Summer: Chapter 4

2394 Words
  "Aku sudah mengerjakan sebagian,"-Summer melemparkan setumpuk kertas yang diberi paper clip diujung kirinya-"Sebagiannya lagi, kau yang kerjakan," tak lupa ia membubuhkan sedikit senyuman di ujung kalimatnya.   Axel melihat tumpukan kertas yang dilemparkan Summer ke depan mejanya itu, dengan tatapan tidak bersemangat, "Bukankah sudah kubilang? Aku tidak tertarik. Tidak usah repot-repot mencantumkan namaku di tugas".   Axel beranjak dari tempat duduknya dan mulai meninggalkan ruangan kelas yang hampir kosong setelah Ms. Darcy membubarkan perkuliahan, sama sekali tidak menghiraukan tumpukan kertas yang teronggok di atas meja. Summer tidak tahu harus berkata apa, lantas dia hanya menghembuskan napas berat, mengambil kembali kertas-kertas tersebut dan berjalan keluar ruangan.   Sebenarnya semua tugas bersama dari Mrs. Darcy itu sudah ia selesaikan dengan sempurna. Ia sengaja menyuruh Axel untuk mengerjakan sebagian, agar ia memiliki topik pembicaraan yang mungkin bisa mengarahkan keadaan menjadi berpihak pada Summer. Dia berharap, bisa mengadakan pertemuan di luar sana dengan Axel, menggunakan alasan mengerjakan tugas bersama. Tapi sepertinya ia harus mengubur keinginannya itu dalam-dalam.   Melewati pilar-pilar tinggi di lorong kampus arah gerbang, beberapa kali Summer berpapasan dengan banyak laki-laki tampan yang termasuk kriteria favourite-nya. Di beberapa kelas yang ia ikuti pun ada banyak pria yang cukup beken. Albert, misalnya, mahasiswa baru seangkatannya yang langsung diangkat menjadi kapten tim basket di tahun pertama ini. Hendry, anak dari pianis terkenal yang disebut-sebut akan melanjutkan jejak orang tuanya. Atau bahkan Cody, si pintar yang fashionable. Tapi tidak ada satupun yang berhasil menggetarkan hati Summer sedemikian hebatnya seperti Axel.   Keluar gerbang kampus, mobil Phoebe sudah menunggu. Summer masuk ke dalam dan memilih diam selama perjalanan. Bahkan ia mengabaikan ajakan Phoebe untuk membeli es krim kesukaan Summer di salah satu toko yang tidak jauh dari rumah.    Begitu sampai di rumah pun, Summer langsung masuk ke dalam kamarnya. Mood yang tidak karuan bercampur banyaknya hal yang ia pikirkan, membuatnya begitu lelah. Ia melepas kedua sepatunya-melemparnya-tanpa memperdulikan kemana arahnya.    Seolah melepaskan semua pikirannya, ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Tubuhnya tengkurap dengan tas punggungnya yang masih dijinjing punggungnya. Hari ini hanya ada dua mata kuliah. Bukan materi yang berat, tapi kedua matanya tidak bisa berkompromi selama perkuliahan. Tidak biasanya ia mengantuk, dan nyaris tertidur berulang kali saat kegiatan belajar tengah berlangsung. Beruntung Helena selalu menyadarkannya, sebelum ketahuan dosen.               Summer hampir terlelap ke dalam mimpinya saat tiba-tiba handphonenya berdering keras. Sembari tetap memejamkan matanya, ia merogoh saku celananya lalu mengeluarkan iphone pink yang dihiasi kelap-kelip berbentuk hati di pinggir-pinggirnya. Sederet nomor tidak dikenal muncul di layar. Summer memilih mengabaikan telepon itu. Phoebe mengajarkannya untuk tidak mengangkat telepon dari nomor yang tidak di kenal. Bisa saja itu orang yang berniat jahat. Tidak peduli berapa kali handphone-nya berdering, Summer mendiamkannya. Godaan kantuknya tidak bisa ia abaikan lagi. ***   Summer terbangun karena rasa pegal di punggungnya akibat tidur tanpa melepaskan tasnya terlebih dahulu. Sekarang dia butuh sesuatu yang bisa melemaskan otot-ototnya, koyo. Benda ajaib yang ia dan Phoebe temukan di toko obat cina langganan mereka. Sebentuk kain elastis yang ditempelkan di bagian tubuh yang pegal, dan akan mengalirkan rasa panas, merenggangkan otot-otot yang kejang. Obat mujarab untuk Phoebe dan Summer yang selalu sibuk dengan tugas-tugas mereka, terutama Phoebe. Dia sering sekali lembur, mengerjakan tugas-tugas kantor yang dibawa pulang. Dia tidak akan pernah bergerak dari mejanya sebelum tugas-tugas itu selesai. Jadilah, Phoebe yang memiliki stok koyo paling banyak ketimbang Summer, dan sepertinya kali ini Summer harus mendapatkan kesempatan bagus untuk ‘meminta’ sedikit persediaan milik kakaknya itu.   Tangan Summer menyentuh sesuatu yang panas saat tengah meregangkan tubuhnya. Handphone, benda yang terakhir ia ingat sebagai pengganggu rasa kantuknya. Baterainya nyaris habis, padahal terakhir tadi sebelum ia tertidur, baterainya masih tersisa 80%. Di lihatnya notifikasi panggilan telepon tidak terjawab, juga pesan yang masuk. 10 panggilan telepon, dan 8 pesan dari nomor yang tidak diketahui.   +1714345-0130>   Aku ingin membicarakan perihal tugas itu, cepat angkat teleponku – Axel-     Summer bengong membaca nama Axel tertera di pesan itu. Untuk beberapa saat ia terdiam lama, sebelum akhirnya beranjak ke meja riasnya  lalu bercermin di sana.   Axel? Axel yang itu, kan? gumamnya, dalam hati. Kedua tangannya bergerak mencubit pipinya sendiri, “ Aw..,” keluhnya, pipinya terasa nyeri. Namun agaknya ia kurang yakin, dan belum puas dengan cubitannya sendiri. Summer pun keluar dari kamarnya, lalu menuruni tangga ke bawah. Ia mendatangi Phoebe yang sedang memasak di dapur.   “Kak?” panggil Summer lirih.   “Hmmm?” Phoebe masih sibuk dengan kentang gorengnya yang masih dalam proses pematangan.   “Tolong cubit pipiku.”   Phoebe menoleh ke arah Summer, heran, “Apa kau yakin?”   Summer hanya mengangguk pasti.   Setelah mendapatkan jawaban tersebut, Phoebe segera mematikan kompor, mengelap tangannya di celemek yang ia kenakan lalu tanpa aba-aba ia segera menubit pipi Summer sekuat tenaga.   Rasa sakit yang ditimbulkan oleh cubitan Phoebe membuat kesadaran Summer kembali, “AAA!!!” teriak Summer yang diikuti oleh Phoebe. Kakaknya kaget ketika mendengar teriakan Summer sehingga tanpa sadar ia ikut berteriak.   “Kenapa? Ada apa? Ada hantu? Tikus? Kecoa!? Masakanku gosong!?” Phoebe mulai panik.   “Telepon...” lirih Summer.   “Kenapa? Kenapa dengan telepon?”   “Aku mengabaikan telepon dari Axel.......”   Lalu spatula untuk menggoreng kentang tersebut mendarat dengan mulus di dahi Summer.   ***   "Aku paling benci menunggu lama." Axel tampak begitu kesal. Kedua tangannya bersendekap di dada. Summer hanya menjawab dengan cengiran tanpa rasa bersalah. Ia segera  duduk berhadapan dengan Axel.   Axel tidak membawa apapun selain handphonenya yang diletakkan di atas meja. berkebalikan dengan Summer yang membawa satu buah map besar berisi bahan-bahan tugas mereka. Sesuai perjanjian, dia yang menyiapkan semuanya.    "Cepat berikan mana yang harus kuselesaikan. Aku ada janji nanti malam," Axel mulai memerintah. Dari cara ia menatap tumpukan kertas yang sedang dikeluarkan Summer satu-persatu dari dalam mapnya, jelas ia memang tidak berminat sama sekali untuk menyelesaikan tugas.    Sebenarnya, bisa saja Summer mengatakan padanya kalau tugas ini sudah selesai. Dan membiarkannya pulang setelah mentraktirnya makan. Tapi bukan Summer kalau berbuat sebaik itu. Bagaimanapun, ini adalah kesempatan besar untuk bisa meraih hati Axel—ehm—paling tidak walaupun tidak bisa meraih hatinya, dia sudah pernah merasakan menghabiskan waktu bersama dalam waktu yang cukup lama, terhitung dari jam 03.00 sore ini, sampai nanti jam 07.00 malam.    "Kau hanya perlu merangkum sedikit saja," jawab Summer. Ia menyodorkan 5 lembar halaman folio bahan tugas yang sudah di cetaknya semalam.    Axel menerima dengan tatapan penuh sebal, "Kau bilang sedikit? Ini banyak! "    Summer menggidikkan bahu,"Kecuali kau mau bertukar bagian denganku, menghitung rumus-rumus."   Axel tidak menjawab. Hanya keluar sedikit desahan napas dari mulutnya. Dan tanpa banyak bicara ia mulai membaca dengan gaya yang menurut Summer sangat luar biasa keren. Apalagi style pakaian yang Axel kenakan kali ini, benar-benar sukses membuat Summer tidak bisa berhenti mencuri pandang ke arahnya.   Hanya kaos biru dongker tanpa kerah, tapi begitu menunjang tubuh tegap Axel. Celana jeans panjang belel dengan aksen robek di bagian dengkul, menonjolkan kesan sporty yang merupakan tipikal gaya berpakaian pria ter-favorite Summer.    Yang membuat bunga-bunga di hati Summer semakin bersemi, adalah karena mereka berdua mengenakan baju yang berwarna sama. Agaknya Summer harus berterima kasih kepada kakaknya yang memaksanya untuk memakai jumpsuit panjang bermotif bunga-bunga kecil ini.    "Sudah puas memandangku?"-Axel melepaskan kacamata baca yang belum genap dua menit bertengger di hidungnya-"lebih baik cepat kerjakan bagianmu daripada memandangku seperti itu." ia memakai kacamata berbingkai coklat tuanya itu lagi, melanjutkan membaca.    Summer tertegun. Kalau dipikir-pikir, Axel ketus sekali padanya. Apa itu bentuk rasa malu karena dia melihatnya dalam balutan boxer motif bebek?    "Aku pulang saja." Summer berdiri, meraup tumpukan kertas yang ada di atas meja, dan dimasukkan asal-asalan ke dalam mapnya.    Axel yang mendengar itu langsung bangkit, "Hah? Kenapa?" ia berdiri, lalu berjalan cepat menyusul Summer yang sudah berlari ke luar cafe.    "Hei, tunggu! Jangan pulang, aku butuh kau." Axel menarik tangan Summer. Adegan ini persis seperti di drama-drama romantis yang sering Summer tonton di channel asia kesukaannya setiap kamis sore.             Summer bengong beberapa saat. Axel memegang tangannya, suatu tindakan yang Summer bahkan tidak terpikir akan terjadi dalam waktu cepat.    Melihat perubahan wajah Summer yang senyum malu-malu tidak jelas, Axel melepaskan tangannya, "Kau sengaja ya? Biar ku kejar dan ku halangi untuk tidak pulang? Dasar genit."    Summer terkejut, tidak percaya dengan apa yang didengarnya, "Aku ingin pulang bukan karena alasan picik begitu! Aku hanya….tidak suka dengan caramu memperlakukanku," Summer berhenti sejenak.   "Apa karena aku memergoki seorang laki-laki atletis, tampan dan playboy sepertimu ternyata memakai boxer motif beb--mmmph!?" kalimat Summer terputus. Axel menutupi mulut Summer dengan tangannya, sambil menyeretnya kembali masuk ke dalam cafe. Lalu ia dudukkan gadis-yang rambut ikalnya dikucir dua-itu di tempatnya semula.   "Jangan coba-coba mengatakan hal yang tidak pantas, ya." Axel berdiri di samping Summer, kemudian membungkukkan badannya. "Lupakan kejadian itu, mengingatnya saja aku sudah kesal!!" bisiknya, ia tidak ingin ada orang lain yang mendengar topik pembicaraan mereka.   Summer tidak bereaksi apapun. Ia bersungut kesal sembari memandangi Axel yang tidak langsung duduk di kursinya melainkan berjalan menuju bar, lalu kembali dengan dua gelas orange juice di tangannya.    "Minum," katanya, menyodorkan salah satu gelas pada Summer. Orange juice itu tampak sangat menggoda apalagi hari ini matahari sedang ceria-cerianya meskipun sudah akan tenggelam.   "Aku ingin yang itu." Summer menunjuk gelas yang ada di tangan kiri Axel. Ia menelan air liurnya melihat buliran-buliran air embun yang menetes di sisi luar gelas. Bisa dibayangkan bagaimana segarnya tenggorokannya nanti saat menenggak minuman itu.   "Tidak bisa," tolak Axel, tegas.   "Kenapa? Strawberrynya lebih banyak di gelasmu…,"  lirih Summer, tidak terima. Dia suka strawberry, dan itu harus diperjuangkan.   "Ini ada alkoholnya, kau minum yang itu saja."    Mendengar kata alkohol, akhirnya Summer menerima segelas orange juice-yang hanya berisi 2 buah potongan strawberry- yang Axel sodorkan dengan berat hati. Lebih baik atau tidak sama sekali. Maka dengan rasa kecewa, perlahan Summer meneguk orange juice miliknya lalu ia letakkan gelas yang hampir kosong itu di atas meja.   Sesaat setelah gelas itu diletakkan di atas meja, Axel menyodorkan 3 buah strawberry miliknya. Ia masukkan ke dalam gelas Summer. "Ambil ini, aku tidak suka yang asam-asam."   Summer berusaha bereaksi sewajar mungkin meski di dalam perutnya kupu-kupu  sedang beterbangan dengan riang, “Trims,“ ujar Summer, suaranya sedikit tercekat karena gugup.   Tidak ada tanggapan dari Axel. Pria itu sudah menaruh konsentrasi penuhnya pada tugas. Meski Summer berusaha keras untuk mencoba berbicara duluan, membicarakan beberapa hal yang mungkin bisa mencairkan suasana. Tapi tidak ada satupun suara yang keluar dari mulutnya.   Entah sudah berapa menit berlalu, tanpa ada komunikasi dua arah antara dirinya dan Axel. Jadilah Summer berkali-kali menguap karena suntuk.   "Setelah menyelesaikan ini, kau langsung pulang ke rumah?" Axel tiba-tiba bertanya, setelah kurang lebih mereka sama-sama diam selama 20 menit.    Summer tampak berpikir sejenak, "Ehm...seharusnya begitu. Kecuali kalau kakakku tiba-tiba datang menjemputku untuk menemaninya belanja bulanan"    Axel tersenyum sinis, "Bagaimana mobil kakakmu?"    "Dia belum sempat ke bengkel," jawab Summer, singkat, "Sudah sampai mana kau membaca?  Kau belum menulis apapun," tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Jangan sampai kebahagiaannya-habiskan waktu berdua dengan Axel-ini rusak hanya karena topik bahasan kecelakaan itu.   "Belum. Santai saja, kita masih punya banyak waktu." Axel membenahi posisi duduknya, "Kalau kau sudah lapar, pesan saja apapun yang kau inginkan."    Ohh...aku menginginkanmu, timpal Summer dalam hati, disambut sorak-sorai gembira dewi batinnya.   ***   "5 menit lagi," ujar Axel. Ia mengamati jam tangannya. "Tanganku lelah sekali," katanya, ia melanjutkan menulis rangkuman dari halaman terakhir yang dia baca.   Summer menyeruput habis orange juice-nya, menggenapkan total sudah tiga gelas orange juice yang ia habiskan. "Well, untuk orang sepertimu, memang tidak berbakat untuk urusan teori seperti ini. Err...mungkin praktek?" sautnya, menggigit ujung sedotan.   Axel mengulas seringai khasnya, "Kau benar. Aku lebih menyukai praktek daripada teori," katanya, menatap Summer penuh arti.   Summer berhenti menggigit ujung sedotan. "Ehem--sudah lima menit. Kau sudah selesai?"    Lagi-lagi Summer mengalihkan pembicaraan, Axel sadar itu. Gadis seperti Summer bukan gadis bodoh yang tidak mengerti kemana arah pembicaraan tadi. Dan gadis seperti Summer, juga akan mengalihkan pembicaraan karena merasa tidak nyaman dengan topik itu. Pengalaman mengajarkan Axel banyak hal bagimana cara menilai dan membedakan sifat dan watak orang, terutama lawan jenis. Dan Summer bukan kriteria gadis yang sesuai untuknya.   Axel mengamati Summer diam-diam. Mengawasi bagaimana gadis itu makan dengan lahapnya, menghabiskan satu porsi besar spagetti meatballs pedas. Lalu pandangannya tertuju pada segelas orange juice yang di dalamnya terdapat 3 buah strawberry.   Bukankah itu strawberry yang tadi? "Hei, kau tidak mau memakannya?"    Kedua mata Summer mengikuti arah pandang Axel yang menunjuk 3 buah strawberry yang diberikan Axel tadi. "Ah..nanti saja."    "Kalau tidak kau makan, untukku saja." tangan kanan Axel menjulur ke depan, ke arah gelas bekas orange juice Summer yang di dalamnya ada 3 buah strawberry.   Summer mengangkat gelas itu, ia dekatkan padanya. "Eit! Tidak bisa! Lagipula kau bilang tadi, kau tidak suka yang masam-masam."   "Itu karena aku tidak tega melihatmu, jadi aku bilang begitu."    Summer menggelengkan kepalanya kuat-kuat ke kanan dan kiri. "Tidak. Ini milikku."    Axel memutar kedua matanya, "Hhhh...baiklah-baiklah," ia mulai menulis.    Kemudian baik Axel maupun Summer, larut dalam kesibukannya masing-masing. Axel berusaha menulis secepat yang dia bisa. Sementara Summer berusaha mengambil foto Axel diam-diam sebanyak yang dia bisa.    Bukan pekerjaan yang sulit bagi Summer untuk memotret Axel diam-diam. Sudah sejak lama ia melakukan hal-hal berbau stalker ini, berkat hasil pelatihannya bertahun-tahun, mengikuti setiap pujaannya diam-diam.   Selang hampir satu jam berlalu, Summer belum menghentikan gerakan jari telunjuknya yang menekan tombol kamera handphonenya belum juga berhenti. Entah sudah berapa banyak gambar yang ia ambil.   "Sudah selesai." Axel melemparkan pena dan kertas hasil pekerjaannya ke atas meja.    Summer yang tengah asyik memotret Axel diam-diam tersentak kaget. Ia hampir saja menjatuhkan handphonenya, mengira aksinya ketahuan. Dengan tergesa-gesa, ia masukkan handphone-nya ke dalam tas-nya yang ia pangku. Lalu ia mulai menata satu persatu halaman folio hasil pekerjaan Axel. Pria itu sudah terlebih dulu berdiri dan bersiap pergi.   "Akan kubaca nanti saat aku sampai di rumah." Summer memasukkan hasil pekerjaan Axel dan semua bahan tugas mereka ke dalam map. Kemudian dengan terburu-buru ia berlari mengikuti Axel-yang tengah berjalan menuju pintu keluar cafe-dari belakang.    "Aku tidak bisa mengantarmu. Ini sudah lewat 10 menit dari waktu janjiku dengan teman-temanku,"-Axel merogoh kantong celananya, mencari kunci motor-"tidak apa-apa, kan?"   Summer mengangguk, "Ya, aku bisa naik taksi dari sini." lalu tangannya melambai ke arah taksi yang berada tidak jauh dari tempatnya dan Axel berdiri.    "Kalau begitu hati-hati. Sampai jumpa besok," kata Axel, sesaat setelah taksi berhenti di depan mereka dan Summer masuk ke dalamnya.   Summer masih memandangi Axel dari dalam taksi, hingga laki-laki itu memacu motornya ke arah yang berlawanan dengan tujuan Summer. Summer melirik jam tangannya. Masih ada 20 menit sebelum kakaknya tiba di rumah. Dewi batinnya membisikkannya sesuatu, membuat Summer memutuskan untuk menunda kepulangannya beberapa menit.    "Maaf, tolong putar balik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD