Summer : Chapter 2

2505 Words
  “Katakan hari ini kau tidak membuat masalah apapun.“ Kalimat sambutan dari Phoebe, saat Summer baru saja duduk di dalam mobil, dan tengah memakai seat belt. “Oh... kau berbicara seolah-olah aku ini selalu membuat masalah.“ “Memang. Apa perlu ku ingatkan, kenapa aku menyebutmu begitu?“  Summer menggulung-gulung ujung rambut wavy-nya menggunakan jari telunjuk, “Tidak perlu, trims.“ “Sama-sama.“ Phoebe menyunggingkan senyum kepuasannya. “Jadi? Bagaimana hari pertama? Menyenangkan?“ “Melelahkan, rasanya aku ingin kembali ke SMA saja,“ jawab Summer, ia mengalihkan pandangannya keluar. Mengamati pemandangan New York yang mulai gelap. Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Ia menurunkan penghalang sinar matahari di depannya. Summer paling benci pada silau matahari.  “Ambilkan dompet di dalam tasku. Di depan sana ada minimarket, turun dan beli beberapa mie instan. Aku malas masak.“ Summer mendengus, “Kau curang. Dari kemarin kerjaanmu hanya delivery makanan, atau memanaskan makanan instan, atau menyeduh mie!“             “Sementara aku, selalu memasak sarapan untukmu “ tambah Summer, bersungut kesal, tapi tetap mengambil dompet Phoebe dan bersiap turun. Bagaimanapun ia tidak bisa membantah. “Kau ingat peraturan mutlak kita? “ Phoebe memelankan laju mobilnya.             “Nomor satu, kakak selalu benar.“ “Bagus. Nomor dua?“             “Jika kakak melakukan kesalahan, lihat peraturan nomor satu.“   “Pintar.“ Phoebe menjulurkan tangannya, mengusap-usap—lebih tepatnya mengacak-acak—rambut Summer.             Summer menepis tangan Phoebe, melepaskan seat belt-nya, lalu turun. Berjalan cepat meninggalkan mobil, masuk ke dalam minimarket. Ini bukan kali pertama Summer belanja di minimarket ini. sebelumnya, ia dan Phoebe sempat beberapa kali belanja mie instant, atau bumbu-bumbu khusus masakan Asia. Ya, minimarket yang ia masuki sekarang adalah minimarket yang menjual bahan-bahan masakan asia. Untuk para penggemar mie instant ala asia seperti dirinya dan Phoebe, tempat ini bukan sekedar tempat belanja biasa, namun surga.             Summer memasukkan-mungkin sekitar-sepuluh atau lebih mie instant ke dalam keranjang belanja yang tadi ia ambil di dekat pintu masuk.  Tidak sampai lima menit, ia sudah berdiri mengantri untuk membayar di kasir. “Semuanya 35 dollar, ada tambahan lain?“ petugas kasir berseragam kuning itu bertanya dengan nada yang sedikit malas.             Pandangan Summer bertumpu pada rak makanan yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Di rak kedua, snack potato chips kesukaannya dan tinggal satu-satunya yang ada di rak itu, seolah-olah memanggil dirinya.             Maka, Summer menggeser posisinya, mengulurkan tangannya untuk meraih snack itu, bersamaan dengan tangan lain yang juga meraihnya, “Maaf, tapi aku yang lebih dulu mengambilnya,“ kata Summer, sinis. Perlahan ia mendongak ke atas, “Axel?“             “Darimana kau tahu nama—KAU?!“ si pemilik tangan itu adalah Axel. Ia masih mengenakan setelan baju yang sama seperti saat ia menghadiri perkuliahan Mrs. Darcy tadi pagi. Kaos oblong warna putih dengan jeans robek. Summer menelan air liurnya saat melihat otot-otot Axel yang tercetak jelas di kaosnya. Ia sama sekali tidak memperdulikan tatapan kurang senang yang tertuju untuknya. “Ternyata kita sekelas ya.“ Summer mengeluarkan cengiran kudanya, menatap Axel dengan sesekali mencuri-curi pandang ke perut sixpacks pujaan hatinya itu. “Jangan memandangku seperti itu, Dude. Kau seperti sedang melihat kumpulan ulat hijau—ergh, gross.”   “You are—aku berharap tidak bertemu denganmu lagi sejak kejadian hari itu, dan sialnya kau bilang barusan kalau kita ada di kelas yang sama?“ Axel merebut snack potato chips dari tangan Summer, “Jangan harap aku akan merelakan potato chips ini untukmu.“. “Ambil saja.“ Summer tersenyum lebar, menunjukkan kedua lesung pipinya . “Err.. ini 35 dollar.“ Perhatiannya kembali teralih pada kasir. Ia mengeluarkan uang dari dalam dompet Phoebe, membayar belanjaannya lalu bergegas keluar menuju mobil. *** “Kau benar-benar tidak melihatnya?“ tanya Summer menggebu-gebu. “Dia keluar tidak berselang lama setelah aku keluar dari sana.“ Ia melirik Phoebe yang sedang menatap lurus ke depan, menyetir. Dua puluh menit perjalanan sebelum sampai ke rumah. Beruntung tidak macet.   “Aku tidak melihatnya, Summer sayang. Memangnya apa urusannya denganku?“   “Jelas itu urusanmu juga. Toh, dia akan jadi adik iparmu,“ kata Summer, penuh kebahagiaan. Seolah-olah ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya.   Oh...dia mulai lagi, pikir Phoebe dalam hati. “Sebenarnya aku ingin mengomentari sesuatu mengenai pernyataanmu barusan tapi—lebih baik tidak.“   “Kalau itu memang bisa membuat mood-ku berubah jadi buruk, maka lebih baik tidak usah kau katakana,“ sahut Summer, menimpali. Ekspresi wajahnya seketika berubah serius, senyum malu-malunya sirna.   Phoebe terkekeh pelan, “Bukan apa-apa. Hanya saja, adikku yang satu ini sangat mudah jatuh cinta, tapi tidak pernah kesampaian.“ Akhirnya Phoebe mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya.   Summer bersungut kesal, “Itu bukan tidak kesampaian. But.. you know, sist. Sometimes you change your mind for the better one.“ Summer mulai membela diri.   Phoebe tidak menyahuti pembelaan Summer. Ia fokus menyetir, berbelok tajam di pertigaan sebelum rumahnya. Tak lama kemudian, mobil berhenti. Terparkir tepat di depan rumah mereka yang tidak berpagar.   Summer turun lebih dulu. Namun sebelum ia menutup pintunya, ia melongokkan kepalanya ke dalam, lalu berkata “And by the way, memangnya kau punya berapa adik? Adikmu kan cuma satu: aku.“ BLAM! Summer melesat masuk ke dalam rumah, meninggalkan Phoebe yang melongo di dalam mobil. Saat Phoebe masuk ke dalam rumah, ia mendapati Summer duduk bersila di atas sofa di ruang TV. Tas kuliahnya masih tergeletak begitu saja di lantai, di dekat tempatnya duduk. Adiknya itu tengah berkutat dengan ipad-nya, entah apa yang sedang ia amati dari balik kacamatanya itu. Phoebe mendekati Summer, berdiri di belakangnya. Mencoba mencari tahu, kedua matanya ikut sibuk membaca deretan hasil pencarian google dari nama Axel Kennedy.   “Jadi, namanya Axel Kennedy?“   Rambutnya yang sedang dikuncir kuda, ikut bergoyang saat Summer menoleh ke belakang. “Apa pedulimu? Dia kan bukan siapa-siapa, hanya sekedar cinta yang tidak kesampaian.“ Summer melengos lalu kembali ke kegiatannya semula, mencari tahu tentang Axel.   Phoebe mencubit kedua pipi Summer, gemas. Ia tidak peduli dengan jeritan bahkan usaha adiknya untuk lepas dari cubitannya. Alhasil, cubitan itu sukses meninggalkan noda kemerahan di pipi Summer, “Jangan marah, dong. Cepat mandi, kau bau matahari,“ kata Phoebe, ia pun melenggang ke dapur, membawa bungkusan belanja dari minimarket tadi dan mulai sibuk menyiapkan makan malam.   Dengan langkah berat, Summer berjalan menuju kamarnya. Tangan kanannya sibuk meraba-raba bagian wajahnya yang sempat ‘dijajah’ Phoebe tadi, sedangkan tangan kirinya penuh dengan ipad dan perlengkapan kuliahnya yang lain. Sesampainya di kamar, ia tidak langsung mandi seperti yang diperintahkan Phoebe, Summer malah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih menyibukkan diri dengan segala informasi tentang Axel Kennedy. Bahkan beberapa fotonya di **, ia simpan. Salah—bukan beberapa—tapi hampir seluruhnya.   ***   “Dia memiliki sepasang mata biru—biru muda keramik—dengan tatapan tajam yang...oh...astaga..membayangkannya saja sudah membuat jantungku berdebar tak karuan.“   Phoebe membiarkan adiknya berceloteh semaunya, sementara ia asyik menikmati mie instan rebus lengkap dengan sayur dan dua telur setengah matang yang dicampur di dalam mie.   Summer melanjutkan, “Bibirnya sangat merah muda untuk ukuran seorang perokok.“ Bagian itu menggenapkan waktu sudah berjalan 10 menit sejak awal ia berceloteh.   “Perokok? Ah...satu minus poin untuknya,“ celetuk Phoebe.   Summer tidak menghiraukan, “Aku tidak tahu apa maknanya, tapi tatto di bahu kanannya itu sangat keren! Posisinya digambar hingga bagian atas dadanya.. ya, Tuhan—He’s so hot!!“   “Apa? Tatto?“ Phoebe menautkan kedua alisnya. “Bahu dekat dada?!“ Phoebe hampir histeris. Di kepalanya muncul satu-persatu dugaan tidak pantas terhadap adiknya. Apa sih yang dia lakukan? Tidak mungkin, kan, seorang Summer nekat mengikuti sasarannya sampai mengintip bagian dalam tubuhnya?   Summer berdehem, “Jadi begini...ini ada hubungannya dengan pertama kali aku bertemu dengannya. Bukan pertemuan yang bagus, dan sepertinya dia benar-benar membenciku karena apa yang terjadi saat pertemuan pertama kami itu.“   Phoebe mengatur posisi duduknya. Ia meletakkan garpu dan sendok yang ia genggam, menghentikan sejenak kegiatan makannya, bersiap mendengarkan.   “Saat itu setelah melakukan registrasi ulang di kampus, aku mencari toilet. Selang beberapa waktu aku melihat tulisan shower...“   “Tunggu dulu.” Phoebe menyela cerita Summer, “Shower? Apa hubungannya dengan toilet?”   “Heeei...aku sedang bercerita, diamlah sebentar...” Summer melayangkan tatapan protes ke arah kakaknya,”...lalu di sanalah ia..., keluar dari dalam salah satu bilik yang ada, tampaknya ia baru selesai mandi, terlihat dari tampilannya yang segar. Lalu boxer putih motif kepala Donald Duck yang ia kenakan saat itu—“   “STOP!“ teriakan Phoebe, seperti sihir yang membuat Summer berhenti bersuara. Dengan ekspresi wajah yang tidak karuan, antara menahan tawa dan juga rasa penasaran tentang kekonyolan adiknya-yang mencari toilet tapi masuk ke dalam ruang shower- Phoebe harus menarik napas dalam-dalam untuk bisa bicara. “Demi Tuhan... Donald Duck?“   “Apa yang salah dengan itu? Aku pribadi, sih, tidak mementingkan motifnya, tapi apa yang ada di—“   “Yak! Cukup sampai di situ saja pembicaraan kita malam hari ini.“ Phoebe berdiri, mengangkat mangkok makanannya dan berpindah ke sofa di depan televisi, bermaksud melanjutkan kegiatan makannya yang tertunda. “Terkadang arah pembicaraanmu, menuju ke suatu hal yang tidak pantas dibicarakan oleh anak-anak seusiamu.“   Summer menunjukkan raut muka tidak suka, “Kak, aku sudah bukan anak kecil lagi.“   “No, no, no. Aku tidak ingin dengar itu. Sekarang kau cuci kaki, tangan, juga gosok gigi, kemudian pergilah tidur.“   Summer membuka mulutnya, hendak membantah, tapi Phoebe lebih dulu bicara, “Tidak ada bantahan. Ayo cepat.“   Dengan langkah kaki yang sengaja dihentak-hentakkan ke lantai, Summer menuruti perintah Phoebe. Ia meninggalkan kakaknya sendirian dan tanpa Summer sadari, saudara perempuan satu-satunya itu memperhatikannya dari belakang. Tatapan Phoebe lebih intens dari tatapan yang biasa ia berikan kepada Summer ketika adiknya itu sedang ‘jatuh cinta’.   “Axel Kennedy, huh?”   ***               Pagi ini Summer bangun dengan keadaan yang tidak sesegar biasanya. Kedua matanya tampak sayu dengan lingkaran panda yang mengelilingi. Wajahnya tampak kuyu, dan sikapnya tidak menunjukkan semangat sama sekali. Saat mengoles roti untuk sarapan pun, berkali-kali ia tertidur-bangun-tertidur.               “Kau kenapa?“ tanya Phoebe, ia baru saja keluar dari kamar. Begitu melihat keadaan Summer, ia bergegas  menghampirinya, kemudian menempelkan tangannya di dahi Summer, “Ah—suhu badanmu normal.“               “Tidak ada yang bilang kalau aku sakit, kan?“ Summer menjauhkan tangan Phoebe dari dahinya. “Aku mengantuk.“ lalu ia menguap lebar tanpa menutupnya.               Phoebe bergerak sigap, menutup mulut Summer, “Kebiasaan buruk,“ komentarnya.              Lagi, Summer menjauhkan tangan Phoebe, “Cepat makan sarapanmu, Kak. Dosenku pagi ini bukan dosen yang bisa di ajak kompromi,“ cetusnya.                “Ah...baiklah-baiklah, siapkan rotiku seperti biasanya. Aku harus memanaskan roti--maksudku--mobil dulu.”               Summer tidak menimpali apapun. Dia terus mengoles roti sembari menahan kantuk akibat tidak bisa tidur semalam. Ketika semua orang akan mudah terlelap karena kelelahan di siang harinya, lain hal nya dengan Summer yang justru tidak bisa tidur kalau terlalu lelah. Meskipun sudah berusaha mendatangkan kantuk dengan membaca buku tebal, mendengarkan musik klasik, sampai menghitung domba seperti yang biasa dia lakukan saat kecil dulu, tetap saja tidak bisa.               Kakinya melangkah gontai ke kanan dan ke kiri, menuju mobil yang terparkir di luar. Mesin sudah dinyalakan, siap jalan, lengkap dengan Phoebe yang sudah duduk manis di dalam, mengunyah dua lembar roti selai strawberry coklat, sekaligus, "Cepat sekali," cetus Phoebe, dia baru saja menelan habis roti-roti yang dikunyah di dalam mulutnya.               Summer  melangkah masuk ke dalam mobil dan segera memakai seat belt-nya begitu ia duduk,  "Harus cepat, gawat kalau terlambat."               Phoebe pun melajukan mobilnya. Pagi ini tidak seramai biasanya, hanya ada beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang sepanjang perjalanan dari rumah ke kampus. Jadilah mereka berdua selalu lolos hampir di semua lampu lalu lintas, dan sampai di kampus hanya dalam waktu kurang dari 30 menit.               "Hari ini aku tidak bisa menjemputmu." Phoebe mengingatkan kembali jadwal antar jemput Summer, "Nanti malam ada rapat direksi di kantorku," lanjutnya, sambil membenarkan letak jepit pita di rambut Summer.   "Aku ingat dan aku mengerti.“ Summer mencium kedua pipi kakaknya itu sebelum keluar dari mobil. “Bye.” kemudian tanpa menoleh, ia mengucapkan selamat tinggal pada Phoebe dan segera berjalan melewati gerbang kampus.   Namun baru beberapa langkah memasuki gerbang kampus, tiba-tiba terdengar suara tabrakan bersamaan dengan suara decitan rem yang melengking tinggi. Firasatnya mengatakan itu mungkin mobil Phoebe, Summer mengambil langkah seribu dengan kecepatan tinggi, menghampiri sumber suara.                Benar firasatnya, itu Phoebe. Moncong mobilnya berjarak tipis sekali dengan sebuah motor-yang dia tidak tahu apa jenis dan merknya-yang terlihat mahal. Tipikal motor yang sering digunakan laki-laki keren atau sok keren zaman sekarang.                Summer menghampiri Phoebe yang baru saja keluar dari mobilnya. Ia berusaha secepat mungkin menenangkan kakaknya yang kini sudah membanting pintu mobil agar tertutup. Aura Kemarahan Phoebe mulai memuncak, wajahnya sudah mengisyaratkan kekesalan tak tertahankan saat mendapati ujung bemper depan bagian kanan mobilnya lecet.                "Kau gila, huh?! Ini bukan arena balapan!!" sesuai dugaan Summer, kakaknya benar-benar marah. Semoga dia tidak mengacak-acak laki-laki ini..               "Ada apa, kak? Kenapa bisa begini?" tanya Summer, sekilas memperhatikan postur si pengendara motor yang-kini tengah berusaha bangkit dari aspal-sepertinya tidak asing. Laki-laki itu belum membuka helmnya, ia masih membersihkan jaket jeansnya yang sedikit kotor setelah bergesekan dengan aspal, lalu menaikkan motornya.                "Katakan itu jangan hanya padaku, Nona. Kau harusnya sadar diri."                Suara itu?!                "Axel?!" itu yang keluar dari mulut Summer, bersamaan saat laki-laki itu membuka helmnya.    Phoebe mengamati orang yang baru saja dipanggil Axel oleh adiknya. Ia terperangah, matanya membelalak kaget, ia tidak percaya bahwa pria yang ia berada di depannya sekarang adalah orang yang selalu menjadi tokoh utama cerita adiknya akhir-akhir ini.               Axel menoleh ke arah Summer, sekilas, “Aku tidak percaya sepagi ini sudah bertemu dengan para groupies dan seorang supir wanita yang gila,“ gumamnya.   "Jaga bicaramu," kata Phoebe, setelah konsentrasinya kembali lagi. Matanya menatap tajam Axel, Summer mulai panik. Kisah cintanya bahkan belum dimulai dan kakaknya sudah mengirim sinyal-sinyal permusuhan?               "Motormu yang tiba-tiba berbelok dengan kecepatan tinggi. Kau pikir ini arena balap?!" teriakan Phoebe yang disertai amarah, memicu perhatian orang-orang untuk menonton apa yang sedang terjadi. Sementara itu, Summer bertambah panik kala melihat setetes demi setetes darah segar mengalir dari punggung tangan Axel.                "Ka-kau..tidak apa-apa?" Summer hendak mendekati Axel, tissue sudah siap di tangannya. Namun Phoebe bergerak cepat, menarik lengan baju adiknya.               "Apa yang kau lakukan? Kau lebih mengkhawatirkan cecunguk itu daripada kakakmu?!"               Axel tertawa sinis, "Oh...dia kakakmu?" Ia memandang Summer sedemikian rupa, "Pantas saja. Adik dan kakak sama-sama menyebalkan.”               "Apa?! Oh, Summer! Bisa-bisanya kau menyu—Hmmph?! Hmmph?!!”               Summer membekap mulut Phoebe, "Kak, lebih baik kau segera pergi ke kantor. Urusan mobilmu biarlah menjadi urusanku dengannya," usul Summer, berusaha menyingkirkan kakakknya sebelum berbicara lebih jauh. Jangan sampai kakaknya keceplosan bicara.               Tanpa melepaskan pandangan mengancamnya dari Axel, Phoebe memasuki mobilnya dan segera tancap gas.                "Jangan sampai aku berurusan lagi denganmu." Belum lama setelah Phoebe pergi, Axel menghampiri Summer dan memberikan sejumlah dollar. “Berikan pada kakakmu.”               Summer menerima lembaran-lembaran dollar itu, "Maaf" Tapi kata maaf itu tidak digubris oleh Axel. Laki-laki itu kembali memacu motornya masuk ke dalam area kampus, meninggalkan Summer sendirian dengan perasaan yang campur aduk. Ia tidak yakin Phoebe akan sudi menerima uang ganti rugi dari Axel, tapi jika ia tidak menyerahkannya maka anggapan kakaknya mengenai pria itu akan selalu buruk.   ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD