Tanda Tangan Kontrak

1366 Words
Satu gelas teh hangat menyita perhatian Ayu, matanya terfokus pada kepulan asap kecil dari dalam cangkir. Gadis itu tengah menunggu kedatangan Bima, lelaki itu meminta bertemu dengan Ayu , entah apa yang lelaki itu inginkan. Lagipula Ayu juga ingin melampiaskan banyak protes pada Bima karena tak banyak usaha untuk membatalkan perjodohan yang orang tua mereka adakan. Ayu terkesan tak pernah berkomunikasi apapun pada calon suaminya itu, mereka bahkan tak memiliki nomor kontak ponsel satu sama lain. Saat beberapa kali pertemuan di satu kesempatan pun mereka terkesan enggan untuk berinteraksi satau sama lain. Masih ada dinding tinggi yang menahan ego mereka untuk tetap menolak perjodohan ini. Satu cangkir teh tak tersentuh sejak disajikan, sudah beberapa hari kebelakang Ayu kehilangan selera makan sedikit banyak terlihat dari pipinya yang mulai menirus. Ayu pasrah saja, bukannya itu bagus? Tak ada alasan Ayu mengukur ulang gaun pengantinnya. Pun tak ada yang menyadari turunnya berat badan Ayu, semua sibuk dengan urusan masing-masing apalagi Ibunya. "Maaf, Yu, telat." Suara seorang lelaki membuat Ayu beralih menatap ke depan, tampak Bima menarik kursi didepan Ayu ingin duduk berhadapan langsung. Namun atensi lain membuat Ayu keheranan, sosok wanita mengikuti Bima dari belakang mengambil duduk tepat di samping Bima dengan wajah sinis menatap lekat ke arah Ayu. Ayu mengabaikan wanita itu, kembali fokus pada Bima yang meminta dirinya datang hari ini. Lagian apa pula ia membawa kekasihnya saat akan bertemu dengan Ayu, Bima sama saja menabuh genderang perang antara Ayu dengan Kekasihnya sendiri. "Ada apa?" tanya Ayu tho the point, tak ingin berlama-lama dalam situasi seperti ini. "Gini Yu, kita sama-sama tau kalo gak bakal bisa nolak perjodohan ini ..." Bima berhenti, kembali membenahi duduknya terkesan sukar untuk mengatakan hal selanjutnya. "Jadi kalian bikin aja perjanjian, nikah kontrak!" sahut wanita di samping Bima, masih dengan wajah sinis nya. Ayu mengerutkan kening. Hey? Itu artinya mereka mempermainkan sebuah ikatan sakral. Tapi jika Ayu pikir lagi tak ada alasan apapun ia bertahan dengan Bima jika lelaki itu saja meminta adanya perpisahan setelahnya. Ayu menatap wanita di samping Bima, merasa mengenali wanita tersebut. "Gimana Yu?" pertanyaan Bima menganggu konsentrasi Ayu meneliti lagi wajah kekasihnya. "Emang berapa lama yang lu mau?" "Dua tahun," Bima menjawab tegas. "Ada perjanjian tambahan gak?" "Lahirin satu anak, sekedar ngasih orang tua kita cucu." "Gila lu ya? Lu mau gue jadi janda anak satu?" Ayu tak terima, dia bukan mesin penghasil keturunan. "Itu kalo lu mau kok, kalo gak yaudah gausah." Bima meralat perkataannya, tampak takut melihat perubahan raut wajah Ayu. "Gue pikirin dululah, asal lu nikah tuh gak bisa lu buat mainan." Ayu sudah muak, ia berdiri dan menyahut tas selempangnya berjalan keluar Cafe meninggalkan Bima dan kekasihnya. Pikirnya percuma ia lelaki tapi bisa dengan mudah diatur seenaknya dengan wanita, harusnya ia punya pendirian. Dasar! Ayu masuk ke dalam mobil berhenti sejenak sekedar melamun, memikirkan jalan apa yang harus ia ambil. Alasan terbesar Ayu menerima permintaan orang tuanya adalah ingin menjadi anak yang patuh meski didera kegelisahan dan terkesan acuh tak acuh, kalaupun disuruh menolak ia sudah melakukannya sejak awal tapi usaha itu tetap sia-sia. Satu-satunya pilihan Ayu adalah pasrah, mengikuti apa yang kedua orangtuanya inginkan. Ayu menatap lalu lalang kendaraan menjelajahi jalanan, pikirannya rumit. Apa yang harus ia lakukan? ××× Pada akhirnya Ayu menyerah, mengikuti saran Bima untuk menandatangani kontrak pernikahan mereka. Hanya dua tahun, cukup singkat jika ia lalui dengan banyak bekerja. Mereka memang akan tinggal berdua dirumah yang Bima sudah beli, tapi Ayu yakin bisa mengabaikan keberadaan Bima meskipun mereka di satu atap yang sama. "Bim, gue juga ada aturan buat lu." Ayu berucap setelah membubuhkan tanda tangan. Bersandar pada kursi dan melipat tangannya. "Jangan bawa cewek kemarin atau cewek manapun kalo lagi ada gue, entah itu diluar rumah atau di rumah. Gue cuma gak mau dicap remeh karna ngebiarin lu gandeng cewek lain yang jelas-jelas ada gue di tempat itu." Bima terdiam sejenak, menatap lekat ke arah Ayu seolah mencari keraguan disana. Sebenarnya lelaki itu juga tau semua yang ia lakukan melanggar peraturan, tapi mau bagaimana lagi? Dia tak mencintaimu Ayu dan jelas-jelas ia memiliki kekasih. "Namanya Mitha, lain kali gue gak bakal bawa dia terang-terangan setelah kita nikah," jawab Bima pelan, ia memang harus menyesuaikan diri untuk dua tahun ke depan. Ayu mengangguk, mengambil lemon tea pesanannya dan meminumnya dari sedotan. Matanya beralih meneliti setiap jengkal cafe yang mereka singgahi, cafe dekat kantor Bima yang tentu saja tak pernah Ayu kunjungi. Kantor Bima berada tepat ditengah kota dengan kepadatan kendaraan yang cukup menyita waktu para pekerja jika sedang macet, sedangkan kantor Ayu terletak jauh sebelum wilayah ini. "Lu kurusan, Yu!" Ayu kembali menoleh ke arah Bima, ia sedikit kaget karena lelaki didepannya memperhatikan dirinya dengan baik yang bahkan ibunya pun tak menyadarinya. "Enggak biasa aja tuh!" Ayu berusaha mengelak. "Pipi lo tirusan, lu ga pernah makan ya? Apa butik yang nyuruh buat diet?" "Enggak, gue emang lagi hectic aja kebanyakan lebur mau ambil cuti lama. Jadi ya.. lu taulah orang yang dikejar deadline." Ayu mengangkat bahu, seolah tak ada masalah apapun pada dirinya. "Tau gitu lu harusnya makan teratur dong, kalo lu sakit malah semua orang jadi repot." Bima ikut meminum es kopinya, pandangannya tak lepas dari sosok Ayu. "Yang penting gak ngerepotin elu!" jawab Ayu asal. "Malahan gue yang paling repot, kita mau nikah dan tanggung jawab penuh pastinya ada di kita. Kalo lu sakit otomatis gue yang harus kesana kemari ngurusin semua-muanya, lagi kalo lu sakit abis nikah tetep gue yang harus ngerawat karena elu pasti tinggal sama gue," jelas Bima panjang lebar. "Iyalah-iyalah ...." Siang itu mereka berpisah setelah jam istirahat selesai, Bima sebenarnya menawarkan diri untuk mengantar tapi Ayu tolak dengan berkata ia telah memesan ojek online. Tak ada maksud apapun dalam penolakannya, Ayu hanya sedikit ingin menjaga batas diantara mereka. Dijalan Ayu hanya bisa merenung, banyak pemberontak dalam dirinya atas apa yang audah ia setujui. Mau itu sesuatu yang baik untuk mereka, tetap saja itu melanggar aturan. Bagaimana jika orang tuanya tau? Pasti mereka akan kecewa dengan sangat pada Ayu. Tapi lagi-lagi itu konsekuensinya, dilain sisi juga Ayu tak mau merusak kebahagiaan kekasih Bima. Bahkan ketika wanita itu tau Bima akan menikah bukan dengan dirinya saja pasti hati kecil Mitha tercabik-cabik. Sebuah keajaiban Mitha tak langsung menjambak Ayu saat pertemuan kemarin. Mengingat Mitha, Ayu jadi teringat sesuatu. Sosok wanita itu tak asing bagi Ayu, tapi dirinya juga tak mengenal Mitha. Ayu hanya merasa jika mereka pernah bertemu sebelum pertemuannya kemarin. Seharusnya ia bertanya pada Bima, namun apa hak dia mempertanyakan itu pada Bima? "Udah sampe, Neng!" Seruan tukang ojek membubarkan lamunan Ayu, dengan segera gadis itu turun dari motor dan melepas helm yang ia kenakan. Memberi uang pada tukang ojek dan segera masuk ke dalam kantor. "Dari mana, Yu?" Ayu langsung disambut dengan pertanyaan mas Bayu, atasannya yang kebetulan berjalan akan masuk ke dalam lift. "Dari kantornya Bima, Mas!" jawab Ayu sopan. "Ohh! Cepet sana kamu masuk, udah telat tuh!" Dengan sedikit keheranan Ayu berlari masuk ke dalam, meninggal Mas Bayu yang masih saja menatapnya sinis. Apa salah Ayu? Padahal Mas Bima termasuk pegawai yang ramah, ini pertama kalinya Ayu melihat tatapan sinis dari Mas Bima. "Yu, laporan tadi udah kelar kan?" "Udahh!" Itu Sari teman dekat Ayu di kantor ini, satu divisi juga dengan Ayu. "Mana?" Sari menghampiri didepan meja Ayu, tampaknya ingin bertanya satu hal lain juga. "Gimana ketemuan sama calon suaminya?" Nahkann! "Biasa aja, emang apa yang spesial?" jawab Ayu sambil menyusun laporan yang Sari minta. "Dia calon suami anjirrr!" Sari menekankan pada kata 'calon suami' seolah mengatakan hal itulah yang spesial. "Biasa aja, lu ngarepin apa deh?" Ayu menyodorkan laporannya, balik menatap Sari malas. "Gue lupa kalo lagi tanya sama elu!" Sari menyahut kasar laporan yang Ayu sodorkan, memutar matanya malas dengan jawab yang Ayu beri. "Eh! Tadi Mas Bayu nyariin lu tau!" "Ya terus?" "Gue bilang aja lu lagi ke kantor calon suami lu, ehh ... dianya malah bete. Aneh banget tuh laki." "Iya, ngapain coba nyariin gue lupa kali dia kalo udah ada bini." "Hahaha naksir lu kali dia." "Najis jadi pelakor dong gue!" "Padahal calon suami lu kan tuan muda kaya raya!" Ayu hanya tersenyum menanggapi ucapan Sari, tak tau saja temannya ini apa yang sudah Ayu bicarakan saat bertemu dengan Bima tadi. ×××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD