Keteledoran

1090 Words
Terik mentari menyilaukan padipura, hari ini adalah musuh terberat bagi semua murid yayasan Padipura, apalagi kalau bukan hari senin. Tampak seorang gadis yang tengah membongkar seluruh isi tasnya dengan sembraut wajah cemas yang ia pancarkan. Bahkan upacara hari senin akan segar dimulai, tapi gadis tersebut belum juga menemukan topinya. Andine Felya, namanya. Sebagai sekretaris kelas XII Bahasa, Andine harus memberi teladan yang baik. Andine adalah contoh siswi yang bahkan tidak pernah membuat masalah. Entah, kenapa hari ini sepertinya akan menjadi hari tersial baginya. Gadis tersebut bersumpah serapah dalam hati, mengutuk dirinya atas keteledoran yang telah ia lakukan, Andine akhirnya pasrah, gadis tersebut mengembalikan kembali isi tasnya, kemudian ia berjalan keluar, karena upacara akan segera dimulai, kelas juga sudah kosong dan satpam pasti akan berkelilingi sebentar lagi, untuk mengecek siapa saja yang belum pergi ke lapangan.  Andine berjalan dengan langkah kakinya yangb sedikit gemetar, ia menggigit bibir bawahnya, kepalanya menunduk menatap sepatu yang ia kenakan. Mau tidak mau Andine harus memilih untuk keluar dari kelas. Baru saja selangkah Andine melangkahkan kakinya, tiba-tiba seseorang menabarak Andine dari samping. Bruk.... Andine hampir saja terjatuh, kalau saja laki-laki di hadapannya itu tidak langsung merengkuh tubuh Andine. Andine yang tadinya menutup mata karena takut ia akan terjatuh, kini membuka matanya perlahan, ia mengerjap beberapa kali, agar bisa memastikan apakah ia masih hidup atau sudah berada di alam barzah. Iris hazel milik Andine bertubrukkan dengan mata biru itu, lagi. Sontak Andine langsung menjauh, ketika sadar siapa laki-laki yang sudah berdiri tepat pada titik retinanya. Ardhan langsung menggaruk tengkuknya ysng tak gatal,”Maaf.” “Lo gak ke lapangan? Udah upacara tuh,” celetuknya sehingga Andine hanya bisa memasang wajah pucat pasinya, tatapan Ardhan mampu membunuh Andine sekarang juga.  Sebab, tatapan yang ia berikan tiada henti-hentinya membuat jantung Andine selalu bergemuruh, entah karena cemas atau takut kepadanya. Andine diam seribu bahasa, tak ada kata ataupun kalimat yang akan ia lontarkan, ia diam terpaku. Melihat speaker di lapangan sudah di nyalakan, membuat Andine tersadar bahwa upacara akan dilaksanakan sebentar lagi. Andine melenggang hendak pergi kelapangan. Sejurus kemudian seseorang menahan lengan Andine, sehingga Andine tersontak kaget. Ardhan berdiri sempurna di depannya. Pakaian laki-laki tersebut urak-urakkan, seragam putihnya yang sudah tidak terkancing semua sehingga menampakan kaus upin-ipin di dalamnya, serta rambutnya yang panjang dan berantakan.  Tampak sekali bahwa ia bukanlah siswa teladan. “Sekarang lo bisa ke lapangan,” Andine langsung membelalakkan matanya, ketika sebuah topi telah bertengger di kepalanya, baru saja Andine hendak mengembalikan topi tersebut, Ardhan malah sudah pergi menjauh dari pandanggannya.  Andine menghembuskan napsanya pelan, ia akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju lapangan. Hati Andine sebenarnya juga sedikit merasa tenang, karena ia tidak akan di hukum atas kesalahannya, tapi laki-laki tersebut? Apa kabarnya? Kemana dia pergi? Bagaimana jika ia harus di hukum untuk mempertanggung jawabkan kesalahan yang bahkan bukan ia perbuat. Memang sudah tak biasa jika dia harus terkena hukuman. Namun, cara Andine sangatlah tidak baik. Sehingga membuat gadis tersebut harus merasa bersalah. Andine kini sudah berbaris di lapangan, Athaya yang berdiri di sebelah Andine menatap gadis tersebut heran,”Lo dri mana aja sih? Gue nungguin dari tadi,” bisik Athaya pada Andine sepelan mungkin. “Dari toilet,” bohong Andine. Ardhan kini sudah berdiri di belakang sekolah bersama teman-temannya, siapa lagi kalau bukan Raffa dan David. Ardhan meyenderkan tubuhnya di balkon, sembari mengeluarkan sebatang rokok kemudian menghidupkannya.  Di isapnya benda beracun tersebut dengan tenang, sehingga asapnya kini telah mengepul di belakang sekolah. “Lo lama banget gabungnya, dari mana aja?” tanya Raffa sehingga Ardhan menoleh sejenak ke arah laki-laki bertubuh jakung itu. Ardhan kemudian terkekeh,”Maklumlah habis olahraga lari sama bu Astrid, masa dia nyuruh gue buat bersihin toilet karena telat, apaguna petugas di sekolah kita coba? Kalau gue di gaji sih fine aja, ya ini di gaji kagak image gue gak terjaga.” David ataupun Raffa hanya menggeleng seraya tersenyum kecil. Ardhan kemudian beranjak dari tempatnya. “mau kemana lo?” tanya David, tangannya menahan lengan Ardhan. Ardhan tersenyum kecil, lalu ia menatap ke arah David dan Raffa secara bergantian,”Ke lapanganlah, gue kan murid teladan, Ikut?” David dan Raffa langsung menggelengkan kepala mreka serentak.  Sebab, Ardhan benar-benar gila. Habis dia melakukan kesalahan, dia sendiri yang bunuh diri dengan cara nyerahin dirinya sendiri, walaupun awalnya bakal kejar-kejaran dulu dengan guru BK. “Gila lo, lo aja deh sendiri,” Tolak David mentah-mentah dan begitu juga dengan Raffa. Siapa yang mau di hukum dan menjadi tontonan gratis setiap murid padipura, kecuali Ardhan. Ardhan dengan santai menjauh dari komplotannya untuk pergi menuju lapangan, lalu Ardhan mengacak rambutnya sejenak ketika ia sudah berada di dekat lapangan.  Saat upacara tengah berlangsung, lebih tepatnya pada saat pembina upacara sedang memberi pencerahan kepada semua murid Padipura, Ardhan dengan santainya melintas di hadapan semua murid Padipura kemudian berdiri di tengah lapangan, tanpa ada rasa malu sedikitpun. Kini laki-laki itu sudah menjadi pusat perhatian, semua siswi Padipura meredam teriakan merka, atas pesona yang sudah Ardhan tebarkan. Ardhan tersenyum kecil sembari melambaikan tangannya dengan maksud menyapa. Andine yang berada di barisan paling depan membulatkan matanya, untuk melihat siapa yang sudah berdiri di tengah lapangan kini. “Buset dah, gila bener kembaran lo,” decak Angela dan Anisa. Athaya memutar bola matanya malas,”Kenapa coba gue harus kembar,” lirih Athaya serasa menjadi manusia paling tersiksa saat itu. Alhasil pak Joko selaku pembina upacara langsung berkacak pinggang ke arah Ardhan. “Ardhan! Apa yang kamu lakukan?!” Ardhan tersenyum kecil,”Berdiri, kan kalau enggak pakai atribut lengkap harus berdiri di tengah lapangan,” jawab Ardhan santai. Bu Astrid yang baru saja sampai di lapangan dengan napasnya yang terengah-rengah, kini menatap ke arah Ardhan geram. Ardhan tersenyum manis sembari mengangguk sopan,”Capek buk?” “Ardhan! Saya dari tadi ngejerin kamu, dan kamu malah ke sini!” Ardhan menggelengkan kepalanya pelan, sembari menepuk pundak bu Asrid,”Buk mending jangan dikejar kalau dianya malah lari, entar ibu capek sendiri, iyakan buk?” “Ardhaaaannnnn!!” Teriak bu Astrid yang langsung menjewer kuping Ardhan, sehingga semuanya tertawa melihat adegan tersebut. “Astrid bawa Ardhan ke ruang kepala sekolah! Udah enggak pake atribut lengkap, telat lagi,” dumel joko. Astrid langsung menjewer Ardhan dan menyeret laki-laki tersebut untuk keluar dari lapangan. Pak Joko menggeleng pelan,”Ettak terangkanlah, ettak terangkanlah.” Semua murid Padipura melongos, sedangkan Andine tengah menggigit bibir bawahnya, sembari menggenggam erat pinggiran roknya. Gadis itu tampak bersalah, karena dia Ardhan jadi dihukum. Siapa yang berani berhadapan dengan Ardhan? Preman sekolah saja takut dengan laki-laki tersebut, selain terkenal nakal, biang onar dan player ia juga terkesan jago berantem.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD