Wah, ternyata Jakarta di kala senja cantik juga. Gedung-gedung perkantorannya tinggi-tinggi sekali. Berapa lantai ya? Waduh, kalau lift sedang rusak bagaimana? Bisa bengkak kaki naik turun tangga puluhan lantai begitu. Beda sekali dengan kantorku di Bandung. Lima lantai saja sudah terlihat cukup besar dan capek naik turun tangga. Aduh Sandra, kenapa norak sekali seperti belum pernah lihat Jakarta. Tapi memang iya sih, aku cuma pernah ke Jakarta waktu piknik SMP dulu. Mobil travel ini akhirnya mulai masuk perumahan setelah melewati jalanan utama ibu kota. Satu persatu penumpang di antar. Sampai tersisa aku seorang. Kuperhatikan lagi jalanan dari balik kaca jendela. Ada bus trans Jakarta. Apa? Jadi itu bus trans Jakarta yang kubayangkan keren itu? Iya sih keren busnya, tapi jam pulang kantor begini penumpangnya penuh sesak padat sepadat padatnya. Terlihat jelas dari kaca yang besar itu. Penumpang bergelantungan berpegangan pada alat pegangan yang terpasang di atas. Semetara hampir bisa di bilang tak ada jarak diantara mereka. Haduuuh, seram. Aku tidak bisa membayangkan kalau setiap hari harus berangkat dan pulang kantor seperti itu. "Pak, masih jauh gak alamat yang saya kasih?" "Oh, sekitar 45 menitan lagi Mbak, lewat tol," jawab Pak sopir. 45 menit lewat tol? Memang di Jakarta ini apa-apa harus serba lewat tol? "Kalau lewat jalanan dalam kota macet ya Pak?" tanyaku. "Ya macet Mbak, ini jam pulang kantor. Lagi pula malah jauh muter. Alamat tujuan Mbak itu sudah gak masuk wilayah Jakarta, tapi kota sebelahnya." jelas Pak Sopir. "Oow, gitu Pak," Ternyata alamat Rachel sebelahnya kota Jakarta. Bukan Jakartanya persis. Lalu kantor Rachel sebenarnya dimana? Berarti dia jauh kalau berangkat kerja? Kami akhirnya memasuki area perumahan setelah keluar tol dan melewati jalanan kota. "Ini sudah sampai Mbak, sesuai alamat yang Mbak beri," ujar Pak Sopir. Mobil berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua. Pada pintu gerbang rumah itu terdapat tulisan 'Kos Putri'. Oh, jadi ini rumah kos Rachel. Seseorang keluar dari gerbang ketika aku yang masih duduk diam di dalam mobil baru saja berniat mengeluarkan ponsel untuk menelpon Rachel. Kuamati baik-baik dari balik kaca. Itu Rachel. "Chel," panggilku ketika pintu mobil dibuka. "Sandra," Rachel yang sempat celingukan akhirnya menyadari kedatanganku. "Ya ampun San, akhirnya sampai juga. Gue khawatir dari tadi nungguin," ujarnya. Lega sekali alamat Rachel langsung ketemu. Pak sopir pergi setelah membantuku menurunkan koper. Dengan segera kukirim pesan singkat pada Tante Ratih supaya tak khawatir. "Silahkan masuk San," Rachel membukakan pintu kamarnya. Ku amati tiap jengkal sudut rumah besar ini. Ada ruang tamu lalu banyak kamar. Tapi sepi. Mungkin penghuninya ada di kamarnya masing-masing. "Makasih chel," aku mengekor Rachel masuk ke kamarnya. Wow, jadi ini kosan Rachel? Bagus juga. Kamarnya cukup luas. Tempat tidurnya besar. Ada mini kitchen set dan kamar mandi. Lengkap. Ber AC, lemari es dan TV besar. Pasti mahal biaya perbulannya? "Lu silahkan ya kalau mau bersih-bersih dulu, kamar mandinya di situ." kata Rachel sembari menyimpan koperku di samping lemarinya. "Gue tinggalin dulu beli makan sebentar." Rachel pergi. Aku segera membersihkan diri di kamar mandi. Dan merebahkan tubuh di atas kasur Rachel yang empuk. Jakarta ternyata tetap nyaman dan adem seperti Bandung, hehe ... iyalah, kan kamar ini dilengkapi AC. "Kita makan dulu yuk, makanan anak kos nih, seadanya aja ya," Rachel kembali dengan dua bungkus nasi goreng. "Thank banget Chel," kataku menyambutnya. Kami duduk di lantai dan mulai menyantap nasi goreng bersama. "Untung ada lu di Jakarta, kalau gak gue pasti udah bingung," "Hmm, gue juga kaget pas lu bilang mau pindah tugas di Jakarta. Kok bisa? Tega dong lu jauh dari si Dev," "Uhuk!" aku nyaris tersedak mendengar nama itu. Buru-buru Rachel mengambilkanku segelas air putih. "Jangan sebut-sebut dia lagi Chel, gue udah putus." "Hah?" Rachel melongo kaget. Iya, siapa saja yang mengenal aku dan Devan pasti kaget. Karena hubungan kami terjalin lama dan terlalu manis. "Kok bisa? Kok bisa?" Rachel penasaran. Sembari menghabiskan satu suap demi satu suap nasi goreng, kuceritakan ulang semua kejadian antara aku dan Devan di cafe tempo hari. "Ya udah San, buang jauh-jauh cowok kayak gitu. Sekarang, lu harus bangun cerita baru yang lebih baik di kota ini." Rachel coba menghiburku. Aku mengangguk. "Nah, selama belum dapat kosan, lu tinggal aja di sini. Nanti tinggal gue ngomong sama ibu kosnya. Gampang ...." katanya lagi. "Thank banget chel, bay the way, dari sini ke kantor lu jauh?" "Lumayan. 45 menit naik kereta commuter line," Apa? Kereta? Terbayang bus Trans Jakarta yang penuh sesak kujumpai di jalanan tadi. Aku pernah melihat berita-berita di televisi. Dan terbayang bagaimana rasanya ke kantor setiap hari naik kereta. "Terus, ke kantor gue juga sama naik kereta juga?" Rachel mengangguk. "Ada kendaraan lain gak Chel?" "Lho? Lu kenapa? Kok denger 'kereta' muka lu langsung panik gitu?" Rachel heran. "Naah, lu pasti bayangin naik kereta itu penuh sesak, rebutan, cape ... iya kan," dengan tepat ia menebak pikiranku. "Tapi kan yang gue lihat di TV begitu Chel," "Aduh Sandra, plis deh! kita hidup di Jakarta itu harus kuat. 45 menit itu sebentar kok, lama-lama lu juga akan biasa naik kereta," Aku menggeleng tidak setuju. "Kenapa gak cari kosan yang deket kantor aja?" Rachel mencebik. "Hmm, dikira murah kali kosan deket kantor? Selangit harganya," "Tapi Chel," "Lu jangan banyak komentar dulu deh, coba dulu besok lu naik kereta dan gue yakin lama-lama lu akan terbiasa." tegas Rachel. "Gak bisa, pokoknya gue bakal cari alternatif lain selain berdesakan naik kereta tiap hari." kataku ngeyel. "Hmm kita lihat aja, lama-lama lu juga betah naik kereta. Siapa tau lu malah bakal ketemu pangeran tampan di kereta yang bisa bikin lu move on." ledeknya. What? Ketemu pangeran tampan yang bikin move on? Membayangkan berdesakan naik kereta setiap hari saja aku sudah mual.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD