Summer : Chapter 5

2973 Words
  Taksi yang dinaiki Summer berhenti di depan sebuah club yang sangat ramai. Alunan musik khas DJ terdengar sampai keluar club. Summer mengawasi sosok Axel yang baru saja masuk ke dalam setelah menyuruh salah seorang penjaga di pintu masuk memarkirkan motornya.   "Tolong tunggu di sini," pinta Summer pada supir taksi. Sudah mulai larut dan Summer tidak mau ambil resiko tidak kedapatan taksi untuk pulang.   Summer sengaja meninggalkan map dan tas punggung kecilnya di taksi, dan hanya membawa clutch pink-nya saja. Sebelum masuk ke dalam club, ia lepaskan kedua kuciran rambutnya dan memoles bibirnya dengan lipstick merah milik kakaknya yang kebetulan ada di dalam tasnya. Dua hari yang lalu Phoebe meminjam tas Summer, mungkin Phoebe lupa mengambil lipstick-nya, atau bahkan tidak sadar kalau benda itu tertinggal. Ini yang Summer benci dari Phoebe – tidak pernah ambil pusing masalah make up.   Setelah melepas cardigan putihnya, ia keluar dari taksi dengan kepercayaan diri yang dibuat-buat. Kalau tidak begitu, dia akan dicurigai sebagai anak di bawah umur – mengingat bagaimana model bajunya saat ini – dan akan diusir sebelum dia bisa mendapatkan banyak informasi penting mengenai Axel.   Saat melewati dua penjaga berwajah tidak bersahabat, Summer berusaha untuk tidak tampak tegang dan dia berhasil. Dia bisa lolos begitu saja tanpa perlu mereka menggeledah dan memeriksa kartu identitasnya. Rambut di gerai dan lipstick merah selalu bisa menjadi penyelamat. Setidaknya itu tips make up yang selalu jadi andalannya.   Hingar-bingar musik club memekakkan telinga Summer. Dia tidak habis pikir dengan orang-orang yang tampak biasa saja bahkan bisa menikmati alunan musik dengan volume yang luar biasa kencang.   Summer belum pernah masuk ke dalam club ini sebelumnya. Bagaimana tidak? Lihat saja interior dan gaya pakaian yang dikenakan pengunjungnya. Sejauh mata memandang yang Summer lihat adalah kumpulan dress yang biasanya di pakai model-model majalah Vogue atau Herper’s Bazaar.   Jenis pakaian yang tidak akan pernah ia beli, but Phoebe does. Memang, kakaknya bukan tipe wanita yang mengerti soal fashion dan segala tetek-bengek itu. Penampilannya tidak pernah lepas dari kemeja dan rok pensil, dengan warna yang conservative – sementara Summer selalu ia belikan aneka gaya baju dengan ragam warna yang berbeda, Phoebe hanya tertarik memakai sesuatu yang simple. Bayangkan saja, di dalam lemarinya ada 5 kemeja dengan model yang sama dan warna yang sama. Tapi, Phoebe jelas punya selera tinggi untuk memilih brand pakaian, Dolce&Gabbana, Gucci dan Channel? Dia punya puluhan lebih di dalam lemarinya   Ini adalah kali pertama Summer masuk ke dalam club sendirian. Dulu ia pernah pergi dengan gadis-gadisnya, dan ia juga pernah ditemani Phoebe – sebuah pengalaman yang lebih baik ia lupakan. Saat bersama teman-temannya di club memang menyenangkan, tapi ini berbeda. Tanpa ada siapapun yang menemani, ia merasa asing dan sedikit takut.   Masuk ke dalam club seorang diri memperbesar resiko digoda pria hidung belang atau-lebih parahnya lagi – seseorang bisa saja melakukan sesuatu yang jahat lebih dari sekedar menggoda. Terbangun di suatu tempat yang tidak diketahui-tanpa mengingat apa yang sebelumnya terjadi-dalam keadaan ‘berantakan’ tentu merupakan mimpi buruk setiap perempuan. Termasuk Summer, Phoebe bahkan pernah mendaftarkan Summer untuk mengikuti kelas beladiri selama liburan musim dingin saat SMA dulu. Antisipasi kalau-kalau Summer terjebak dalam situasi yang ‘berbahaya’.   Terlalu banyak orang di sini. Tidak hanya lantai dansa, sofa atau bangku yang berjajar di depan bar pun penuh. Mereka yang tidak kebagian tempat duduk berdiri di setiap sudut club. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, tipe-tipe kaum adam yang patut di hindari. Tujuan mereka ke sini adalah ‘menggaet’ perempuan. Mereka akan menawari sasaran mereka minuman alkohol berkadar tinggi, membuatnya mabuk, dan apa yang terjadi selanjutnya tidak perlu dijelaskan lagi.     Axel sudah berjalan terlalu jauh di depan Summer. Pria itu mulai menaiki tangga menuju lantai dua, sementara Summer masih bersusah-payah melewati lantai dansa. Banyaknya pengunjung yang menari meski sudah setengah mabuk benar-benar menghambatnya. Ia harus adu dorong dengan mereka sebelum akhirnya keluar dari keramaian lantai dansa, lalu menaiki tangga.   Dengan perasaan tidak karuan Summer menaiki tangga besi yang di pegangannya tertanam lampu neon berwarna biru di antara lekukan besi. Di pijakan tangga pun terpasang lampu dengan model yang sama. Agaknya lampu-lampu ini sengaja dipasang agar menerangi tangga – yang berbentuk seperti lorong panjang untuk naik ke lantai dua – ini.    Lantai dua tidak begitu ramai seperti lantai satu, karena tidak ada banyak ruang yang tersisa untuk berdansa. Di sini hanya ada 2 bar dengan 10 kursi di masing-masing bar-nya. Terdapat pagar metalik yang membingkai sepanjang tengah ruangan. Summer melongokkan pandangan ke bawah, lalu ia bergidik ngeri. Setelah ini dia masih harus melewati kerumunan orang di lantai dansa itu saat pulang.   Tuhan..lindungi aku..   Summer melempar pandangan ke segala arah. Matanya tertuju pada salah satu sofa di sudut ruangan yang berbataskan tembok dari kaca. Ia memicingkan matanya, sembari berjalan perlahan menelusuri pagar besi ke arah sana, sebelum akhirnya menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dia melihatnya sendiri.  Axel duduk di dalam sana, di antara dua wanita cantik berbaju minim berhiaskan tatanan batu mulia di beberapa bagian.  Pria itu tengah asyik bercumbu dengan salah satu dari mereka. *** “Hubungi aku kalau kau sudah sampai,“ ujar Phoebe sebelum memutus panggilan teleponnya.    Summer menatap handphone-nya dengan ekspresi wajah menahan kesal dan umpatan. “Selalu begini! Dia yang punya masalah dan aku jadi pelengkap penderita! Makanya, jangan mengambil notebook ku seenaknya!!“ gerutu Summer kesal. Sekarang ia terpaksa menunda makan siangnya karena kecerobohan Phoebe.   “What’s wrong, Sum?“ Adya, sedikit terkejut mendengar Summer yang tiba-tiba mengoceh sendirian. Ia nyaris tersedak minumannya sendiri.   “Kau mau kemana? Sebentar lagi Helena datang,“ Adora ikut bertanya saat Summer mulai membereskan barang-barangnya.   “Aku harus menemui kakakku. Dia menulis sesuatu di notebook ku, katanya itu catatan penting untuk rapat hari ini.“ Summer menjelaskan dengan cepat, sembari tangannya sibuk membenahi kabel charger laptopnya.   Mereka bertiga sedang berada di ruang multimedia, mengulang teori yang diajarkan di kelas autocad tadi. 2 jam mengutak-atik software bukan suatu hal yang menyenangkan bagi Summer. Dia lemah dengan sesuatu yang berhubungan dengan teknologi, dan ternyata bukan hanya fisika yang menjadi momok baginya. Autocad, pelajaran dasar bagi mahasiswa arsitektur sukses membuat emosinya tak tentu hari ini. Ditambah telepon dari Phoebe barusan melengkapi sebab kepalanya mulai terasa sakit.    “Kau akan kembali saat kuliah fisika nanti, kan?“ Adora ikut membantu Summer memasukkan laptop ke dalam tas punggung Summer.   Summer menggeleng, “Sepertinya tidak akan sempat.“-ia memasukkan charger laptopnya ke kantong depan tasnya-“Thanks,“ katanya pada Adora yang membantu menutup retsleting tasnya. “Sampai jumpa besok!!“ teriak Summer, sambil berlari ke arah pintu.   “Bagaimana dengan tugas kelompokmu?“ pertanyaan Adya sukses menghentikan langkah Summer sebelum benar-benar melewati pintu keluar.   Summer berbalik menatap manik mata coklat-khas gadis India belasteran Inggris-Adya, “Ehm..bilang padanya, mendadak ada yang harus aku urus,“ jawab Summer, tersenyum tipis.   “Roger that,“ timpal Adya sembari mengacungkan jempolnya. Teman yang baru dikenal Summer 5 jam lalu itu kemudian tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang mengenakan kawat gigi.   Summer melangkah cepat keluar dari ruangan itu, lalu berlari kencang saat mencapai belokan pertama menuju gerbang kampus. Harapannya untuk menemukan taksi pupus. Biasanya mendekati jam makan siang, banyak taksi yang lalu-lalang di depan kampusnya, tapi sekarang tidak ada. Bagaimana bisa dia sampai ke tempat Phoebe dalam waktu 20 menit?   “Kau mau kemana?“   Summer merasakan bulu kuduknya berdiri, Axel muncul tiba-tiba saat Summer belum mempersiapkan hatinya. Bayang-bayang adegan kemesraan Axel dengan dua wanita di club dua malam lalu belum hilang dari benaknya. “Erm.. Axel? Ah…hai.“ Ia sedikit salah tingkah.   “Sepertinya kau buru-buru.“   “Err..begitulah. Kau tidak mengendarai motormu?“ tanya Summer, masih kikuk.   “Aku baru saja memarkirkannya di sebelah sana. Di dalam penuh, sebagian lahan sedang di perbaiki,“ jawab Axel, menunjuk toko kaset dan majalah yang berada di deretan yang sama dengan kampus. “Pemiliknya, kenalanku.“   Summer menyahuti, “Oh, begitu..“   “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Kemana kau akan pergi?“   Summer tersenyum masam, “Aku harus mengantarkan sesuatu untuk kakakku ke suatu tempat,“ jawabnya. Ia berusaha keras bisa berbicara senormal biasanya dengan Axel.   Axel mengangkat sebelah alisnya, “Kau akan kembali sebelum kelas fisika kan?“     “Eh? Kelas fisika...Ya, tentu saja kelas fisika akan menyenangkan...” Summer mencari cara untuk berbohong, tapi tatapan Axel yang semakin tajam kepadanya membuat Summer tidak bisa mencari alasan yang masuk akal. “Hehe..sepertinya..tidak,” cengir Summer.   Ekspresi Axel seketika berubah serius, “Apa? Tidak bisa!“ Axel menggenggam tangan Summer, berusaha menyeretnya kembali dalam kampus.   “Hei! Lepaskan aku!!“ Summer berontak, ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan Axel. Tapi pria itu terlalu kuat–salah, mungkin sebenarnya dia yang enggan melepaskan genggaman tangan itu.   “Aku tidak akan membiarkanmu kabur dariku.“ Entah kenapa kalimat itu menyegarkan bunga-bunga di hati Summer yang sebelumnya layu. “Sebegitu pentingnya sampai-sampai kau rela melewatkan kelasmu? Bagaimana dengan tugas ku–maksudku, tugas kita? Bukankah hari ini harus di serahkan?“   Bunga-bunga di hati Summer mendadak kering. Jadi Axel hanya mementingkan nilai fisikanya? Baiklah.   “Tapi ini urusan penting!” jawab Summer, berusaha melepaskan tangannya kembali. Di kepalanya sudah terlintas berbagai spekulasi mengenai apa yang akan Phoebe lakukan jika notebook itu tidak sampai tepat waktu.   Axel menghentikan langkahnya, ia berbalik menatap Summer yang tampak bergeming dengan keputusannya meninggalkan kelas fisika. Lelaki itu lalu melepaskan tangan Summer dari genggamannya. “Aku akan mengantarmu,“ Axel mengeluarkan kunci motornya dari saku celana. “Tunggu di sini,“ perintahnya, ketus.   Summer tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Sebagian dari dirinya menang kali ini, dan memerintahkan kakinya untuk tidak bergerak se-inci-pun dari tempatnya berdiri sekarang. Tak lama, Axel kembali dengan mengendarai motornya. Ia membawa sebuah helm berwarna kuning, “Pakai ini. Semoga pas dengan ukuran kepalamu.“ Axel melemparkan helm itu.   Summer nyaris menjatuhkan helm itu, “Ini milikmu?“   “Yap.“   “Setiap hari kau membawanya?“   “Emm..not really.“   “Untuk siapa?”   “Argh! Jangan banyak tanya, ayo cepat naik!“   ***   “Kukira kau tidak akan sempat.“ Phoebe menyambut Summer yang baru saja keluar dari lift. “Aku baru saja akan mengajukan pemunduran waktu rapat pada Damian.“    “Perbaikilah sifatmu yang senang menyomot notebook milikku.” Summer memperbaiki letak tasnya.   “Owh, come on, bukan salahku jika hampir setiap notebook kita memiliki motif yang sama,” keluh Phoebe.   “Kalau begitu, perbaiki sifat pemalasmu itu, Kak. Kau kan bisa melihat dulu apa isinya.” Summer mengeluarkan notebook-nya dari dalam tas, lalu ia serahkan pada Phoebe. Mata Summer melihat-lihat sekeliling ruangan tersebut, “Klien macam apa yang memesan seluruh meja hanya untuk rapat bersama 4 orang saja di hotel bintang 5?“ seloroh Summer terheran-heran.    “Klien yang sangat-sangat penting dan menjanjikan,“ Phoebe membuka lembaran-lembaran notebook Summer. “Jika aku bisa mencapai kesepakatan yang menguntungkan, Damian akan mempromosikanku.“   Summer tersenyum jenaka, “Begitukah? Apakah posisimu akan berubah dari pegawai biasa menjadi.....“ Ia sengaja menggantung kalimatnya.   “Aku tidak akan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dari Damian, Summer. Hanya saja bisa aku pastikan bahwa gajiku akan bertambah,” jawab Phoebe dengan senyuman lebar.   Summer terperangah. Seberapa bodoh kakaknya dalam hal percintaan? Phoebe adalah orang yang selalu bereaksi setiap kali orang lain menyindirnya, tapi tampaknya ia benar-benar tidak peka masalah romantika. Summer hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap kakaknya. Ia berjalan ke arah jendela besar – atau mungkin lebih tepat disebut dinding kaca – di salah satu sisi ruangan. Summer lebih memilih melihat-lihat pemandangan daripada berkutat dengan situasi kakaknya sekarang.   Pemandangan dari sana memang sangat indah, tidak diragukan lagi. Lumayan untuk ganti suasana, pikir Summer. Ia memuaskan matanya dengan pemandangan sekitar sampai akhirnya pandangan gadis itu terhenti di satu titik di bawah gedung. Lama ia menatap ke arah titik tersebut. Pandangannya seolah tidak di sana, seperti menerawang jauh.   “Jadi kau diantar cecunguk itu?”   Summer terkejut. Sejak kapan Phoebe di sini?   “Setelah dia membuatmu seperti mayat hidup kemarin, kau masih berhubungan dengannya...”   Summer hanya terdiam. Ia tahu yang Phoebe maksud adalah kejadian dua hari yang lalu. Summer pulang ke rumah dengan keadaan yang sulit dijelaskan. Dan Phoebe dapat menebak bahwa ia pergi ke club karena dari pakaiannya tercium aroma alkohol–satu hal yang membuat Summer terkejut adalah penciuman atau mungkin intuisi kakaknya yang tajam, karena saat itu ia sudah berusaha sebisa mungkin menjauh dari minuman keras tersebut.   Ingatan Summer melayang ke malam itu, malam dimana ia menemukan Axel bercumbu dengan dua wanita di club malam. Setelah melihat hal tersebut, Summer langsung berbalik dan meninggalkan club. Tidak, ia tidak menangis, hanya saja ia juga tidak tahu apa yang sedang terjadi pada hatinya. Remuk? Hancur? Tapi kenapa? Ia biasa patah hati bahkan sebelum cintanya terbalas.   Saat sampai di rumah pun keadaan tidak membaik. Phoebe terlalu pintar untuk dibohongi tentang kondisi Summer–berbanding terbalik dengan reaksinya untuk masalah percintaan. Meskipun Summer sudah berusaha ceria dan bersikap seperti biasa, kakaknya tahu bahwa ada yang salah. Dan semua meledak. Summer sendiri tidak tahu apa yang membuat air matanya mengalir saat menceritakan semua yang ia lihat kepada Phoebe. Padahal Axel bukanlah kekasihnya, bukan pula temannya, siapa lelaki itu sampai bisa membuat keadaannya seperti ini?   Melihat kondisi adiknya, Phoebe pun angkat bicara. Ia membeberkan semua yang ia tahu tentang Axel. Bagaimana Phoebe mengenal tampang lelaki itu bahkan sebelum insiden dengan mobilnya di depan kampus Summer. Ternyata Phoebe pernah bertemu pandang dengan Axel di sebuah club saat Damian mentraktir rekan-rekan kerjanya dalam rangka promosi pria itu ke jenjang karir yang lebih tinggi. Salah satu teman wanita Phoebe mabuk dan ia pun menemaninya ke toilet wanita terdekat. Disanalah Phoebe bertemu Axel, dalam keadaan berantakan. Ya, saat itu Axel sedang ‘bermain’ dengan wanita yang jika dilihat dari pakaiannya adalah pelayan di club tersebut. Sangat mengejutkan bagi Phoebe karena pria yang ia lihat dalam keadaan tidak senonoh itu adalah pria yang menjadi incaran Summer selanjutnya.   “Kenapa kau masih bertahan?”   “Aku tidak bertahan. Aku sudah berusaha melepasnya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.” Summer menatap mata Phoebe sambil tersenyum.   “Dia mendekatimu?” pandangan Phoebe menyelidik.   “Aku tidak tahu. Mungkin saat ini yang ada di kepalanya hanyalah menjaga agar nilainya tidak jatuh hanya karena aku.”   Phoebe hanya bisa mengangguk sekali dan mulai melihat pria yang sedang menjadi perbincangan mereka berdua saat itu.   ***   “Apa yang kau lakukan di sini?”   Axel menoleh ke arah sumber suara yang sangat familiar di telinganya. Ia mendapati seorang pria dengan setelan suit mahal nan berkelas berwarna hitam ke abu-abuan, menatapnya sedemikian intens dengan sorot mata penuh rasa penasaran menunggu jawaban darinya.   Axel mengulas smirk khasnya, “Damian? Sedang apa kau di sini?” Ia mengajukan pertanyaan yang sama.   Damian menghela napas lalu menggaruk tengkuknya, “Jangan ajukan pertanyaan yang sama.”   Axel terkekeh pelan, “Aku sedang mengantar temanku menemui kakaknya,” jawabnya sambil menunjuk ke atas gedung. Damian mengikuti arah tunjuk tangan kanan Axel.   “Bukannya jam segini kau ada kuliah? Presentasi, kan?”   “Yap, dan teman yang kutunggu adalah partner satu kelompokku.”   “Pantas.” Damian mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Axel. “Kau bukan tipe orang yang akan bersikap baik pada seseorang tanpa timbal balik,” lanjutnya.   Axel terkekeh pelan lalu melihat ke arah Damian, “Kaulah yang paling memahamiku.”, ujarnya sarkastik, kepalan tangannya sudah mencapai lengan kanan Damian.   “Dan tentunya kau pun sangat memahamiku. Jangan lupa perjanjian kita.” Damian mengelus pelan bagian lengan yang terkena tinju Axel. Seolah tidak ingin penampilannya cacat sedikitpun, ia juga memperbaiki posisi jasnya.   “Mengingatnya saja sudah membuatku sesak napas,” ujar Axel, seketika ekspresi riangnya berganti penuh pengampunan.   Damian membenarkan letak dasinya, lalu mengambil handphone-nya yang berdering di dalam saku celana kanannya. Setelah membaca cepat pesan yang tertera di layar handphone-nya itu, ia berpamitan, “Aku harus masuk sekarang. Sebentar lagi rapat akan dimulai.” Sambil melangkah cepat, Damian meninggalkan Axel tanpa menunggu reaksi balasan dari sepupunya itu.   Axel mengawasi Damian sampai sepupunya itu masuk ke dalam hotel. Tak lama berselang, tampak Summer berjalan keluar dari hotel. Axel menegakkan sandaran motornya, memposisikan pada keadaan siap. Kemudian ia melemparkan kembali helm kuning ke arah Summer yang langsung menangkapnya dengan sigap.   “Sudah selesai?” tanya Axel.   “Yap,” jawab Summer singkat.   Axel melirik ke arah jam tangannya, “Sial! Kelas fisika sudah dimulai.”   Summer tidak tahu mengapa sekarang ia merasa sedikit lega. Apa karena ia berhasil melewatkan kelas yang akan membuatnya berlama-lama di dekat Axel? Atau karena dengan begini justru akan membuat hubungan mereka yang hanya sebatas teman satu kelompok bertahan lebih lama?   “Kalau begitu, mungkin lebih baik aku pulang saja. Setelah ini aku tidak ada kelas lain dan masih banyak tugas yang harus kuselesaikan.” gadis itu menghampiri Axel, bermaksud mengembalikan helm yang berada di tangannya sekarang.   Axel hanya memandangi helm kuning yang kini berada di tangannya. “Ah, ya...tugas...” kening pria itu tampak berkerut. Mau tidak mau, Summer pun menaikkan kedua alisnya, meminta penjelasan lebih lanjut dari kata-kata Axel. “Aku belum memberimu tanda terima kasih karena sudah membantuku dalam tugas fisika itu,” lanjut Axel.   Mata Summer membulat saat Axel memakaikan helm kuning itu di kepalanya. Lidahnya terasa kelu. Jantungnya seakan ingin melompat keluar dari rongga dadanya.   “Sekarang naik, ikut aku,” perintah Axel sembari memakai helmnya sendiri.   “Tapi...tugas...”   Pria itu membuka penutup helmnya dan memandang Summer tajam. Seketika semua alasan Summer untuk menjauh dari Axel hilang. Akhirnya dia hanya bisa pasrah dan naik ke motor tersebut. Setelah memastikan Summer sudah benar-benar dalam posisi yang nyaman. Axel menghidupkan mesin motornya kemudian melaju dengan kecepatan tinggi. Summer nyaris saja terjungkal ke belakang hingga ia cepat-cepat meraih pinggang Axel lalu memeluknya erat. Jeda sepersekian detik barulah Summer menyadari apa yang dilakukan tangannya.   “Jangan lepaskan tanganmu,” ujar Axel saat Summer berniat melepaskan pelukannya. Pria itu mengeratkan pegangan kedua tangan Summer yang melingkari pinggangnya dengan tangannya sendiri, tanpa tahu bagaimana ekspresi wajah Summer yang berusaha mengatur detakan jantungnya yang sedari tadi sudah hampir menyamai dentuman musik metal.                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD