Mama memang lahir dan di besarkan disini tapi semenjak Papa memiliki perusahaan di Batam kami sekeluarga memilih menetap di Batam. Kebetulan seminggu ke depan ini Papa akan berada di sini ada proyek besar yang harus papa kerjakan. Ini lah kesempatan Mama untuk memanfaatkan situasi dengan menjodohkan aku dengan anak sahabatnya itu yang dari kemarin saat berisik sekali ingin menjodohkan aku dengan anak dari sahabatnya ini. Pertemuan hari ini merupakan keputusan yang tidak bisa dibantah tapi aku tidak bisa lama-lama disini perkejaan di Batam sudah menunggu ku.
Sebenarnya untuk datang ke Tanggerang ini tidak ada rencana ku sama sekali, kalau menurut hati ku sendiri aku sebenarnya ogah untuk datang. Ngapain juga kan soal jodoh itu di tangan tuhan.
Jadi ini wanita yang Mama bilang sejak dari kemarin. Sebegitu inginnya dia menjodohkan aku dengan Mina ini, hanya ingin aku bisa melupakan kekasih ku, hanya ingin aku segera menikah cepat hingga rela menjodohkan wanita yang tidak aku cinta sama sekali.
Kata-kata Mama kemarin masih bergaung di pikiran ku.
"Sabil, Mina itu serasi dengan mu ? Dia wanita baik-baik, berhijab dan dia juga Dosen tentunya akan membawa mu ke arah yang lebih baik." Kata-kata Mama kemarin Sebuah pertanyaan yang disajikan sebagai penekanan, sebuah harapan yang terasa seperti desakan.
"Apakah pantas untuk ku wanita seperti ini ?"
"Aku hanya butuh wanita seperti kekasihku yang pergi tiba-tiba meninggalkan aku, wanita seksi bahkan bisa memuaskan nafsu ku, gimana bisa kriteria itu langsung di hancurkan begitu saja oleh Mama. Dengan mengenalkan aku dengan wanita berhijab, baru kali ini terjadi dalam hidup ku."
Entah berapa kali Sabil menghela napasnya. Mamanya benar memuji Mina, bahkan dia memberikan kode keras ke arah pernikahan dalam pembicaraannya.
Kini kenyataan yang harus dia terima takdir melalui tangan seorang ibu.
Setelah melihat dia beradaptasi dengan Mama, kini pikiran ku bebalik arah tentang itu. Apa salahnya mencoba kalau memang cocok di lanjutkan kalau tidak cocok tinggal bercerai saja nanti.
Ucapan Mama tadi di restoran membuat aku langsung memotongnya aku tidak mau Mina kaget walaupun Mama nya juga mengarahkan ke sana.
"Ma, bisa nggak aku ngobrol berdua dulu sama Mina."
"Ya udah kalian bicara aja dulu nanti kabarin Mama ya".
"Iya "
Dengan alasan pengen ngobrol sama Mina berdua barusan agar urusan jadi nggak panjang dan biar jadi cepat.
Kini Mama dan Tante Rianti sepertinya memberikan waktu aku dan Mina untuk ngobrol berdua. Mari kita kenal lebih jauh lagi tentang Mina ini. Batin Sabil.
Terlihat para Mama tersenyum meninggalkan kami berdua.
"Mina, temanin Aku ke BSD City yuk penasaran sama taman nya seperti apa sih." Ucap aku kepada Mina memecahkan keheningan.
"Iya boleh."
"Itu mobil ku." Sabil menunjukkan mobil nya yang terparkir di depan halaman Restoran ini. Tadi Mobil Mina terpaksa Mama nya yang bawa.
"Tenang aja nanti aku antar Mina pulang sekalian pengen tahu rumah Mina dimana biar kita kenal lebih dekat lagi." Aku berbicara santai kepada Mina.
Mina mengangguk.
Mina mengikuti Mas Sabil berjalan menuju ke arah mobilnya sementara itu Mina mengekorinya di belakang. Mina tidak langsung masuk ke mobil tapi dia dibukakan pintu mobil oleh Mas sabil untuk Mina, perhatian kecil ini membuat hati Mina tersentuh.
"Uhm, Mina sebelumnya aku minta Maaf ya, Mama ku emang seperti itu jangan di masukin ke hati ya omongannya tadi."
"Ya nggak papa, Mama ku juga sama kadang ngomong nya seperti roller coaster kalau aku di rumah pembahasan tentang pernikahan selalu ada dalam obrolannya setiap hari jadi aku sangat memakluminya."
Sabil mengangguk tersenyum.
"Nah sama, jiwa emak-emak banget ya Sengol dikit kena bacok, belum lagi omelan nya panjang lebar, kalau aku membantah."
Mereka tertawa membicarakan Mama mereka masing-masing kali ini giliran para Mama di gibah sama anak-anaknya.
Mina memandang wajah Mas Sabil.
"Jantungku. Ah, jantungku... Kenapa harus seperti ini ? Kenapa dengan jantung ku, ini persis yang aku rasakan saat bersama dengan Mas Aqsa dulu. Apakah kali ini bisa disebut jatuh cinta pada pandangan pertama lagi ?
Mina menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan irama liar di dadanya. "Kenapa harus semudah ini Mina ? Kenapa hati ini selalu punya caranya sendiri untuk memilih cepat, tanpa keraguan, seperti anak panah yang melesat tepat ke sasaran ? "
"Tuhan, padahal hati ini pernah sesakit itu," batin Mina lagi, matanya menerawang jauh ke masa di mana setiap tarikan napas terasa seperti menelan serpihan kaca. "Kenapa begitu mudah rasa ini tercipta lagi?"
Mina kembali harus berdiri di garis start yang sama, dengan risiko yang sama besar, hanya kali ini, ia tahu persis betapa pedihnya jika garis finish itu nanti ternyata adalah jurang.
***
"Wow bagus ya ini pertama kali aku ke sini. Mas Sabil mengajak aku duduk di taman kota ini."
"Mina pernah kesini ?"
"Ini pertama kali juga Mas. "
"Lho orang asli di sini, baru pertama kali kesini hmm, nggak tertarik atau gimana Mina ?"
"Hehe iya Mas, lagian nggak ada alasan mau kesini dan dari pada bengong sendiri disini mending mengerjakan pekerjaan rumah, ngoreksi tugas mahasiswa ku kan."
"Ajak teman atau pacar mu gitu, apa kamu nggak tertarik hangout bareng mereka ?"
"Kalau ajak teman harus jauh hari di buat jadwalnya dulu, rata-rata teman ku sudah menikah Mas, nggak enak juga sama keluarga mereka tentunya harus minta izin dulu sama suaminya. Mereka juga akan bawa anaknya juga kan yang ngajak mainnya kan jomblo ya mau nggak mau harus menyesuaikan sama jadwal sama mereka. Udah jelaskan Mas kalau aku nggak punya pacar." Mina tersenyum.
"Jadi nggak ada yang menghalangi doang."
"Maksudnya ? "
"Ucapan Mama tadi, apakah kamu sudah siap kita akan melangsungkan pernikahan kita ?"
"Hmm, aku nggak tahu Mas."
"Mina kita berdua sudah sama-sama dewasa dan arah pembicaraan kita ini tentunya mengarahkan ke pernikahan."
"Mas aku boleh jujur, aku dengar keraguan dalam helaan napas mu sejak dari tadi Mas, kulihat bayangan beban yang tak terucap di matamu. Jika langkah ini kau ambil karena paksaan oleh Mama mu, maka biarlah di sini kita berhenti."
"Ini bukan main-main, ini tentang ikatan suci, yang dibangun atas dasar kemerdekaan hati, bukan karena terpaksa." Pada kenyataannya Mina sebenarnya sedang menasehati dirinya sendiri.
"Aku tak mau menjadi alasan di balik penyesalanmu kelak. Aku tak sudi menjadi babak dalam hidupmu yang kau jalani dengan terpaksa tapi dengan tampilan senyum yang palsu. Sesuatu yang dipaksakan, ia akan selalu menyimpan racun di dasarnya, menggerogoti kebahagiaan dari dalam hingga habis tak bersisa. Maka, pikiran baik-baik untuk bersama ku. Aku tak butuh janji yang di ucapkan gemetar karena terpaksa diucapkan. Aku hanya butuh sebuah hati yang utuh dan keinginan yang murni untuk berjalan bersamaku. Jika bukan itu yang kau miliki, mendingan tidak usah daripada berdua dalam penjara yang kita ciptakan. Aku ingin pernikahan ini kelak adalah rumah yang dibangun dari cinta yang tulus, bukan puing-puing keterpaksaan."
Deg..!
Kenapa dia bisa membaca pikiran ku. Pertanyaan itu berkelebat. setiap kali aku mencoba membujuk hati ini untuk melihat ke depan, sayangnya aku masih terjebak pada cinta lama ku. Jujur selama ini aku masih mengharapkan kekasih ku kembali kepada ku tapi sepertinya bertahun-tahun menunggu. Sepertinya ini membuktikan bahwa dia tidak mencintai ku lagi, sepertinya ini jawaban atas semuanya dan ini doa-doa yang di panjatkan Mama untuk ku yaitu aku benar harus melepaskannya dan meraih tangan wanita Sholehah di depan ku ini. Hmm ini bukan akhir dari sebuah cerita dalam hidup ku, melainkan awal dari kisah yang seharusnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa benar-benar siap untuk memulainya kembali.
"Mina, aku awalnya emang tidak setuju dengan perjodohan ini, karena kita berdua bisa mencarinya sendiri tanpa harus di jodohkan tapi aku tidak mau membuat Mama ku sedih dan membuat dia kecewa mungkin kamu juga merasakan seperti itu. Mina mungkin cara orang berbeda dengan kita, keinginan mereka pun agar kita berdua untuk menikah kan sejak kita masih kecil kita sudah di jodohkan. Apa salahnya kita mewujudkan keinginan orang tua kita. Soal menikah setelah pacaran kan bisa ?" Ucap Sabil mencoba menyakini Mina dan hatinya sendiri.
Sebenarnya Mina tidak tidak ingin buru-buru, laki-laki di depannya ini mungkin calon yang di inginkan Mama ku untuk ku, tapi Mina masih ragu untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius ini. Perasaan was-was pasti ada karena dia tidak ingin terulang lagi hal yang menyakitkan seperti waktu dulu itu, tentunya dia tidak ingin terjadi lagi dengan kaburnya calon suaminya sebelum hari pernikahan berlangsung.
"Gimana Mina ? "
“Mungkin, kita bisa mengenal satu sama lain lebih dulu ?” suara Mina akhirnya terdengar, sedikit lebih lirih dari yang ia harapkan namun tegas. Itu bukan penolakan, tapi permintaan jeda, sebuah tarikan napas panjang sebelum melangkah ke jurang yang sama. Ia tidak ingin lagi menjadi wanita yang ditinggalkan di ambang pintu kebahagiaan. Kali ini, ia akan memastikan jembatan itu benar-benar kokoh, atau ia memilih untuk tetap berada di sisi ini aman, meskipun dia akan kembali sendiri.
Wah Mina ini ternyata tidak segampang yang aku kira, Mina ternyata wanita yang tidak mudah ditaklukkan. Tapi aku akan mencobanya, misi ku harus bisa menikah dengan Mina biar mama tidak ngomel-ngomel lagi.
***