Bab 7. Wanita Yang Sulit Kau Lupakan 1

1060 Words
# Bisma meletakkan sebuah map hitam tepat di depan Ardina. "Apa ini?" tanya Bisma. Ardina menatap Bisma. "Surat kontrak yang sudah kutandatangani," jawab Ardina. Dahi Bisma mengerut dalam, pertanda dia tidak puas dengan jawaban Ardina dan menginginkan penjelasan lebih. Ardina menarik napas dalam dan tampak gugup. "Ini kontrak yang kupersiapkan. Aku ingin menjadi brand ambasador produk layanan terbaru dari perusahaanmu. Semua pasal di dalamnya akan sangat menguntungkan perusahaanmu dan aku bahkan bersedia menerima bayaran di bawah standar bayaran yang biasanya aku terima dari perusahaan lain." Ardina menjelaskan. Bisma mengusap wajahnya, berusaha meredakan rasa kesalnya. Dia kemudian mengambil map tersebut dan membacanya sekilas sebelum membantingnya ke atas meja, tepat di depan Ardina. "Ardina, apa kau menganggap perusahaan ini sebagai lelucon?" tanya Bisma. "Aku tidak mengerti. Kenapa kau harus terlihat begitu marah. Kau bisa menambahkan pasal baru dalam kontrak kerja itu dan aku bisa menandatanganinya lagi," balas Ardina. "Yang namanya kontrak kerja itu, dibuat oleh perusahaanku dan ditawarkan kepadamu lewat perusahaan yang mewakilimu. Bukan kau sendiri yang menentukan seperti ini!" Nada suara Bisma sedikit meninggi meski dia masih bisa mengendalikan dirinya. Dia paham benar kalau sebagai satu-satunya anak dalam keluarga Atmaja dan penerus keluarga Atmaja, Ardina mungkin terbiasa untuk mendapatkan segalanya yang dia inginkan dengan cara yang mudah. "Kalau aku tidak begini, kau pasti akan lebih memilih artis atau model lain untuk mewakili perusahaanmu. Sekian lama aku sudah menjadi model dari beberapa produkmu, kenapa aku tidak boleh menjadi brand ambasador perusahaan dan mewakili produk layanan terbarumu? Kenapa kau selalu menolak tawaran yang diajukan oleh manajerku? Kalau kau tidak menolak, aku tidak akan membuat kontrak lebih dulu," balas Ardina. Matanya kini mulai berkaca-kaca. "Aku membiarkanmu menjadi model beberapa produk sekali dua kali tapi bukan berarti harus kau yang terus menerus mewakili semua produk di dalam perusahaanku! Apa kau tidak mengerti? Kau sekolah bisnis di luar negeri. Kau seharusnya memahami manajemen sama baiknya denganku meski pengalamanmu masih kurang! Kau ..." "Aku tidak mengerti! Aku tunanganmu, lalu kenapa aku tidak boleh menjadi satu-satunya model di perusahaanmu? Kenapa harus memilih orang lain kalau kau punya aku? Apa yang kurang dariku sehingga kau lebih suka mencari model lain untuk perusahahaanmu?!" Air mata keluar dan Ardina lebih terdengar merengek di hadapan Bisma. Bisma menatap Ardina dengan tatapan memicing. "Karena citramu tidak cocok dengan produk baru. Tidak ada yang kurang darimu tapi kau bukan orang yang tepat untuk produk itu. Selain itu Ardina. Apa aku perlu mengingatkanmu lagi? Pertunangan kita terjadi di atas kontrak. Kau membutuhkan tunangan dan suami yang memenuhi kriteria keluargamu dan aku membutuhkan bantuan dari perusahaan keluarga Atmaja saat itu. Bahkan meski kita menikah nantinya, itu tidak akan pernah menjadi pernikahan yang sesungguhnya karena di dalam kontrak, kita hanya akan menikah hingga kau secara legal berhasil mewarisi bagianmu di dalam perusahaan. Aku menolongmu agar kau tidak dipaksa oleh keluargamu untuk menikah dengan pria yang tidak kau cintai dan kau membantuku dengan investasi dari grup perusahaanmu saat aku membutuhkan. Kenapa mendadak kau menjadi posesif begini?!" Bisma sama sekali tidak mengerti kenapa Ardina bersikap seakan-akan gadis itu cemburu pada setiap model yang akan dipilih oleh perusahaannya. Ardina mengepalkan kedua tangannya di atas pangkuannya. Air mata semakin banyak jatuh mengalir ke pipinya. Bisma menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil map tersebut dan melemparkannya ke tempat sampah. "Jangan melewati batas Ardina dan sudahi semua omong kosong ini. Aku menghargai bantuanmu selama ini tapi bantuanmu tidak gratis, aku juga mengorbankan statusku untuk terlibat dalam hidupmu dan keluarga Atmaja. Setidaknya, jangan buat aku menyesali keputusanku demi perusahaan ini," ujar Bisma. Ardina masih menangis. Sama sekali tidak menanggapi ucapan Bisma lagi. Bisma meraih kotak tisu dan meletakkannya di depan Ardina. "Lalu, berhentilah datang dan masuk ke ruangan kantorku tanpa ijin. Aku tidak bisa menoleransinya lagi kalau kau tetap melakukannya. Kita punya batasan masing-masing," Bisma kembali menjelaskan. Ardina hanya diam. Bisma menarik napas panjang kemudian memutuskan untuk melangkah keluar dari ruangan kantornya sendiri. Dia tidak suka melihat wanita menangis tapi dia sedang dalam kondisi yang merasa terlalu kesal untuk membujuk Ardina seperti biasanya, jadi dia memilih untuk membiarkan Ardina menenangkan dirinya sendiri. # Mia menyodorkan air minum pada Ranya. "Jadwalmu hari ini selesai tapi Pak Danu ingin kau mampir ke kantor manajemen untuk melihat dan menentukan proyek yang ditawarkan kepadamu. Menurutnya ada beberapa peran yang cukup bagus untukmu," ujar Mia. "Kau saja yang mampir ke sana dengan Beno. Pastikan untuk memilihkan proyek yang kemungkinan besar akan dilirik oleh Ardina juga. Kalau Atmaja Grup berinvestasi di dalamnya maka kemungkinan Ardina tertarik dengan itu. Aku akan menyetir sendiri setelah ini," ucap Ranya. "Aku bisa pergi sendiri. Setidaknya Beno harus bersamamu," tawar Mia. "Aku tidak selemah itu. Kau tahu kalau aku bisa membela diriku sendiri. Setidaknya sejauh ini Adijaya tidak akan melakukan hal yang membahayakanku secara terang-terangan. Dia bahkan tidak benar-benar mengenaliku." Ada nada getir di nada suara Ranya. "Kalau begitu Beno akan mengawasi dan melindungimu dari jauh. Itu seharusnya tugasku kalau kau tidak membuatku mengurus masalah naskah dan kontrakmu jadi setidaknya biarkan Beno yang melakukannya," tawar Mia. "Terserah saja," ucap Ranya akhirnya. Dia kemudian bangkit berdiri dan kembali ke set tempat wawancara akan berlanjut saat sutradara memberi isyarat kepadanya. Mia hanya mengamati dari jauh dan mengagumi betapa cepat Ranya mengubah ekspresi wajahnya saat disorot kamera. "Terkadang dia terlalu sulit untuk dimengerti bahkan oleh aku yang menjadi sahabatnya selama ini," gumam Mia pelan. "Ya itu benar." Mia menoleh. Sedikit terkejut karena dia tidak menyadari sejak kapan Beno tiba-tiba sudah berada di dekatnya. "Kau sudah kembali?" tanya Mia. Beno memberikan kunci mobil pribadi Ranya pada Mia. "Iya, dealernya tidak jauh dari sini. Mobil yang satunya lagi masih berada di bengkel setelah ada orang yang dengan sengaja mengotak-atik sambungan remnya. Kamera cctv tidak bisa menangkap dengan jelas wajah pelaku tapi aku sudah mengajukan komplen ke bagian keamanan apartemen," jelas Beno. "Eh, maksudmu kau disuruh beli mobil baru? Bukan mengambil mobil dari rumah?" Mia terkejut. Dia tahu siapa sebenarnya yang berada di belakang Ranya tapi dia tidak menyangka kalau Ranya benar-benar bisa semudah itu mengganti mobil kesayangannya dengan mobil baru. Selama ini Ranya tidak pernah mau mengganti mobil itu. "Iya. Tuan yang menyuruhku dan Nona Ranya bilang kalau dia suka mobil merah itu. Sudah dibayar dan aku hanya mengambilnya," jawab Beno. Mia tertegun sesaat. "Bukannya dia lebih suka warna putih?" tanya Mia lagi. Beno mengangkat bahu. Mia beralih menatap Ranya kembali dari kejauhan. Dia tidak mengerti kenapa Ranya kini mengganti preferensi warna mobilnya? Apa yang sebenarnya sedang direncanakannya saat ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD