Semua muda-mudi kota New York tumpah-ruah menyebar di seluruh night club, tak terkecuali Axel. Kini, pria itu baru saja memarkirkan motornya. Dia melenggang santai memasuki salah satu club terkenal di kota yang tidak pernah tidur ini. Memakai jaket yang sama dengan yang dia pakai saat kuliah tidak menyurutkan kepercayaan dirinya. Bagaimanapun para wanita masih bereaksi sama seperti yang biasa mereka lakukan setiap melihatnya: memekik tertahan.
Tampangnya sudah sangat dikenal di sini. Bahkan para penjaga tidak pernah memeriksa identitasnya. Mereka sudah sangat mengenal Axel. Dia masuk ke dalam club begitu saja. Begitu cepat tanpa perlu mengantri seperti beberapa puluh remaja lain yang masih tertinggal di barisan depan pintu masuk club.
Di dalam club penuh dengan gemerlap lampu yang bergerak-gerak membentuk pola-pola khas semarak suasana dunia malam di lantai dansa. Tidak heran hari ini sangat ramai. Ini hari Jumat. Semua orang tampak menikmati alunan musik pop-elektronik dari seorang DJ yang sepertinya belum terlalu terkenal. Para wanita menggoyangkan pinggul mereka, menunjukkan lekak-lekuk tubuh mereka yang gemerlap ditimpa cahaya merah muda, biru neon, dan hijau. Mereka memainkan rambut panjang mereka yang sengaja digerai untuk menarik perhatian para lelaki.
Axel berdiri tepat ditengah-tengah lantai dansa. Mata birunya memintai ke seluruh ruangan. Ia sedang akan berbalik menuju bar ketika ada seorang gadis melewati kerumunan para pedansa berjalan ke arahnya. Gadis itu sangat cantik, dengan balutan gaun satin biru dongker yang melekat ketat di tubuhnya. Rambutnya yang diwarnai ombre keabu-abuan di ujung bawahnya dibiarkan tergerai melewati bahunya.
Axel menghentikan gerakannya. Terpaku menatap gadis itu sampai jarak antara mereka hanya tinggal beberapa langkah saja. Tangan kanan pria itu terulur menyambut si gadis, meraih pinggangnya. Dan yang terjadi selanjutnya adalah kecupan mesra di bawah telinga si gadis, “Kau cantik,” bisik Axel. Tekanan napasnya membuat gadis itu menggeliat geli.
“Yang lain akan segera datang. Kita tunggu saja di sana.” Gadis itu menunjuk arah lain melalui lirikan matanya yang sekelam malam. Axel mengikuti pergerakan gadis itu yang melesat melewati kerumunan para pedansa selicin belut. Setelah menaiki beberapa anak tangga, mereka berdua sampai di meja mereka. Gadis itu memang sudah memesannya: salah satu tempat VVIP yang tentu saja harganya tidak murah.
Mereka berdua duduk di sofa empuk berlapis kulit berwarna hitam. Axel baru saja menyandarkan punggungnya ke punggung sofa saat ia merasakan pergerakan intens di bagian pribadinya. “Grace. Menurutmu apa yang sedang kau sentuh saat ini?”
Gadis yang bernama Grace itu meloloskan tawa renyah dari bibir tipisnya yang dipoles lipstik merah keunguan. “Sejak kapan kau jadi kaku begini? Kau tahu, aku menginginkanmu.”
Axel menepis tangan Grace yang dilingkari tato sebuah kalimat berbahasa Thailand di pergelangan tangannya. Grace menggerakkan tangannya yang halus itu menjauh dari-sesuatu- yang-disentuhnya-tadi-sambil menggerutu. “Apa rumor kau sudah bertunangan itu benar?”
Axel menatap Grace dengan tatapan dingin. Jelas ia tidak tertarik dengan topik bahasan ini. Hanya satu orang yang pantas disalahkan, “Apa Key yang mengatakannya padamu?” Axel menegakkan bahunya. Kemudian ia mencondongkan badannya ke depan, mengambil sekotak rokok dan korek api yang tergeletak di atas meja. Lalu ia menyulut salah satu batang rokok dari kotak itu. Mungkin orang sebelum mereka yang meninggalkannya, jelas ini bukan milik Grace. Gadis itu tidak suka rokok yang rasanya terlalu pekat seperti ini.
“Jadi itu benar?” Suara Grace meninggi. Sorot matanya mendadak berubah menjadi galak. “Aku kira hubungan kita selama ini—“
“Dengar..” Axel memotong. “Kalau kau mengajakku ke sini hanya untuk menuntut atas apa yang kau inginkan—memilikiku—seharusnya aku tidak menerima ajakanmu.” Dengan ekspresi tidak karuan menahan kesal, Axel berdiri. Dia hanya ingin bersenang-senang malam ini tapi Tuhan seakan tidak mengizinkannya.
“Axel?”
Axel menoleh. Steve, mejanya tepat bersebelahan dengan meja Axel dan Grace. Pria itu duduk bersama beberapa orang yang di antaranya ada wajah-wajah yang tampak familiar bagi Axel. Sepertinya mereka pun satu kampus dengannya. Salah satu pria yang duduk di sofa paling pojok adalah pria bermata abu-abu yang tadi juga sekelas dengannya. Axel masih bisa mengenalinya meskipun separuh wajahnya tertutup kegelapan. Pria itu mengangguk sekali ke arahnya. Axel membalas.
“Apa kau sering ke sini?” tanya Steve. Ia melirik beberapa kali mengamati Grace dari ujung kepala sampai ujung kaki. Gadis itu membalas menatap Steve.
Dasar jalang, pikir Axel. Belum genap 5 menit sejak Grace menuntut ingin memilikinya dan sekarang gadis itu sudah tebar pesona pada pria lain. Gadis-gadis seperti Grace-lah yang menjadi salah satu alasan Axel enggan membina hubungan percintaan yang serius.
Tampilan Steve menunjukkan dia anak orang kaya. Axel menghirup harum yang akrab dengan hidungnya. Acqua Di Gio dari Giorgio Armani. Bau itu menguar dari tubuh jangkung Steve. Parfum yang sama dengan yang dia pakai. Axel berpikir tampaknya dia harus mencari parfume lain sekarang, secepatnya.
“Hanya beberapa kali dalam sebulan. Kau?”
“Yah, hampir tiap akhir minggu. Tempat ini yang terbaik menurutku.” Steve berhenti sesaat, “termasuk para wanitanya, jika kau tahu maksudku.” Ia menyunggingkan senyum miringnya ke arah Grace sambil menjaga agar volume suaranya hanya terdengar oleh Axel. Steve menggeser pantatnya, “Duduk di sini, Buddy.” Ajaknya. Ia menepuk-nepuk tempat kosong persis di sebelahnya.
Axel mendorong Grace, “Duduklah di sampingnya. Aku duduk di sini.” Grace menurut.
Steve menyambut gadis itu dengan kedua tangannya terulur ke depan seakan-seakan siap memeluk gadis itu. Grace menurut dan menyambut uluran tangan Steve. Akhirnya mereka berdua duduk berdampingan, tangan kanan Steve melingkar di pinggang Grace, hampir menyentuh pantatnya. Grace menempel di pundak pria yang belum sehari Axel kenal itu dengan nyaman. Axel berusaha menutupi rasa tidak sukanya pada Grace. Bagaimanapun gadis itu pernah menjadi teman baiknya. Tentu saja sebelum ia menyambut uluran tangan Steve dan membiarkan pria itu mendapatkan perhatiannya semudah membalikkan telapak tangan.
“Jadi kau ingin minum apa?” Steve melirik ke deretan botol-botol minuman keras yang tertata rapi hampir memenuhi meja di depan mereka. Axel mengikuti arah pandang Steve. Tatapannya mengeras pada salah satu botol minuman dengan tutup berwarna emas.
Steve terkekeh pelan, “Chateau d’Yquem? Seleramu bagus, Buddy.” Steve memberikan isyarat pada salah satu pria yang terlihat seperti bodyguard-nya. Pria itu berbadan tinggi besar layaknya tukang pukul. Badan kekarnya dibalut setelan jas berwarna hitam yang tampak sesak menutupi otot-ototnya. Dia menuangkan isi botol wine itu ke dalam gelas kosong yang tersedia lalu menyerahkannya pada Axel.
Axel menerima gelas itu, menggoyangkannya, seperti mengaduk-aduk. “Berhentilah memanggilku begitu. I feel like those golden haired animal who likes to chasing some balls.” Axel memprotes. Nada suaranya sedikit meninggi, kemudian tenggelam di antara wine yang ia teguk.
“You’ll never be something like that. I could tell that you only chase after those pussies.”
Dan ketegangan itu sejenak memudar. Entah apa yang membuat Axel merasa pria ini sedikit banyak mirip dengannya. Detik selanjutnya yang terdengar hanyalah candaan mesum di kalangan pria.
“Hei, Steve! Maaf membuatmu menunggu lama.”
Axel hampir tersedak kaget saat seorang gadis datang tiba-tiba dari samping kanannya. Suara gadis itu sangat lantang saat menyebutkan nama Steve, dan juga terdengar sedikit tomboy. Sungguh berbanding terbalik dengan tampilannya yang anggun. Sekilas dari belakang, gadis ini terlihat mirip dengan Summer.
“Elle! Akhirnya kau datang, Sayang! Bagaimana show-mu di Milan? Maaf aku tidak bisa datang.” Steve berdiri, memeluk gadis bernama Elle itu, dan mengecup kedua pipinya. Hal yang sama dilakukan oleh Elle.
“That was so amazing! Sejujurnya aku sedikit kesal karena kau tidak bisa datang. Berjanjilah kau akan datang lain kali.” Elle duduk di sebelah kiri Steve. Pria itu tampak menikmati duduk di antara dua gadis menawan sekaligus. Dua gadis itu bergaya sangat kontras. Elle mengenakan gaun putih panjang dengan belahan tinggi hingga hampir pangkal pahanya. Rambutnya ia gelung ke atas, menampakkan leher jenjangnya yang ramping dan indah. Axel akan dengan sangat senang hati membenamkan wajahnya di sana, tapi tidak malam ini. Bahkan Grace tidak bisa menggodanya. Dia sedang tidak mood untuk bermain dengan nafsu.
“Elle adalah teman wanitaku yang paling baik di antara yang terbaik. Bulan depan wajahnya akan menghiasi cover majalah yang bernama sama dengan dirinya.” Steve mengerling pada Elle. “Malam ini kau sungguh menawan. Cantik.”
Elle tertawa. Anting-antingnya yang panjang bergerak-gerak seirama dengan gerakan kepalanya, “Apakah kecantikanku ini sudah mengalahkan kecantikan mantan kekasihmu itu? Oh, what’s her name again? Namanya terdengar aneh untukku.”
“Summer.” Suara Steve terdengar berat saat mengucapkan nama itu.
Pegangan tangan Axel pada gelas yang berada dalam genggamannya mendadak mengerat.
“Ah, ya! Itu dia namanya. Tidakkah orang tuanya memiliki ide nama yang lain saat menamainya dengan nama itu?” Elle mulai berceloteh. Axel baru saja melihat kebenaran perkataan para tua, bahwa tidak semua yang tampak cantik luarnya, memiliki kecantikan yang sama di dalam diri mereka. Elle adalah salah satu bukti nyata dari perkataan itu. Parasnya memang cantik, tubuhnya bak bidadari, tapi sifatnya buruk. Sampai hati dia menghina nama orang lain yang bahkan tidak ia kenal?
“Kau belum menceritakannya sampai tuntas, Honey.” Elle merogoh clutch bag-nya, mengeluarkan sekotak rokok dari dalam sana, lalu mulai menyulut rokok itu. “Kau tahu bagaimana aku. Aku tidak suka mendengarkan cerita yang setengah-setengah.”
Steve meletakkan jemarinya di bawah dagu. Badannya ia condongkan ke depan mengikuti letak sikunya yang ia letakkan di atas dengkul kanannya. “Bagian mana yang belum kau dengar? Ah, Axel kau tidak keberatan kalau aku menceritakan tentang Summer pada temanku, kan? Aku yakin kau pun tertarik mendengarnya. Bagaimanapun kau belum benar-benar mengenalnya.”
Axel tidak menjawab, dan Steve memang tidak menunggu jawaban Axel karena pria itu segera memulai ceritanya, “Mantan kekasihku itu dikenal suka mendekati banyak lelaki. Entah sudah berapa banyak mantan kekasihnya. Bahkan aku yang memang pecinta wanita ini saja mungkin kalah dengannya.”
Axel menajamkan pendengarannya. Sesekali matanya melirik, lalu mengamati perubahan wajah Steve. Elle tampak antusias menyimak setiap detail cerita Steve, sementara Axel tampak bersusah payah menahan rasa panas yang mulai menggerogoti kesabarannya.
Brengsek.
Axel menimang-nimang langkah apa yang sebaiknya ia lakukan saat ini.
Menghindar. Pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Akal sehatnya menyarankan itu.
Axel menghabiskan minumannya dalam sekali tegukan besar. Rembesan wine mengalir dari sudut-sudut bibirnya. Hal terakhir yang ia ingat, ia sedang menyeka bibirnya dengan punggung tangan kanannya, sebelum amarah menguasai dirinya.
***
Axel memasuki gerbang kampus dengan gontai. Kepalanya masih sangat pusing sampai-sampai Damian tidak membiarkannya mengendarai motor sendiri. Sepupunya itu mengantarkan Axel sampai kampus dan berjanji akan menjemputnya usai kuliah berakhir. Sekarang Axel merasakan cacing-cacing di perutnya meronta-ronta menuntut makanan. Summer, gadis itu memberitahunya ia sedang berada di kantin dan sudah memesankannya roti isi. Ada sedikit semangat yang memompanya untuk cepat-cepat menyusul Summer ke sana.
Masuk ke lorong kedua dari lorong utama kampus, Axel berbelok ke kiri. Papan kayu berwarna coklat bertuliskan “Kantin” menyambutnya saat memasuki pintu setinggi hampir 3 meter. Aroma harum berbagai macam masakan menguar mengelilingi ruangan. Di meja paling belakang deretan kedua dari kanan, Summer duduk. Di atas meja di depannya sudah tersedia 2 piring roti isi, sepiring penuh kentang goreng, dan dua kaleng susu coklat dingin. Summer menyadari kehadiran Axel. Gesekan sneakersnya terdengar sedikit lebih jelas dari biasanya.
“Kau terlihat sangat...berantakan,” kata Summer. Menatap takjub melihat penampilan Axel yang lebih berantakan dari penampilan sehari-harinya yang memang sudah sangat berantakan. Axel duduk di kursi bersebelahan dengan Summer sekarang. Tanpa malu-malu ia menyomot habis roti isinya hanya dalam hitungan detik. Dia bahkan hampir tersedak kunyahannya sendiri. Kalau saja Summer tidak siap memberikan minuman padanya, bukan tidak mungkin sarapan pagi ini adalah sarapan terakhirnya.
“Pelan-pelan saja. Tidak akan ada yang mengambil makananmu—hey! Itu makananku!!!.” Pandangan Summer tidak bergerak dari mulut Axel yang tengah mengunyah roti isi bagian Summer. “Aku bahkan belum mencicipinya...” ucap Summer pasrah. Ia hanya bisa memandangi bagaimana roti isi itu lenyap dari tangan Axel, berpindah ke mulutnya dan mungkin sekarang ada beberapa bagian yang sudah dalam proses pencernaan.
Tanpa menghentikan kunyahannya Axel menimpali, “Baiklah, apa kau ingin aku menceritakan bagaimana rasa roti isi ini? Aku bisa membuat live report layaknya presenter acara makan di TV.”
“Semakin lama sifat menyebalkanmu itu tidak malu-malu lagi menampakkan sosoknya.” Summer menggeser kaleng susu coklatnya menjauh dari tangan Axel. Pria itu nyaris merampas miliknya lagi. “Paling tidak, jangan yang ini,” imbuh Summer.
Axel menelan kunyahan terakhirnya, “Kudengar susu coklat baik untuk pertumbuhan dadamu. Minumlah yang banyak, kelak pacarmu akan sangat mencintaimu.”
“Yah, aku tidak bisa lebih setuju lagi. Waktu kecil dulu aku tidak terlalu suka minum susu, mungkin itu sebabnya pertumbuhanku terhenti di ukuran.... HEI! Apa maksudmu??? Oh..Gosh......,kenapa kalian para pria tidak pernah tidak berhenti memikirkan hal-hal mesum?” Summer menyandarkan punggungnya ke kursi. Kaki kanannya ia tumpangkan ke kaki kirinya sehingga posisinya sekarang menyilang. Rok bunga-bunga tulip berwarna putihnya sedikit terangkat, memperlihatkan hampir setengah bagian pahanya.
Axel nyengir, “Kenapa tidak kau lanjutkan kalimatmu tadi? Jadi berapa ukuranmu?” Sesaat Axel terlihat seperti memperhatikan intens tubuh bagian atas Summer, sebelum gadis itu menjejakkan kakinya keras-keras ke kaki kiri Axel. “Meleset.” Summer tidak menyangka pria itu memiliki refleks yang bagus. Kakinya tidak mendarat tepat di atas kaki pria itu melainkan di lantai. “C cup?”
“Meleset.” Summer menjulurkan lidahnya.
Sebelah alis Axel terangkat. Ia seperti meremehkan, “Jangan kau kira aku tidak tahu trik-trik kalian para wanita. I guess it’s push up then....” Perkataan Axel disambut tawa Summer kemudian.
“Oh, Tuan Kennedy. Jangan katakan kalau selama ini kau telah tertipu dengan ukuran yang kasat mata.” Summer memegangi perutnya yang terasa sakit karena terlalu keras tertawa. “Tapi tenang saja. Kau bukan satu-satunya pria yang mengalami hal itu.”
“Bagaimana dengan Steve?”
Tawa Summer reda seketika. Ada perasaan aneh saat ia menatap Axel yang kini tengah menggeletukkan giginya. Rahangnya mengeras, dan pria itu menelan ludah berat. “Anggap aku tidak pernah bertanya.” Suasana berganti cepat menjadi kelam. Nuansa canda tawa antara mereka berdua hilang seketika. Summer menarik siku Axel saat pria itu bermaksud pergi.
“Kenapa kau tiba-tiba menyebut namanya?.......dan apa maksud ekspresimu itu?” Summer menatap Axel penuh selidik. Iris coklatnya bergerak tajam mengikuti pergerakan manik-manik biru yang berusaha menghindari tatapannya. “Axel, sejak kapan kau mendapatkan lebam di rahang kirimu itu? Kau berkelahi semalam? Dengan sia—oh, tolong katakan bukan.....”
“Hai. Apa kabar?”
Entah sejak kapan Steve berdiri di belakang mereka. Summer mengutuk firasatnya yang ternyata tepat. Dugaan Axel kemungkinan besar berkelahi dengan Steve sepertinya bukan sekedar dugaan. Meskipun ia sendiri tidak tahu kapan dan dimana perkelahian antara dua pria itu terjadi, serta apa penyebabnya. Summer sengaja tidak mengatakan apa-apa, dan menunggu Axel atau Steve membuka suara terlebih dahulu.
“Aku....aku ingin minta maaf soal semalam.” Steve duluan berbicara. Ia mengulurkan tangannya ke depan tanpa ragu, dan Summer berdecak kagum. Gadis itu tahu bagaimana sosok seorang Steve yang selalu menganggap dirinya yang paling benar dan hebat dibanding orang lain. Steve menjabat tangan Axel dan melakukan beberapa gerakan salaman khas pria yang sampai sekarang tidak Summer mengerti, kenapa para pria harus melakukan itu?
“Tidak masalah. Aku juga minta maaf telah menghajarmu. Kuharap kau tidak harus ke rumah sakit semalam—sepertinya aku meninju perutmu terlalu keras”
“Aku hanya memuntahkan sedikit makananku. Selebihnya, aku tidak apa-apa.”
“Bisakah kalian jelaskan apa yang terjadi?” Summer menyela, “Tiba-tiba saja kau menghampirinya, memohon maaf, kemudian menceritakan bahwa semalam kau memuntahkan sedikit makananmu.” Summer mengernyit sebal. Ia menuntut penjelasan pada Axel.
Steve hanya melirik Summer sebentar, kemudian berpaling kembali pada Axel, “I don’t know she’s your girl.”
”Sekarang kau tahu dan aku harap tidak ada lagi pembicaraan mengenai topik semalam.”
“Aku bukan tipe pembual, Axel.”
“Mungkin kau hanya tipe yang suka mengarang cerita,” timpal Axel seraya mengambil tas punggungnya dan menyampirkan benda tersebut di bahu kanannya. Ia tidak ingin berselisih sekarang. Yang ia inginkan saat ini hanyalah melanjutkan makan dengan tenang di tempat dimana ia tidak bisa melihat wajah Steve beberapa saat saja.
“I bet you don’t even know anything about her.”
Axel berlalu melewati Steve tanpa menoleh ke belakang meskipun Summer memanggilnya berulang kali. Tindakan Axel yang tidak mengacuhkan teriakannya, menuntun Summer segera bergerak merapikan semua barang-barangnya kemudian lari menyusul Axel yang sudah lebih dulu meninggalkan kantin. Pria itu belum terlalu jauh saat Summer berhasil menyusulnya meski harus terengah-engah.
“Kau belum menceritakan tentang itu padaku.” Summer berusaha menyamai langkahnya dengan Axel. “Sejak kapan kau cukup dekat dengan Steve untuk terlibat pertengkaran dengannya?”
Axel melenguh singkat, “Harus kuakui kau memiliki rasa keingintahuan yang luar biasa.” Kemudian ia menghentikan langkahnya, mengubah arah pandangnya menuju Summer. “Baiklah....aku akan menceritakannya padamu. Berjanjilah kau akan berhenti menuntut selama berada di dalam kelas nanti.”
Summer mengangguk mengerti, “Oke. Aku berjanji!”
“Bagus. Tunggu aku di taman depan kampus setelah kuliahmu berakhir.”
“Baiklah, aku menunggu di tempat biasa kita mengerjakan tugas.” Itu kalimat terakhir Summer, sebelum gadis itu berbalik dan menyusuri lorong yang berbeda dengan Axel. Hari ini ada tiga kelas mata kuliah yang harus ia hadiri. Hanya di mata kuliah tata ruang saja ia dan Axel sekelas. Dosen dari ketiga mata kuliah itu mengadakan tes tulis, dan bagi yang mendapatkan nilai di bawah B, wajib mengikuti kelas tambahan. Sistem pembelajaran seperti itu mengingatkan Summer akan sebagian kenangan dirinya saat masih SMA dulu. Kelas tambahan bagai mimpi buruk yang tidak diinginkan Summer untuk mampir ke dalam tidurnya. Meskipun kuat sekali keinginan Summer untuk melewatkan salah satu mata kuliah, logikanya masih setia mencegahnya.
***
Summer hampir saja lupa pada janji temunya dengan Axel. Ia nyaris mengiyakan Phoebe yang akan menjemputnya sekarang. Semoga saja ceritanya cukup menarik untuk membayar pengorbananku yang harus naik taksi, batinnya. Tapi itu tidak masalah, setidaknya Summer bisa mampir sebentar ke toko kue langganannya untuk menikmati sepotong kue coklat leleh. Selama ini ia tidak bisa menikmati kue itu dengan tenang karena kehadiran Phoebe bersamanya. Phoebe pecinta coklat, apapun yang berhubungan dengan hasil olahan cocoa itu tidak akan pernah luput dari mulutnya, termasuk kue bagian adiknya.
Memasuki taman depan kampus, Summer menghela napas lega. Sore ini tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa kelompok pemandu sorak yang sedang berkumpul di bawah meja berpayung dengan warna hijau Starbucks. Summer mengenal beberapa dari mereka. Dua di antaranya pernah dengan sengaja mendorong Summer hingga hampir terjatuh dari tangga. Tentu saja, apalagi kalau bukan kedekatannya dengan Axel yang menjadi motif mereka melakukan itu. tapi, tidak ada siapapun bahkan kakaknya yang mengetahui perihal itu. Menurut Summer, tindakan kekanakan layaknya bocah SMP itu hanya akan membuang-buang waktu saja kalau diperkarakan.
Baiklah.....dimana si tampan itu sekarang?
Summer mulai tidak nyaman. Para pemandu sorak itu mulai mengamatinya dengan tatapan sinis sebelum tertawa keras dengan nada meremehkan. Jelas saja ia sedang jadi pokok pembicaraan saat ini, apapun itu objeknya, entah baju yang dipakainya sekarang, rambutnya yang mungkin sudah kusut, atau ada sesuatu di wajahnya. Sebenarnya Summer sungguh penasaran dengan apa yang mereka tertawakan, tapi ia tidak ingin membuat mereka semakin menertawakannya hanya karena ia mengeluarkan cermin dan berkaca memastikan tidak ada satu nodapun di wajahnya. Itu sama saja dengan terlihat tidak percaya diri dan mudah terpengaruh dengan cemoohan yang belum tentu benar. Seharusnya, kuliahnya sudah usai sepuluh menit yang lalu...tunggu, bukankah itu Axel?
Summer melihat Axel berjalan lurus melewati taman depan menuju gerbang depan kampus. Ia seperti terburu-buru, langkahnya sudah setengah berlari. Handphonenya menempel di telinga, Summer sempat menangkap pergerakan bibir Axel. Pria itu sedang berbicara dengan seseorang dari seberang sambungan teleponnya. Entah dorongan darimana yang membujuk Summer bergerak mengikuti pria itu, diikuti sorak-sorai ejekan para pemandu sorak yang mengira Summer pergi karena lemah.
Axel berjalan menyusuri trotoar yang berbatasan langsung dengan pagar wilayah kampus, lalu berhenti tepat di kedai teh cina yang cukup terkenal di area ini. Pria itu sama sekali tidak menyadari kehadiran Summer. Ia terlalu fokus dengan handphonenya, dan itu membangkitkan rasa penasaran Summer. Terlintas di pikirannya untuk menghampiri pria itu, dan memberikan sedikit kejutan padanya.
“Hai, Sayang!”
Summer tertegun. Di depannya, ia melihat seorang wanita berambut coklat kemerahan menubruk Axel dan memeluknya dari belakang. Wanita itu melepaskan pelukannya setelah Axel memutarkan badannya untuk bisa melihat wajah wanita itu, kemudian sebentuk ekspresi penuh kaget terlukis di wajahnya.
“Andrea?!”
Siapa dia? batin Summer. Summer mengertakan rahangnya. Ia memperhatikan tingkah laku yang ditunjukkan Axel dan gadis asing bernama Andrea itu. Mereka berdua tampak akrab dan asyik bercanda satu sama lain. Benaknya seperti berputar sendiri ke malam di saat Summer mengikuti Axel ke sebuah club usai mengerjakan tugas Mrs. Darcy.
Penampilan Andrea jelas berbeda dengan gadis-gadis itu. Dia terlihat lebih berkelas. Bahkan walau hanya dalam mimpi, Summer rasa ia tidak akan bisa menyaingi gadis itu. Ia melirik sekilas pada Andrea yang sedang menatap Axel penuh cinta, lalu menengadahkan wajahnya ke atas, menatap langit senja yang terlihat buram melalui genangan air matanya.
Summer menarik nafas panjang, berusaha mempersiapkan hatinya. Ia berjalan seperti biasa ke arah dua orang itu. Andrea yang lebih dulu menyadari kehadiran Summer. Ia memasang wajah penuh tanya dan heran, sementara Axel tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Hey, aku mencarimu kemana-mana, kau bilang akan menceritakan suatu hal padaku.”
“Ah.. ya. Aku baru saja selesai kuliah.”
“Jadi, bagaimana...?” Summer mengangkat kedua bahunya, meminta Axel memenuhi janjinya tadi siang.
“Eh...itu...”
“Sayang? Apa kau masih ada urusan?” suara Andrea terdengar dari belakang Axel.
That’s it! Pikir Summer, I had enough.
“Apa aku mengganggu?” tanya Summer setelah Axel bereaksi atas pertanyaan Andrea.
“Tidak... begini, Summer...”
“Ah...” Summer mengatupkan kedua tangannya seolah mendapatkan sebuah kesimpulan, “...dia wanita yang kalian bicarakan?”
“Apa?”
“Ayolah, Axel. Aku mendengar sekilas percakapan antara kau dan Steve tadi. Kalian membicarakan tentang seorang perempuan, kan? Dan sekarang semua tampak jelas untukku.”
Axel bengong. Mendadak otaknya bekerja sangat lambat untuk memproses kata-kata Summer barusan.
“Jadi ini yang ingin kau ceritakan padaku?” Summer bersuara. Kedua matanya menatap Axel dan wanita yang bernama Andrea itu bergantian. Ia melengos, “Seharusnya aku tahu.”
“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Axel bergerak menjauh dari Andrea. Sekarang semuanya seperti adegan dalam film romantis. Dimana si pemeran pria terpergok selingkuh oleh si pemeran wanita. Masalahnya dalam adegan ini, Summer bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Axel selain teman biasa yang dekat karena berada dalam satu kelompok tugas yang sama.
Dan itu mengingatkan Summer, kenapa ia harus marah pada Axel yang sedang bersama wanita lain? Juga kenapa Axel mencegahnya untuk berpikir yang tidak-tidak. Baiklah, mungkin pria itu tidak ingin reputasinya lebih buruk dari ini. Mungkin pria yang berada di hadapannya saat ini, sedikit cemas kalau Summer akan berbicara yang tidak-tidak tentang dirinya pada orang lain.
Summer memejamkan matanya sesaat, lalu membukanya, “Pikiran seperti apa?” kata Summer. “Aku bukan tipe perempuan yang senang mengolok-olok temanku sendiri di hadapan orang lain. Kau tenang saja...” Hati Summer sedikit nyeri saat menyebutkan kata ‘temanku’. Ia tahu, perasaannya selama ini pada Axel lebih dari sekedar teman. Setelah semua kebersamaan mereka, bohong kalau ia tidak berharap suatu saat Axel merasakan perasaan yang sama. Namun, pemandangan yang ia lihat saat ini seolah menjadi pertanda bagi Summer untuk menyudahi semua harapannya.