Udara di rumah ini terasa dingin pagi ini. Seharusnya beberapa hari yang lalu, rumah ini dipenuhi gelak tawa, riuh kehadiran kerabat, teman dan tetangga serta aroma melati dari pelaminan yang menjadi hari pernikahan Mina. Namun, takdir ini menuliskan skenario lain. Kebahagiaan itu kini telah berganti menjadi keheningan, pernikahan itu sudah dibatalkan semenjak Aqsa menghilang entah kemana. Tiada ada siapapun yang menemukan keberadaannya membuat Mina menyudahi semuanya.
Irianti dan suaminya pun bergerak dalam kebisuannya yang sibuk sana-sini. Dengan ketabahan hati seorang ibu, ia menjadi tameng bagi keluarganya. Ia telah menyelesaikan urusan dengan katering yang batal, mengembalikan sisa-sisa seserahan yang diberikan oleh keluarga Aqsa walaupun keluarga itu menolak tapi Irianti memilih untuk mengembalikan semua yang berhubungan dengan Aqsa. Dia mengembalikan semua yang ada di rumahnya termasuk cincin lamaran Aqsa berikan kepada Mina dia tidak mau satu barang pun yang berhubungan dengan Aqsa berada di rumah ini. Irianti akan menyimpan jauh-jauh semua yang berhubungan dengan pernikahan yang menyakitkan itu di hadapan Mina. Semua ia lakukan dengan cekatan, menahan air matanya sendiri agar tak tumpah di hadapan putrinya. Ibu mana yang bahagia pernikahan didepan mata hancur begitu saja. Aqsa adalah laki-laki yang dia sumpahin seumur hidupnya tidak akan bahagia selama hidupnya itu. Sumpah ini setimpal apa yang dia lakukan kepada Mina dia sudah pergi meninggalkan luka di hati Mina ku ini. Kini, semua urusan administrasi dan material telah diselesaikan. Fokus mereka sekarang ini hanya kepada putrinya Mina.
Semenjak kejadian itu Mina mengurung dirinya di kamar dia belum menemukan semangat hidupnya lagi. Dia juga memutuskan untuk cuti dari kampus untuk beberapa bulan ini dan tentunya mendapatkan persetujuan dari kampus Mina termasuk Dosen yang aktif berbagai hal dengan mudah mereka memberikan izin agar Mina bisa menemukan jati dirinya kembali seperti dulu.
Tidak cuma itu sahabat-sahabat Mina selalu memberikan dukungan untuk Mina agar dia kembali pulih dari kejadian yang menyakitkan yang terjadi dalam hidup Mina.
***
Mina menghela napasnya ntah berapa kali dia melakukannya. Kini Mina termenung di kamarnya sambil menatap langit kamarnya sendiri, dalam keheningan itu, hanya ada satu pertanyaan yang terus-menerus bergema entah kenapa Tuhan memberi cobaan kepadanya begitu sangat dahsyat. Pernikahannya batal bukan karena pertengkaran, bukan karena ketidakcocokan, tetapi karena alasan yang dipaksa Mina terima. Tapi sekuat apapun dia jalani hari-hari ini ia tetaplah seorang perempuan, apalagi masalah ini masalahnya bukan masalah yang bisa ia abaikan begitu saja. Kehancuran janji suci, sebuah aib yang terasa begitu personal. Setiap pagi ia bangun dengan beban di dadanya, menghadapi dunia yang seolah menuntut penjelasan yang ia sendiri tidak punya. Dalam kesendiriannya, Mina tahu, proses penyembuhan ini akan panjang. Ia hanya bisa berharap, suatu hari nanti, ketegaran yang ia paksakan hari ini akan menjadi kekuatan yang nyata.
Kini gaun pengantin itu hanya sebuah benda mati yang tergantung di sudut lemari, tertutup sarung plastik ia masih ingat saat dia merasa bahagia dengan gaun pengantin itu. Setiap kali matanya tak sengaja menatap kearah lemari ia merasakan tusukan yang tajam di ulu hatinya. Undangan-undangan yang seharusnya sudah tersebar, kini hanya tumpukan kertas indah yang tak berarti lagi kini teronggok di atas meja Mina. Aromanya, bau kertas baru dan janji yang sirna, menjadi pengingat pahit akan sebuah takdir yang ia tak pernah Mina sangka.
Calon suaminya, cinta pertamanya, pergi. Tanpa kata, tanpa penjelasan hingga meninggalkan luka dihati Mina. Kekosongan yang menganga lebar di dalam dadanya, sebuah lubang hitam yang tak dapat diisi oleh siapapun. Ia mencari, bertanya, dan berharap, tetapi hanya kesunyian yang ia temui. Bayangannya seakan-akan terhapus dari muka bumi ini.
Mina tidak tahu maksud semua ini kini tembok tinggi di dalam hatinya ini melindunginya dari rasa sakit, dari janji-janji palsu, dan dari cinta yang rapuh. Ia kini hidup di balik tembok itu, seorang diri, terperangkap dalam kesepian. Ia tak lagi berani membuka pintu hatinya.
"Kemana perginya Mas Aqsa, menjadi tanda tanya besar dibenak semua orang dia seperti di telan bumi. Bahkan memberikan kabar kepada keluarganya pun tidak ada."
Kabar kepergiannya terasa seperti sayatan untuk Mina dan keluarganya, tetapi kalimat terakhirnya datang menusuk lebih dalam, mengkhianati semua yang pernah mereka yakini.
Mina menghela napasnya dia mencoba mengambil ponselnya yang tidak dia sentuh sudah beberapa hari ini.
Maafkan aku Mina, aku tidak bisa bersama mu ini terpaksa aku lakukan untuk kebahagiaan mu. Aku baik-baik saja disini aku harap kamu bahagia Mina. Pesan terakhir dari Mas Aqsa. Ternyata Mas Aqsa juga mengirim pesan kepada ku sebelum dia menghilang.
Kata-kata itu, yang seharusnya membawa ketenangan, justru mengobarkan amarah dan kesedihan yang tak terlukiskan dihati Mina. "Untuk kebahagiaanmu?" Mina membatin, mencengkeram ponselnya hingga buku-buku jarinya memutih.
"Kebahagiaan macam apa yang dibangun di atas kehancuran hati ini ?"
"Kebahagiaan macam apa yang bisa diraih, wanita mana yang bahagia calonnya pergi begitu saja. "
Isi pesan yang sama dengan surat itu begitu palsu, begitu kejam dalam kesederhanaannya. "Aku baik-baik saja di sini" terdengar seperti tawa sinis. Ia baik-baik saja, sementara Mina ditinggalkan sendirian untuk memunguti puing-puing hidupnya dan menghadapi tatapan dunia menahan cibiran orang-orang diluar sana tentang dirinya yang batal menikah.
Mina melempar ponselnya ke dinding hingga ponsel itu hancur berkeping-keping sama persis hatinya. Ini bukan pesan berisi cinta lagi , melainkan sebuah pemutusan paksa dari hubungan ini.
Mina bangkit dari tempat duduknya, Satu persatu barang-barang yang berhubungan dengan Aqsa sudah Mina bawa ke belakang rumah, dia harus melakukannya dengan bolak-balik menumpukkan barang yang berhubungan dengan pernikahannya kemarin, bahkan kenangan bersama Aqsa bertumpuk di tanah di belakang halaman rumahnya.
Ia menyiram tumpukan itu dengan cairan yang mudah terbakar. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena ragu, melainkan karena gejolak emosi yang ingin ia tumpahkan.
"Semuanya akan Mina bakar." Bisiknya, suaranya parau dan penuh janji pada dirinya sendiri. "Aku berharap ini semua terbakar seperti kenangan buruk ini Tuhan."
Mulai dari hari ini, aku bersumpah Tuhan," ucapnya dengan suara bergetar tetapi penuh tekad yang dingin. "Cinta untuk Aqsa sudah tidak ada lagi di hati ini."
Kalimat itu adalah pengakuan sekaligus penolakan. Pengakuan atas rasa sakit dan penolakan untuk membiarkan pria itu terus bersemayam di jiwanya sendiri. Ia tidak hanya ingin melupakan ia ingin mencabut, membuang, dan mengosongkan ruang yang pernah ditempati oleh janji-janji palsu dari Aqsa.
Mina menarik napas, kemudian ia menutup mata, dan dengan nada yang lebih parau, ia menambahkan permohonan terakhir, sebuah doa yang egois sekaligus membebaskan sesak di hatinya ini.
"Begitu juga, cinta untuk Mina pun di hatinya Aqsa tolong Tuhan hapus Mina di dalam hati Aqsa mulai dari hari ini dan selamanya."
"Selamat tinggal Mas Aqsa."
Korek api bergesekan, menghasilkan percikan kecil yang dalam sekejap menyambar tumpukan itu. Api ini melahap kain dan kertas. Panasnya menerpa wajah Mina, namun ia tidak mundur. Ia justru mendekat, menyaksikan bagaimana gaun impiannya itu habis terbakar, serta undangan pernikahan tadi bersi potret hasil foto prewedding kini hanya tinggal menghitam, bagaimana senyum Aqsa dalam foto-foto itu perlahan dimakan api hingga tak bersisa.
Kedua orang tua Mina menyaksikan anaknya meluapkan segalanya. Mereka
Menyaksikan di ambang pintu, Mama Irianti dan Papa Ilham berdiri tanpa kata. Mereka menyaksikan nyala api yang melahap sisa-sisa kenangan di halaman belakang, menyaksikan asap tebal yang mengepul seolah membawa serta duka yang menyesakkan. Lebih dari itu, mereka menyaksikan bagaimana putri mereka Mina, berdiri tegak di tengah kehancuran itu membiarkan kemarahan dan keputusasaan.Mina meluapkan segalanya, amarah, rasa sakit, rasa malu, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Mereka melihatnya meraung tanpa suara, menumpahkan air mata yang tak tersisa lagi. Itu adalah tontonan yang menghancurkan hati, namun mereka tahu, Mina harus melalui ini, harus merasakan setiap perihnya sampai habis.
Kedua orang tua Mina tidak mendekat. Mereka tahu saat ini, kehadiran fisik saja tidak cukup. Mereka hanya bisa berpegangan tangan, jemari Mama Irianti dan Papa Ilham saling mengunci erat. Genggaman itu bukan hanya sekadar sentuhan, mereka saling menguatkan satu sama lain.
Asap tebal hitam mengepul, membawa serta bau kertas terbakar, Mina berharap bau patah hati yang mulai terlepas darinya.
Mina membiarkan air mata terakhirnya menetes, bercampur dengan asap. Itu bukan lagi air mata kesedihan, melainkan air mata pembebasan. Ia tahu, api ini tidak akan menghapus memori itu sepenuhnya, tetapi api ini adalah awal.
Ia akan bangkit dari abu ini, ia bertekad membangun kembali secara perlahan.
***