Summer: Chapter 10

3647 Words
  Sudah hampir satu minggu lamanya sejak kejadian itu. Sejak itu pula, Axel tidak pernah melihat Summer di kampus. Saat ia bertanya pada salah satu teman Summer, Helena, gadis itu bilang Summer tidak memberitahunya apa-apa selain mengatakan keinginannya untuk bolos kuliah entah sampai kapan. Axel pun tidak lantas menghubungi Summer terus menerus. Ia menghormati keputusan Summer jika gadis itu memang ingin menghilang untuk sementara waktu. Damian bilang semua gadis perlu waktu untuk memulihkan perasaan, tapi apa hubungannya dengan Summer? Apa gadis itu sakit hati melihatnya bersama Andrea waktu itu? Tapi, kenapa? Apa Summer menyukai... Tidak. Axel tidak ingin berpikir mengenai hal itu. Gadis seperti Summer tidak mungkin menyukai pria sepertinya. Bukan. Gadis seperti Summer tidak boleh menyukai pria seperti seorang Axel Kennedy. “Kenapa denganmu akhir-akhir ini?” Damian menunggu di jalan masuk menuju tangga lantai dua. Posisinya ia buat sedemikian rupa hingga kakinya dapat menghalangi jalan sepupunya itu. Ia sudah melepas jas kerjanya. Lengan kemeja biru mudanya digulung sampai siku. Matanya tertuju pada layar ipad yang ia pegang, memeriksa email dan memastikan jadwal kerjanya. Ia menggeser-geser layar itu beberapa kali, lalu menguncinya, menurunkan kakinya yang tadi dipalangkan ke depan agar Axel tidak bisa melewatinya. Kemudian, sambil menarik tas jinjing Axel, dengan kasar Damian menyeret sepupunya itu ke ruang tengah lalu mendudukkannya di atas sofa. Tubuh Axel terhempas begitu saja tanpa ada energi. Ia tidak melakukan perlawanan apapun dan dia sedang tidak ingin berdebat sekarang. “Bolehkah aku pergi ke kamarku? Aku sangat lelah. Aku perlu tidur.” Damian berdecih kesal, “Ya. Tentu saja kau butuh tidur. Entah sudah berapa hari kau belum tidur—kau bertingkah aneh. Ada apa? Ini tidak seperti dirimu.” Ada kekhawatiran di sorot mata Damian. Axel menunduk menatap dirinya sendiri. “Apa maksudmu ini bukan seperti aku? Lihatlah, aku masih Axel yang tampan, keren, dan pujaan wanita.” Bibirnya berkedut aneh saat mengucapkan itu. Axel berusaha terdengar baik-baik saja, tapi itu semakin menguatkan spekulasi Damian bahwa telah terjadi sesuatu pada sepupunya itu. Damian beringsut duduk di sebelah Axel. Ipadnya sudah tidak tahu ada dimana. Aura Damian seperti menekannya untuk berbicara, membuat Axel sedikit gugup. Ia mengusap wajahnya berkali-kali dengan frustrasi. “Kau tahu. Kau tidak bisa menyembunyikan sesuatu dariku. Aku selalu bisa mencari tahu. Aku selalu bisa menebak segalanya dengan benar,” kata Damian penuh percaya diri. “Kau ingin aku menebaknya, atau kau yang mengatakannya lebih dulu?” Axel memandangi Damian. Tidak ada keraguan di mata pria yang hampir berusia 26 tahun itu. “Tahukah kau, Damian? Kau sangat tampan. Kenapa sampai sekarang kau belum memiliki kekasih?” Damian tertawa keras. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Jangan alihkan pembicaraan,” katanya. “Aku tidak bercanda.” Damian berhenti tertawa lalu memandangi Axel, “Baiklah, ini mulai terdengar sangat gay.” Axel menutup bibirnya rapat-rapat. Damian menghela napas panjang. “I just wondering... if.. ah..” Axel mulai bicara, lalu berhenti. Hatinya masih berdebat haruskah ia mengatakan ini pada Damian? “Apa kau pernah merasa bingung harus berbuat apa saat menghadapi persoalan yang seharusnya itu bisa kau selesaikan dengan mudah?” Pada akhirnya, ia menyelesaikan kalimatnya. “Semua orang pernah mengalami itu,” kata Damian. Dia bergerak perlahan, menyandarkan dirinya di pojokan sofa. Ia memperhatikan Axel yang berada di pojokan lainnya dengan keheningan seorang pemancing yang menunggu umpannya dimakan. “Kau ingat—saat kita bertemu di depan hotel dulu? Hotel tempat kau mengadakan meeting dengan klien perusahaanmu. Aku bilang aku sedang mengantarkan temanku.” “Yap. Kenapa tiba-tiba kau membicarakan itu? Apa kau melakukan sesuatu yang aneh di sana tanpa sepengetahuanku?” “Sesuatu yang aneh bagaimana maksudmu?” Axel bertanya dengan nada yang sedikit meninggi. “Kau ingin aku teruskan atau tidak?” “Baiklah. Maafkan aku, aku tidak tahan untuk menimpali. Kau tahu kan kalau kelakuanmu sering membuat orang lain berpikiran ‘menyimpang’?” “Kau belum berubah untuk sifatmu yang satu itu.” kata Axel tegas. Selanjutnya ia terdiam beberapa saat karena tiba-tiba merasa ingin marah tanpa sebab yang pasti. “Jadi, ini ada hubungannya dengan teman yang kuantar saat itu.” Damian mendengarkan dengan sangat serius. Sejumput rambutnya jatuh di depan matanya. Jelas sekali tadi pagi ia bangun kesiangan dan terburu-buru berangkat ke kantor. Mungkin ia memakai pomade di rambutnya sambil menyetir dengan satu tangan. Masih ada bagian rambutnya yang tidak terkena pomade, dan ada beberapa bagian yang sedikit lebih banyak terkena pomade. “Dia teman satu kelompokku. Seorang gadis, namanya—“ “Summer.” Axel menatap takjub Damian. “Bagaimana—bagaimana kau bisa tahu nama gadis itu?” Damian berkata dengan tenang, “Coba kau pikir. Kau mengantarkannya ke hotel, tempat dimana aku melakukan meeting bersama klienku. Tidakkah kau bisa menduga, ada kemungkinan dia mengantarkan sesuatu untuk kenalannya yang bekerja di hotel, atau justru....” “Teman satu kantormu. Hebat! Dunia begitu sempitnya!” “Dan bisa juga, klien kantorku.” Damian menambahkan. “Jadi, dia teman satu kantormu atau klienmu?” “Dia teman satu kantorku. Phoebe McKenzie.” “Phoebe? Berarti dia wanita gila itu?” Bayangan seorang wanita berambut bob pendek ala Victoria Beckham muncul di benak Axel. Sepertinya dia ingat siapa yang bernama Phoebe itu. Axel pernah menabrak mobil Phoebe dan mereka berdua sempat nyaris terlibat pertengkaran di depan kampus. “Wait a minute. Wanita gila?” “Ceritanya panjang... percayalah, itu hanya emosi sesaat.” Axel mencari kata-kata yang tepat karena nampaknya Damian agak terganggu dengan kalimatnya barusan. Setelah ia selesai dengan sesi curhat-nya, Axel akan memastikan apa hubungan antara Damian dan Phoebe. “Baiklah, apa yang terjadi antara kau dan Summer?” Damian mulai menyelidiki lebih dalam. “Apa dia salah satu pacarmu lalu dia marah mengetahui bahwa dia bukanlah satu-satunya?” Axel mulai berbicara dengan nada jengkel, “Apa kau mulai menonton drama percintaan kesukaan para kaum hawa itu? Ayolah, apa menurutmu masalah seperti itu benar-benar bisa mempengaruhiku seperti ini?” “Err, tidak, sih. Seharusnya untuk playboy sepertimu, masalah seperti itu bukanlah hal yang perlu cemaskan. Kau selalu bisa meng-handle mereka, bukan?” Axel memejamkan matanya untuk beberapa detik. “Ah, kepalaku pusing.” Ia memijat pelipisnya pelan. “Jangan memandangiku dengan tatapan kasihan seperti itu, Damian.” Alis Damian terangkat ke atas, “Kau belum menjawab pertanyaanku.” Dilihatnya Axel mulai menarik napas panjang. Here we go, gumamnya dalam hati. Sepertinya ini akan memerlukan waktu yang lama. *** “Lalu kau sudah bertemu dengannya?” Damian meneguk segelas air putih dingin yang baru ia ambil lima menit yang lalu. Bulir-bulir air tampak mengaliri bagian luar gelas, menunjukkan suhu yang dimiliki air di dalamnya. “Tidak sama sekali. Dunia seperti menelannya.” Axel melepaskan kemeja flanel merahnya, meninggalkan kaos tanpa lengan berwarna hitam di badannya. “Haruskah aku pergi ke rumahnya?” “Tidak. Itu hanya akan membuatnya semakin tidak ingin menemuimu.” Axel mengacak-acak rambutnya, “Argh!! Kenapa wanita selalu susah dimengerti?!” Damian merutuk, “Kenapa kau harus repot mengurusinya? Bukankah kau tidak memiliki perasaan apapun padanya?” Axel terdiam. Apa aku punya perasaan terhadap Summer? “Hey, semakin kau diam akan semakin mencurigakan.” Axel menghembuskan nafas lalu menutup matanya. “Kau menyukainya.” cetus Damian. Itu bukan sebuah pertanyaan melainkan lebih ke sebuah pernyataan. “Aku belum tahu. Aku belum bisa memastikan perasaan apa yang kumiliki untuknya. Dia memang teman yang menyenangkan. Dia cerewet, dan aku benci segala tingkahnya yang selalu ingin menempeliku. Tapi di sisi lain, aku merasa ada yang kurang tanpa itu semua.” “Lihat? Dibandingkan wanita, pria sepertimu itu lebih susah dimengerti.” Damian cengar-cengir. Axel hanya menyunggingkan smirk khasnya. Menurutnya apa yang dikatakan Damian sedikit lucu walaupun menohok di saat yang bersamaan, tapi ia terlalu lelah untuk menunjukkan cengir kuda seperti sepupunya itu. Axel mengangkat tangannya ke atas, melakukan peregangan sampai terdengar bunyi ‘klek’ dari bahunya. “Seharusnya kau tidak perlu memusingkan gadis seperti Summer. Kau bisa pergi ke club  dan bersenang-senang dengan gadis-gadis seksi seperti yang biasa kau lakukan,” cerocos Damian. Ia menaikkan kakinya yang berkaus kaki hitam ke atas meja, dan hampir menyenggol gelas minumnya. Axel menggelengkan kepalanya, “Aku juga inginnya begitu. Tapi, entahlah—semua masalah ini bahkan mengubah moodku yang biasanya tidak betah di rumah menjadi tidak ingin meninggalkan rumah ini kecuali ke kampus.” Axel mengambil gelas minum Damian dan memutar-mutarnya sedemikian rupa seperti sedang menikmati segelas wine mahal. “Baguslah. Kau jadi bisa menghemat uang jajanmu, dan tidak perlu khawatir kalau-kalau kartu kreditmu mencapai limit sebelum waktu yang ditentukan.” Damian berhenti, berusaha menahan tawa. “Bukankah pacar-pacarmu itu selalu menghabiskan uangmu?” Aku tahu. Axel ingin berkata, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya menatap Damian yang lingkaran matanya lebih menghitam karena terlalu banyak lembur. Mendadak, ia teringat Phoebe. Kakak Summer yang sangat membenci dirinya. Ah, benar juga. Mungkin Phoebe bisa menolongku. “Kau tidak berpikir untuk mendatangi Phoebe, kan?” tanya Damian. Seolah-olah ia bisa membaca apa yang dipikirkan Axel. Axel tidak bisa menyembunyikan ekpresi kaget di wajahnya. Damian semakin yakin dengan dugaannya. Sudah jelas Axel memiliki pemikiran gila itu. Tapi bukankah tadi Axel mengatainya ‘wanita gila’? Tampaknya situasi di antara sepupunya dan Phoebe tidak terlalu baik dan parahnya hal itu sepertinya tidak terlalu berarti di mata Axel. Damian jadi berpikir, mungkin ada baiknya ia belajar cara-cara jitu bersikap cuek dan tidak pedulian seperti Axel, selama itu bisa membantunya mendapatkan tujuannya. “Aku hanya berpikir dia bisa menolongku.” “Phoebe tidak akan melakukan itu.” Damian menegaskan. “Memang benar, dia sangat peduli dengan apa-apa saja yang menjadi urusan Summer, tapi bukan urusan pribadinya, kecuali kalau adiknya itu menunjukkan gelagat aneh yang berhasil menarik sisi protektif Phoebe keluar dari persembunyiannya.” Axel mendongakkan kepalanya sampai lehernya menyentuh tepian sofa. “Ah, aku sama sekali tidak tahu harus bagaimana. Dia bahkan sudah membolos hampir seminggu. Aku tahu orang sepertinya—tipikal mahasiswa yang sangat peduli dengan prestasi dan perfeksionis terhadap jumlah kehadiran di kelas. Dan hanya karena ingin menghindariku, dia—“ “Mungkin dia tidak berpikir seperti itu—maksudku, mungkin dia memang sedang ada sesuatu di luar kegiatan kampusnya.” Damian merasa melihat otot rahang Axel mengejang. Ia menepuk pelan bahu Axel dengan penuh rasa simpatik, “Pergilah istirahat. Akan kucoba membantumu. Ya, mungkin aku bisa menghubungi Phoebe kalau memang itu jalan satu-satunya agar kau bisa berbicara dengannya.” Damian terdengar sangat meyakinkan meski di dalam hatinya tidak. Ia masih ingat bagaimana respon dan ekspresi wajah Phoebe begitu mengetahui Axel adalah sepupunya. Ia terlihat kaget dan marah di saat yang bersamaan. Phoebe bahkan menuduh dirinya sengaja menyembunyikan fakta bahwa sepupunya adalah si playboy brengsek yang pernah menyerempet mobilnya karena alasan-alasan gila yang di luar nalar. Salah satu tuduhan teman kantornya itu adalah Damian senang melihat Summer menderita. Phoebe mengatakan itu sambil memukuli Damian tanpa henti, sampai-sampai beberapa teman kantor mereka yang berada di dalam kantin kantor saat itu harus memegangi kedua tangan Phoebe dan menenangkannya. Saat itu, Damian merasa menjadi orang jahat tanpa alasan. “Apa kau sudah selesai menginterogasiku? Aku ingin tidur.” Axel melirik Damian yang sedang mengamati layar ipadnya. Ada sebuah diagram dengan angka-angka yang Axel tidak mengerti. Itu urusan pekerjaan Damian, dan Axel tidak tertarik. Ia tidak suka bekerja di balik meja seperti sepupunya itu. Ia lebih menyukai pekerjaan lapangan, namun ayahnya tidak menyukai rencana itu. “Ada satu pertanyaan yang menarik perhatianku.” Damian mengubah posisi duduknya mnejadi lebih menyamping sehingga kini ia bisa bertatap muka dengan Axel lebih dekat. Dahi Damian mengerut, “Apa kau pernah benar-benar mencintai seseorang? Karena yang kulihat selama ini, kau hanya bermain-main dengan para gadis yang menyukaimu.” Axel tersenyum pahit, “Aku bahkan tidak tahu seperti apa rasanya jatuh cinta. Jadi, kau tahu kan maksudku?” “Mungkin, kau bukan tidak tahu. Tapi tidak pernah menyadari kalau kau sedang jatuh cinta pada seseorang. Kau terlalu banyak bermain-main. Seriuslah sedikit kali ini.” Damian menurunkan kedua kakinya yang ia selonjorkan di atas meja. Axel berdiri dan menaikkan sebelah alisnya, seolah meminta izin Damian untuk membiarkannya keluar dari situasi interogasi itu. “Sekarang, kau boleh pergi.” Axel berjalan melewati Damian melalui jarak sempit antara sofa dan meja, langsung menuju kamarnya. *** Phoebe berjalan keluar dari ruangannya dengan santai. Sekarang jam makan siang dan dia terpaksa keluar sendirian, Damian sedang ada meeting dengan klien dan temannya yang lain ikut andil dalam proyek tersebut. Bukan suatu masalah bagi Phoebe untuk makan siang sendirian, dia sudah terbiasa melakukannya. Sisi positifnya, ia akan punya lebih banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya di kantor – atau mungkin ia akan take away, yap, ide yang bagus.             Saat wanita itu berbelok keluar pintu kantor, ia dikejutkan dengan sosok pria yang tak asing baginya. Axel Kennedy berdiri bersandar di dinding gedung dengan posisi tangan yang dimasukkan ke saku jaket jeans yang ia kenakan dan pandangan kosong menatap lurus ke arah lantai. Ia tampak bengong, jadi Phoebe memutuskan untuk tidak menghiraukannya dan berjalan melewatinya. “Hey.” sapa Axel saat Phoebe baru saja melewatinya. Wanita itu berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah orang yang baru saja membuka mulutnya. Tidak ada jawaban apapun dari Phoebe, dia hanya memandang lurus ke arah Axel. Axel mengulum kembali kata-kata yang hendak keluar dari mulutnya, otaknya berusaha mencari kalimat yang tidak mencurigakan untuk disampaikan. Ia tahu bahwa Phoebe sangat protektif terhadap Summer dan wanita sepertinya bukanlah tipe yang bisa dengan mudah diajak bekerja sama dengan orang yang pernah bermasalah dengannya. Tapi tampaknya pusat dari segala perintah di tubuh Axel menolak untuk bekerja sama lebih cepat dan kesabaran Phoebe juga mulai surut. Ia melengos lalu melanjutkan perjalanannya sambil menggelengkan kepala dan menggumamkan beberapa kata yang tidak dapat Axel dengar. “Tunggu!” Axel sedikit berlari mengejar wanita yang entah bagaimana dapat berjalan cepat dengan high heels 10 centi nya.Tangannya spontan menarik pergelangan tangan Phoebe dan membuat wanita itu berbalik ke arahnya. Sejenak Axel tenggelam dalam iris berwarna coklat itu. Ia terdiam dalam ingatan beberapa minggu yang lalu, ia juga sempat terpesona dengan mata coklat yang sama, hanya saja pemilik sepasang mata yang membuatnya terpesona tidak memandangnya dengan ekspresi kaget dan dingin seperti wanita di hadapannya sekarang. Mata yang dulu ia lihat menyimpan rasa takut, terkejut dan...hasrat? Astaga, Axel, kenapa kau baru sadar sekarang. “Lepaskan aku.” Kata-kata Phoebe membuat Axel terjaga dari lamunannya. “Excuse me?” “Kau membuat posisi kita berdua seperti sepasang kekasih yang baru saja bertengkar, dimana sang pria ingin meminta maaf kepada wanitanya.” Lalu Axel menoleh cepat. Phoebe benar, dengan tangan Axel yang menggenggam pergelangan tangannya ditambah posisi mereka berdua yang seolah saling tatap dengan jarak beberapa inci saja, wajar jika orang-orang akan berpikiran begitu. “Lepaskan aku sebelum kau membuat kesalah pahaman lain di sini. Jika kau memiliki urusan denganku, kita bicarakan di tempat lain.” Lalu Axel melakukan persis seperti yang Phoebe perintahkan. Detik selanjutnya mereka berdua berjalan bersama menuju cafe tempat Phoebe biasa menikmati makan siangnya. Tapi mereka tidak tahu, ada seseorang yang sudah salah paham saat melihat posisi mereka berdua tadi. *** Sudah sepuluh menit yang mereka habiskan dalam keadaan saling diam. Phoebe tidak ingin memulai pembicaraan lebih dulu sedangkan Axel bingung harus memulai dari mana. “Icy Triple Choco dan orange juice.” Suara pelayan wanita memecah keheningan di antara mereka. Ia meletakkan minuman itu di atas meja. “Bawakan aku satu orange juice lagi.” kata Axel. Pelayan wanita itu menoleh lalu mencatat pesanan Axel dan kembali ke arah pantry. Axel meneguk minumannya. Ia sudah merasa bahwa meminta bantuan dari Phoebe akan sangat menghabiskan energi dan entah kenapa ia membutuhkan banyak minuman untuk melancarkan tenggorokannya yang seolah terhalang sepotong kayu. “Kau gugup.”             Axel hampir tersedak minumannya sendiri. “Sorry?”             “Banyak orang bilang kalau orang yang gugup dalam situasi tertentu cenderung lebih cepat menghabiskan minumannya.”             Axel menoleh ke arah gelas di hadapannya dan baru sadar bahwa ia hampir menghabiskan setengah isi gelas hanya dalam dua tegukan. Ia lalu balik memandang Phoebe, satu alis wanita itu terangkat seolah meminta penjelasan Axel secepatnya.             Dan Axel memutuskan tidak ada gunanya mencari kata pembuka yang berputar-putar.             “Aku ingin menanyakan kabar Summer.”             “Dan apa urusannya denganmu?”             Pertanyaan Phoebe menohok Axel. Ia benar. Untuk apa Axel sampai repot mencari tahu tentang Summer? Ia tidak memiliki kepentingan pribadi dengan gadis itu, ia bukan siapa-siapa bagi Summer.             “Teman-temannya menanyakan hal itu. Mereka tampak cemas...”             “Kenapa mereka tidak menghubunginya sendiri?”             Axel baru sadar bahwa sikapnya hanya akan membuatnya tertahan di tempat dengan semua pertanyaan Phoebe. Tampaknya ia sedang berhadapan dengan wanita yang memiliki logika paling tinggi di antara semua wanita yang pernah dia temui.             “Baiklah...” Axel mengatur nafasnya yang mulai terasa tercekat, “...aku mencemaskannya.”             Dan rona wajah Phoebe sedikit berubah. Hanya sedikit, tapi Axel tahu bahwa pertahanan dinding baja yang tadi ia temukan sedikit luntur. Ekspresi dingin wanita itu berkurang.             Ia memutuskan melanjutkan kalimatnya, “Sudah lebih dari satu minggu dia tidak ke kampus. Dalam waktu dekat akan ada tes di beberapa mata kuliah dan aku takut ia akan melewatkan itu semua.”             Phoebe masih terdiam. Matanya seolah memaksa Axel untuk membeberkan alasan sebenarnya.             Axel mengusap wajahnya dengan tangan kanan sedangkan tangan lainnya menumpu tubuhnya di meja. Ia tampak putus asa mencari alasan lain.             “Aku berpikir ia menjauhiku.” Volume suara Axel mengecil.             “Dan apa yang membuatmu berpikir demikian?”             “Aku tidak tahu. Aku...” Axel terhenti sejenak, mulutnya terbuka tapi tidak tahu harus mengatakan apa, “Aku pikir, ia menyukaiku.”             “Jika benar demikian, kenapa ia menjauhimu?”             “Itu yang ingin aku cari tahu, ia...”             “Pesanan anda.” Pelayan wanita tadi kembali datang dengan membawa orange juice milik Axel. Hanya saja kali ini ada satu kertas terselip di bawah gelas menunjukkan sederetan angka. Axel menerima gelas tersebut, mengernyit saat melihat deretan angka itu dan menoleh ke pelayan wanita yang mengedip ke arahnya. Gerakan mulutnya seolah mengatakan : call me.             “Tampaknya aku tahu alasannya,” cetus Phoebe.             Axel tersentak, ekspresi dingin lawan bicaranya kembali dalam puluhan kali lipat. “Hey, aku tidak bermaksud...”             “Dengar, Axel. Meskipun aku ingin membantumu – yang pastinya mustahil kuinginkan – ini diluar kewenanganku. Ini masalah kalian dan aku tidak ingin ikut campur dalam urusan pribadi adikku. Terlebih karena masalah utamanya ada padamu.”             Axel mengikuti arah telunjuk Phoebe dan terhenti di secarik kertas dari pelayan wanita yang tadi. Ia mengerang, “Bukan salahku jika para wanita itu mengejarku!”             “Oh, pria dan kepercayaan dirinya yang tinggi!” Phoebe menyindir, “You know what, Kennedy? Bahkan wanita murahan pun tidak akan mengejar seorang pria jika pria tersebut tidak memancing mereka untuk mengejarnya.”             Ekspresi Axel pasti sangat aneh sekarang karena Phoebe tampak tersenyum sinis.             “Berani taruhan, reputasimu sebagai playboy pasti sudah sangat terkenal. Bahkan aura-mu mengisyaratkan demikian.”             “Hah...aura...” Axel tampak mencemooh pemikiran Phoebe barusan.             “Percaya atau tidak, dari gesture-mu saja kau sudah seperti mengatakan : Hey! Lihat aku! Apa kau mau menghabiskan malam denganku? Or just a little quickie will do.”             “Aku tidak melakukannya dengan semua wanita,” jawab Axel cepat dan berat.             “Aku berani mempertaruhkan jatah makan siangku selama sebulan bahwa kau melakukannya hampir dengan semua wanita yang kau temui, bahkan jika wanita itu baru saja kau kenal dalam hitungan detik.”             Rahang Axel mengeras.             “No offense here, Axel. Aku hanya mengutarakan pendapat dari wanita sepertiku.”             “Lalu aku harus bagaimana?”             “Selesaikan urusan perasaanmu sendiri. Kau akan tahu jawabannya.” ***             Axel sampai di apartemen Damian sekitar jam 8 malam. Setelah menutup pintu apartemen, dia langsung menuju  mini bar dan menghempaskan diri di sofa terdekat. Hari ini adalah hari terburuk baginya, terutama saat makan siang tadi. It’s really awkward. Ia sering menghabiskan waktu bersama wanita, bahkan sampai ke wanita paling membosankan sekalipun, tapi ia tidak pernah merasa secanggung itu.             Mungkin itu rasanya makan bersama orang yang akan menjadi anggota keluargamu...hey, apa-apaan ini...Axel, kau mulai terlalu emosional.             Axel terkekeh dengan pemikirannya sendiri. Bagaimana mungkin ia langsung menganggap Phoebe akan menjadi kakak iparnya.             Hey! Itu terlalu jauh! Aku bahkan belum dapat menghubungi Summer!             Ya, jangankan menghubungi Summer. Axel bahkan belum mengetahui perasaan sebenarnya yang ia miliki terhadap gadis itu. Apakah ia mencintainya?             Axel kembali uring-uringan. Ia menengadahkan kepalanya, menatap nanar langit-langit ruangan itu.             Cinta? Apa ia mencintainya? Apakah ia pantas untuk mencintainya?             Pemikirannya teralihkan dengan suara pintu terbuka. Axel segera menoleh hanya untuk mendapatkan Damian berjalan ke arahnya dengan wajah tak kalah suntuk.             “Bad day?” tanya Axel ketika Damian menuangkan air putih dari kulkas.             “Worse.”             “Aku rasa workaholic sepertimu pun bisa jenuh dengan semua pekerjaan itu.”             “Tidak hanya pekerjaan,” Damian berjalan pelan hingga posisinya sekarang berada di hadapan Axel, “Hari ini lebih dari itu.”             “Apa?” Axel merendahkan suaranya. Damian menatapnya sedemikian rupa dan Axel – mengingat rekor wanita yang ia dekati – mengetahui arti tatapan itu. “Kau cemburu.”             “What? Don’t be silly.” Damian melengos.             “You know that I have a lunch date with her.”             Damian tersedak, “Hey! Aku tidak tahu bagian itu!” ia mengelap sudut bibirnya dengan bagian samping tangannya, “Aku hanya melihat saat kalian saling tatap dan tampaknya kau terpesona olehnya.”             Axel terkekeh, “Who’s this Phoebe chicks?”             “Teman sekantorku.”             “Ayolah, Damian, jika kau hanya menganggapnya teman sekantor, maka kau tidak akan memandangku dengan tatapan sinis itu.”             Damian menggigit bibir bawahnya lalu menghembuskan nafas cukup keras.             “I like her.”             “You have a crush on her.” Pancing Axel.             “Tidak. Aku rasa lebih dari itu. Kau tahu. Ingin selalu bersamanya, menghabiskan waktu dengannya seolah itu adalah satu-satunya hal penting untukmu. Ingin mengusilinya dan...word is not enough to describe it.”             “Kau mencintainya?”             “Jika itu yang kau sebut cinta.”             Axel terdiam. Dia tidak mengerti apa definisi dari cinta, tapi jika apa yang dikatakan Damian itu termasuk dalam salah satu pengertiannya...             “Do you think I love her?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD