Bimbang

1029 Words
Ayu menatap jengah ibunya yang tengah kerepotan memilih gaun yang akan dikenakan Ayu saat acara pernikahannya nanti, meskipun begitu wajah Ayu tampak tak bersemangat, loyo, dan penuh kebosanan. Pikirannya berkecamuk seolah ingin pergi keluar dan menikmati secangkir kopi di kedai kopi depan butik ini, namun lagi-lagi Ayu tak akan pernah bisa menentang ibunya. "Ma gausah yang mewah-mewah napa gaunnya, ribet!" protes Ayu saat melihat ibunya tengah menengok satu gaun bertabur mutiara dengan belahan d**a rendah dan rok menjuntai panjang. "Ini bagus tau Yu!" balas Ibunya tak mau kalah. "Ayu pake cuma sekali Ma! Lagian bayangin kalo Ayu pake itu seharian besoknya gabisa berdiri Ayu Ma!" "Ya kamu maunya yang kayak mana? Dari tadi duduk aja gada inisiatif bantu, dikira Mama kali yang mau nikah!" omel ibunya sambil berkacak pinggang menghadap Ayu. Ayu akhirnya berdiri, menghampiri ibunya yang berada ditengah-tengah butik dengan dikelilingi oleh gaun-gaun indah pernikahan. Ayu meneliti satu per satu gaun tersebut, mencoba mencari gaun yang paling mungkin ia pakai dan tak menyusahkan saat ia kenakan. "Itu!" tunjuknya pada satu gaun indah meski tak bertabur mutiara, Ayu menyukai desain simple yang dipadukan oleh sang perancang pada semua bagian rok yang jatuh indah. Ayu berbinar menatap gaun tersebut, seengaknya ia memiliki sedikit penghibur dengan memilih gaunnya sendiri di acara yang tak pernah ia inginkan. "Cepet kamu cobain, abis ini kita ke toko kain." Ayu mengangguk pasrah dan masuk ke dalam ruang ganti, tak ada yang spesial sebenarnya hanya saja Ayu menyukai bagaimana tangan kreatif desainer yang memberikan bordir indah mengelilingi gaun ini. Dan tentu saja gaun itu sangat cocok pada tubuh Ayu. Ia putar badannya, mencoba melihat keseluruhan tubuh didalam cermin. "Bima katanya kesini nanti abis kerja, gak papakan kamu fitting baju sendiri?" "Gak papa." Itu malah berita bagus, tak ada orang yang menganggap kenyamanannya hari ini. Karena menurut Ayu, melihat wajah Bima saja membuat dirinya hilang mood seharian. Ayu memberikan beberapa intrupsi untuk gaun yang ia pilih agar sang desainer mengetahui bagian mana yang menurut Ayu kurang ia sukai saat ia pakai. Setelah mereka berdua berjalan menuju toko kain guna membeli kain sebagai dress code saat pernikahan Ayu. "Yu besok kan weekend, kamu ikut Mama buat spa ya!" ucap ibunya enteng sambil matanya terus menatap layar ponsel. Mereka tengah dalam perjalanan, Ayu yang tengah menyetir memijit pelipisnya. Padahal jelas-jelas ia mengambil cuti tiga hari ini untuk menyelesaikan apa yang ibunya pinta, supaya di saat weekend Ayu tetap bisa menjalani rutinitas tidurnya. Iya, tidur seharian penuh dan ketika malam begadang untuk maraton drama Korea. Penikahan diadakan satu bulan lagi, sungguh sangat mendadak dan terkesan terburu-buru. Bukan karena faktor apapun, ini hanya permintaan dari Ayah Bima yang mau segera mendapatkan cucu. Jangankan cucu, keakuran keduanya saja sungguh sangat mustahil. Ayu menghentikan mobilnya saat sampai di depan toko kain, kata Ibunya untuk kain Ayu sendiri yang pilih supaya bisa disesuaikan dengan yang diinginkan Ayu. Namun karena Ayu tak pernah berniat untuk menikah, ia tetap menyuruh ibunya yang memilih. Sedangkan dirinya menunggu sambil bermain ponsel. Oh ya! Ayu sudah bekerja, dia seorang Dokter di salah satu rumah sakit di kotanya. Namun dibalik itu keluarganya sendiri sudah berkecukupan dan makmur. Ayahnya memiliki ladang luas yang tiap tahunnya menghasilkan sayur-sayuran yang akan dikirim ke penjuru negara. Pengusaha sawit sukses pula. Sedangkan Bima sekarang memegang kedudukan seorang hakim, sudah lebih dari kata tercukupi. Kehidupan Bima terkesan glamour, hal yang sedikit mencubit diri Ayu. Bahkan gadis itu juga mendengar jika Bima telah memiliki kekasih. Banyak hal yang Ayu ingin bicarakan dengan Bima sebenarnya, namun di banyak kesempatan mungkin mereka tak harus bertemu terlebih dahulu. Setidaknya menghindari pertengkaran receh yang akan terjadi jika mereka bersama. ××× "Hallo? Ayu, lo mau nikah kenapa mendadak banget dah?!" Satu suara melengking membuyarkan ketenangan Ayu saat menikmati coklat hangat dimalam hari ini, sungguh telinganya berdengung. Ayu menjauhkan ponselnya, menatap sosok yang tersambung dengan sambungan telepon tersebut. Bianca —sahabatnya— yang sudah lama tak ada kabar karena tengah berada jauh dari Ayu, Bian seorang relawan tentu saja ia akan sering berada dalam pedalaman yang tak ada sedikit pun sinyal untuk mendukung perempuan itu berkabar dengan dirinya. Maka melihat Bian menghubunginya terlebih dahulu seperti ini, harus Ayu apresiasi. Perjuangannya tak semudah itu. "Apa sih, Bian. Lo nelepon gue cuma gara-gara itu?" balas Ayu santai saja, setelah memastikannya Bian tak akan berteriak lagi. "Lo mau nikah anjirrr! Cuma itu, cuma itu!" "Iya mau nikah gue, dijodohin." "Hah?! Siti Nurbaya ya lo? Hahahah..." "Lo mending bahas yang lain aja deh, males gue lo bahas yang itu." "Ck lo mah biasaan. Nanti ya gue pulang, seminggu lagi biar bisa nemenin elu." "Iya. Eh lo sekarang lagi di mana emang?" Sudah Ayu bilang kan jika dirinya malas membahas hal yang menyangkut dengan pernikahannya itu. Maka dengan mudah dirinya mencari topik lain untuk dibicarakan dengan Bianca. "Lagi di Lombok, bagus di sini pemandangannya. Nanti lo coba deh honeymoon di sini." "Ogah!" "Bagus tau pemandangannya, rugi lo gak ke sini!" "Ogah honeymoon maksudnya, kalo ke sana mah nanti kalo gue ada jatah cuti deh," ucap Ayu membenarkan maksudnya tadi. "Lo gimana deh? Emang abis nikah gak ada cuti ya?" Tampaknya Bian masih tak mengerti jika Ayu sebenarnya tak setuju dengan perjodohan ini. "Duh, Bii! Gue tuh males kalo lo bahas nikah-nikah mulu! Jangan dibahas terus." "Hah? Yaudah deh terserah. Pokoknya nanti gue pulang seminggu lagi ya! Udah gue mau balik lagi, susah cari sinyal di sini. Di tempat gue gak ada sama sekali masa ...." "Yaudah deh, hati-hati ya." "Okey!" Sambungan telepon terputus, menyisakan keheningan malam lagi. Coklat hangat yang tadi Ayu seduh juga sudah dingin. Ayu menghela napas, menatap keluar pintu rumahnya. Dapat ia lihat langit sedang cerah malam ini, bintang-bintang nampak jelas bertaburan di atas sana mengelilingi bulan purnama. Ah ... Ayu lupa tak memberitahu Bianca siapa calon suaminya, bisa Ayu tebak pasti sahabatnya itu akan terkejut dan menambah dengungan di telinga Ayu tadi. Karena Bianca adalah saksi bagaimana hubungan mereka sebelum akhirnya berpisah dulu. Harusnya Ayu tak melupakan hal itu tadi, tapi ya sudahlah. Gua gak ada kesempatan buat nolak sama sekali. Malam semakin larut, Ayu sudah masuk kembali ke dalam kamarnya. Meninggalkan segelas coklat dingin yang tersisa setengah gelas. Perempuan itu sudah malas untuk sekedar menghabiskan, sensasinya tentu sudah berbeda jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD