9. Pertarungan Hati dan Logika

1424 Words
"Kamu dimana Mina ?" "Di meja 07 Mas di dekat kaca." Mina menjawab telepon dari Sabil. "Oke Mas akan kesana, Mas baru nyampe parkiran." "Oke Mas." Panggilan itu berakhir. Mina memang mengajak bertemu dengan Mas Sabil hari ini setelah dia melakukan aktivitas di kampus. Beberapa hari yang lalu Mas Sabil melakukan pendekatan kepada keluarga ku, sempat kemarin dia kembali ke Batam tapi dia kembali lagi ke Tanggerang setelah aku meminta waktu untuk berpikir dia tidak stop begitu saja dia bahkan harus bolak balik Batam ke Tanggerang. Mas Sabil menunjukkan keseriusannya kepada ku mengajak aku jalan-jalan dan membawa aku ke keluarga besarnya di Tanggerang ini. Bahkan dia juga langsung bisa mengambil hati papa ku. Tatapan kagum Papa, anggukan persetujuannya yang jarang ku lihat, adalah skor besar untuk Mas Sabil. Mama juga banyak memberikan gambaran tentang keluarga Tante Selly kepada ku bahkan dia menceritakan bagaimana dia mendeskripsikan tentang Mas Sabil yang berhasil Mama dapatkan cerita dari Tante Selly. Tetap saja yang namanya hati dan otak ku sering bertolak belakang, aku lebih selektif lagi dalam mengambil keputusan ini masalahnya aku tidak bisa membaca pikiran seseorang, aku tak punya mata batin untuk menembus dinding ilusi itu, tapi aku bisa merasakan bagaimana dia memperlakukan seseorang dengan baik. Kalau masalah hati ku, ingin menerima perjodohan ini karena perlahan hati ku mulai melunak karena sikapnya menunjukkan semuanya. Namun, di balik kehangatan itu, otakku berteriak kepada ku keluarga Mas Aqsa juga baik dulu tapi ujungnya aku ditinggalkan oleh Mas Aqsa. Makanya otak ku ini, ingin sekali lagi memastikan kembali sebelum memberikan keputusan. Kalau soal keputusan ini baik atau tidak nantinya yang pasti aku ingin memastikan kembali ini benar serius atau tidak. Aku tahu untuk menikah itu ada perasaan cinta atau tidak, potensi konflik rumah tangga itu pasti ada. Baik dimulai dari percintaan yang membara atau perjodohan yang terencana, badai rumah tangga pasti akan datang. Cinta, atau ketiadaannya di awal, tidak lantas membuat rumah tangga kebal dari ujian. Apa salahnya aku dan Mas Sabil membicarakan tentang ini terlebih dahulu agar tidak terjadi di kemudian hari yang tidak kita inginkan. Ini bukan tentang meragukan niat baik, melainkan tentang menghormati masa depan. Ini bukan tentang menolak kebaikan, melainkan tentang memastikan kembali. Namun, pikiran ku berbisik dengan nada yang gelisah yang tak bisa ku abaikan. Sebelum kata "iya" itu terucap, sebelum takdirku resmi terikat, aku harus tahu. Benarkah keseriusan ini? Apakah ini sekadar formalitas yang manis, atau sebuah komitmen sejati yang mampu bertahan di luar sorotan mata keluarga yang mendesak untuk menikah ini ? Karena Mama andil dalam perjodohan ini, tentunya Mama pengen yang terbaik untuk ku. Aku tahu, cinta dan doa Mama adalah kompas terbaikku, dan bagi beliau, ini adalah peta menuju kebahagiaanku. Aku pernah mendengar kutipan ini Pilihan orang tua itu sama dengan pilihan Tuhan. Jika ini adalah kehendak yang diantar melalui tangan Mama yang paling mencintaiku, maka ini adalah berkah terindah. Aku ingin mempercayainya dengan seluruh jiwaku. Aku ingin mengamini bahwa restu Mama adalah jembatan yang kokoh menuju surga dunia. Tetapi, aku juga tahu Tuhan yang maha tahu segalanya bahkan menghendaki kejujuran dan keberanian dalam hati yang memilih. Hatiku mungkin siap, tapi otakku menolak menyerah keingintahuan ku lebih banyak karena aku pernah diposisi sangat hancur. Aku ingin duduk, berbicara, bukan tentang mahar atau resepsi, melainkan tentang badai yang akan datang. Tentang bagaimana kami akan bertengkar, bagaimana kami akan memaafkan, bagaimana kami akan membangun jembatan di atas jurang perbedaan. Aku tidak ingin menunggu konflik datang untuk pertama kali membicarakan fondasi. Aku ingin memastikan, sebelum melangkah lebih jauh, bahwa di balik senyum dan keramahan ini, ada kejujuran yang sama-sama berani melihat realita. Karena, memutuskan untuk berbagi hidup adalah pertaruhan terbesar, dan kali ini, aku ingin memenangkan pertaruhan itu dengan mata terbuka lebar. Hari ini aku memang ingin memberikan jawaban atas niat baik Tante Selly dan Mas Sabil juga mengutarakan keseriusannya kepada ku beberapa hari yang lalu. Setidaknya ada hal yang membuat otak ku ini bisa menerimanya. Mama terlihat sangat antusias sekali saat aku bilang tadi malam akan memberikan jawaban atas niat baik keluarga Tante Selly. Aku sudah mulai mengancang- ancang semuanya kalau semuanya berjalan dengan lancar sampai akhir. "Mina udah lama nunggunya ?" Mas Sabil mengambil tempat duduk di depan ku. "Hah, Nggak kok Mas. Seketika aku tersadar dari lamunanku. "Aku baru datang juga. Mas pesan makanan dulu deh, ini udah jam makan siang pasti Mas belum makan kan ?" "Iya nih mau makan bersama mu." "Hmm, buruan pesan." Mina mengangkat tangannya memanggil Waiters. Sambil menunggu, Mina dan Sabil ngobrol tentang pekerjaan mereka dan menikmati makan siang mereka dengan tenang. "Mas aku mau kamu jujur sama aku tentang perasaan mu kepada ku ?" "Soal perasaan aku sama kamu Mina ?" Mina mengangguk apa pun keputusan yang dia ambil hari ini dia akan menghadapi semuanya. "Kalau mau jujur aku belum sepenuhnya memiliki perasaan kepada mu Mina." Deg..! Jantung Mina langsung bereaksi "Tapi kita bisa saling mencintai setelah kita menikah nanti perasaan ini akan tumbuh dan aku akan berikan sepenuhnya kepada mu." Pikiran Mina belum tenang mendengarkan ucapannya Mas Sabil barusan. "Apakah Mas masih belum selesai hubungan dengan seseorang ?" Tanya Mina. Deg.. ! Giliran jantung Sabil beraksi seperti dia habis ketangkap basah sedang melakukan hubungan terlarang sama seseorang. "Jujur saja soal ini aku memang belum selesai sama orang lain Mina tapi," "Oke sepertinya udah jelas." Disaat Mina mau berdiri Sabil langsung meraih tangan Mina. "Mina tunggu, aku mau jelasin dulu jangan main kabur gitu. Aku belum selesai ngomongnya kamu dengar dulu penjelasan ku Mina. Aku belum selesai sama orang ini karena orangnya udah nggak ada disini, dia pergi meninggalkan aku begitu saja Mina, makanya aku bilang belum selesai karena nggak ada kata putus dari ku untuknya tapi aku menganggap semuanya sudah selesai jadi Mina tidak perlu khawatir soal ini." Mina terlihat diam dan mencerna apa yang di ucapkan oleh Sabil barusan. "Mina.. !" Sabil meraih tangan Mina tapi Mina masih diam tidak bergeming. "Aku ingin bersama dengan mu, kamu mungkin masih meragukan itu, tapi aku cuma ingin menikah dengan mu Mina." "Mas kalau dia muncul kembali bagaimana ?" Ucap Mina resah. "Kalau dia muncul kembali ya aku udah punya kamu sekarang tentunya kita akan selalu bersama terus. Dia tetap akan menjadi masa lalu ku dan kamu masa depan ku." "Mina aku serius ingin bersama dengan mu." Mina mulai di landa keraguan hebat dia tidak tahu harus mendengarkan kata hati atau logikanya sendiri. Mas Sabil belum ada kata putus kepada kekasihnya. "Mina.. " Mina mengambil napas dalam-dalam dan hembuskan napas perlahan-lahan dia tentunya tidak perlu lagi mengulurkan waktu kasian juga kedua keluarga besar menunggu jawaban darinya. Aku masih ragu dengan ucapan Mas Sabil barusan ketakutan itu pasti ada tapi aku dan Mas Sabil masih bisa bicara baik-baik nanti kalau seandainya orang ini muncul kembali. "Mina, kamu kok diam aku butuh jawaban mu Mina terlepas dari jawaban mu iya atau tidaknya aku sangat menghargai keputusan mu itu. Please jangan cuma diam dong." Aku kembali menghela napas, panjang dan perlahan. Rasa bimbang itu, yang menjadi tamu tak diundang selama beberapa minggu ini, kini perlahan menipis, digantikan oleh kejelasan yang muncul dari tempat terdalam. Logika telah berdebat habis-habisan, tapi pada akhirnya, ada kompas yang tak pernah berbohong, sebuah bisikan yang lebih nyata dari semua kekhawatiran di dunia. Baiklah, kali aku akan mempercayai apa kata hatiku. Dengan tekad yang mengalir hangat di d**a, aku mengangkat wajahku. Pandanganku bertemu dengan mata Mas Sabil, mata yang menyimpan kehangatan. ​Aku menarik napas sekali lagi, membiarkan keyakinan itu memenuhi setiap ruang hati ku ini. Ucapanku kali ini bukan hanya sekadar jawaban, tapi janji sebuah awal yang baru. ​"Mas," suaraku bergetar namun tegas, "aku mau menikah denganmu tapi ada hal yang perlu kita bicarakan berdua dengan serius." "Jadi ini kamu setuju kita menikah." "Iya" "Alhamdulillah, terima kasih Mina." "Keluarga kita pasti senang mendengar berita ini." Mina mengangguk. "Mas aku ingin kita berkomitmen dalam hubungan kita ini." "Iya, kita akan saling mencintai dan menyayangi satu sama lain kamu tenang saja Mina cinta ku akan sepenuhnya untuk mu." Kalimat itu bukan sekadar janji lisan itu adalah sumpah yang diucapkan dengan mata yang teduh dan jiwa yang tulus. Bagi Mina, kalimat itu menghalau awan mendung keraguan padanya. Sekarang satu tempat di mana hatinya bisa berlabuh tanpa takut lagi. Dan seketika, kehangatan menjalari pipinya. Kekuatan dari sebuah pengakuan tulus berhasil meruntuhkan dinding pertahanan hati yang ia bangun. Bibirnya yang semula terkunci oleh rasa khawatir kini melengkung perlahan. Senyum itu terbit di wajahnya Mina. Itu adalah senyum yang berkata, aku percaya. Dalam tatapan mata yang saling bertemu, mereka tak lagi melihat hanya dua orang yang berbeda, melainkan satu takdir yang baru saja diukir abadi, dan penuh janji kasih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD