Summer: Chapter 6

2986 Words
“Sial! Kenapa harus di saat seperti ini, sih?!” Axel berteriak kesal, ban belakang motornya menjadi sasaran tendangan serta umpatannya menumpahkan kemarahan. Summer hanya bisa melongo, memperhatikan tingkah Axel dengan ekspresi bingung yang membuatnya sekilas nampak seperti orang i***t. “Semua orang memperhatikanmu,” ujar Summer. Pandangan aneh dari orang-orang sekitar yang lalu lalang di dekat mereka, berhasil mengembalikannya pada dunia. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Summer, bola matanya bergerak mengikuti pergerakan Axel yang kini mondar-mandir sambil mengutak-atik handphone-nya. Pria itu sudah menghentikan aksi anarkisnya menendangi ban motornya sendiri. “Aku akan menghubungi temanku. Dia pemilik bengkel langgananku,” jawab Axel, sembari menggigiti kuku jemari kanannya.Handphone-nya sudah menempel di telinga kirinya yang dipasangi anting paku berwarna hitam.“Hallo. Seth, I need your help.” Summer tidak bisa menyembunyikan senyumnya, saat melihat perubahan ekspresi Axel yang tersenyum lega setelah sebelumnya menekuk wajahnya. Sekilas wajah panik dan kesal yang ditunjukkan Axel membuatnya tampak seperti anak 5 tahun yang kebingungan saat balonnya terlepas dari pegangan tangan dan terbang.“Bagaimana?”Summer bertanya tepat setelah Axel memutuskan panggilan teleponnya. "Bengkelnya sedang banyak pelanggan.Paling tidak kita harus menunggu kurang lebih 2 sampai 3 jam,” jawab Axel. “Apa?! Kalau begitu telepon bengkel yang lain!” “Tidak. Aku hanya mempercayakan motorku pada bengkel milik temanku itu.” Timpalan Axel membungkam rapat bibir Summer. Membuatnya kehilangan kata-kata untuk mengubah pikiran Axel.Summer paham betul segala hal yang berhubungan dengan kepercayaan sukar untuk disanggah. Phoebe pun melakukan hal yang sama, seperti apa yang Axel putuskan barusan. “Jadi, bagaimana nasib kita sekarang?”Summer melanjutkan percakapan yang sempat tertunda beberapa detik itu dengan satu pertanyaan. Alasan Axel rela mengantarkannya menemui Phoebe adalah agar Summer tetap menghadiri kelas fisika. Sekarang pada akhirnya, mereka berdua tidak menghadiri kelas fisika karena Axel bilang dia akan membalas kebaikan Summer, entah apa yang akan ia lakukan. Sampai sekarang Summer tidak bisa mengenyahkan bayangan Mrs. Darcy dari kepalanya. Ia tidak berani berspekulasi apakah Mrs. Darcy berbaik hati memberikan mereka berdua kesempatan untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok mereka di lain waktu.  Summer mundur beberapa langkah sampai kakinya menyenggol pinggir trotoar, kemudian ia duduk sambil memeluk tasnya sendiri di depan dada. Axel bersandar pada motornya, “Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain motorku sekarang,” jawab Axel, dengan sedikit penekanan pada kata ‘motorku’. Grruk. Summer berusaha menyembunyikan ekspresi malunya saat perutnya berbunyi sedemikian keras dan terdengar oleh Axel, “Maaf,” ujar Summer, tanpa berani menatap Axel. Ia terlalu malu untuk bisa melihat ke arah pria itu. Bisa-bisanya di saat seperti ini, perutnya melakukan aksi memalukan untuk seorang gadis tanpa melihat waktu dan situasi. “Lima blok dari sini, ada café langgananku. Kalau kau tidak keberatan jalan kaki….” “Aku sama sekali tidak keberatan.”-Summer berdiri lalu lekas menyandingkan tas punggungnya-“Arah mana?” tanyanya, kemudian pandangannya mengikuti arah yang ditunjukkan Axel. Tepat sebelum Summer berniat melangkahkan kakinya lebih jauh, Axel menarik tas punggungnya hingga ia hampir terjengkang ke belakang. “Aw!” pekik Summer, antara terkejut dan kesal. “Apalagi?” “Aku tidak akan meninggalkan motorku di sini.Bawa ini.” Axel melemparkan helmnya dan helm kuning yang Summer pakai selama dibonceng. “Kau tidak berencana untuk menuntun motormu sampai café, kan?” *** Summer menghembuskan napas lega saat pantatnya mendarat sempurna di atas sofa empuk café langganan Axel. Bukan hanya lima blok, tapi nyaris tujuh blok jauhnya. Pria-yang sedari tadi mencuri perhatian kaum hawa selama berjalan menuju café ini dengan tidak mengendarai motornya melainkan dituntun-itu salah mengingat jarak pasti antara trotoar tempatnya duduk tadi menuju café ini. Tunggu..café? Daripada café tempat ini lebih pantas disebut…. “Temanku sedang membeli minuman khusus untukmu.” Axel duduk tepat disamping kiri Summer, tangannya ia luruskan melintang di pinggiran belakang sofa. Kalau dilihat sekilas dari depan, orang-orang akan menyangka Axel tengah merangkul bahu Summer, dan itu membuat Summer sedikit grogi. “Ini jelas bukan café,” kata Summer. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan mengamati detail desain café yang lebih pantas disebut pub. “Kau tidak akan menerima ajakanku jika kuberitahu gamblang kemana aku akan menraktirmu,” jawab Axel, sebelum meneguk sebotol bir ukuran sedang. Summer mengamati pergerakan jakun pria itu yang menunjukkan sebetapa hausnya ia setelah berjalan tujuh blok jauhnya sembari menuntun motor di bawah teriknya sinar matahari musim panas. “Pemilik pub ini adalah teman baikku.Beef bourguignon buatannya sangat enak.” “Seorang Prancis?” tanya Summer. “Bukan, tapi bahkan orang Prancis tidak akan bisa memasak beef burguignon seenak dia.” Axel menyelesaikan tegukan terakhir birnya, kemudian membuka botol lainnya. Sejenak Summer sempat merasa cemas melihatnya minum bir cukup banyak padahal dia masih akan mengendarai motornya. Tapi mendengarkan ocehan Axel tentang kelezatan masakan daging sapi khas Prancis buatan temannya itu mengalihkan kecemasan Summer, sampai seorang wanita cantik berambut pirang kecoklatan sepanjang bahu, meletakkan sebotol milk tea dingin di atas meja depan Summer. “Jadi apa saja tentang diriku yang sudah kau ceritakan pada nona manis ini?” Sambil berkacak pinggang, wanita itu mengulas senyum jenaka dengan bibirnya yang dipoles lipstick merah gelap. “Key! Kau semakin cantik dan menggoda.” Axel bangkit dari duduknya lalu menyuguhkan pemandangan yang menciptakan sedikit rasa ngilu di hati Summer saat melihatnya. Ia memeluk mesra wanita yang dipanggil Key itu, kemudian memberikan ciuman dalam di pipi kanannya disambut gelak tawa wanita bermata hijau danau itu. “Cepatlah, nona yang kau sebut manis itu sudah kelaparan daritadi.” Axel melepaskan pelukannya, lalu kembali duduk. “Panggil aku kalau masakannya sudah siap.” Summer berakhir berada di dapur, membantu Key, teman baik Axel yang baru saja ia temui. Ia membantu menyiapkan bahan-bahan seperti bumbu, mengupas kentang lalu memotongnya hingga berbentuk dadu kecil-kecil. Ia terlalu fokus sampai-sampai tidak menyadari Key tengah memperhatikan dirinya. Mengamati penampilan Summer dari ujung rambut hingga ujung kaki kemudian kembali ke wajah. “Aku takjub seleranya sudah berubah.” Key tiba-tiba memulai pembicaraan. Ia mendekati Summer, “Biasanya dia hanya akan memilih yang ‘sudah berpengalaman’ saja.” Summer tercengang, “Sudah berpengalaman? Maksudmu?” “Kau tahu, kan? Wanita dewasa agresif dengan dandanan berlebih dan gemar berpakaian minim. Aku bahkan tidak habis pikir, mereka masih bisa bertahan menggunakan rok mini di musim dingin,” cerocos Key panjang lebar, sembari mengambil beberapa botol bumbu dari lemari dinding yang lumayan tinggi. Bahkan Key yang tinggi semampai dan sudah mengenakan high heels 7cm saja masih harus berjinjit, bagaimana dengan Summer? “Sepertinya kau salah paham-ehem- Key, Aku hanya teman kuliahnya saja.Dia baru saja mengantarku menemui kakakku, dan kami terlambat menghadiri perkuliahan.” “Mengantarmu? Kau dibonceng dengan motornya?” Key mendelik kaget. Ia nyaris menjatuhkan botol-botol bumbu yang baru saja ia ambil dari dalam lemari. Untung saja Summer sempat menangkap botol-botol itu meski harus terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. “Kenapa? Ada yang salah?” tanya Summer, sesaat setelah Key membantunya berdiri. Reaksi Key sungguh membuatnya panasaran. Key memandangi Summer dengan ekspresi serius nan dingin, sebelum tiba-tiba bibirnya mengulas senyum penuh pujian, “Hanya gadis yang membuatnya tertarik yang bisa menaiki jok belakang motornya itu…”-Key mengedipkan mata kanannya dengan gaya menggoda di ujung kalimatnya yang sengaja dibiarkan menggantung-“…atau dengan kata lain, gadis yang akan ia ajak jadi teman tidurnya.” Key menyelesaikan kalimatnya. “A-apa?!Te-teman tidur?!” Summer spontan berteriak hingga suaranya terdengar oleh Axel yang sedang duduk manis di depan bar, menunggu makanan siap. “Apa yang sedang kalian bicarakan?” Axel turun dari kursinya, melenggang perlahan menuju dapur lalu menghampiri Summer yang kehilangan kata-kata. “Tidak ada apa-apa. Kami hanya sedang membicarakan topik hangat selebritis Hollywood akhir-akhir ini-ehem-sampai mana tadi kita?” Key memberi isyarat dengan matanya setelah memberikan penyelamatan kecil pada Summer yang mulai gagap. “Oh..ya! Err..Kendall Jenner dan Justin Bieber sering tidur bersama,” saut Summer. Ia berusaha untuk berbicara dengan nada senormal mungkin agar Axel tidak curiga. Sesekali ia melirik Axel sembunyi-sembunyi. Memastikan apakah cara bicaranya sudah cukup meyakinkan dengan membandingkannya dengan raut wajah Axel. “Pastikan tangan kalian ikut bekerja. Cacing-cacing di perutku sudah menggeliat daritadi,” ujar Axel. Ia keluar dari dapur, kembali duduk di tempatnya semula lalu mulai mengutak-atik handphonenya. Summer dan Key sama-sama menghembuskan napas lega. Mereka berdua sepakat menyudahi pembicaraan yang berbahaya tadi dan melanjutkan kegiatan memasak dalam diam. *** “Bagaimana rasanya?” Axel masih mengunyah potongan daging yang baru saja masuk ke dalam mulutnya, sementara Summer tengah menatapnya penuh rasa ingin tahu, “Ini enak! Aku tidak bohong,” kata Axel, ia mengacungkan kedua ibu jarinya pada Summer. Sontak gadis yang baru saja dikepang rambutnya oleh Key saat menunggu daging mereka matang di dapur tadi, mengangkat kepalan tinjunya ke udara seraya memekik senang. “Kalian makanlah yang banyak. Remaja seusia kalian membutuhkan banyak energi,” ujar Key. Tangannya tengah sibuk memindahkan beberapa potongan daging ke dalam piring Summer. “Tentu saja! Karena kami akan mengeluarkan banyak energi nanti. Iya, kan?” Summer nyaris tersedak saat Axel tiba-tiba meminta pendapatnya setelah menyinggung perihal mengeluarkan-banyak-energi. “Uhuk…maksudmu?” tanya Summer setelah menenggak beberapa tegukan air putih.             “Aku dan Summer bekerja dalam satu kelompok untuk tugas salah satu dosen yang super galak. Mungkin yang tergalak dari yang pernah aku hadapi selama aku bersekolah.” Axel mulai berceloteh, menceritakan sosok Mrs. Darcy pada Key dengan gaya bicara yang belum pernah Summer lihat sebelumnya. Yang ia tahu, Axel adalah seorang pria perayu ulung yang kerap tampil keren dengan gaya yang cool. Dan ternyata sosok pria perayu ulung yang selalu mengutamakan dirinya sendiri itu, bisa menjadi seseorang yang terbuka untuk berbagi cerita dengan orang lain. Atau mungkin, karena Key sudah mengenalnya lama? Summer pun menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat guna menghilangkan dugaan-dugaan tidak penting yang tiba-tiba melintas di kepalanya. Summer memilih untuk tidak bergabung ke dalam percakapan antara Key dan Axel. Ia hanya mengamati, dan sesekali ikut tertawa atau tersenyum saat Axel mengatakan hal-hal yang lucu. Percakapan seru itu tiba-tiba terhenti saat handphone Axel berdering. Pria itu lalu beranjak menjauh, entah berbicara dengan siapa di seberang sana. “Tenang saja. Itu bukan pacarnya.” Summer menoleh pada Key. Kedua alisnya bertaut, “Apa?”             “Yang menelepon itu bukan pacarnya. Dia tidak pernah menjawab telepon dari mereka saat sedang bersama teman-temannya,” jawab Key. Setelahnya ia tampak menahan tawa kala melihat perubahan ekspresi Summer yang mendengar kata ‘mereka’.             Ujung mata Key menangkap pergerakan Axel yang akan bergabung lagi dengannya dan Summer. Key berdehem pelan sebelum menenggak habis air putih yang tinggal separuh dari gelasnya hingga menyisakan bongkahan-bongkahan es batu saja.             “Aku curiga kalian sedang membicarakanku.” Axel menatap tajam penuh selidik, bergantian dari Key lalu Summer.             Summer menimpali dengan nada mengejek, “Oh, aku hampir saja tersedak mendengar kau mengatakan itu dengan penuh percaya diri.” Tepat setelahnya, ia pun mendapatkan cubitan di pipinya. Tapi ia tidak bisa protes, karena yang menyubitnya adalah Axel dan itu tidak terasa sakit. Malah bekas sentuhannya seperti enggan pergi dan meninggalkan rasa panas di kedua pipinya. Membuat Summer membayangkan yang tidak-tidak, andai saja itu bukan cubitan melainkan ciuman. “Sebenarnya aku akan mengajakmu makan di tempat lain, bukan di sini…” Axel mengecilkan volume suaranya di ujung kalimat.Tangan kanannya memutar-mutar garpu-mengacak-acak sayuran dan kentang di piring makannya-mencampurnya dengan saus. Butuh beberapa saat sebelum Summer kembali ke alam sadarnya. “Aku senang kau bawa ke sini. Setidaknya, aku dapat teman baru,” timpal Summer, ia tersenyum sembari melemparkan pandangannya pada Key. Key balas tersenyum. Ia terlihat sedang berusaha mengunyah potongan daging terakhir di dalam mulutnya. “Barusan Seth menghubungiku. Dia bilang motornya sudah siap, dia akan mengantarnya,” ujar Axel. Summer diam tidak menjawab, sebenarnya dia berharap perbaikan motor Axel akan memberinya waktu yang lama untuk berada di sini bersama Axel. Tapi ternyata temannya yang memperbaiki motor itu sudah menyelesaikan pekerjaannya sangat cepat, itu berarti saatnya ia pulang ke rumah. “Got It,” timpal Summer, bibirnya menautkan senyuman tipis pada Axel. “Aku akan membantu Key membersihkan bekas-bekas kami memasak sebelum kita pulang,” lanjut Summer, ia kemudian berdiri sambil membawa piring bekas makannya sendiri, lalu menyusul Key yang sudah terlebih dulu sibuk di dapur. Sesampainya di dapur, usai meletakkan piring kotor miliknya di wastafel. Summer mengambil lap kering yang tergantung di bawah lemari dinding, lalu mulai mengeringkan satu-persatu piring dan alat makan yang sudah dicuci oleh Key. “Maaf, sepertinya kami menunda waktu buka pub milikmu.” Key terkekeh, “Tidak masalah, Sayang. Kebetulan hari ini aku berniat meliburkan diri.” Summer tersenyum menunjukkan deretan giginya, “Aku akan mempraktekkan memasak makanan ini di rumah nanti. Kakakku pasti suka.” “Kau punya kakak? Beruntung sekali, aku dan Axel sama-sama anak tunggal di keluarga kami.” “Aku rasa itu bukan merupakan suatu keberuntungan. Memiliki kakak seperti kakakmu? Tidak terima kasih.” tiba-tiba Axel ikut bergabung dengan obrolan mereka. Ia sedang berdiri, menyandarkan bahu kanannya pada bibir pintu yang membatasi dapur dan bar tempat mereka bertiga makan bersama tadi. Tangan kanannya memegang rokok yang baru saja dinyalakan. Summer mengerucutkan bibirnya, “Apa maksudmu? Dia kakak paling baik sedunia--” Krinng. Handphone Axel kembali berdering, memutuskan ocehan Summer yang belum selesai. Sama seperti tadi, Axel bergerak menjauh dan terlibat percakapan dengan si penelepon jauh dari Summer dan Key. Kali ini volume suara Axel cukup keras hingga sembari menyelesaikan pekerjaannya mengeringkan piring terakhir, Summer bisa mendengar sedikit apa yang Axel bicarakan. Sepertinya itu perihal motornya. Saat Key dan Summer keluar dari dapur, Axel sedang mematikan rokoknya. Sepertinya ia baru saja menutup pembicaraannya di telepon. “Seth bilang padaku dia ada urusan mendadak. Jadi, kita harus mengambil motor itu sendiri di bengkelnya.” “Apa bengkelnya jauh?” tanya Summer. Ia tidak rela asupan makanan yang baru saja ia makan harus terkikis cepat dalam waktu yang singkat. Seseorang yang bernama Seth itu benar-benar mengacaukan semuanya. “Tidak.” Key menyela. “Hanya tiga blok dari sini. Cukup dekat tapi sepertinya kalian membutuhkan waktu yang agak lama untuk sampai di sana. Hari ini hari terakhir festival musim panas, jalanan akan sangat ramai.” Key menjelaskan panjang lebar. “Festivaaaal?” mendengar kata festival, Summer menjadi sangat bersemangat. “Jangan harap aku akan membawamu ke sana. Kita harus pulang.” dan Axel mematahkan semangatnya begitu saja. Summer tertunduk kecewa tapi ia tidak bsia membantah apapun. Ini bukan waktu yang tepat untuk bersenang-senang di festival. Mereka harus bersiap menemui Mrs. Darcy besok dan memohon diberi kesempatan lain untuk presentasi. Tentu saja, merayu Mrs. Darcy bukan hal yang mudah. Tidak etis rasanya jika mereka berdua bersenang-senang malam ini sementara esok adalah penentuan nasib mereka. Key menyodorkan tas punggung Summer lalu membantu gadis itu memakainya, “Masih ada tahun depan. Datanglah denganku nanti,” katanya, berusaha menghibur. “Aku sangat menantikannya. Terima kasih atas jamuannya, that was so delicious!” Summer memeluk Key erat seraya mencium kedua pipinya, kemudian ia menyusul Axel-yang sudah lebih dulu menunggu di depan-dan Key ikut mengiringinya sampai pintu keluar. “Ah, Summer! Mintalah nomorku pada Axel, incase kau membutuhkanku suatu saat.” Key berteriak dari depan pub-nya. Kedua tangannya terjulur ke atas membalas lambaian tangan Summer sebelum kembali masuk ke dalam pub yang juga rumahnya itu. Usai melihat Key masuk ke dalam pub-nya Summer mengeluarkan handphonenya dari dalam kantong, “Jadi berapa nomor Key?” ia menyenggol lengan Axel, meminta pria itu segera memberikan apa yang dia minta tanpa penundaan. “Benar-benar harus sekarang?” Axel mengeluarkan desahan protes, tapi ia tetap menuruti Summer, mengeluarkan handphone-nya. “Cari sendiri,” ujar Axel. Ia menyodorkan handphone-nya pada Summer. Summer mengamati handphone milik Axel yang merupakan handphone keluaran terbaru dan harganya sangat mahal. Phoebe nyaris memotong hampir semua pengeluaran bulanan secara besar-besaran hanya untuk membeli handphone ini. Tentu saja Summer melarangnya, alhasil mereka bertengkar dan melakukan aksi saling diam kurang lebih selama 2 minggu, dan baru berbaikan setelah Summer tiba-tiba terkena gejala tifus. “Aku tidak menemukan nama Key di sini,” ujar Summer. Ia sudah menelusuri satu persatu kontak di handphone Axel tapi tidak menemukan nama Key di sana. Axel mengambil handphonenya, melakukan gerakan scrolling cepat di layar handphonenya, “Itu nomornya.” Kemudian ia menyodorkan handphonenya pada Summer lagi. “Kritika Khambali? Ku kira Key adalah singkatan dari Keyra, Keylie, atau apapun itu yang berawalan dari ‘Key’.” “Wajah sepertinya tidak cocok dengan nama Keyra bahkan Keylie sekalipun.” “Kau ini! Tidak baik membicarakan temanmu seperti itu. ”Summer menjitak kepala Axel dengan berani tanpa canggung sedikitpun. “Tapi, namanya sangat unik. Apakah dia keturunan India? Pakistan atau semacamnya?” Summer bertanya tanpa memperdulikan ocehan Axel yang tidak terima Summer menjitak kepalanya tanpa rasa bersalah. “Ayahnya orang Nepal dan Ibunya seorang Turki.” “Pantas! Dia begitu cantik dengan kontur muka yang halus dan feminine khas orang Turki. Ku kira dia keturunan India atau Pakistan—wow! Lihat itu!” Summer mengalihkan pembicaraan sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Dengan penuh antusias ia menunjuk ke arah parade yang sedang berjalan ke arah mereka. “Parade yang sangat menakjubkan!” “Oh, Ayolah. Kita harus segera sampai di bengkel temanku itu.” Axel menarik tangan Summer, menuntun gadis itu kembali berjalan tapi Summer menolak. Ia menghempaskan tangan Axel. “Kau ambillah motor itu, kemudian jemput aku di sini.” Kedua mata Axel membulat sempurna, “Apa? Sejak kapan kau bisa seenaknya? Aku tidak akan menjemputmu.” “Baiklah, aku bisa naik taksi. Terlalu lama menunggu tahun depan sementara festival itu ada tepat di depan matamu.” Summer pun berjalan berlawanan arah dari arah yang mereka tuju. Ia berbaur dengan orang-orang di barisan parade festival musim panas itu. Axel mengacak-acak rambutnya geram, melihat tingkah Summer yang tiba-tiba berubah menjadi pemberontak kecil. Selama ini tidak ada gadis yang bisa melawannya dan bertingkah seenaknya atau memutuskan suatu hal sendiri tanpa persetujuannya, but Summer does. Dengan perasaan kesal yang berkecamuk di dada, ia pun terpaksa mengikuti Summer berbaur dengan barisan parade. “Kenapa kau mengikutiku?” “Aku tidak ingin disalahkan orang-orang-terutama kakakmu-karena fotomu besok akan beredar di koran harian pada kolom khusus orang hilang.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD