S A T U

1649 Words
Krriiinng … Bunyi jam weker menunjukkan pukul 06.00 pagi. “Diraaa!” Teriakan mamanya dari lantai bawah. Ira yang mendengar teriakan mamanya bergegas membuka selimut yang menutupi wajahnya. “Oh, no!” ucapnya terkejut melihat ke arah jam weker dan beranjak turun dari tempat tidur. “Selamat pagi!” Ira terlihat senang sambil membuka tirai kamarnya dan tersenyum seraya menghirup udara pagi. Para pedagang sayur dan beberapa orang lainnya lalu-lalang di sekitar area kompleks perumahan yang dia tinggal. Sepuluh menit kemudian Ira keluar dari kamarnya dan berlari turun menuju ruang makan. “Pagi, Ma!” sapanya lembut. “Pagi juga, Sayang!” “Di mana ayah, tidak sarapan? tanyanya sambil melahap roti dan meminum s**u yang ada di meja seraya berdiri. “Makannya pelan-pelan, Sayang. Ayahmu masih di kamar lagi beres-beres berkasnya untuk meeting.” “Ira berangkat dulu, ya, Ma, soalnya takut terlambat” ucapnya dengan mencium punggung tangan mamanya. “Hati-hati, ya, Sayang!” Setelah sampai di sekolah, mata Ira terpana ketika memasuki gerbang sekolah SMA 105. Dia berjalan sambil melihat sekelilingnya. Banyak siswa yang juga mendaftar di sekolah itu. Ira terus berjalan dan melihat taman sekolah dan bangunan sekolah yang terlihat sangat indah dipandang. Ternyata rasanya begini, ya sudah jadi anak SMA, katanya dalam hati. “Helloo!“ ucap Ira dengan menjentikkan jemarinya pada gadis yang ada di hadapannya. “Ih … Ira bikin kaget saja,” balas Chacha, sahabatnya dengan wajah senang. “Kamu juga yang melamun sendiri, memangnya sedang melamun apa?” tanya Ira dengan menaruh tangannya di bahu Chacha. “Mau tahu saja!” jawabnya tersenyum. Teng... teng... teng… Bel berbunyi dan terlihat siswa-siswi berlarian kecil menuju lapangan sekolah. “Ayo, Ra!” Tarik Chacha memegang tangan Ira. “PERHATIAN .. untuk calon siswa baru segera berkumpul di lapangan!” pinta Kepala sekolah dengan menggunakan mikrofon. “Hari ini adalah hari pertama pembukaan MOS. Maka dengan ini saya buka dengan resmi!” ucap Kepala sekolah. “Hoooorrrreeee!” Sorakkan dari para murid baru. “Aduh, Ra, aku merasa gugup,” bisik Chacha pelan. “Bukan hanya kau saja, aku juga merasa gugup,” balas Ira. Mereka berdua berjalan melewati koridor sekolah dengan melihat-lihat sekeliling. “Hei, kalian!” Suara bariton seseoang dari belakang. Ira dan Chacha menghentikan langkah mereka, terlihat tegang di wajah mereka berdua. Dengan saling menatap, perlahan berbalik ke belakang dan melihat siapa yang memanggil mereka berdua. OMG! batin Ira dengan wajah tertegun melihat sosok cowok tampan di hadapan mereka. Chacha dengan bibir terangah dan mata yang melebar melihat takjub sosok yang seperti pangeran impian. Alay! Cowok itu dengan perlahan melangkah maju ke arah mereka seraya mengerutkan keningnya. “Mau ke mana kalian?” tanyanya sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. “Ya, ampun … Ira dia sangat tampan!” seru Chacha tanpa sadar, Ira lantas menyikut lengan Chacha. “Eh, maaf, Kak kami mau ke ruangan sebelah sana,” jawab Ira gugup sambil menunjuk ke ruangan yang mereka tuju tanpa melihat papan nama yang tertulis di atas pintu karena tidak tahu alasan apa yang harus dia jawab. Sebenarnya mereka mau jalan-jalan melihat-lihat sekolah setelah kabur waktu disuruh untuk masuk ke kelas. Cowok tampan itu langsung melihat ke arah yang ditunjuk Ira lalu menatapnya dalam-dalam. “Apa kau yakin kalian mau pergi ke sana?” tanyanya tampak serius. “I … iya, Kak kami memang mau pergi ke sana!” jawab Ira sedikit gugup. Dia belum juga melihat ke arah ruangan yang dia tunjuk. “Apa kau sudah tidak waras, mau masuk ke sana?” tanyanya lagi, nampak ia tersenyum kecil. “Kami masih waras, Kak. Kami memang mau ke sana ...,” jawab Ira yang mulai terlihat bingung. “Hmm!” Dia mendesah pelan sambil menatap wajah Ira dengan tegas. Ira dan Chacha saling menatap, Ira mulai mengerutkan keningnya yang tampak heran melihat wajah cowok yang berdiri di hadapan mereka. “Kenapa kami tidak boleh ke sana, memangnya itu ruangan .…” Ucapan Ira terhenti dan terkejut ketika berbalik ke belakang. “Toilet pria,” desis Chacha yang terkejut ketika membaca papan nama yang tertulis di atasnya. Ira terlihat malu dan panik sambil melihat kearah Chacha dengan wajah merah padam. “Silakan saja, tadi kalian mau masuk ke sana kan?” Sambung pria itu sambil bediri di samping Ira dan menatapnya dengan tersenyum kecil. “Maaf, Kak!” jawab Ira malu dan menarik tangan Chacha berlari menjauh. “HEI, KALIAN!“ teriaknya dengan raut tegas. Ira dan Chacha terus berlari tanpa menoleh ke belakang. “Dari mana saja kalian berdua?” tanya seorang senior cewek yang duduk di depan kelas dengan raut wajah tegas. “Toilet, Kak!” jawab Chacha pelan sambil duduk di bangkunya. “Hei, kau!” panggil senior cewek menunjuk kearah Ira. Ira seraya berdiri dan berjalan mendekati seniornya. “Ada apa, Kak?” tanya Ira dengan sedikit gugup. Senior cewek itu langsung berdiri dan memandang Ira dari kepala sampai kaki. “Kau, harus berteriak dengan keras dan mengatakan ke semua orang yang ada di sini kalau kau itu sangat JELEK di antara semuanya dan tadi tidak mandi pagi karena takut terlambat, sehingga kucing pun muntah karena mencium aroma tak sedap dari badanmu,” bisiknya dengan tersenyum kecil. Ira menatapnya lemas dan melihat kearah teman-teman yang ada di hadapannya. Dengan perasaan tidak karuan, Ira menoleh lagi ke arah seniornya. “TUNGGU APALAGI? SEKARANG!!!” teriak seniornya mulai marah. Dengan wajah yang memerah karena malu, Ira mengambil napas panjang lalu Ira mengangkat wajahnya dan memandang sejenak wajah teman-teman yang melihat ke arahnya. “Aku … adalah cewek yang paling jelek di antara semuanya yang ada di sini.” Ira berhenti sejenak untuk mengambil napas lantas menunduk. “ULANGI!” sentak seniornya lagi. Dari kejauhan tampak seseorang yang mendengar keributan, dia berjalan mendekati kearah sumber suara yang terdengar dari luar. Dia berdiri di balik jendela. “AKU ADALAH CEWEK YANG PALING JELEK DI ANTARA SEMUANYA YANG ADA DI SINI DAN TADI PAGI TIDAK MANDI SAAT HENDAK KE SEKOLAH KARENA TAKUT TERLAMBAT,” teriak Ira. Orang yang melihat di balik jendela, mendekat dan berdiri di depan kelas. “Ulangi lagi aku belum jelas mendengarnya,” kata senior cewek yang berdiri di belakang Ira. Ira mendesah pelan, satu tangannya mengepal mencoba menghalau rasa gugup dan malu. Mereka benar-benar menguji mental gue atau emang sengaja malu-maluin gue di depan sini, batin Ira mulai kesal. “AKU ADALAH CEWEK YANG PALING JELEK DI ANTARA SEMUANYA YANG ADA DI SINI DAN TADI PAGI TIDAK MANDI SAAT HENDAK KE SEKOLAH KARENA TAKUT TERLAMBAT,” teriak Ira lagi. Kali ini dia lebih mengeraskan volume suaranya. “Bahkan kucing pun muntah karena mencium aroma tak sedap dari diriku,” sambungnya pelan dengan wajah yang sangat malu. Hening … suasana mendadak tenang. Tidak ada yang berani membuka suara. Chacha bahkan menelungkupkan wajahnya di meja. dia juga merasa kesal pada kakak kelas yang mengerjai Ira. “Hahahaha!” Tiba-tiba seseorang tergelak karena mendengar teriakan Ira. Ira yang terkejut menoleh kearah sampingnya. Dia mendadak membeku karena orang yang menertawakannya adalah senior pria yang tadi menegurnya dengan Chacha. Chacha yang melihatnya langsung menutupi wajahnya dengan tangan. Para senior cewek yang ada di dalam ruang kelas pun ikut tertawa. “Wah, Kak ketua OSIS, silakan duduk,” sambut senior cewek yang mengerjai Ira. Dia ketua OSIS? batin Ira kaget. Dia melihat ke arahnya lalu berjalan mendekat ke arah Ira dengan kedua tangan yang ia masukkan dalam saku celana. Sudah menjadi kebiasannya. “Kau ini lucu sekali,” katanya dengan sudut bibir sedikit terangkat. “Dan kau juga Rahmi, jangan keterlaluan! Kenapa menyuruhnya mengatakan hal itu?!” ujarnya. Tatapannya menyorot dingin membuat Ira tidak berani mengangkat wajah. “Ah, Kak Rangga bisa saja. Setidaknya kan bisa sedikit meriahkan suasana di sini, habisnya mereka semua terlihat tegang,” sahut Rahmi yang kemudian mencubit gemas pipi Ira. Hiburan, katanya! Ira tertawa miris dalam hati. “Oh ya! Kau benar-benar tidak mandi tadi? Pantas saja, tadi dia dengan temannya ingin masuk ke toilet—” Ucapannya terhenti karena melihat Ira menatapnya tajam. Rangga menyeringai tipis, dan tidak melanjutkan ucapannya. Chacha yang mendengar ucapan Rangga pura-pura menjatuhkan pena dan menunduk dibawah meja karena ingin menyembunyikan wajahnya jangan sampai Rangga melihatnya juga. Bel istirahat menggema, Ira mendesah lega dan bergegas ke tempat duduknya. Rangga menoleh sekilas ke arah Ira dan langsung pergi. “Oke, kalian semua boleh istirahat!” kata salah seorang senior dan beranjak ke luar. Ira masih tampak kesal sambil meremas-remas jemarinya. Chacha hanya berusaha menenangkannya. “Hei, Adira! Memangnya benar, ya, kau tidak mandi waktu berangkat ke sekolah hari ini?” tanya salah satu teman laki-laki yang niatnya meledek Ira. “DIAM KAU, RIKO!” sentak Chacha marah. Riko kemudian pergi dengan tersenyum bersama teman-temannya. Chacha mengajak Ira menuju kantin. “Mbak, teh botolnya dua, ya!” ucap Chacha dengan semangat. “Ra, kau bawa ini dulu ke meja. Aku mau pesan makan dulu.” Dengan perasaan yang masih kesal Ira membawa teh botol yang sudah dibuka tutupnya dan bergegas menuju tempat duduk. BRUK! PCIS! Ira tidak sengaja menabrak seseorang yang ada di hadapannya karena berjalan menunduk dan Ira menumpahkan teh di pakaian seragam orang itu. “Astaga, kau!?” ucap seorang cowok dan terkejut melihat kearah Ira. Pandangan mereka bertemu sesaat. Ternyata Rangga yang ada di hadapannya. Rangga mengalihkan pandangannya, dia melihat seragamnya lalu menatap kesal pada Ira. “Maaf, Kak! Aku tidak sengaja,” ucap Ira pelan. “Apa kau tidak lihat yang sudah kau lakukan, bahkan minumannya pun harus tertumpah di sini,” katanya marah sambil melihat arah tumpahan teh sampai ke tengah celananya. “Kalau jalan itu gunakan matamu bukan hanya kakimu.” Rangga langsung pergi meninggalkan kantin. Ira hanya terdiam lemas dan tidak tahu harus berkata apa. “Sudahlah Ra, lagian kau juga tidak sengaja 'kan.” Chacha berusaha menghibur dengan melingkari tangannya di bahu Ira. Dengan kesal Ira membuang sisa teh botol yang dipegangnya ke tempat sampah dan berlari keluar. “Ira, mau ke mana?” kata Chacha yang ingin mengejarnya tapi langkahnya terhenti karena mengingat belum membayar minumannya. Ira tampak menangis. Dia duduk di taman seorang diri. Dia mengingat kejadian tadi yang membuatnya malu dan begitu kesal ditambah lagi Rangga yang memarahinya di depan banyak orang tadi. “TUHAN … KENAPA HARI INI AKU BEGITU SIAL?!” Ira berteriak kesal. Chacha yang sejak tadi mencari Ira melihatnya berkomat-kamit dari kejauhan dan langsung datang menghampirinya. “Sudahlah Ra, Tidak perlu dipikirkan. Kak Rangga itu sangat menjengkelkan. Kau juga sudah minta maaf karena tidak sengaja menabraknya,” ujar Chacha sambil memeluk sahabatnya itu. “Semoga aja tidak bertemu lagi dengannya!” “Impossible, Ra. Kita kan satu sekolah,” Ira tidak menanggapi, dia mengatup kedua tangannya di pipi dengan kesal. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD