Parade yang benar-benar membuat Summer itu terkesima, berakhir di sebuah lapangan yang sudah disulap menjadi padang festival musim panas yang penuh kilau cahaya nan menakjubkan. Sudah lama Summer tidak pergi ke festival. Sedari ia menginjakkan kakinya ke dalam area festival, Summer tiada henti berdecak kagum. Eskpresi wajahnya menyiratkan perasaan senangnya yang luar biasa besar telah datang ke sini. Ia bahkan hampir melupakan Axel yang juga ikut bersamanya, kalau bukan karena pria itu menarik pinggangnya saat seorang pria yang sedang beratraksi menggunakan semburan api hampir melukai wajahnya karena gadis itu berdiri terlalu dekat. Ajaibnya, Summer justru bertepuk tangan saat pria yang melakukan atraksi api itu meminta maaf padanya.
“Tadi itu bahaya sekali!” Axel membentak Summer sesaat setelah pemain api itu pergi. Desahan panjang keluar dari mulutnya saat Summer bersikap seolah tidak peduli dengan omelannya.
“Menakjubkan! Kau lihat bagaimana dia tadi menyemburkan api dari mulutnya? Biasanya aku melihat hal seperti itu hanya dari TV.” Summer sama sekali tidak menanggapi Axel yang membentaknya barusan. Gadis itu lebih terkesima dengan aksi pemain api itu dan mengesampingkan keselamatannya sendiri.
Axel tiba-tiba menarik tangan Summer, “Sudah kuduga, lebih baik kita pulang saja,” ujar Axel sambil menarik paksa Summer berjalan menjauh dari keramaian festival. Ketika hampir sampai di pintu keluar, Summer menyentakkan tangan Axel sehingga tangannya terlepas dari genggaman pria itu.
“Aku masih ingin di sini. Ayolah....” Summer mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya, bersikap memohon. Bibirnya tersenyum merekah penuh kelegaan saat Axel menganggukkan kepalanya pelan.
“Tapi tidak gratis.”-Axel menunjuk ke arah food truck street food khas Korea-yang menyajikan sosis panjang dibalut potongan kentang berbentuk kotak-kotak-yang berdekatan dengan atraksi pemain api tadi-“Aku mau makan itu.” katanya. Ia menunjukkan ekspresi arogan bak tuan muda yang menyuruh pelayannya.
Summer mengikuti arah tunjuk Axel, serta merta kedua matanya membelalak melihat bagaimana para pelanggan food truck itu membabi-buta saling dorong untuk mendapatkan jajanan khas Korea yang kelihatannya sangat menggugah selera itu. Sampai-sampai Summer menelan ludahnya sendiri saat beberapa remaja yang sedang memakan jajanan itu melewatinya.
“Tapi, itu ramai sekali...” Summer berusaha membujuk Axel, “ Bagaimana kalau makanan yang lain?”
Axel menggeleng keras, “Yang lain tidak terlihat menarik untukku. Kalau begitu kita pulang sa—“
“Oke! Oke! Kau tunggu di sini.”
Axel tersenyum puas mendengar penyanggupan Summer. Ia mengamati seksama saat Summer berlari kecil menerobos kerumunan orang-orang yang semakin ramai sejak mereka berdua datang ke sini. Gadis yang masih tidak melepaskan kepangan-hasil karya Kei-dirambutnya itu terlihat mengantre di barisan paling belakang. Berkat warna baju yang dikenakan Summer, Axel masih bisa mengetahui dimana posisi gadis itu. Ia tidak beranjak dari tempatnya seperti yang dipintakan Summer tadi.
Sementara di tempat lain, Summer tengah berjuang mendapatkan jajanan Korea-yang namanya susah diucapkan-untuk Axel. Tadinya ia berniat untuk mengantre teratur sesuai urutan, tapi melihat aksi pelanggan lain yang bertindak anarkis dengan saling dorong, dan tidak memperdulikan antrean, Summer pun melakukan hal yang sama. Ia memanfaatkan tubuhnya yang lebih kecil dibandingkan para pelanggan lain, dengan menerobos masuk melalui celah-celah bawah antrean hingga akhirnya sampai ke barisan paling depan. Tidak butuh waktu lama sampai Summer berhasil mendapatkan dua buah jajanan Korea itu.
Summer segera berlari menuju tempat Axel menunggu, tapi ia tidak menemukan sosok pria itu di sana. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, menatap seluruh penjuru lapangan berharap menemukan sosok Axel di antara kerumunan pengunjung yang semakin padat. Bukankah aku sudah menyuruhnya untuk menungguku? sungut Summer dalam hati. Kemudian ia mulai menikmati jajanan bagiannya sembari berkeliling mencari Axel.
Pengunjung semakin ramai berdesakan dan itu membuat Summer was-was. Festival menjadi tidak terlalu menyenangkan dan ia belum kunjung menemukan Axel. Sudah hampir satu jam Summer mengitari lapangan festival, dan selama itu juga sudah ada 10 orang yang ia salah kira sebagai Axel. Keringat mulai mengucur deras di dahi dan leher Summer. Bayang-bayang dinginnya AC di kamar nya semakin jelas dan menggugah keinginannya untuk segera pulang.
“Damn!”
Summer terperanjat kaget. Di depannya berdiri dua orang pria berbadan besar. Salah satu dari pria itu memakai kaos biru muda pudar yang terkena saus. Summer panik begitu menyadari itu adalah saus dari sosis yang sedang ia santap, “Ah! Astaga, aduh, bagaimana ini?!” Summer mendadak kikuk. Dengan tergesa-gesa ia merogoh tas nya-mencari-cari tisu.
“Tidakkah kau punya mata?! Sekarang bajuku kotor!” Pria dengan tato yang memenuhi tangan kanannya itu tampak begitu marah. Summer terkesiap, jantungnya berdetak kencang tidak karuan. Perasaannya semakin tidak nyaman ketika menyadari semua orang yang lalu-lalang di sekitarnya menatap kasihan, tapi tidak ada satupun dari mereka menolongnya untuk menjauh dari dua pria seram yang mulai naik darah ini.
“Maafkan aku. Aku tidak sengaja menumpahkan saus itu saat kalian menabrakku—“
“Apa?! Menabrakmu? Kau yang menabrak kami!” janggut pria itu bergerak-gerak saat membentak Summer, dan membuat gadis itu hampir lupa caranya berbicara.
“Ta-tadi di sudut sana ada booth yang menjual t-shirt .. Aku akan ganti rugi,” ujar Summer. Ia mengeluarkan beberapa lembaran dollar, namun tangannya ditepis saat hendak memberikan uang itu.
“Menurutku, memanfaatkan situasi dan kelemahan seseorang bukanlah tindakan yang baik untuk dilakukan seorang pria.” Axel datang dari arah belakang Summer. Tangan kirinya memeluk pinggang Summer dan merapatkan gadis itu pada tubuhnya dengan sangat posesif. “Hal ini bukan semata-mata salahnya. Bukankah kalian dengan sengaja menabrakkan diri kalian pada gadis ini?”
Summer terperangah mengamati raut wajah Axel saat pria itu sedang membelanya. Detik-detik selanjutnya, suara-suara perdebatan antara Axel dan dua pria itu perlahan menjadi samar, kemudian hilang sama sekali. Ia terlalu sibuk dengan detak jantung dan rasa menggelitik yang menerpa hatinya saat ini. Ada rasa panas dari tangan Axel yang menjalari pinggangnya lalu merambat ke seluruh tubuhnya. Lamunannya terhenti saat pria itu melepaskan rangkulan tangannya. Perdebatan sudah usai, dua pria itu pun telah pergi. Summer masih tidak menyadari situasi tegang yang tersisa di sana setelah Axel dan dua pria itu hampir saja adu fisik.
“Kau cukup tenang untuk seorang wanita yang hampir terlibat perkelahian,” ujar Axel.
“Perkelahian? Kapan?” tanya Summer dengan polos. Kesadarannya baru kembali tepat ketika Axel mengajaknya bicara.
Axel mengerutkan hidungnya, “Barusan. Aku hampir saja—baiklah, lupakan. Lain kali, jangan biarkan kesadaranmu meninggalkanmu di saat-saat berbahaya seperti tadi. Apa itu yang terjadi saat kau ketakutan?” kata Axel. “Saranku, ubah sifatmu yang satu itu......, Hey.. Apa kau mendengarku?” Axel mulai terdengar kesal. Ia melirik sebal pada Summer yang tengah melihat ke arah komidi putar yang dipenuhi macam-macam lampu dan hiasan-hiasan lainnya.
Summer menyadari tatapan Axel padanya, “Kau sedang berbicara denganku?” tanyanya tanpa dosa. “Maaf, aku terlalu fokus memperhatikan komidi putar yang sungguh kekanakan itu. Lihat bagaimana mereka para dewasa berebut ingin menaiki itu. Aku bahkan tidak ingin sama sekali...”
Axel tahu apa yang dinginkan gadis itu. Masih menahan rasa kesalnya, perlahan Axel menggandeng tangan Summer, “Terakhir sebelum kita pulang.”
***
“Kita sampai.”
Tidak ada jawaban yang diterima oleh Axel.
“Hey! Jangan bilang kau tertidur!?” Axel menengok ke belakang kemudian mengguncangkan punggungnya agar Summer bangun. Seluruh tubuh mereka berdua basah kuyup kecuali bagian kepala karena terlindungi helm.
Summer bergerak perlahan. Ia terkejut mendapati kedua tangannya merangkul erat di pinggang Axel. Sekarang ia benar-benar gelagapan, membayangkan betapa lengketnya kedua tubuh mereka selama perjalanan pulang. Ia benar-benar tidak menyadari pergerakan tangannya yang nakal. “Maaf, aku tidak sadar kalau tanganku tadi—“
Axel menyela, “Tidak apa-apa, kondisinya sangat dingin tadi. aku tahu kau pasti kedinginan, tapi mungkin aku lebih mengharapkan kehangatan yang lain.” Axel mengeluarkan seringai khas miliknya yang sanggup membuat pikiran Summer melanglang buana. Ia memberi isyarat supaya Summer segera turun dengan matanya. Summer menurut. Ia turun sembari melepaskan helm yang ia kenakan.
“Trims dan maaf. Kalau saja kita tidak mampir ke tempat kelap-kelip itu tadi, kita mungkin tidak akan kehujanan sampai basah seperti ini,” ujar Summer penuh penyesalan. Dia melihat sekeliling jalan. “Sudah sepi sekali. Kau hati-hatilah di perjalanan. Selamat malam.” Summer membubuhkan senyumannya.
“Tidak usah mengkhawatirkan aku. Setidaknya aku tidak akan tertidur hanya karena kedinginan. Lebih baik kau segera masuk dan mandi air hangat. Lihat saja keadaanmu sekarang.”
Summer menunduk dan memperhatikan penampilannya. Semi dress yang ia kenakan kini melekat erat di tubuhnya. Air menetes dari baju, tas dan juga rambut yang tadi sempat dikepang oleh Key. Summer nyengir, kata-kata Axel benar, ia kedinginan sekarang – getaran di bibirnya mendukung pernyataan tersebut – tapi perkataan Axel mengenai mencari-sesuatu-yang-hangat tadi membuat suhu di wajah Summer lebih tinggi dibanding anggota tubuh lainnya. Menyadari hal itu, Summer berusaha menutupi kegugupannya, jemari kanan gadis itu bergerak menyelipkan untaian rambut yang keluar dari kepangan ke belakang telinganya.
“Mau kuajari sesuatu?” Axel tiba-tiba berkata.
Summer tampak curiga, tapi juga penasaran di saat yang sama, “Apa?”
Axel melepaskan helmnya. Kemudian menarik pinggang Summer lebih rapat ke arahnya yang masih duduk di atas motor. Bibir dingin pria itu menyentuh pipi kanan Summer yang juga dingin. “Beginilah caranya mengucapkan selamat malam kepada seorang pria, Sum.” Axel menyunggingkan senyumnya. “Meski sebenarnya, bukan itu tempat yang tepat,” lanjutnya sambil memakai helmnya kembali. Pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi sampai ia pergi memacu motornya dengan kecepatan sedang, menerabas rintik hujan yang mulai deras lagi.
Summer benar-benar merasa terbang hingga ke langit ketujuh jika saja suara itu tidak terdengar di belakangnya.
“Jadi, katakan padaku, apa penyebab adik manisku ini terlambat pulang?”