5. Emily Putri Bungsu Harison

1132 Words
Robin penasaran siapa wanita yang harus dijaga olehnya. “Ngomong-ngomong, di mana putrimu? Bukankah aku harus mengetahui siapa wanita yang harus kulindungi?” Robin bertanya setelah dia menandatangani perjanjian yang diberikan padanya. Helaan napas kasar terdengar penuh kepasrahan di dalamnya. “Dia akan datang sebentar lagi,” ucap Harison, tidak beberapa lama kemudian pintu terbuka memperlihatkan seorang wanita dan pengawal pria yang tengah menuntunnya. “Bukankah aku bilang, jika aku bisa sendiri? Kau pikir aku ini bodoh?” gerutu wanita yang baru saja sampai. Robin melirik ke arah pintu, dia terkejut melihat wanita yang dilihatnya semalam saat ini berada di hadapannya. “Emily, kau sudah datang, duduklah,” seru Harison sambil menjemput putrinya menuju sofa. Tidak ada sedikitpun Robin menghentikan tatapannya, melihat wanita yang baru saja datang itu. Semesta begitu lucu, baru semalam dia menyelinap masuk ke dalam apartement wanita itu sekarang bertemu di kantor lebih lucu lagi, dia menjadi pengawal wanita itu. “D-dia putri anda?” tanya Robin dengan terbata-bata. Mendengar suara Robin yang seperti itu membuat wajah Emily berubah. “Apa karena aku buta jadi kau bertanya seperti itu?” tanya Emily dengan ketus, dia benar-benar tidak ingin diremehkan. “B-bukan seperti itu,” jawab Robin. “Anda salah paham, Nona. A-aku hanya berpikir jika aku pernah melihatmu,” ucap Robin. “Ya, jelas kau pasti melihatku. Aku seorang model terkenal, bahkan banyak majalah yang menjadikan fotoku disampulnya.” Emily menyombongkan diri tetapi berubah mengingat apa yang telah terjadi padanya. “s**t. Jika saja tidak terjadi kecelakaan aku pasti tidak akan seperti ini,” umpat Emily Raut wajah itu sangat memukau sesaat, bisa terlihat jika dia benar-benar bangga mengatakan jika dirinya adalah model. Harrison menghela napasnya kasar, saa Robin terkejut mendengar pernyataan itu. Kini dia ingat, wanita itu. Dia benar-benar ingat. “M-maaf, Pak. Apakah bisa aku mulai kerja besok saja? Aku baru ingat memiliki sesuatu yang harus kukerjakan, aku baru ingat,” ucap Robin membuat Harison mengerutkan kening. Namun, Harison pun tidak bisa menahan Robin untuk tetap berada di samping putrinya. “Huh. Baiklah. Kau boleh pergi, besok datanglah di rumahku. Kau masih ingat rumahku ‘kan?” Robin menganggukan kepala kemudian segera pergi dari sana. Saat di dalam lift, Robin menghubungi Johan. “Apa kau gila, huh? Menjadikanku sebagai pengawal wanita itu?” tanya Robin saat panggilannya terhubung. “Apa maksudmu?” tanya Johan dari seberang telpon. “s**t. Berhentilah berpura-pura, Johan. Aku tahu kau mengetahuinya,” bentak Robin. Johan kini paham apa yang dimaksud oleh Robin. “Kau sudah bertemu dengannya?” tanya Johan. “Kenapa kau tidak mengatakan padaku, jika putri Tuan Harison adalah wanita yang pernah menjadi targetku.” “Aku tidak mungkin mengatakan padamu, lagi pula apa yang kita lakukan bisnis.” “Setelah mendapatkan banyak uang dengan menerima tawaran untuk membunuhnya, sekarang kau menerima tawaran melindunginya? Huh?” “Bukan aku, ya. Kau yang menerimanya. Kau yang mengerjakan misi itu, dan kau juga yang menjadi pengawalnya. Kita sudah mendapatkan bayaran, lagi pula pembayaranmu selama menjadi pengawalnya itu lebih dari pendapatanmu saat melakukan misi.” “Shut up! Jason!” bentak Robin. “Kau tahu, tapi tidak memberitahuku, kau—” “Kau tidak bertanya,” jawab Jason dengan santai. Robin ingin marah tetapi menahan emosi. Sepertinya, marah pun percuma mengingat dia telah mengerjakan tugas tersebut dan juga menerima tawaran menjadi pengawal Emily. “Kenapa kau jadi emosi seperti ini? Biasanya kau tidak emosional, apalagi menyangkut pekerjaan dan uang.” “Ini berbeda, Jason. Kau membuatku bertemu dengan wanita yang pernah menjadi korbanku. Apa kau tidak mengerti? Bagaimana jika dia tahu tentang diriku, huh?” Jason menuangkan wine ke dalam dua gelas, satu diberikan pada Robin satu untuknya. “Duduklah, tidak perlu dipikirkan. Lagi pula, kau bukan pria yang memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya.” Tatapan Robin pada Jason sedikit kesal, bahkan wine yang diberikan Jason tidak diterima, ia keluar dengan membanting pintu dengan sangat kuat membuat Jason mengerutkan kening. Rendra yang melihat Robin baru saja keluar menyala tetapi tidak hanya dilewati seakan Rendra tidak dilihat olehnya. Suasana di rumah Jason dan Rendra terasa tegang. Rendra tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya ketika melihat wajah kakaknya, Robin, yang terlihat begitu kesal. Ia pun memutuskan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. "Ada apa dengan anak itu?" tanya Rendra pada Jason, mencoba mencari jawaban yang memuaskan. Jason, kakak Robin, awalnya mencoba meremehkan situasi. "Tidak ada terjadi apapun!" jawabnya, berusaha mengalihkan perhatian Rendra. Namun, Rendra tidak mudah tertipu. Ia melihat ekspresi Robin yang jelas-jelas berbeda dari biasanya. "Tapi kenapa wajahnya seperti itu? Dia terlihat sangat kesal. Apa kalian bertengkar?" tebak Rendra, semakin penasaran. "Biasa, dia hanya kesal dengan tugas. Itu saja," Jason mencoba memberikan penjelasan yang kurang meyakinkan. "Apa kau tidak percaya dengan apa yang kakakmu ini katakan, huh?" godanya, berharap Rendra akan berhenti bertanya. Rendra merenung sejenak, merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Ia duduk di dekat meja dan mengambil segelas wine yang belum diminum oleh Robin. "Apa dia menolak kerja itu?" tanya Rendra sekali lagi, kali ini mendesak Jason untuk memberi penjelasan yang jujur. Jason menghela nafas, menyadari bahwa ia tak bisa lagi menyembunyikan kebenaran. "Ya, dia menolak," akhirnya ia mengakui. "Dia merasa terbebani dengan tugas yang harus dia jalani. Wanita yang beberapa hari lalu menjadi korban, kini harus dia jaga." Rendra memandang ke arah halaman rumah, di mana Robin tampak begitu marah. Hatinya terenyuh menyaksikan pria itu berjuang dengan konflik batinnya. Ia memahami betapa beratnya tanggung jawab yang harus ditanggung oleh Robin, dan merasa prihatin atas beban yang diemban oleh saudaranya. "Sudahkah kau bicara dengan dia?" tanya Rendra, mencoba mencari solusi. Jason menggelengkan kepala. "Belum. Aku ingin memberinya sedikit waktu untuk merenung dan mencari jalan keluar yang tepat. Dia butuh ruang untuk memikirkan semuanya." Rendra mengangguk mengerti. Ia tahu bahwa kadang-kadang seseorang memang butuh waktu dan dukungan untuk menghadapi masalahnya sendiri. Mereka berdua hanya bisa berharap bahwa Robin akan menemukan cara untuk mengatasi kesulitannya dan mendapatkan kedamaian di hatinya. “Sialan!” umpat Robin membuat beberapa pengawal di sana terkejut mendengar suara Robin, mereka tidak berani mendekat. Tidak ada yang bisa dilakukan di mansion Jason, Robin pun memilih pergi dari sana, mencoba untuk menemukan udara segar, agar dia bisa berpikir dengan jernih. Jason sedikit menyudutkannya dengan pekerjaan saat ini. Namun, bayaran yang diberikan padanya cukup membuatnya bisa disimpan untuk biaya saat dia berhenti kerja. “Fyuh. Aku hanya perlu menjaganya,” ucap Robin. “Benar apa yang dikatakan oleh Jason, aku hanya mendapatkan perintah dari orang menyuruhku,” tambahnya lagi. Pikiran negatif kini berubah menjadi positif. Robin menuju apartemen miliknya kemudian merebahkan tubuhnya, ruangan itu begitu kosong tidak ada apapun di dalam apartemen, selain air mineral dan pakaian miliknya. Entah sudah berapa lama, Robin hidup dengan keadaan seperti itu. Barang-barang branded tidak terpikirkan untuk dimiliki olehnya. Dia hanya ingin mengumpulkan uang dan membeli sebuah pulau untuk menenangkan diri atas hiruk pikuk kehidupan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD