Summer: Chapter 3

2042 Words
  "Aku sekelompok dengannya?" Summer tampak tidak percaya dengan ucapan Helena.   Helena menganggukkan kepalanya, pandangannya tidak lepas dari catatan jadwal kuliah, mencari dimana kelas selanjutnya "Yes, Dear...Mrs. Darcy menentukan undiannya sendiri saat kau sedang ke toilet tadi." Ia menambahkan sedikit penjelasan.    Summer tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya yang dengan cepat berubah menjadi ekspresi heran, "Tapi, dia tidak mengatakan apapun padaku."    "Maksudmu Axel?" Helena berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Summer. Ia sempat tertinggal cukup jauh karena fokus melihat catatan jadwal kuliah.   "Ya, dia tidak mengatakan apapun." Summer menunduk, mengamati pergerakan kedua langkah kakinya yang mengenakan sepasang nike pink.   "Kalau begitu tanyakan saja padanya." Helena menunjuk satu arah.    Summer mengikuti arah pandang Helena, lalumenghentikan langkahnya tiba-tiba hingga orang yang berjalan di belakangnya menubruk dirinya. Ia tidak peduli bagaimana makian yang ditujukan untuknya. Perhatiannya tertuju pada sosok Axel yang sedang duduk santai di bawah lembayung pohon besar di tengah-tengah taman utara kampus.    Dengan penuh semangat, Summer berjalan menuju Axel. Dalam pandangannya, keadaan sekitar mereka berdua menjadi kabur karena sinar matahari yang masuk melalui sela-sela dedaunan. Semilir angin mulai mempermainkan rambutnya. Tatapan Summer berbinar melihat sang pujaan hati yang semakin terlihat tampan dalam pandangan matanya. Ya, Summer saat ini tidak ubahnya seperti berada di dongeng-dongeng fiksi tersebut.   "Hei." Itu sapaan pertama. Axel hanya melirik sebentar padanya, lalu kembali sibuk dengan handphonenya.    Summer hendak berbicara lagi. Baru saja ia membuka mulutnya, Axel mendahului dengan berkata, "Kalau kau ingin bertanya kenapa aku tidak memberitahumu tentang tugas kelompok dari Mrs. Darcy, jawabannya sudah jelas..."    Kemudian Axel berdiri. Berhadapan seperti ini menunjukkan perbedaan tinggi badan mereka yang terpaut jauh. Summer bahkan harus mendongakkan kepalanya untuk bisa menatap mata laki-laki berambut coklat kopi itu. "Aku tidak berminat dengan tugas-tugas itu. Kalau kau ingin mengerjakannya, kerjakanlah sendiri." Axel menjinjing tas punggungnya di lengan kanan. "Sekarang, minggir Nona Menyebalkan, aku ada janji kencan dengan dua wanita cantik malam ini."    Usai mengatakan itu, Axel pergi begitu saja tanpa mempedulikan Summer yang masih terpaku berdiri di tempat yang sama. Tak lama setelahnya, Helena menghampiri Summer, menanyakan apa yang terjadi tapi tidak ada jawaban. Ya... Sepertinya Summer sedang mengalami shock theraphy.               Setelah kejadian itu, jam-jam terakhir di kampus bahkan sampai perkuliahan usai, dilewati Summer dengan berbagai spekulasi yang muncul di otaknya. Tapi semua spekulasi itu disebabkan oleh satu kalimat : Axel kencan dengan dua wanita cantik malam ini.               Ia kencan dengan dua wanita sekaligus? Ah, jangan-jangan itu hanya akal-akalannya saja untuk menjauhkanku darinya. Tapi untuk apa dia harus menjauhiku? Apa dia sudah tau perasaanku dan dia menganggap itu sebuah gangguan? Tidak. Tidak mungkin. Ia tidak tahu apa-apa. Tapi kalau itu bukan alasan kosong berarti dia memang akan kencan dengan kedua wanita itu. Apa dia memang playboy? Ah, tapi...               Lamunan Summer terusik dengan bunyi klakson mobil milik Phoebe yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya, “Kenapa kau menjemputku? Bukankah kau ada rapat…”               “Rapatnya ditunda sampai lusa,“ jawab Phoebe, ia berteriak dari dalam mobil.               Summer terdiam. Ia bingung, ia baru saja memesan taksi dan sekarang Phoebe malah menjemputnya. Bertambah satu agen taksi yang memasukkan namanya di daftar hitam pelanggan taksi. Sekarang dia harus mencari langganan taksi lain.               “Hey! Kenapa bengong? Ayo cepat naik, aku tidak ingin ketinggalan makan malam.”               Summer mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya  mengikuti perintah Phoebe. Ia ingin meneruskan pemikirannya mengenai Axel dan taksi, kalau saja kata-kata Phoebe tentang makan malam tidak terlintas kembali di ingatannya.               “Tunggu dulu, tadi kau bilang makan malam?” tanya Summer tidak percaya.               “Yap, aku putuskan akan memasak malam ini,” jawab Phoebe mantap, pandangannya masih terus mengarah ke jalanan di depan mereka.               Summer bengong, mulutnya terbuka, matanya kembali mengerjap. Satu kali. Dua kali. “Serously??? Oh, apa hari ini April Mop? Atau ada kamera tersembunyi di sini? Ah, aku tahu, pasti kau sedang tidak enak badan, kan, kak? Tampaknya kau mengigau.” Summer terus meracau sambil mengecek keadaan Phoebe, tangannya ia tempelkan di dahi dan leher kakaknya, memastikan Phoebe tidak sedang demam.               “Kau membuatku tersinggung, adik kecil...”               “Maaf...” Summer menunjukkan deretan gigi depannya, “hanya saja, kau taulah, sangat jarang kau memutuskan untuk memasak makan malam, biasanya kita hanya makan sesuatu yang ‘praktis’.”               “Aku hanya sedang mood, tiba-tiba aku ingin pasta malam ini tapi aku sadar tidak banyak restoran ataupun cafe di luar sana menyediakan pasta yang pas untukku.”               Summer memandang Phoebe penuh arti. Ya, dia tahu bahwa kakaknya sangat pemilih dalam hal makanan. Selain tentang rasa, porsi makanan adalah salah satu yang menjadi prioritas.               “Kalau begitu, sudah kuputuskan malam ini kita akan makan ‘Mrs.Scramgetti’ !!!“ teriak Summer, mendadak energinya terisi penuh membayangkan sepiring panas spaghetti buatan Phoebe, lengkap dengan bola-bola daging domba kesukaannya.               Phoebe memutar matanya, “Siapa yang menyuruhmu memutuskan apa yang harus ku masak?“ pertanyaan Phoebe sukses mengubah wajah ceria adiknya menjadi lesu tak bergairah.               “Please...” Summer berusaha menunjukkan puppy eyes miliknya.               “Arghhh!!! Baiklah-baiklah !! asalkan kau janji akan menghabiskannya.“               “Yessss! I Love you so sistaaaaa!!!”               “Ya...ya...ya... sekarang biarkan aku menyetir dengan tenang, aku tidak ingin mobilku ini lecet lagi.”               Summer mengacungkan kedua jempol tangannya sambil nyengir. Tak lama, mobil abu-abu tersebut sudah memasuki area rumah mereka. Summer segera turun dari mobil dan membantu kakaknya membawa barang-barang belanjaan. Dia merasa cukup aneh karena bahan makanan tersebut terlihat lebih banyak dari yang biasa Phoebe beli, tapi Summer tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, mungkin saja kakaknya sedang ingin makan banyak. Setelah menaruh semua barang tersebut di dapur, Summer bergegas masuk ke kamarnya.               Entah kenapa semua pemikiran mengenai Axel yang mungkin saat ini bersiap kencan dengan gadis, ralat, dua gadis lain itu kembali ke otak Summer. Ia duduk di pinggiran tempat tidur dan menaruh tas kuliahnya di dekat kakinya lalu merebahkan badan. Mata Summer memandang langit-langit kamarnya yang berwarna pink. Warna yang menurutnya akan menjaganya dari semua mimpi buruk yang akan ia dapati ketika tidur – alasan Summer meminta secara khusus agar langit-langit kamarnya berwarna pink – pun tak bisa membuat hatinya sedikit lebih tenang karena memikirkan kencan pria itu. Terlalu lelah dengan semua spekulasi yang mulai merasuki otaknya, ditambah dengan hilangnya waktu tidur semalam membuat mata gadis itu perlahan menutup dan tertidur.   ***   Aroma yang menguar di kamarnya mengganggu tidur Summer. Ia mengernyit, semakin berusaha mencium wangi yang ia kenal. Pasta! Astaga, sudah berapa lama ia tertidur? Summer mulai bangun dan keluar dari kamarnya terseok-seok. Ia sudah tidak mempedulikan lagi penampilan baju kuliahnya yang kusut karena masih ia pakai saat tertidur, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Mrs. Scramgetti buatan Phoebe.             Masih setengah sadar, Summer menuruni tangga dan berjalan ke arah dapur, untungnya ia hapal arah menuju tempat memasak itu. Dalam pandangannya yang kabur, ia melihat seseorang sedang sibuk mengutak-atik smartphone sambil sesekali melihat ke arah tempat memasak.   Kakak? Bukan...sosoknya seperti seorang…...Oh My Gosh!!! pria??   Kesadaran Summer dengan cepat kembali. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menjernihkan pandangannya – mengucek mata hanya akan memperburuk pandangan, itu yang selalu dikatakan Phoebe – dan apa yang berada di depan Summer sekarang sukses membuat ukuran mata bulatnya bertambah dua kali lipat.   “KAKAK!?!?” seru Summer, entah kenapa kehadiran orang di hadapannya ini membuatnya panik.   “A-aku bisa jelaskan...” pria itu gelagapan melihat reaksi Summer.   “Kau memanggilku?” suara Phoebe terdengar dari arah counter memasak.  “Oh, kalian sudah bertemu rupanya. Baiklah, jadi anak baik sementara aku menyelesaikan masakan ini.” Phoebe melongokkan kepalanya sedikit sebelum kembali menghilang.   Summer segera menyusul kakaknya setelah memberikan cengiran terbaiknya kepada pria yang tiba-tiba muncul itu.   “Siapa dia?” tanya Summer begitu berada di samping Phoebe.   “Bos ku.” jawab Phoebe singkat, tangannya sibuk menaruh spagetti ke piring saji.               “Bos? Maksudmu, dia akan ikut makan malam bersama kita?“               “Yap.“               “Dan kau tidak memberitahuku!!”               “Aku baru saja teringat untuk memberitahumu tadi, tapi kau sudah mengorok di kamar.”               “Aku tidak pernah mengorok.”               “Yes, you did.”               “Arrrggghhhh!!! Yang jelas, kau harusnya memberitahukannya kepadaku.” Summer menunduk melihat dirinya sendiri. “Lihat penampilanku Kak, bajuku kusut karena tidur, apalagi ini baju kuliahku tadi siang...”             “ Tidak masalah...”               “Tapi dia bos-mu, Kak... bagaimana jika pekerjaanmu terhambat hanya karena aku yang ‘tidak pantas’ di sini?”               “Kau terlalu banyak berpikir.” Phoebe memukul pelan dahi Summer dengan sendok salad.  “Sekarang bantu aku membawa ini ke meja.”               Tangan kiri Summer mengelus bagian kepalanya yang baru saja dipentung Phoebe, sedangkan tangan kanannya memeluk mangkuk berisi salad. Sambil merapikan rambut dan penampilannya, Summer keluar dari tempat memasak menuju ke meja makan. Tak berapa lama, Phoebe menyusul dengan semangkuk besar spagetti.               “Maaf menunggu,” kata Phoebe sambil menaruh mangkuk pasta tersebut di meja. Summer meletakkan salad yang ia bawa tak jauh dari pasta tersebut, lalu ia mengambil tempat duduk di sisi lain meja makan berbentuk persegi itu, sedangkan Phoebe duduk berseberangan dengan bosnya. “Oh, aku lupa memperkenalkan kalian. Summer, ini bos-ku, Damian.”               Summer memberikan senyum terbaiknya lalu menyalami Damian yang berada di sisi kanannya.               “Dia adikku, Summer,” lanjut Phoebe yang hanya ditimpali dengan anggukan dari Damian.               “Jadi...apa ini semacam makan malam untuk urusan pekerjaan?” tanya Summer.               Damian terkekeh, “Tidak.”               “Jadi apa yang anda lakukan di sini, Sir?”               “Cukup panggil aku Damian, Summer. Aku tidak setua itu...uhuk.”               “Lihat, batukmu tidak berhenti juga, mungkin kalau kau tidak kutarik untuk makan di sini, kau tidak akan makan malam sama sekali. Dasar maniak kerja.” Phoebe terus mengoceh sembari mengambilkan seporsi pasta untuk mereka bertiga, tidak peduli dengan tanggapan Damian yang seolah membela diri.               Summer terdiam melihat pemandangan di depannya. Phoebe? Apa mungkin? Tapi pemikiran itu saja sudah bisa membuatnya harus menahan senyum.   “Ada masalah?” tanya Phoebe, mendapati ekspresi adiknya tiba-tiba berubah mencurigakan.               “Tidak…“ jawab Summer cepat, nada suaranya memang terdengar aneh. Butuh waktu dua menit untuk Phoebe sadar kalau Summer tengah menggodanya.               “Kami hanya rekan kerja, Summer,“ tegas Phoebe. Sedikit salah tingkah, dia tidak biasa menghadapi godaan-godaan tentang masalah percintaan.               Summer tertawa, “Apa maksudmu, Kak? Aku kan tidak mengatakan apa-apa padamu.“               “Oh, sudahlah, aku akan mengambil minuman.” Phoebe mengibaskan tangannya dan berjalan ke arah dapur, meninggalkan Summer dan Damian yang sedang akan menikmati pastanya.               Summer memastikan kakaknya sudah tidak berada di dekat mereka sebelum bertanya secara frontal, “Sejak kapan kau menyukai kakakku?”   Tangan Damian terhenti di udara. “A-apa maksudmu?” ia mulai terbata-bata. Untung saja pria itu belum memakan spagetti-nya, jika tidak, mungkin ia sudah tersedak.   “Siapapun bisa mengetahuinya dengan jelas...” Summer tertawa pelan lalu cepat-cepat menambahkan, ”Kecuali kakakku tentunya, ia sedikit...ehmm...dense?”   “Haha.. mungkin... kau benar-benar mengenal kakakmu ternyata.”   “Hey, aku serius. Apa kau tidak berpikir untuk mencari wanita lain saja? Aku tidak tahan melihat ekspresimu tadi saat ia mengatakan kalian hanya teman kerja.”   Damian hanya tersenyum mendengar kalimat Summer barusan, “Aku juga serius disini, Summer. Tidak akan mudah bagi seorang pria untuk mengubah posisi seorang wanita di hatinya. Apalagi jika wanita iu sudah sangat membuatnya nyaman.”   Summer melongo mendengar jawaban dari Damian, Pria ini...   “Aku akan membantumu,” cetus Summer.   “Apa?”   “Aku tidak keberatan kau menjadi kakak iparku, kurasa kau seorang yang baik, sikapmu sangat berbeda dengan seorang pria yang aku kenal...”   “Setiap orang memiliki kebaikan masing-masing, Summer. Mungkin kau hanya belum melihatnya saja.”   Dan sekali lagi Summer terdiam. Kata-kata Damian sukses membuatnya berpikir ulang mengenai hal-hal yang mungkin belum pernah ia tahu. Ya, bagaimana mungkin ia dapat secepat itu memutuskan bahwa seseorang itu jahat? Pasti akan ada kebaikan di diri orang tersebut, sekecil apapun itu.               Begitu pula dengan Axel.               “Apa yang sedang kalian bicarakan?” tiba-tiba Phoebe muncul membawa pitcher berisi orange juice dan satu buah piring.               “Bukan apa-apa...” jawab Summer. “...apa itu, Kak?” tanyanya berusaha mengalihkan perhatian Phoebe.               “Ah, aku lupa, ini pesananmu tadi, Mrs. Scramgetti,” ujar Phoebe sembari meletakkan piring tersebut di hadapan Summer.               Summer hanya bisa tersenyum masam mendapati Damian sedang berusaha menahan senyum ketika melihat isi piring tersebut : Scramble egg yang disusun membentuk lingkaran sehingga menyerupai wajah dengan dua bola daging sebagai mata, potongan tomat sebagai mulutnya, dan spagetti bertabur keju sebagai rambutnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD