Pagi Pertama di Ibukota

1044 Words
Alarm jam wekker berdering keras. Mataku masih berat terbuka. Kuangkat guling dan kututup telinga. Alarm itu terus berbunyi nyaring. Kriiiiing ... kriiiiiing .... Khas bunyi jam wekker jaman dulu. "Chel, chel matiin tuh jam lu berisik banget," kutepuk-tepuk bahu Rachel. "Hmm," ia masih menggunakan penutup mata. "Chel, mana sih jam lu, aduh pusing gue dengernya," "Hmm, sebentar lagi," suara Rachel seperti orang mengigau. Aku duduk dan mencari sumber bunyi dengan mata yang masih terasa lengket. Ternyata jam itu ada di atas meja rias di sebrang tempat tidur. Benar-benar kurang kerjaan Rachel, menaruh jam wekker sejauh itu. Aku turun dari tempat tidur dan menekan tombolnya agar bunyi berisik itu sirna. Aku kembali merebahkan tubuh. Kulihat jam di dinding menunjukkan waktu pukul 05.00 wib. Biasanya di rumah, Tante Ratih akan mengetuk pintu kamarku keras-keras supaya aku terbangun. Hmm, sedang apa dia sekarang. Apa Tante bisa tidur sendirian di rumah semalam? Tante kan penakut. Coba ku telpon saja. Dering nada telepon tersambung terdengar. "Hallo, assalamualaikum, udah bangun kamu? Tumben?" Suara Tante Ratih. "Iya Tan, tidur di tempat baru gak bisa nyenyak," kataku dengan suara berat khas bangun tidur. "Ya salah sendiri kan kamu yang ngotot mau pindah ke Jakarta." "Nyebelin ih, Tante bisa tidur gak semalam sendirian di rumah?" tanyaku. "Bisa lah, tidur tinggal tidur." jawab Tante Ratih. "Eh suara kamu kok masih kayak orang setengah tidur gini? Masih di kasur ya? Ayo sana mandi dulu," "Hehe, iya Tante." Walaupun berat aku langsung turun dari tempat tidur mengingan detik jam terus bergeser dan fajar hampir muncul Selesai mandi terdengar dering alarm lagi. Kali ini alarm ponsel. "Woy, Chel, bangun! Berisik alarm lu dua kali bunyi lu gak bangun juga. Bangun chel ... bangun!" Aku menggoncang-goncangkan tubuh Rachel. Ternyata Rachel lebih susah bangun dibanding aku. "Hmm," ia lagi-lagi hanya mengeluarkan suara 'hmm' sementara penutup matanya belum juga dibuka. "Chel, aduuuh, lu biasa bangun jam berapa sih? Alarm aja dua bangun mah enggak, ayo woy bangun," aku terus nerocos. "Ih, lu berisik banget si San?" Rachel akhirnya membuka penutup matanya. "Baru juga setengah enam kurang, biasanya gue bangun jam enam," Ternyata gak nyaman ya menumpang di kamar teman. Aku harus cepat dapat tempat kos sendiri. Rachel kembali menutup matanya sementara aku sudah berpakaian rapi. Kubuka tirai jendela sedikit. Biasanya aku tinggal makan sarapan yang disiapkan tante. Sekarang, perut sudah berbunyi sementara tuan rumah masih tidur. Aduh, kalau menunggu Rachel bangun pasti lama. Belum mandinya, berdandan, ganti baju ... lebih baik aku keluar kamar sekarang dan mencari menu sarapan sendiri. "Chel, gue cari sarapan dulu ya," pamitku. "Hmm," jawab Rachel yang sepertinya masih setengah sadar. Kubuka pintu perlahan. Sepi. Kamar-kamar sebelah kanan maupun kiri semua tertutup rapat. Aku langsung menuju gerbang. Ah sial, masih di kunci. Kenapa tadi tidak kubawa kunci kamarnya? Ok, aku harus mengambil kunci yang menggantung di pintu kamar Rachel. Pasti kunci gerbang juga ada di sana. Sampai di kamar, Rachel masih tertidur pulas. Waktu menunjukkan pukul 05.45 WIB. Sudahlah biar saja. Rachel bilang kan dia biasa bangun pukul 06.00 WIB. Kukunci pintu dari luar dan langsung berlari menuju gerbang. Ada anak kunci kecil diantara kunci besar yang terkait menjadi satu. Pasti ini kunci gerbangnya. Klik .... Yess gembok gerbang terbuka. Aku langsung melangkah keluar dan tak lupa gerbang kembali kugembok sebelum kutinggal pergi. Kanan kiri kulihat, tak ada tanda-tanda ada orang berjualan. Kuputuskan untuk berjalan sampai ke ujung jalan keluar dari jalanan komplek. Ternyata ada penjual bubur ayam, tapi cukup jauh. Sepertinya tidak ada pilihan lain. "Bang, bubur ayam dua ya," "Siap Neng," Aku duduk di kursi plastik yang berjajar. Pembelinya tidak terlalu ramai. Apa karena ini masih pagi? Sambil duduk kupandangi langit yang mulai berubah warna. Mentari sudah jelas menampakkan diri. Semoga hari ini berjalan baik. "Ini Neng buburnya," abang tukang bubur menyerahkan dua porsi bubur dengan bungkua sterofoam padaku. "Terimakasih ya," kataku sembari menyerahkan uang. Pegal juga rasanya harus berjalan kembali ke kos Rachel. Rasanya lumayan jauh tadi. Aku akhirnya tiba di depan jalanan komplek. Eh, kenapa jalanannya sama semua? Aku tadi lewat mana? Aku coba mengingat ingat sambil berjalan. Tanpa terasa belok kanan-kiri aku sudah masuk ke jalanan yang salah sepertinya. Bangunan rumah-rumahnya tidak seperti di sekitar koa Rachel. Suasananya benar-benar terlihat berbeda dengan saat aku tiba malam tadi. Aku benar-benar tidak ingat jalan. Tidak ada orang satu pun yang bisa ku tanya. Lagipula, aku tidak ingat berapa nomor rumah kos Rachel. Aku juga tidak membawa ponsel. Hanya jam tangan yang melekat dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB. Gawat. Bisa kesiangan. Rachel juga pasti murka kalau menyadari kutinggal dengan menguncinya dari luar .... Aku terus celingukan mencari dan mengingat jalan ke rumah kos rachel. Tiba-tiba terdengar suara gesekan sapu lidi dengan aspal jalanan. Buru-buru kucari sumber suara itu. Akhirnya aku menemukan orang di jalanan ini. Semoga saja bisa membantuku mencari jalan ke rumah kos Rachel. "Permisi, Bu maaf numpang tanya," kataku. Ibu yang sedang menyapu jalan komplek itu menghentikan ayunan sapunya sesaat. "Iya Neng, ada apa?" "Eng, rumah kos putri sebelah mana ya Bu? Saya baru di sini saya lupa jalan," "Rumah kos putri?" Dahinya mengkerut. "Rumah kos di komplek ini ada banyak Neng, ada sepuluh lebih," Hah? Aku menganga seketika. Dan sialnya aku benar-benar tidak ingat nomor rumah itu. "Rumah yang Neng cari rumah kos yang mana?" Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. "Yang ...." coba kuingat ciri-ciri rumah kos Rachel. "Catnya putih, bangunannya besar, dua lantai dan rumah sebelahnya catnya berwarna hijau." "Oh yang itu, Neng lewat jalan yang ini lurus nanti belok kanan," ucapnya sembari nenunjukkan arah. "Terimakasih Bu, terimakasih," Aku berlari mengikuti arah yang ditunjukkan ibu tadi. Dari kejauhan satu persatu orang keluar dengan seragam rapi. Rumah kos itu akhirnya ketemu. Gerbangnya kini sudah sudah tidak di kunci. "Lu temennya Rachel ya?" tanya seseorang ketika aku masuk. Aku bengong. Siapa dia? Perasaan aku belum berkenalan dengan siapa-siapa. "Tuh, si Rachel gedor-gedor pintu kamarnya dari tadi katanya dia kekunci dari luar." lanjutnya kemudian berlalu. Hah? Gawat ini, Rachel bisa benar-benar marah. Tanpa peduli beberapa pasang mata yang melirikku seperti melihat orang asing. Aku berlari mencari kamar Rachel. Syukurlah tidak salah lagi. Kubuka kunci kamar itu. "Chel, sorry," aku nyengir penuh rasa serba salah. Wajah Rachel manyun terlihat begitu kesal. Tatapannya seperti dosen killer yang siap menghukum mahasiswanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD