Chapter 2

1724 Words
Aldebaran Leovard Deansha. Seorang pria berusia 27 tahun yang masih setia dengan profesinya sebagai Freelance Interpreter. Ia hanya menerima tawaran sebagai Interpreter dalam pada acara tertentu dan hanya pada orang tertentu. Bukan karena ia merasa derajatnya tinggi, melainkan karena ia tak mau menghabiskan waktunya dengan sia-sia. Saat tak memiliki pekerjaan, Aldebaran akan menghabiskan waktu berburu foto. Ia pun telah berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain. Dari negara satu ke negara yang lain. Boston, San Fransisco, Swiss, Norwegia, Texas, Florida, Austria, Alaska, Belanda, dan negara lain yang berada di Eropa dan Amerika telah hampir ia jelajahi semua dalam tiga tahun terakhir. Bisa dibilang, ia hanya menetap di satu kota hanya dalam satu sampai dua bulan. Hingga kini ia berakhir di Washington beberapa hari yang lalu. Dan itu semua ia lakukan hanya demi satu tujuan. Yaitu, untuk melupakan cinta pertamanya yang kini telah menikah dan memiliki seorang putra. Aldebaran pun tak tahu dengan jelas apakah perasaannya masih sama seperti 7 tahun yang lalu pada wanita itu atau tidak. Tapi yang jelas, ia masih belum bisa membuka hatinya untuk wanita lain. Saat ini, Aldebaran tengah mengarahkan kameranya pada dua ekor angsa yang tengah berenang di atas danau dengan saling berhadapan hingga jarak di antara keduanya terlihat seperti bentuk love. Ditambah matahari yang telah terbenam di Barat sana menambah yang sangat indah. Aldebaran pun tak ingin kehilangan momen yang sangat indah tersebut. Setelah mengambil beberapa gambar kedua angsa tersebut, Aldebaran mengecek hasil fotonya. Dan ya, hasilnya sama sekali tak mengecewakan seperti biasa. Sejauh ini, ia telah mengoleksi ribuan foto dari berbagai negara yang ia simpan dengan aman di studionya. Karena, foto yang ia ambil bukan hanya foto pemandangan alam yang indah atau sejenisnya. Melainkan apa pun yang terlihat indah di matanya. Seperti foto dokumenter, jurnalistik, vernacular, dan lain-lain. “Belilah ini,” ujar seorang gadis kecil yang tiba-tiba menghampiri Aldebaran seraya menyodorkan setangkai bunga mawar dari sekian banyak tangkai bunga mawar di keranjang yang ia bawa. Aldebaran lantas tersenyum melihat gadis kecil itu. Ia lalu berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka. “Siapa namamu?” tanya Aldebaran. “Eliana,” jawab gadis kecil bernama Eliana tersebut. “Berapa usiamu Eliana?” tanya Aldebaran. “7 tahun,” jawab Eliana singkat. “Di mana Ibu dan Ayahmu?” tanya Aldebaran lagi. “Daddy sudah pergi ke surga. Mommy juga berjualan bunga di sana,” jawab Eliana seraya menunjuk seorang wanita berusia 30 tahunan yang juga tengah membawa sekeranjang bunga mawar untuk dijual. “Lalu, berapa harga setangkai bunga mawar ini?” tanya Aldebaran menoleh kembali pada Eliana. “2 dolar,” jawab Eliana. “Baiklah. Kalau begitu, aku beli lima tangkai,” ucap Aldebaran seraya mengeluarkan uang sebesar 10 dolar dari saku jaketnya. Aldebaran pun memberikan uang tersebut pada Eliana. Begitu pula dengan Eliana yang memberikan lima tangkai bunga mawar pada Aldebaran. “Ini,” ujar Aldebaran seraya memberikan lima tangkai bunga mawar yang tadi ia beli pada Eliana membuat gadis kecil itu tampak bingung. “Kau membelinya dariku, tapi kenapa kau memberinya padaku lagi? Apa kau tidak suka dengan bunganya?” tanya Eliana. “Aku membeli ini untukmu,” jawab Aldebaran. “Bunga yang cantik hanya diberikan pada gadis yang cantik sepertimu,” lanjutnya seraya tersenyum. Dan akibat dari ucapannya tersebut, pipi Eliana sukses merona membuat Aldebaran semakin melebarkan senyumnya. Ia tak menyangka kalau gadis sekecil Eliana bisa merona hanya karena ucapannya. Sangat lucu di matanya. “Terima kasih,” ucap Eliana sembari mengambil bunga yang Aldebaran kemudian segera berlari dari sana karena malu hingga membuat Aldebaran terkekeh. “Apa aku baru saja menggoda seorang gadis kecil?” gumam Aldebaran merasa geli sendiri. Ia lalu berdiri kemudian beranjak dari sana. ------- “Kau sudah pulang?” tanya seorang gadis berusia 17 tahun yang tinggal di samping apartemen Aldebaran. Gadis itu bernama Maria Darcy. Gadis yang baru ia kenal dua hari yang lalu. “Ya,” jawab Aldebaran seadanya. “Sayang sekali, aku harus pergi saat kau pulang. Padahal aku ingin menemanimu di dalam sana,” ujar Maria. “Kau bisa melakukannya lain kali,” ucap Aldebaran yang membuat Maria berseru gembira. “Baiklah. Aku akan langsung ke apartemen-mu saat pulang nanti. Aku pergi dulu,” pamit Maria kemudian bergegas pergi dari sana seraya melambaikan tangan pada Aldebaran dari belakang. Sebenarnya, Aldebaran bukan tipe orang yang akan mengundang sembarang orang masuk ke apartemen-nya. Tapi, karena melihat Maria yang hanya berusaha untuk memiliki teman, Aldebaran tak kuasa menolak gadis yang berusaha mendekatinya dua hari yang lalu itu. Setelah kepergian Maria, Aldebaran pun masuk ke dalam apartemennya. Apartemen yang tak terlalu besar, tapi juga tak terlalu kecil. Sangat cocok untuknya yang tinggal seorang diri. Aldebaran lalu meletakkan tasnya di atas sofa kemudian mendudukkan dirinya di samping tasnya sembari memeriksa hasil foto yang berhasil ia abadikan hari ini. Senyumnya terukir saat melihat semua hasil jepretan sangat sempurna. Tring... Tring... Tring... Perhatian Aldebaran teralihkan saat ponselnya berbunyi. Ia pun mengambil ponselnya yang berada di dalam saku jaketnya lalu langsung menjawab panggilan tersebut saat melihat nama yang ia kenal tertera di sana. “Halo,” sapa Aldebaran. “Halo. Kau di mana?” tanya pria yang berada di seberang sana. “Di apartemen,” jawab Aldebaran. “Empat hari lagi, ada pejabat dari Indonesia yang akan pergi ke Washington. Apa kau bisa menemaninya?” tanya pria tersebut. “Siapa?” tanya Aldebaran. “Pak Ali Dermawan, kau mengenalnya, ‘kan?” tanya pria itu balik. “Ya,” jawab Aldebaran. “Baiklah. Aku akan segera mengirim alamat pertemuan dan jamnya padamu,” ucap pria tersebut kemudian langsung memutuskan sambungan teleponnya. Tak lama setelah sambungan telepon terputus, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Aldebaran. Dan pengirimnya berasal dari pria tadi yang memberitahunya alamat pertemuan serta jam pertemuan tersebut sesuai ucapannya tadi. Aldebaran meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian lanjut memeriksa foto-fotonya. Setelah selesai memeriksa semuanya, ia pun beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya karena malam ini ia akan pergi ke studionya untuk mencetak foto-foto yang ia ambil sore tadi. Seusai mandi, tanpa mengenakan baju dan hanya mengenakan celana pendek, Aldebaran berjalan ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Memanaskan teflon yang berisi sedikit minyak, setelah minyaknya cukup panas, ia memasukkan beberapa potong bacon lalu memanggangnya. Tak hanya itu, ia juga menambahkan sedikit bumbu penyedap ras di atas bacon agar rasanya lebih nikmat. Setelah merasa cukup matang, Aldebaran mengangkat bacon tersebut lalu meletakkannya di atas piring. Seusai memanggang bacon-nya, Aldebaran kembali melangkah menuju tempat rice cooker-nya berada. Seperti yang kalian tahu, orang Indonesia merasa tak lengkap jika makan tanpa nasi. Bagaikan sayur tanpa garam. Setelah menyiapkan makanannya, Aldebaran pun mulai menyantap makan malamnya dalam keheningan. Di saat giginya sibuk mengunyah makanan, otaknya justru sibuk memikirkan wanita yang berada di sisi lain benua yang ia pijaki saat ini. Di saat wanita itu sudah hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, ia di sini masih berusaha untuk bisa move on dari wanita itu. Sangat miris. Terkadang Aldebaran menertawakan hidupnya yang terlihat sangat menyedihkan ini. Meski begitu, ia tak pernah menyesal karena telah melepaskan wanita itu. Hidup bahagia bersama orang yang kita cintai memang indah. Tapi, merelakan orang yang kita cintai agar bisa bahagia bersama pilihannya sangatlah epik. Walau rasanya sangat menyakitkan. Di tengah keheningan itu pula, Aldebaran bertanya-tanya pada dirinya. Sampai kapan ia harus hidup seperti ini? Sampai kapan ia akan mengekang wanita itu di hatinya? Karena pada akhirnya, ia harus bisa untuk benar-benar merelakannya. Tring... Tring... Tring... Ponselnya yang berbunyi membuyarkan lamunan Aldebaran. Ia lalu beranjak dari duduknya untuk meraih ponsel yang berada di atas meja ruang tamunya. Setelahnya, ia langsung menjawab panggilan yang berasal dari Ansel tersebut. Temannya yang berada di Indonesia. “Halo,” sapa Aldebaran sembari berjalan kembali menuju meja makan. “Halo. Kau sedang apa?” tanya Ansel. “Makan malam,” jawab Aldebaran. “Kalau begitu sama. Aku juga sedang sarapan,” ujar Ansel. “Al, kapan kau akan kembali ke Indonesia?” tanyanya membuat Aldebaran terdiam sejenak. “Entahlah, aku juga tidak tahu. Masih banyak yang harus kulakukan di sini,” jawab Aldebaran. “Memangnya apa yang kau lakukan di sana? Apa sangat penting sampai kau membuang temanmu seperti ini?” tanya Ansel. “Siapa yang membuangmu?” tanya Aldebaran balik. “Kau. Sejak kau mengantarku pulang malam itu, kau langsung menghilang begitu saja. Dan tahu-tahu sudah berada di Eropa. Kutebak, kau masih berada di Austria,” ujar Ansel. “Sekarang aku berada di Washington,” bantah Aldebaran. “Lihat? Kau pindah lagi tanpa memberitahuku,” omel Ansel. “Maaf, aku sibuk belakangan ini,” ucap Aldebaran berbohong. Padahal yang ia lakukan hanya berburu foto. “Dasar pembohong,” dengus Ansel. “Untung saja aku bukan pacarmu. Kalau aku pacarmu, mungkin aku sudah mati curiga aku setiap hari,” gerutunya membuat Aldebaran terkekeh. “Kalau kau adalah pacarku, kau tidak mungkin mati seperti itu. Karena aku tidak akan pernah meninggalkan pacarku,” ujar Aldebaran. “Jadi, apa aku harus jadi pacarmu agar kau mau kembali ke Indonesia?” tanya Ansel. “Andai kau seorang wanita, mungkin iya,” jawab Aldebaran. “Aku sudah operasi jenis kelamin kemarin,” gurau Ansel membuat Aldebaran tersedak makanannya. Ansel lantas tertawa terbahak-bahak dengan respons Aldebaran. “Kau ... kau benar-benar-” “Ya, ampun. Aku hanya bercanda. Kenapa kau serius sekali?” potong Ansel membuat Aldebaran menghela napas lega. Tak lama kemudian, ia mendengar Ansel menggerutu. “Astaga naga! Pria tua ini benar-benar. Sudah kubilang kalau aku sedang sarapan dan akan ke sana dua puluh menit lagi, tapi dia terus menghubungiku,” gerutu Ansel. “Makanya, cepatlah sarapan sebelum Pak Olif mendatangi apartemen-mu,” ujar Aldebaran. “Kalau dia sampai datang ke sini, aku kupotong satu-satunya harta berharganya itu,” kecam Ansel membuat Aldebaran terkekeh. “Kalau begitu sudah dulu, ya. Aku benar-benar bisa gila kalau dia terus menerorku seperti ini,” pamitnya. “Baiklah. Hati-hati saat kau berkendara nanti,” ucap Aldebaran yang hanya dibalas gumaman oleh Ansel kemudian memutuskan sambungan teleponnya. Setelah sambungan teleponnya terputus, suasana apartemen Aldebaran kembali menjadi hening seperti sebelumnya. Ia pun segera menghabiskan makanannya yang masih tersisa setengah itu. Seusai makan, Aldebaran segera bersiap-siap untuk pergi ke studionya. Sebelum pergi, ia menyempatkan untuk menulis sebuah memo lalu menempelkannya di depan pintu apartemen-nya. Sebuah memo yang berisi, ‘Aku sedang pergi. Kau bisa datang besok pagi kalau mau –Aldebaran-’. Pesan yang ia tujukan untuk Maria. Setelahnya, barulah Aldebaran pergi ke studionya. ------- Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD