bc

Back To Nurture

book_age18+
16
FOLLOW
1K
READ
adventure
second chance
self-improved
heir/heiress
drama
ambitious
male lead
city
small town
another world
like
intro-logo
Blurb

Menjadi seorang pewaris, membuat Narendra Janitra menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab. Apalagi dengan semua kemudahan fasilitas yang diberikan oleh neneknya.

Tapi suatu malam, semua itu berubah. Narendra tiba-tiba mendapati dirinya berada dalam sebuah kehidupan game yang sering dimainkan dahulu. Tidak ada lagi kemudahan. Narendra diharuskan menjalani kehidupan bertani yang berat.

Sanggupkah Rendra menjalani kehidupan barunya? Apakah ia akan menemukan cara untuk bisa kembali ke kehidupannya yamg serba mudah?

chap-preview
Free preview
Prolog
Kerlap-kerlip lampu mulai menerangi lapangan di ujung kota. Tidak lama suara-suara mesin genset yang mulai dinyalakan pun ikut meramaikan lapangan itu. Satrio Putra berjalan dengan gagah mengelilingi lapangan. Sudah dua puluh tahun lamanya ia memimpin Gembira Loka, baru kali ini merasa sangat senang dan bangga dengan usaha karnaval malamnya. Sepanjang senja menuju malam itu, senyum tidak pernah lepas dari wajahnya. Tidak mudah bagi laki-laki keturunan Batak- Jawa itu untuk bisa mempertahankan karnaval malam di tengah-tengah gempuran teknologi seperti sekarang. Anak-anak kecil jaman sekarang lebih memilih untuk asyik dengan gawai elektronik di tangan mereka daripada bersenang-senang dengan permainan yang melibatkan fisik. Padahal awal Bang Satrio memulai usaha ini, dia selalu senagn melihat raut wajah kebahagiaan anak- anak kecil yang menikmati wahana di karnaval malamnya. Sudah lima tahun terakhir ini Bang Satrio hanya bisa menyewa lapangan di dua tempat saja. Itu pun harus bergiliran dengan karnaval malam lainnya. Keinginannya yang belum dapat ia wujudkan adalah, ia memiliki lahan sendiri. Dimana ia bisa terus mendirikan karnaval malamnya, tanpa perlu berpindah-pindah tempat. Harapannya adalah sebuah lahan kosong di ujung kota. Hingga minggu kemarin. Tiba-tiba ia kedatangan tamu yang tidak biasa. Seorang wanita paruh baya yang nampak berkharisma. Selama satu menit pertama, Bang Satrio menatap wanita di hadapannya dengan tanpa berkedip. Ia disadarkan dengan eongan seekor kucing kampung yang melintas di depan rumahnya. Mbah Dyah. Begitulah wanita itu memperkenalkan dirinya. Dia adalah pemilik dari lahan kosong yang sudah lama diincar oleh laki-laki itu. Awalnya Bang Satrio berharap, lahan itu mau dijual, tetapi sayangnya itu hanyalah sebuah angan. Karena Mbah Dyah menawarkan hal lainnya. Akhirnya awal bulan ini, Gembira Loka bisa beroperasi secara permanen tanpa perlu pindah-pindah lokasi lagi. Satrio Putera diberikan kesempatan untuk mengelola lahan kosong itu sesuai dengna kebutuhannya selama satu tahun dengan persyaratan, Mbah Dyah diijinkan untuk membuka kios di karnaval malamnya. Sudah satu minggu sejak Gembira Loka dibuka di lahan itu. Dan sejak itulah senyum Satrio tidak pernah pudar. Dirinya merasa keberuntungan berpihak kepadanya. Tidak pernah selama ia membuka karnaval malam, pengungjung akan selalu penuh setiap malamnya. Belum lagi para penyewa dadakan yang memohon untuk bisa ikut membuka kios di karnaval malamnya. Inilah pertama kalinya Gembira Loka yang dipimpinnya membuat ia merasa bangga. Satrio terus berjalan mengelilingi Gembira Loka. Ia tertawa bersama karyawan yang sedang mengoperasikan wahana permainan. Ia menyapa para penyewa kios yang selalu tersenyum kepadanya. Kemudia langkahnya terhenti di salah satu kios yang tampak luar biasa baginya. Kios itu nampak kecil hanya berukuran tiga kali empat meter. Sesuai permintaan dari Mbah Dyah. Yup. Itulah kios milik Mbah Dyah. Setiap Satrio berdiri di depannya, ia selalu merasa tertarik untuk mampir dan melihat apa yang ditawarkan oleh perempuan yang selalu berpakaian kebaya jaman dulu. Namun setiap ia ingin mendekat, kakinya seolah terikat di atas tanah yang dipijaknya. Akhirnya ia hanya sanggup untuk menatap kios itu dari depan. “Selamat sore.” Satrio hampir saja melompat ketika mendengar sapaan itu. Ia menoleh ke kanannya dan tersenyum canggung. “Selamat sore, Mbah.” Ingin rasanya laki-laki itu menolak memanggil Mbah pada perempuan berusia enam puluh tahun yang masih tampak menggoda itu. Tetapi lidahnya seolah ada yang menuntun utnuk tetap memanggil perempuan yang berdiri di samppingnya ini Mbah. Satrio menatap Mbah Dyah dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak dapat ia pungkiri pesona Mbah Dyah sebagai perempuan tidak hilang karena usia. Bukan sekali laki-laki itu melihat Mbah Dyah sebagai perempuan yang masih layak untuk bersanding dengannya yang duda. “Ada yang bisa saya bantu? Saya perhatikan Anda sering sekali berdiri di depan kios kecil saya ini.” “Ah ... bukan apa-apa. Saya hanya terbiasa untuk berkeliling di sore hari seperti ini. Siapa tahu ada yang membutuhkna bantuan untuk membuka kios. Begitu, Mbah.” Dengan gelagapan, Satrio menjawab pertanyaan Mbah Dyah yang seperti menyindirnya. “Kebetulan kios saya sudah selesai dari tadi." Satria menatap perempuan di sampingnya dengan heran. "Tapi bukankah ...." Laki- laki itu tidak melanjutkan kalimatnya. Di depannya kini Kios Mbah Dyah sudah tampak rapi. Banner nama toko sudah terpasang di dekat rak yang menyajikan berbagai gelang. Bahkan terpal biru yang awalnya tampak menutupi kios malah sudah tergulung di dekat banner. "Kalo begitu saya permisi, Mbah. Saya masih harus keliling." Melangkah meninggalkan Mbah Dyah yang menatap kepergiannya dengan senyum manis yang tampak ganjil. Sepeninggal Satrio, Mbah Dyah masuk ke dalam kios kecilnya yang entah bagaimana terasa luas di dalam. Perhatiannya langsung tercurah pada salah satu kotak kayu kecil yang terus saja bergerak. Dengan sigap, perempuan itu segera mengambil kotak dan meletakkannya di meja yang ada di tengah ruangan. Saat kotak itu terbuka, sinar hijau menyilaukan mulai terpancar dari dalam kotak. Senyum Mbah Dyah tampak tersungging di wajah ayunya. Dia menyentuh benda di dalamnya dengan sayang. "Sepertinya kau yang akan lebih dulu digunakan," bisik wanita paruh baya itu lembut. Ia mengeluarkan benda di dalam kotak dan menaruhnya di antara barang unik lainnya yang berserakan di meja. Sebuah bracelet kulit dengan jamrud di tengahnya. Pendar kehijauan dari jamrud yang awalnya terang mulai memudar perlahan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Rise from the Darkness

read
8.3K
bc

Scandal Para Ipar

read
707.8K
bc

Rebirth of The Queen

read
3.7K
bc

Life of An (Completed)

read
1.1M
bc

Life of Mi (Completed)

read
1.0M
bc

FATE ; Rebirth of the princess

read
35.9K
bc

Marriage Aggreement

read
86.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook