1. The Hitman

1001 Words
Robin melangkah dengan langkah berat menuju kamar hotelnya. Ia merasa letih dan lelah setelah menyelesaikan tugasnya sebagai pembunuh bayaran. Tubuhnya terasa sakit dan bercak darah masih menempel di pakaian yang dikenakannya. Robin tahu bahwa ia harus segera mandi untuk membersihkan diri dari bercak darah yang menghiasi pakaiannya. Sesampainya di kamar hotel, Robin melepas sepatunya dengan cepat dan melemparkannya ke sudut kamar. Ia berjalan menuju kamar mandi dan menyalakan air. Sambil menunggu air panas mengalir, ia menatap dirinya sendiri di cermin besar di depannya. Robin melihat bercak darah yang menempel di baju putihnya dan wajahnya yang lesu. Ia teringat dengan jelas tentang tugasnya sebagai pembunuh bayaran dan semua yang ia lakukan untuk melindungi klien-kliennya. Meskipun terkadang ia merasa bersalah, ia tahu bahwa tugasnya ini adalah cara untuk bertahan hidup. Setelah air mandi sudah cukup panas, Robin segera masuk ke dalam shower. Ia membiarkan air panas mengalir di atas kepalanya dan meresapi tubuhnya. Robin membiarkan pikirannya melayang-layang dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Setelah beberapa menit berada di dalam shower, Robin merasa tubuhnya lebih segar. Ia menutup kran air dan keluar dari shower. Robin membuka kantong toiletries yang ia bawa dan mengeluarkan sabun dan sampo. Ia membersihkan dirinya dari bercak darah dan mencuci rambutnya. Setelah selesai mandi, Robin keluar dari kamar mandi. Ia mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan memandang dirinya sendiri di cermin. Kini, tubuhnya bersih dan bebas dari bercak darah. Robin merasa lega dan siap untuk melanjutkan hidupnya sebagai seorang pembunuh bayaran. Robin mengambil telepon genggamnya dan melihat pesan masuk dari kliennya. Pesan tersebut berisi detail transfer pembayaran sisa dari tugas pembunuhan yang telah dia lakukan beberapa waktu yang lalu. Dengan cepat, Robin membuka aplikasi perbankannya dan melihat bahwa jumlah yang dijanjikan telah masuk ke rekeningnya. "Aku sudah mengirimkan sisa pembayaranmu.” "Jangan lupa, saya tidak mau ada jejak yang tertinggal," kata seseorang yang mengirimkan tugas pada Robin dengantegas. "Tentu saja, Anda bisa mengandalkanku." Robin mengambil sebotol wine yang telah dia siapkan sejak tadi di atas meja. Dia menghela napasnya dengan kasar. Dia telah hidup dan bekerja sebagai pembunuh bayaran secara sendiri, Robin harus menyamar dan berpura-pura sebagai orang lain. Ia harus menghadapi resiko besar setiap kali menerima tugas. Namun, pekerjaannya ini adalah satu-satunya cara baginya untuk hidup. Robin selalu membawa beban berat dalam hatinya, terutama setiap kali ia menyelesaikan tugas pembunuhan. Ia selalu berusaha untuk tidak terlibat secara emosional dalam setiap tugasnya, tetapi terkadang ia tidak bisa menahan perasaannya dan merasa sangat sedih. Robin duduk di apartemennya yang remang-remang, pikirannya dipenuhi dengan pemikiran tentang pekerjaan berikutnya. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, dan meskipun bayarannya bagus, dia merasakan kegelisahan yang tidak bisa dia hilangkan. Dia tahu bahwa dia harus segera mencari tugas berikutnya, atau dia akan kehilangan keunggulannya. Dia mengambil sebungkus rokok dan melangkah keluar ke balkon, udara malam yang sejuk menggigit kulitnya. Robin menariknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke dalam kegelapan, mengamati kota. Saat dia mengamati, ponselnya dering di sakunya, dan dia mengambilnya untuk melihat pesan baru dari klein. Dia membukanya dengan penuh semangat, matanya memindai teks tersebut untuk mencari petunjuk apa pun tentang target berikutnya. Namun, saat ia membacanya, dia kesal. Pesan itu sebuah peringatan. Polisi semakin mendekat, dan pekerjaan baru apa pun bisa membahayakan dirinya. Robin mengumpat dalam hati, melempar ponselnya ke tanah dan menggilingnya di bawah tumitnya. Dia tahu bahwa dia harus menemukan cara baru untuk tetap tajam, untuk menjaga kemampuannya tetap terasah, namun pilihannya sangat sedikit. Dia menghisap lagi rokoknya, bara api bersinar merah dalam kegelapan. Dan saat menghembuskan napas, dia membuat keputusan. Dia akan menemukan cara untuk tetap tajam, untuk menjaga keunggulannya, bahkan jika itu berarti melanggar aturan. Dia akan mencari tugas baru, berapapun harganya. Untuk menghilangkan stress, Robin duduk di sebuah bar, menikmati minuman dan mengamati ruangan untuk pekerjaan berikutnya. Dia adalah seorang pembunuh bayaran yang handal, namun akhir-akhir ini, dia merasa gelisah. Dia menginginkan tantangan baru, sesuatu yang akan memberinya tujuan. Saat dia sedang berpikir keras, seorang pria mendekatinya. "Anda Robin?" tanya pria itu. Robin mengangkat alisnya, mengamati pria itu. "Tergantung siapa yang bertanya." Pria itu mengatakan bahwa ia memiliki tawaran pekerjaan untuk Robin. Dia membutuhkan seseorang untuk melindungi seorang artis terkenal bernama Emily yang baru-baru ini menerima ancaman pembunuhan. Robin mendengarkan dengan seksama, ketertarikannya muncul. Dia belum pernah menjadi pengawal sebelumnya, tapi tantangan ini membuatnya tertarik. "Saya bisa membayarmu mahal," kata miliarder itu, sambil meletakkan sebuah koper di seberang bar. "Dan saya bisa menjamin keamananmu." Robin membuka koper itu dan melihat tumpukan uang tunai di dalamnya. Dia menutupnya dan mengangguk, "Baiklah, saya ikut." Miliarder itu menyerahkan sebuah berkas yang berisi semua rincian yang perlu diketahui tentang Emily dan ancaman yang diterimanya. Robin mengingat setiap detail dan membuat rencana untuk menjaganya tetap aman. Saat dia berjalan keluar dari bar, Robin tidak dapat menahan rasa senangnya. Ini akan menjadi tantangan baru, tetapi dia siap untuk menghadapinya. Robin duduk di kantor miliarder tersebut, mendengarkan presentasi pria itu tentang menjadi pengawal Emily, seorang artis tunanetra terkenal yang baru-baru ini menerima ancaman pembunuhan. Meskipun tawaran itu sangat menarik, Robin merasa ragu. "Maaf, tapi saya rasa saya bukan orang yang tepat untuk pekerjaan ini," kata Robin sambil menggelengkan kepalanya. Dia menolaknya mentah-mentah tawaran pria itu. Sang miliarder mengerutkan kening. Dia sedikit bingung karena tawarannya ditolak. Jika orang lain tergiur dengan uang yang ditawarkan. Namun tidak bagi Robin, ia pun memberanikan diri menanyakan alasan penolakan tawarannya. "Kenapa?" Robin ragu-ragu sejenak sebelum mengutarakan pendapatnya. "Aku pembunuh bayaran. Menjadi pengawal hanya akan mencoreng nama baikku." Pria itu bersandar di kursinya, mengamati Robin dengan seksama. "Tidak masalah. Itu yang kubutuhkan. Keahlianmu, bisa memberinya perlindungan yang dia butuhkan." Robin tetap tidak yakin. "Aku menolaknya. Menjadi pengawal wanita buta tidak cocok denganku." Jika pekerjaan yang tidak disukai, dia akan jelas menolaknya. Apalagi menjadi bodyguard. Pria itu mengangguk mengerti. "Baiklah, aku hargai pendirianmu. Jika berubah pikiran, tawaranku masih berlaku." Walaupun dia sangat menginginkan Robin tapi dia juga tidak bisa memaksa pria itu untuk menerima tawarannya. Robin mengangguk sebelum berdiri untuk pergi. Saat dia berjalan keluar, dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat, meskipun itu berarti kehilangan tugas yang berpotensi menguntungkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD